• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialek Bahasa Batak Toba: Kajian Geografi Dialek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dialek Bahasa Batak Toba: Kajian Geografi Dialek"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dialek

Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah tersebut dipergunakan dalam hubungan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukung masing-masing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967:69).

Dialek merupakan ciri-ciri bahasa yang dimiliki suatu kelompok masyarakat baik ciri-ciri dalam tata bunyi, kosakata, morfologi maupun sintaksis. Kajian sistematik tentang semua bentuk-bentuk dialek, khususnya dialek regional disebut dialektologi atau geografi dialek (Crystal, 1980). Pertama-tama, dari definisi ini dapat dimengerti bahwa kajian-kajian bentuk dialek bersifat ilmiah. Kedua, dialektologi menyangkut pemetaan dialek. Dengan demikian, dialektologi mengkaji perbedaan-perbedaan dialek di daerah, baik dari segi kata, frasa, makna maupun struktur.

Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan adanya dua ciri dalam dialek, yaitu:

(2)

2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Itulah sebabnya Meillet dalam Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan. Ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Dengan demikian, peneliti geografi dialek suatu bahasa harus menemukan perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang diteliti.

Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang secara sistematis mengkaji yang berhubungan dengan dialek atau variasi dalam bahasa, baik variasi bahasa yang ditimbulkan perbedaan strata sosial, variasi bahasa berdasarkan perbedaan wilayah, dan variasi bahasa berdasarkan perbedaan waktu.

Kridalaksana, (2008:48) mendefinisikan dialek sebagai variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai. Menurut Chambers dan Trudgill, (2004:5) dialek mengacu pada variasi atau perbedaan bahasa secara gramatikal (mungkin juga leksikal) maupun fonologi.

(3)

Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran yang berbeda dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua ujaran dari sebuah bahasa (Meillet, 1967:69).

Trask, (2000:89) mendefinisikan dialek merupakan setiap perbedaan ragam bahasa yang dituturkan sejumlah kelompok masyarakat di wilayah geografis tertentu.

Ayatrohaedi (1985:30) mengatakan bahwa istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya dialektos ini dinyatakan dalam bahasa Yunani yang mempunyai sedikit perbedaan saja. Geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa.

Keraf (1991) menyatakan bahwa geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Selanjutnya dia mengatakan bahwa hasil akhir dari seluruh kegiatan penelitian geografi dialek adalah penyusunan peta mengenai dialek-dialek itu setelah melakukan prosedur penelitian lapangan. Dalam pengertian ini, disamping mengkaji variasi dialek, sangat perlu mempersiapkan peta dialek-dialek itu.

(4)

beberapa jenis penyimpangan dari satu norma- sebagai penyimpangan dari suatu bahasa yang benar atau yang baku.

Nadra dan Reniwati (2009:4) menyatakan bahwa dialektologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Variasi bahasa yang dimaksud adalah perbedaan- perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis dan semantik.

Kajian dialektologi yang mengamati kajian bahasa adalah variasi regional, variasi sosial, dan varasi historis. Berbeda dengan kajian sosiolinguistik yang mengkaji yang mengkaji variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang dikenal sebagai ragam atau register. Dialek yaitu variasi bahasa yang terjadi karena perbedaan pemakai bahasa, tetapi register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya.

Variasi regional yaitu varasi bahasa berdasarkan perbedaan tempat atau daerah. Variasi sosial yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan sosial penutur seperti etnis, pendidikan, jenis kelamin, usia, pekerjaan, kebangsawanan dan keadaan sosial ekonomi.

(5)

2.2 Pembeda Dialek

Dialek dapat dibedakan menjadi lima bahagian, kelima bahagian perbedaan itu adalah:

1) Perbedaan fonetik. Perbedaan di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

2) Perbedaan semantik, yaitu terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pergeseran makna.

3) Perbedaan onomasiologis yang menunjukan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.

4) Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda (Guiraud, 1970:18).

5) Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang berkerabat, wujud fonetisnya, daya rasanya, dan sejumlah faktor lainnya lagi (Guiraud, 1970:18).

