BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan akan tanah pada umumnya adalah untuk kepentingan
pembangunan. Kegiatan pembangunan yang semakin meningkat pada segala bidang
kehidupan di perkotaan maupun di pedesaan, menandakan bahwa posisi tanah
menjadi sangat penting atau vital dalam kehidupan. Arti pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan
dari tanah, manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara
mendayagunakan tanah.1
Mengatur hubungan hukum termasuk diantaranya memberikan hak- hak atas
tanah kepada warga Negara. Sedangakan hak atas tanah merupakan hak yang
memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/atau
mengambil manfaat dari tanah yang di haknya. Hak atas tanah yang disebutkan dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria diperinci macamnya dalam pasal 16
ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria dan pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan macam hak
atas tanah yaitu :2
a) Hak milik; b) Hak Guna Usaha;
1Kertasapoetra dkk,Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 1.
2
c) Hak Guna Bangunan; d) Hak Pakai;
e) Hak Sewa Untuk Bangunanan; f) Hak Membuka Tanah;
g) Hak Memungut Hasil Hutan;
h) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan di tetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam passal 53
Macam hak atas tanah yang bersifat sementara ditetapkan dalam Pasal 53 ayat
(1) Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu:
a) Hak Gadai;
b) Hak Usaha Bagi Hasil c) Hak Menumpang;
d) Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersama-sama
maupun badan hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan atau
mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.3
Oleh sebab itu pembangunan memerlukan pelebaran basis kegiatan, yang hal
ini berarti diperlukan tanah oleh berbagai pihak yang terlibat di dalam pembangunan
tersebut, pemerintah memerlukan tanah untuk meningkatkan pelayanan pada
masyarakat terutama untuk prasarana, fasilitas umum dan untuk masyarakat ekonomi
lemah melalui program Landreform, penyediaan rumah murah dan lain sebagainya,
sedangkan masyarakat itu sendiri memerlukan pula tanah karena meningkatnya
kualitas hidup maupun untuk kepentingan usahanya, kesemuanya itu tentu akan
menimbulkan peralihan dan pembebanan hak atas tanah, eksistensi tanah itu sendiri
3
akan jauh lebih lama dari kehidupan manusia sehingga diperlukan data penguasaan
tanah yang selalu mutahir terutama untuk keperluan masyarakat guna keperluan
pemerintah untuk kegiatan pajak, planogi, dan pengawasan serta untuk masyarakat
guna keperluan jaminan kepastian hukum pemilikan dan perbuatan hukum mengenai
tanahnya, untuk itu maka diperlukan peranan pejabat pembuat akta tanah (PPAT)4
Oleh kareana itu pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah,
namun pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri proses mendaftarkan tanah
tersebut, khusus dalam peralihan hak atas tanah, termasuk pembebanannya,
Pemerintah menugaskan Pejabat khusus dalam rangka pembuatan akta perbuatan
hukumnya yang dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta tanah ( PPAT).5
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) merupakan pejabat
umum yang membantu Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) selaku
instansi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendaftaran tanah.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum.6
4
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, cet.1, tahun 1989, hlm. 41. 5
Efendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu telah Sudut Pandang Praktisi Hukum, ( Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal.21
6
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang
berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia
baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, cara
perolehannya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan yang ada di adalam
menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi yang dihadapinya jika diabaikan
ketentuan-ketentuan yang bersangkutan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan
penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.7
Pemerintahan sebagai pelaksana Undang-undang (eksekutif) dalam
menjalankan tugasnya harus memberikan pelayanan yang bertujuan (goal bagi
kesejahteraan masyarakat yang berdasarkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan,
juga mampu berperan sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi, perkembangan
sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (welfare state). Untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut diperlukan pendidikan pembinaan dan
pengawasan.8
Tujuan pembinaan dan pengawasan merupakan program dimana para peserta
berkumpul untuk memberi, menerima dan mengolah informasi, pengetahuan dan
kecakapan, entah dengan memperkembangkan yang sudah ada dengan menambah
yang baru. Pembinaan diikuti oleh sejumlah peserta yang diperhitungkan dari tujuan
dan efektivitasnya sedangkan tujuan utama Pengawasan merupakan mengusahakan
7Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanannya, cet. 10(Jakarta: Djambatan, 2005), hlm.69.
8
supaya apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Mencari dan memberitahu
kelemahan-kelemahan yang di hadapi.
