BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Khazanah verbal setiap komunitas etnik terbentuk dan dipengaruhi oleh hasil interaksi,
interelasi, dan inter-dependensi para penuturnya dengan lingkungannya. Hal ini
didorong oleh faktor kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dapat dipenuhi dengan
bahasa. Oleh karena itu, bahasa dapat mencerminkan perilaku manusia itu dan
lingkungannya. Sebaliknya, perilaku dan lingkungan dapat tercermin dalam bahasanya.
Proses leksikalisasi, gramatikalisasi, metaforik, dan kulturalisasi terbentuk dari
rekaman simbolik verbal. Hal ini dapat diwariskan secara utuh jika terjadi harmonisasi
manusia dengan lingkungannya. Harmonisani manusia dengan lingkungan dalam
bentuk verbal adalah pilar kultural yang menjamin kehidupan bahasa, budaya, dan
komunitas etnik.
Implikasi relasi ini menjamin keberlangsungan ekologi yang harmonis. Artinya, selama
bahasa etnik hidup dan tetap digunakan dalam konteks kelokalan, niscaya pemanfaatan,
pemeliharaan, dan pelestarian sumber daya alam dan budaya tetap terkendali, terjamin,
serta berkelanjutan. Sebaliknya, jika perubahan ekologi kebahasaan dan dinamika
lingkungan, bahasa-bahasa etnik tidak berfungsi lagi maka pengetahuan dan tradisi
lokal dalam merawat lingkungan pudar dan punah seiring dengan hilangnya
keanekaragaman hayati dalam kemasan verbal bahasa-bahasa lokal. Bahasa dengan
lingkungan pemakai adalah aspek yang tidak terpisahkan. Bahasa ada karena ada
pemakainya dan sebaliknya. Di sisi lain, keberlangsungan hidup manusia sebagai
Kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa hutan dan lingkungan Danau Toba telah
mengalami kerusakan yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam eksistensi
kehidupan semua makhluk hidup. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat rendah
dan perilaku manusia cenderung mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian
lingkungannya. Keadaan seperti ini juga terjadi di kawasan Danau Toba. Sebagai ujud
keprihatinan pernah dilaksanakan workshop “Peningkatan kesadasaran Masyarakat atas
Fungsi Ekosistem Hutan”, yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Kabupaten
Simalungun dengan ITTO PD 396/04 Rev. 1 (F), di Prapat, 27-28 Maret 2009 dengan
acara presentasi dan diskusi kelompok. Dalam acara tersebut dibahas perencanaan
skenario (scenario planning) yang berkaitan erat dengan kondisi Danau Toba. Skenario
yang timbul ada empat, tetapi yang diuraikan adalah salah satu perencanaan skenario,
yaitu kondisi Danau Toba rusak dan tingkat kesadaran masyarakat rendah. Skenario ini
memberikan julukan terhadap Danau Toba sebuah “neraka” sehingga diperlukan upaya
dan kerja keras untuk menghindari predikat neraka bagi kondisi Danau Toba.
Tanda-tanda sebagai “neraka” Danau Toba adalah pencemaran akibat limbah, kotor,
banyak sampah, pendangkalan akibat sedimentasi, erosi, banyak eceng gondok, PH
tinggi, hutan gundul, tata-ruang tidak sesuai peruntukan, lahan kritis semakin luas,
stabilitas permukaan air fluktuatif dan populasi ikan berkurang.
Banyak regulasi penyelamatan Danau Toba sudah digulirkan baik di tingkat tujuh
pemkab (Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun,
Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Dairi/Papak barat) yang berada di sekitar lingkungan Danau Toba, dan
danau ini sudah banyak ditawarkan dan disajikan dalam bentuk workshop, seminar,
maupun tindakan ilmiah lainnya. Namun, usaha-usaha tersebut tidak berhasil karena
fakta menunjukkan semakin hari kondisi danau itu semakin memprihatinkan.
Tuntutan workshop Kabupaten Simalungun adalah menumbuhkan kesadaran manusia
yang tinggal di sekitar Danau Toba untuk menjaga keseimbangan ekosistem di sana
karena tindakan ilmiah tidaklah cukup. Selain itu, pemanfaatan kekuatan yang ada pada
diri masyarakat diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk tradisi-tradisi harus
diutamakan. Hal ini didukung asumsi bahwa tradisi merupakan jiwa mereka sudah
mulai pudar.
Perubahan pola pikir ini mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan ragawi
lingkungan. Tekanan terhadap lingkungan terus terjadi salah satu perubahan paling
dirasakan adalah terjadinya pergeseran nilai, norma, dan kultur masyarakat. Lebih
spefesifik, terjadi berbagai perubahan pada bahasa.
Sikap bersahabat dengan alam harus direvitalisasi dan digagas sehingga menjadi sebuah
paradigma baru di kawasan Danau Toba. Kepedulian terhadap lingkungan bukan
sekadar wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Program ini menjadi
sesuatu “conditio sine qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai.
Persahabatan dengan alam dan lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang
tidak saling bermusuhan. Manusia menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan
sikap egosentrisme dan antroposentrisme.
Manusia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumberdaya alam untuk
Korporasi pemilik modal meraup untung besar dari hasil hutan dan industri kertas.
Namun, masyarakat sekitar mengalami ancaman bencana banjir, gagal panen dan secara
perlahan dan pasti mengalami kelaparan dan degradasi gizi.
Sikap dikotomis yang melihat sumberdaya alam semata sebuah objek yang harus
dieksploitasi harus ditinggalkan. Kesadaran menjinakkan bola liar penebangan hutan di
kawasan Danau Toba patut dimulai dari sebuah gerakan masyarakat ekonomi hijau
(green economy). Pembangunan industri kertas dan perkebunan yang berkelanjutan
harus menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.