(6)

Pendekatan yang sistematis terhadap perbedaan dialek amat penting dalam dialektologi struktural. Dialektologi structural boleh dikatakan bermula pada tahun 1954, serta berpegang terhadap pendapat para ahli bahasa bahwa sesuatu system bahasa hendaklah dikaji secara bersaingan tanpa merujuk pada sistem-sistem lain. System fonemik bagi suatu ragam bahasa dikaji dengan berdasarkan satu prinsip yang terkenal, yaitu penyebaran bunyi yang saling melengkapi, kesamaan bunyi dan wujud pasangan-pasangan minimal bagi ragam yang dikaji (Chambers.J.K.1990:52)

2.2.1 Perbedaan Fonetik

Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Adapun perbedan fonetik dalam penelitian dialektologi terdapat sedikit pembeda fonetik, seperti tampak pada beberapa contoh di bawah ini:

BBDT BBDS BBDH BBDTU BBDTT BBDD Arti

bAh dɔh bɔh bAh bAh bAh wah

sian tian sian sian sian sian dari diŋkan tiŋkan duŋkan diŋkan siŋkan tiŋkan sebelah

asa aso ase asa ase aso supay a

marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt besok

inda indu indi nian nian nian disana

amaŋ amoŋ bapa amoŋ bapa? apaŋ bapa ay ah

inaŋ inoŋ uma uma inaŋ oma ibu

daŋ dope daŋ poso daŋ kedE dang dope daŋ dope daŋ dope belum

tu hu hu hu tu tu ke

(7)

2.2.2 Perbedaan Semantik

Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pergeseran makna kata itu. Pergeseran tersebut bertalian dengan dua corak yang menentukannya, yaitu:

1) Pemberian nama yang berbeda pada tempat yang berbeda. Pergeseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padanan kata, atau sama waktu.

Pada pemberian nama ini terjadi pada daerah yang berbeda oleh pengaruh pemakaian kosa kata untuk menyatakan sesuatu hal misalnya, untuk menyatakan keheranan di daerah Toba Samosir diucapkan dengan kosakata ‗bah‘, di daerah Humbang Hasundutan diucapkan dengan kata ‗boh‘ dan di

daerah Samosir diucapkan dengan kata ‗doh‘. Pengucapan yang berbeda

dalam suatu daerah termasuk suatu variasi bahasa yang dianggap unik dan membedakan.

2) Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya, kata / porngis/ ‗semut‘dan /porngis/ untuk menyatakan ‗berisi penuh‘ pada padi.

Pemakaian kata ‗porngis‘ adalah pemakaian kata yang melihat terhadap lokasi

atau situasi bicara. Kata ‗porngis‘ bisa berarti semut dan padi yang berisi

(8)

2.2.3 Perbedaan Morfologi

Perbedaan morfologis dibatasi sistem tata bahasa yang bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang berkerabat, wujud fonetis, daya rasa, dan sejumlah faktor lainnya (Guiraud, dalam Ayat Rohaedi, 1983:5).

Perubahan bahasa yang paling mudah diperhatikan adalah pada bidang kosakata. Perubahan kosakata bisa bertambah dengan masuknya kosakata baru dari bahasa lain dan bisa juga berkurang karena tidak dipakainya kosakata tersebut ataupun kalah bersaing dengan bahasa yang baru. Misalnya bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:edisi IV) memiliki sekitar 91.000 kosakata (dalam kamus Poerwadarminta hanya terdapat 23.000 kosakata) adalah juga berkat tambahan berbagai sumber, termasuk bahasa- bahasa asing dan bahasa-bahasa Nusantara. Peminjaman dan penyerapan itu berkaitan dengan perubahan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahkan perubahan lingkungan. Kata-kata yang diterima dari bahasa lain disebut kata pinjaman atau kata serapan. Proses penyerapan atau peminjaman ini yang dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya, tetapi ada juga melalui bahasa lain.

2.2.4 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata

(9)

berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan dalam peta bahasa (Dubois, 1973:270). Garis watas kata itu kadang disebut heteroglos (Kurath, 1972:24). Menurut Nababan, (1993:19) isoglos merupakan garis yang menghubungkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisahkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang bebeda pada bidang fonologi, morfologi, sintaksis dan/atau leksis. Kridalaksana, (2008 :97) mendefinisikan isoglos sebagai garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa.