Salah satu pejabat publik (ambtenaar) yang membutuhkan pembinaan dan
pengawasan dalam menjalankan tugas jabatannya adalah Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan jabatannya mempunyai
tanggung jawab(ability) yang besar kepada masyarakat.9Oleh Karena itu diperlukan
tindakan pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut,
agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pengaturan perihal pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta
Tanah yakni ditegaskan dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 65 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah menegaskan bahwa pihak-pihak yang berwenang melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah agar dalam melaksanakan
jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah
Menteri, Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.10
Sedangkan yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat
9
Bambang Sunggono,Hukum dan Kebijaksanaan Publik, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal.159 10
Pembuat Akta Tanah agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional terhadap pejabat pembuat akta tanah hanya
bersifat fungsional, dalam arti hanya memberikan pembinaan dan pengawasan
terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan jabatannya. Adapun
pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menjadi anggota Ikatan Pejabat Pembuat Tanah
dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti yang sederhana, apabila
Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap
Kode Etik Pejabat Pembuat Akat Tanah, maka langsung diperiksa. Apabila terbukti
melanggar Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka akan diberikan sanksi
sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya.
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum dan demikian pula
akta-akta yang dibuatnya adalah akta-akta otentik. Oleh karena itu, dalam pembuatan akta-aktanya
harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar aktanya dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna. Apabila terjadi suatu masalah atas akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut, pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran
isi dari akta tanah tersebut, ataupun tanggal ditandatanganinya. Demikian pula
pemalsuan, penipuan maupun lain-lain akta tanah tersebut dapat dibatalkan
(canceling).11
Untuk menjamin kepastian hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
maka sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak
atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan
setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli. Sedangkan dalam pelaksanaan
pembuatan akta harus dihadiri oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikan juga dengan syarat sahnya pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah, harus disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi
syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi
kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan
dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah
dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Kantor Pertanahan
sesuai Pasal 67 PERKABAN Nomor 1 Tahun 2006 dalam menjalankan secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dengan datang kekantor PPAT/Notaris
melakukan pembinaan dan pengawasan sedangkan pembinaan dan pengawasan tidak
11
langsung dalam hal ini yang dilakukan sifatnya sewaktu membawa berkas untuk
pendaftaran peralihan hak dan berkas yang didak sesuai dengan berkas yang ada di
kantor pertanahan12
Namun dalam praktik pembinaan dan pengawasan tersebut belum
dilaksanakan secara optimal. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelanggaran
terhadap tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Salah satu kasus
hukum dari kesenjangan (gap) pelaksanaan Undang undang (dalam hal ini Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016), adalah kasus yang menjadi lokasi penelitian, di
Kabupaten Deli Serdang yang menunjukkan suatu fenomena, patut diantisipasi
perihal belum optimalnya peran Kepala Kantor Pertanahan dalam menjalankan
pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Oleh karena tidak efektifnya pembinaan dan pengawasan sebagaimana kasus
yang terdapat di Kabupaten Deli Serdang terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
membiarkan kepada pegawai untuk membacakan akta PPAT di luar kantor dengan
mendatangi kliennya untuk melakukan tanda tangan. Selanjutnya di lokasi penelitian
sering ditemui setiap penandatanganan dalam akta jual beli dan SKMHT sering
dilakukan di luar kantor dengan menandatangani tempat para pihak seperti dalam
pengikatan kredit di bank.
Dari uraian di atas bahwa pelaksanaan peraturan perundang undangan
mengenai pembinaan dan pengawasan masih jauh dari harapan karena mengandung
sejumlah kelemahan yaitu:13
12
1. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan penjelasan secara detail tentang kapan waktu pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan; dan
2. Peraturan perundang-undangan tersebut belum memiliki hukum formalnya berupa hukum acara dan pembuktian.
Di samping kelemahan Peraturan perundang-undangan, hal lain yang
menjadikan tidak optimalnya pembinaan dan pengawasan Pejabat Pembuat Akta
Tanah adalah karena Kantor Pertanahan tidak memiliki sarana dan prasarana serta
anggaran(budget)untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penting
untuk dilakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Fungsi Pembinaan dan
Pengawasan Kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kabupaten Deli Serdang) .
B. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan tolak ukur dari pelaksanaan penelitian. Dengan
adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelah secara maksaimal ruang lingkup
penelitian. Sehingga tidak mengarah pada pembahasan hal yang di luar masalah.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan hukum dalam Pembinaan dan Pengawasan tugas
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang di jalankan oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional?
2. Bagaimana implementasi fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat
pembuat akta tanah di Kabupaten Deli Serdang?
3. Bagaimana hambatan yang di hadapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
terhadap Pejabat Pembuat Akta tanah ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan hukum dalam pembinaan dan pengawasan tugas
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang di jalankan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional.