Persepsi ini merupakan faktor dalam yang mempengaruhi perilaku (attitude) individu
maupun kelompok sosial (Suparwa, 2007 : xii). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa
hubungan manusia dengan alam baik secara sosial, ideologikal maupun secara
organisasional perlu mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dalam menyusun
strategi pengelolaan sumber daya alam.
Keberadaan wacana kedanauan dapat berperan menjaga kelestarian keseimbangan
ekosistem Danau Toba. Hal ini disebabkan bahasa adalah sumber daya makna, termasuk
makna dan pemaknaan alam serta makna budaya. Lingkungan kebahasaan dan
penggunaan bahasa (bahasa lingkungan), yakni ekspressi verbal manusia dalam
memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan, baik alam sebagai
matra kesejagatan yang makrokosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber
daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos (jagat sempit), merupakan
objek formal dan objek material kajian ekolinguistik.
Penelitian terdahulu yang memberikan inspirasi dan dorongan terhadap penelitian ini
mempertahankan kelestarian hutan. Masyarakat tradisional Taro memiliki sikap rela
berkorban bagi konservasi karena mereka mempunyai falsafah hidup “Mhin Auwu
mampanimpu katuwua toiboli topeboi" ‘melindungi dengan memelihara bersama-sama
lingkungan hidup kita, seperti yang dianugrahkan Sang Pencipta’. Shohibuddin (2003)
tentang artikulasi kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai
proses reproduksi budaya. Penelitian ini menemukan hal yang sama dengan temuan
Golar dalam konservasi, yaitu falsafah hidup sebagai landasan pelestarian.
Aspek sosial-ekologis sangat memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan
keterwarisan lingkungan bagi generasi mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa,
berusaha mewujudkan lingkungan yang sehat, dengan memasukkan kearifan-kearifan
ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut (Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang
dimaksud adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang
menjadi bagian dari wacana lingkungan.
Kearifan ekologis lokal ini perlu diturutsertakan dalam wacana lingkungan yang sehat
dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep ideologis, filosofis, sosio-ekologis)
masyarakat setempat diekspresikan dalam kearifan lokal tersebut.
Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan, yakni ekspresi
verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya
lingkungan, baik alam sebagai matra kesejagatan yang makro kosmos, maupun manusia
(dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos
(jagat sempit), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa
adalah sumber daya makna, termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya.
Kemasan verbal terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya, baik khazanah
masa kini, secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah ekspresi
verbal manusia yang alami, semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan
ketergantungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan
garapan ekolinguistik (Analisa Wawancara 2011).
Upaya manusia sebagai makhluk berakal budi untuk menjaga keseimbangan alam atau
ekosistem terekam pada ekspresi verbalnya. Keengganan dalam berbuat yang menjurus
merusak lingkungan yang dicerminkan lewat perbendaharaan kata. Berikut ini, peneliti
mengutip satu kalimat dari wacana kedanauan yang sifat keengganan merusak
ekosistem dalam Bahasa Batak Toba:
Limut-limutan ma tanggurungmuna
‘Berlumutlah punggung kamu’
Maknanya: semoga panjang umur sampai tua.
Mangalului aek na tio songon salum
‘Mencari air jernih seperti kaca’
Maknanya mecari rejeki yang halal.
Oleh karena itu, peneliti ingin melihat sejauh mana peran cerita rakyat dalam
melestarikan ekosistem di Sekitar Danau Toba, yang dirumuskan dengan judul: “Bahasa
Kedanauan di Kawasan Danau Toba (Suatu Kajian Ekolinguistik tentang Pelestarian
1.2 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Penelitian ini dilakukan di sekitar Pulau Samosir dan sebagian di daratan lingkar dalam
dan luar Pulau Samosir. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dibatasi berupa data
verbal dalam cerita rakyat atau legenda masyarakat setempat yang berkaitan dengan
situs-situs mitos pelestarian lingkungan dalam bahasa Batak Toba.
1.3 Rumusan Masalah
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research
problem. Rumusan masalah mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam
kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai
fenomena yang saling terkait di antara fenomena satu dengan yang lainnya, baik sebagai
penyebab maupun sebagai akibat. Oleh karena itu, peneliti merumuskan masalah
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bahasa kedanauan apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat kawasan Danau
Toba?
2. Bagaimanakah proses pelestarian biota kedanuan yang terdapat dalam mitos
cerita rakyat di kawasan Danau Toba?
3. Bagaimanakah hubungan bahasa kedanauan dengan pelestarian ekosistem Danau
dalam mitos cerita rakyat di kawasan Danau Toba?
4. Bagaimanakah model penyampaian pesan pelestarian ekosistem yang terkandung
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah upaya pelestarian wacana yang berkaitan atau kandungan
pelestarian ekosistem Danau Toba, yang dirinci pada uraian berikut ini,
1. Untuk menggali dan medeskripsikan bahasa kedanauan yang terdapat dalam
cerita rakyat kawasan Danau Toba?
2. Untuk mendekripsisikan cara pelestarian biota kedanuan dalam mitos cerita
rakyat di kawasan Danau Toba.
3. Untuk menggali keterhubungan bahasa kedanauan dengan pelestarian ekosistem
Danau dalam mitos cerita rakyat di kawasan Danau Toba?
4. Untuk merekonstruksi model penyampaian pesan pelestarian ekosistem yang
terkandung dalam mitos cerita rakyat di kawasan Danau Toba.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat di pinggiran Danau Toba dalam
rangka menjaga dan memelihara wacana kedanauan sebagai upaya melestarikan
alam di sekitarnya.
2. Sebagai bahan pertimbangan teoretis dan praktis bagi pemerintah baik daerah
maupun pusat dalam menjaga kelestarian alam dengan media pemeliharaan