Lauder (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada dasarnya merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang dilalui garis-garis tersebut. Gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus dibuat watas kata yang merangkum segala segi kebahasaan (fonologi, semantik, leksikal, dan sintaksis).

Chambers dan Trudgill, (2004:89) menyatakan, isoglos merupakan sebuah garis penanda yang membatasi antara dua daerah yang berbeda pada unsur-unsur lingusitik (misalnya pada unsur leksikal, atau pengucapan pada kata-kata tertentu).

(10)

Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa garis isoglos A membedakan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan lambang ∆ dengan daerah-daerah

yang menggunakan lambang 0. Kridalaksana, (2008:34) berkas isoglos atau bundle of isogloses merupakan gabungan dari beberapa isoglos. Menurut Mahsun, (2006:14) berkas isoglos merupakan sebuah metode pemilah isolek sebagai dialek atau subdialek selain metode dialektometri. Metode ini dapat memberi gambaran secara visual mengenai daerah-derah pengamatan yang termasuk ke dalam kelompok dialek atau subdialek tertentu.

Lauder, (2002:39) menjelaskan bahwa apabila puluhan atau ratusan peta bahasa yang sudah dibubuhi isoglos ―ditumpuk‖ menjadi satu, maka akan menjadi sebuah berkas isoglos. Alur garis-garis berkas isoglos yang ―dominan‖ merupakan alat bantu untuk menganalisis dan menginterpretasikan distribusi kebahasaan secara spasial.

2.2.5 Dialektometri

Dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut.

Dialektometri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh ahli ilmu bahasa E. Bagby Atwood pada tahun 1995, sedangkan istilah dialectometrie, diperkenalkan oleh Jean Seguy dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri dans l’atlas Linguistique de la Gascogne. Teori itu kemudian dikembangkan oleh

(11)

Menurut Revier (1975:424) dalam Mahsun (1995:118) dialektometri merupakan ukuran statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari daerah pengamatan.

Kajian dalam geografi dialek dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:

1) mengumpulkan kosakata dasar bahasa-bahasa yang akan diteliti dengan menggunakan suatu daftar kosakata,

2) memisahkan morfem-morfem terikat dari morfem-morfem bebas (morfem-morfem terikat tidak dianalisis),

3) mengeluarkan kata-kata jadian dan pinjaman, 4) mendaftarkan ragam dialek bahasa yang diteliti,

5) menentukan variasi unsur kosakata bahasa yang diteliti dengan rumus dialektometri, dan

6) membuat pemetaan variasi dialek bahasa yang diteliti.

(12)

% dianggap tidak ada perbedaan. Perbedaan bidang fonologi, 17% ke atas dianggap perbedaan bahasa, 12-16% dianggap perbedaaan dialek, 8-11% dianggap perbedaan subdialek, 4-7% dianggap perbedaan wicara, dan 0-3% dianggap tidak ada perbedaan ( Guiter dalam Mahsun 1995).

Penghitungan dialektometri dilakukan untuk menentukan tingkat perbedaan dan persamaaan antarabahasa, dialek atau subdialek. Usaha untuk menemukan cara pemilahan bahasa masih terus dilakukan, namun sejauh ini nampaknya dialektometri dianggap masih mampu melakukan pemilahan bahasa secara objektif.

Rumus yang dipakai untuk penghitungan adalah rumus yang diajukan oleh Séguy-Guiter yaitu:

s = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = Jumlah peta yang dibandingkan

d = Jarak kosa kata dalam %

Sebagai contoh, dengan memperhitungkan jumlah beda pemakaian kosakata di satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi dengan jumlah nyata banyaknya peta yang dibandingkan, diperoleh persentasi jarak kosakata di antara kedua titik pengamatan itu.

(13)

Untuk menghitung dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan ketentuan-ketentuan:

1) Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi;

2) Setiap daerah yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis, sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya; dan

3) Garis-garis segitiga pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Pilih salah satu kemungkinan saja, dan sebaliknya dipilih yang berdasarkan letaknya lebih dekat satu sama lain.

Selanjutnya, penerapan dialektometri baik dengan segitiga antardaerah pengamatan maupun dengan permutasian antar daerah pengamatan dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum.