2. Untuk mengetahui dalam pelaksaan fungsi pembinaan dan pengawasaan
terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Deli Serdang.
3. Untuk mengetahui hambatan yang di hadapi Kementerian Agaria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional dalam pelaksaan pembinaan dan
pengawasaan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan seta manfaat
hukum. Khususnya dalam pengawasan dan pembinaan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) di Kabupaten Deli Serdang.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan juga sebagai bahan
masukan dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dalam hal tugas dan fungsinya selaku pejabat Negara
yang ditunjuk oleh Undang-undang selaku pembuat akta autentik.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan
yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkunagan
Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum serta Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “ Implementasi
Fungsi Pembinaan Dan Pengawasan Kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi
Kabupaten Deli Serdang)” belum pernah di lakukan oleh peneliti lain sebelumnya.
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah aspek hukum dalam peranan
pelaksanan pembinaan dan pengawasan Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) yang di
lakukan oleh :
1. Masniari Situmorang (Nim.067011052), Program Pascasarjana, Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2011, dengan judul
Sumatera Utara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan (Study Terhadap
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara Bekas Hak Guna Bangunan No.1/Siterejo).
2. Fine Handryani (Nim.097011108),Program Pascasarjana,Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2011, ”Akibat hukum
dari pembuatan akta jual beli tanah bersertifikat yang tidak sesuai dengan tata
cara pembuatan akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat)”.
Akan tetapi materi, subtansi dan permasalahan serta pengkajiaan dan
penelitiannya berbeda sama sekali. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli
dan dapat di pertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spsifikasi untuk proses
tertentu yang terjadi.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.15 Teori berguna untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan satu teori harus diuji dengan menghadafkannya fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidak benarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa
14Soerjono Soekato,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto 1)
15
“keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi
aktivitas penelitian dan imijinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”16
Fungsi teori dalam tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk
dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang dimati. Teori dalam penulisan tesis ini
menggunakan teori Kewenangan dan teori Efektifitas Hukum.
a. Teori Kewenangan
Teori Kewenangan (authority theory) merupakan teori yang mengkaji dan
menganalisis tentang kekuasaan dan organ pemerintah maupun alat perlengkapan
negara lainnya untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik
maupun hukum privat. Organ pemerintah adalah alat-alat pemerintah yang
mempunyai tugas untuk menjalankan roda pemerintahan. Hubungan hukum
merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akbiat hukum adalah
timbulnya hak dan kewajiban.
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan
dan wewenang.17 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian)
tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,
16Soerjono Soekanto 1,Op Cit, Hal. 6 17
lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan
tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Seanjutnya Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (match)
menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang
berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).18
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang
undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Indoroharto mengatakan “bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.”19
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya.
Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Beberapa
pengertian mengenai atribusi, delegasi dan mandat:20
Menurut H.D.van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefenisikan sebagai
berikut:
18Arie Sukanti,Kewenangan Pemerinatah di Bidang Pertanahan: ( Jakarta: Raja Grafindo, 2008) hal. 104 19
Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) hal. 104 20
a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Selanjutnaya van Wijk, F.A.M.Stoink dan J.G.Steenbeek menyebutkan
bahwa “Hanya ada 2 (dua) cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yaitu
atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi
secara logis selalu didahului oleh atribusi).
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:21
a) Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian,
pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan
21 21
tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi
pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat.
Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan
oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya.Tanpa kewenangan tidak
dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.22
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang
diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang dari peraturan perundangundangan.
Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari
redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi,
penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau dapat memperluas
wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang
(atributaris).
Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan
wewenang dari pejabat satu kepada pejabat lainnya.Tanggung jawab yuridis tidak lagi
berada pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih kepada penerima delegasi
(delegetaris). Sementara itu pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya
bertindak untuk dan atas nama.
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,
fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan
22
pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan
(beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang
bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni
terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit
banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua, wewenang
fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan,
sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan tertentu
sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni
terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat
tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada
pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.23
Meskipun kepada pemerintahan diberi kewenangan bebas, dalam suatu negara
hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya atau
kebebasan tanpa batas sebab dalam suatu negara hukum menegaskan bahwa baik
penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang maupun pelaksanaan wewenang
tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan
sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Di samping itu,
23
dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan kewenangan
pemerintahan harus disertai dengan pertangungjawaban hukum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kewenangan yang terdapat pada
Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai mitra badan pertanahan dalam pemeliharaan
data pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun adalah
atribusi karena dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan akta-akta
tertentu yang dapat dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini menunjukkan
adanya kewenangan yang terdapat pada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuat
akta-akta tertentu didasarkan pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun kewenangan yang terdapat pada badan pertanahan dalam membina
dan mengawasi Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah delegasi karena dalam Pasal 33
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan Pejabat
Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh menteri sedangkan dalam peraturan
pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 65 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 1
Tahun 2006 menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan Pejabat Pembuat Akta
Tanah dilakukan oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pertanahan. Hal ini menegaskan adanya delegasi dari menteri kepada kepala badan,
kepala kantor wilayah dan kepala kantor pertanahan dalam memberikan pembinaan
b. Teori Efektifitas Hukum
Selain teori kewenangan penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas
hukum. Teori Efektifitas Hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat
menurut William. J Chambliss dan Robert. B Seidmen yang berpendapat tentang
pengaruh hukum. Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap
tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Efektifitas hukum
merupakan proses yang bertujuan agar semua hukum berlaku efektif, keadaan
tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur di antaranya hukumnya sendiri,
perilaku masyarakat, sarana dan fasilitas.24Lembaga pembuat hukum bekerja dengan
membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula
dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement
untuk ditegakkan di masyarakat.
Selanjutnya menurut C.G. Howard dan R.S. Mummers faktor yang
mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum menyatakan antara lain:25
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum yang secara umum itu;
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum;
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu;
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan;
24 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2007), hal. 8.
25
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut;
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan;
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut adalah memang memungkinkan karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi memang tindakan yang konkrit, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan;
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i. Efektif atau tidak efektinya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus konkrit; dan
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
Sebaliknya, jika yang ingin dikaji adalah efektivitas aturan hukum tertentu,
maka akan tampak perbedaan, faktor-faktor yang memengaruhinya efektivitas dari
setiap aturan hukum yang berbeda tersebut. Akan berbeda faktor yang memengaruhi
efektivitas larangan dan ancaman pidana untuk melakukan pembunuhan,
dibandingkan faktor yang memengaruhi efektivitas aturan hukum yang mengatur
tentang usia menimal untuk malangsungan perkawinan yang sah.
Dalam mengkaji efektivitas peraturan perundang-undangan, maka dapat
dikatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan, banyak tergantung
pada beberapa faktor, antara lain:26
a) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan;
26
b) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;
c) Institusi yang terkait dengan runga-lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya;
d) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secera tergesa-gesa untuk kepentingan instant (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunner Myrdall sebagai sweep legislation (undang undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Pada umumnya faktor yang banyak memengaruhi efektivitas suatu
perundang-undangan, adalah professional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang
dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang
dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan
tersebut. Hukum harus dilaksanakan secara efektif. Efektivitas hukum ini tergantung
pada berbagai faktor, seperti wujud dari hukum itu sendiri, sarana penunjang
pelaksanaannya, pelaksana hukum dan pihak yang dikenai hukum tersebut.
Efektivitas hukum bergantung pada pihak pelaksana hukum dan pihak yang
dikenai hukum menerapkan dan menjalankan kaidah-kaidah hukum yang merupakan
kunci terwujudnya efektivitas hukum tersebut. Bila keduanya tidak mempunyai
kesadaran hukum untuk melaksanakan hukum itu dengan baik, maka hukum itu
menjadi tidak efektif. Kesadaran hukum ini sangat tergantung pada budaya hukum
yang ada di masyarakat di mana hukum itu diberlakukan. Karena itu, penegakan
hukum sebagai pelaksanaan hukum secara kongkret dalam kehidupan masyarakat
sehari hari seharusnya berlaku bagi para penegak hukum dan masyarakat sebagai
Berdasarkan hal tersebut di atas menunjukkan bahwa sangat besar dukungan
norma hukum bagi pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hukum tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah, hukum tentang pensertipikatan tanah, dan hukum
tentang bidang-bidang yang berkaitan dengan hukum-hukum tersebut bersumber pada
norma dasar, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan demikian, terjamin adanya kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum kepada siapapun melalui undang-undang dan
peraturan-peraturan tersebut.