1) Apabila pada daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan, maka perbandingan itu dianggap tidak ada;

2) Apabila di daerah pengamatan yang diperbandingkan itu, salah satu di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka dianggap ada perbedaan;

(14)

4) Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan fonologi , morfologi yang muncul harus dikesampingkan; dan

5) Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi ‖polygons de Thiessen‖ pada peta segitiga dialektometri.

6) Perbedaan kriteria persentase yang digunakan di daerah pengamatan sebagai kelompok bahasa, dialek, subdialek yang berbeda untuk bidang fonologi dengan bidang leksikon. Persentasi untuk bidang fonologi lebih kecil dibandingkan dengan persentase di bidang leksikon (Mahsun:1995). Menurut Guiter (1973), kecilnya persentasi untuk bidang fonologi itu dikarenakan satu perbedaan pada bidang fonologi dapat terefleksi pada perbedaan beberapa bentuk untuk beberapa makna.

2.2.6 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebahasaan atau pemetaan maupun hubungan kekerabatan bahasa dapat disampaikan berikut ini.

Girard, D dan Larmouth, D, (1987) dari university of Wisconisin Green Bay melakukan penelitian dialektologi dengan fokus “ Log-linear Statistikal Model: Explaining the Dynamics of Dialect Diffusion‖yaitu dengan cara menentukan

bahwa dinamika difusi dialek secara signifikan adalah juga sosial dengan menggunakan log linear analysis.

(15)

Danie, (1991) tentang Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut menggunakan 600 kosakata, 200 kosakata diantaranya terdapat dalam daftar kata Swadesh yang dihimpun dari 61 daerah pengamatan. Peneliti menggunakan metode dialektometri untuk pengelompokan antardaerah pengamatan yang dilandasi persentase kekognatan leksikal yang didukung variasi fonologi. Dengan cara tersebut akan diketahui persentase kekognatan leksikal. Untuk lebih jelas, misalnya dari penghitungan dialektometri diperoleh persentase perbedaan leksikal 45%, maka persentase kekognatan dapat ditentukan dengan cara 100% - 45% = 55%. Ada yang menarik dari kerangka konseptual yang diusulkannya, yaitu penghitungan persentase persamaan leksikal melalui metode dialektometri. Padahal, secara konseptual metodologis, dialektometri bukan mengidendentifikasi persamaan kebahasaan tetapi perbedaan unsur kebahasaan (leksikal).

(16)

Mahsun, (1994) dengan judul penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumbawa, menemukan bahasa Sumbawa terdiri dari empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh meliputi daerah pengamatan 3,4,6; dialek Taliwang melipiti daerah pengamatan 7,8,9,10,11, dan 12; dialek Togo terdapat pada daerah pengamatan 1,2,5,23,dan 25;serta dialek Sumba Besar meliputi daerah pengamatan 13-22,24,26-30. Keempat dialek mengalami dua fase historis, yaitu fase pertama dimulai dengan pecahnya prabahasa Sumbawa ke dalam dua dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo pada satu pihak serta dialek Sumba Besar dalam pihak lainnya. Kemudian, fase kedua adalah terpisahnya satu kelompok dialek Jereweh, dialek Taliwang, dan dialek Tongo. Dengan demikian, dialek Sumbawa Besar memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap ketiga dialek Sumbawa lainnya.

Sibarani dan Hanafiah, (2000) melakukan penelitian dengan judul ‖ Geografi Dialek Bahasa Mandailing‖, penelitian tersebut memfokuskan pada

variasi unsur kosakata bahasa Mandailing dengan pemetaan variasi dialek serta penafsiran peta dialek bahasa Mandailing. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa Mandailing masih tergolong dalam perbedaan dialek karena memiliki 53,13% perbedaan leksikal. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan data bahwa dari 495 kosakata yang diajukan terdapat perbedaan sebanyak 263 kosakata.

(17)

Dalam kedua dialek tersebut banyak ditemukan leksikon bahasa Jawa Kuno yang masih dipergunakan dan diperthankan penuturnya sampai saat ini. Selain itu, bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan ternyata bersentuhan dan dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti bahasa Madura,bahasa Bali, dan bahasa Melayu. Hal itu terbukti dari beberapa bentuk dan pola serapan dari bahasa- bahasa tersebut yang digunakan di daerah pengamatan. Selain itu, dikatakan bahwa daerah Tengger merupakan daerah cenderung terisolasi dan daerah inovatif meliputi subdialek Sidoarjo, Rowo Gempol, dan Dialek Osing.

Putra, (2007) dengan judul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi hasil penelitian ini menunjukkan Dialek Bahasa di Pulau Sumba dapat dikelompokkan kedalam lima dialek, yaitu dialek Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dialek Waijewa-Louli, dialek Kodi, dan dialek Lamboya. Dialek dan subdialek Bahasa Sumba di Pulau Sumba ini menerapkan pengelompokan bahasa, yaitu menggunakan berkas isoglos, penghitungan dialektometri (leksikon dan fonologis), penghitungan dialektometi lesikal dan fonologis serta perhitungan permutasi.

(18)

Sembiring, (2009) dalam disertasinya yang berjudul Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat melakukan penelitian pada variasi ujaran antarpenuturnya disebabkan karena adanya perbedaan geografi. Penelitian dilakukankan dengan menggunakan 560 kosakata. Dua ratus kata diantaranya termasuk dalam daftar Swadesh dikumpulkan dari 18 daerah pengamatan dari 3 kabupaten. Peneliti melakukan penghitungan dialektometri pada perbedaan fonologis dan leksikal. Dengan penerapan metode dialektometri tersebut menghasilkan tiga dialek, yaitu Dialek Karo Singalor Lau dengan daerah pemakaiannya di Kecamatan Juhar, dan Lau Baleng. Dialek Karo Julu daerah pemakaiannya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pemakaiannya di kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini mendeskripsikan sebaran wilayah tutur bahasa Karo, serta rekonstruksi fonem vokal dan konsonan antar dialek Bahasa Karo.

(19)

2.2.7 Kerangka Teori

Dialektologi

Dialektologi Struktural

Dialek Isogolos Beda Wicara

Metode Pengumpulan Data

Metode Wawancara Metode Simak Metode Cakap

Metode Analisis Data

Metode Padan Berkas Isoglos Metode Dialektometri

Pola Variasi Peta Pola Variasi Variasi Bahasa

Pemetaan Variasi Bahasa Batak Toba

(20)

Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa, kerangka Teori yang digunakan dalam penelitian dialektologi ini mencakup dialektologi struktural. Dalam dialektologi struktural akan memberikan pemahaman tentang dialek, isoglos dan beda wicara. Dalam hal ini, untuk mengumpulkan data menggunakan metode wawancara, metode simak, dan metode cakap. Penggunaan ketiga metode di atas, sangat berguna dan menguntungkan dalam mengumpulkan data dari informan karena berhubungan langsung dengan penulis dan penulis lebih memahami makna kosakata yang di kumpulkan.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data dialektometri dengan menggunakan rumus Seguy dengan rumus S/n x 100%. Dimana S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain, n= jumlah peta yang dibandingkan, dan d= jarak kosakata dalam %.

Selain itu, metode padan dan berkas isoglos digunakan untuk membuktikan perbedaan dan bentuk peta dialek atau bahasa. Dengan demikian akan jelaslah terbukti apakah ada variasi bahasa, pola variasi dan peta pola variasi dalam Bahasa Batak Toba.

Gambar

Gambar 1: Garis Isoglos

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dari daftar kosa kata yang diteliti terdapat 74 variasi leksikal yang digunakan di tiga kecamatan di kabupaten samosir dan 74 variasi

Berdasarkan hasil perhitungan dialektometri, bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri atas dua dialek, yaitu Dialek Humbang Hasundutan Utara ( desa Sionom

Berdasarkan hasil perhitungan dialektometri, bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri atas dua dialek, yaitu Dialek Humbang Hasundutan Utara ( desa Sionom

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia..

Beliau memberi batasan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam- ragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang

bahasa Batak Toba yaitu di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir,. Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten

Universitas Sumatera Utara... Universitas

Dialektologi “ilmu tentang dialek” adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan bahasa yang secara sistematis menangani berbagai kajian yang berkenaan dengan dialek atau