2. Kerangka Konsepsi
Konsep berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.27
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut
dengan operationalsefinition.28
Menurut Suwandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep, menurutnya sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional.29
Kerangka konseptual adalah menggambarkan antara konsep-konsp khusus yang
merupakan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti dan/atau
27
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin,Kamus Istilah Karya Tulis ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122
28
Sutan Renny, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian kredit Indonesia,, (Jakarta: Institut banker Indonesia, 1993), hal. 10
29
diuraikan dalam karya ilmiah.30 Suatu konsep atau kerangka konsepsionil pada
hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari pada
kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi
opersional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian.31
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep
yang dipakai, yaitu antara lain:
a. Implementasi, artinya pelaksanaan atau penerapan.32Dalam setiap perumusan
suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan kegiatan
selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi
b. Fungsi adalah peranan, tugas yang di jalankan khususnya dalam pelaksanaan
kegiatan pertanahan yang sudah di berikan sesuai dengan ketentuan yang ada.
c. Pembinaan adalah proses, pembuatan, cara pembinaan, pembaharuan, usaha
dan tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil
guna dengan baik.33
d. Pengawasan adalah sebagai proses mengukur (measurement) dan menilai
(evaluation) tingkat efektivitas dan tingkat efisieni penggunaan sarana kerja
dalam memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.34
30
Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sianar Grafika, 2009) hal. 96 31
Soejono Soekanto 1, Op.cit., hal 133
32Wahyu untara,Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2012), hal. 223
33Miftah Toha,Pembinaan organisasi proses diagnose dan intervensi, (Jakarta: PT.Grafindo Persada, 1991), hal. 7
34
e. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Pejabat umum yang diberi wewenang
untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.35
G. Metode Penelitian
Untuk melengkapai penulisan ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan
dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang
digunakan antara lain:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.36Kecuali itu, maka
juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul didalam gejala yang bersangkutan.
Jenis Penelitian Hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis
normatif, mengingat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum
yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma
hukum,37maka penelitian menekankan kepada sumber-sumber bahan sekunder, naik
berupa peraturan-peraturan maupu teori-teori hukum, disamping menelah
kaidah-kaidah hukum yang beralaku di masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas
35Pasal 1 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
36
Soerjano Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ke 3, (Jakarta: UI Press, 1984), hal.43 37
hukum, sumber bacaan yang relevan terhadap tema penelitian,
sumber-sumber hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisa
permasalahan yang dibahas,38yang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok
permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu melihat pelaksanaan fungsi pembinaan
dan pengawasan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah ( Studi Kabupaten Deli
Serdang)
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan semua
gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua
gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan
kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Mengungkap
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teoriteori hukum yang menjadi
objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat
yang berkenaan dengan objek penelitian39
Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, factual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai
sifat-sifat, karetistik atau faktor tertentu.
2. Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif , data yang dipergunakan adalah data
sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang
bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi
38Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.13
39
serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya
ilmiah.40
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis macam data yang dipergunakan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelilitian ini diambil langsung
dari tempat dan lokasi penelitian sedangkan data sekunder yang digunakan dalam
penulisan ini tersiri dari:
a. Bahan hukum primer.
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai landasan utama yang
dipakai dalam rangka penelitian diantranya adalah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), Peraturan Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah 37 Tahun 1998,
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
b. Bahan hukum sekunder.
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum, makalah, dan lain
sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Fungsi
Pengawasan dan pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
40
c. Bahan Hukum tertier
Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan tambahan informasi dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder itu
sendiri,seperti kamus hukum, majalah, artikel-artikel, surat kabar dan
bahan-bahan pencarian melalui internet yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:
a. Teknik penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
dilkukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam teknik penelitian
pustaka (library research) ini berasal dari buku-buku, artikel-artikel dan
peraturan perundang-undangan;
b. Teknik penelitian lapangan (field research) yaitu dengan cara wawancara
kepada pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang , untuk Pejabat
Pembuat Akta tanah sebanyak 6 (enam) orang di Kabupaten Deli Serdang.
4. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1) Studi dokumen dengan cara membaca, mempelajari, dan, menganalisis
literature buku-buku, peraturan perundang-undangan serta
mengklasifikasikan data yang berkaitan dengan permasalahan yang
2) Penelitian dengan studi lapangan dengan cara wawancara kepada pejabat
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang , untuk Pejabat Pembuat Akta
tanah sebanyak 6 (enam) orang di Kabupaten Deli Serdang.
5. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu anlisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Penelitian ini
dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh
gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.
Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan
orang yang diteliti kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.41
Sebelum sanalisis dilakuakan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan
evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan hukum primer,
sekunder maupun tertier) maupun studi lapangan (wawancara), untuk mengetahui
validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematiskan sehingga
menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini
dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik.42
Kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh
gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah(studi
Kabupaten Deli Serdang), Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan
41Sulistyo Basuki,Metode Penelitian, (Jakarta: Wadatama Widya sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hal. 78
42
metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk
ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan
pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil atau prisnsip-prinsip untuk menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, guna menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.43
43Mukti Fajar dan Yulianto Acmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis,