• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) dan Cystatin C Serum Terhadap Deteksi Cedera Ginjal Akut pada Pasien Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) dan Cystatin C Serum Terhadap Deteksi Cedera Ginjal Akut pada Pasien Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Ginjal Akut (CGA)

2.1.1 Epidemiologi

CGA di UPI sering dijumpai dan insidennya akhir-akhir ini meningkat yang berhubungan dengan peningkatan yang substansial dalam morbiditas dan mortalitas. CGA terjadi pada sekitar 7% dari seluruh pasien rawat inap dan sampai dengan 36% - 67% dari pasien kritis tergantung pada definisi yang digunakan. Berdasarkan studi pada lebih dari 75.000 orang dewasa dengan sakit kritis, CGA yang lebih parah terjadi pada 4% sampai 25% dari seluruh pasien yang masuk UPI. Rata-rata, 5% sampai 6% dari pasien UPI dengan CGA memerlukan terapi pengganti ginjal (TPG). Dalam sebuah survei terbaru yang dilakukan di 10 unit perawatan intensif (UPI) di Italia melalui pengumpulan data web based, menunjukkan bahwa CGA memiliki tingkat mortalitas yang tinggi di UPI (28,8% vs CGA 8,1%) dan lama rawatan di ICU yang panjang (median 7 hari vs non-CGA 3 hari). Menurut survei ini, hampir dua pertiga dari kasus non-CGA didiagnosis dalam waktu 24 jam masuk UPI. Sekitar 12% dari pasien CGA diobati dengan terapi pengganti ginjal (TPG) di UPI. Terapi pengganti ginjal dimulai rata-rata pada 2 hari setelah masuk UPI. 60% dari pasien CGA mengalami pemulihan fungsi ginjal lengkap, 13,5% mengalami pemulihan ginjal parsial, sementara sekitar30% tidak mengalami pemulihan fungsi ginjal pada saat kematian atau saat keluar ICU. (Dennen, 2010) (Piccinni,2011)

(2)

mencakup pasien dengan CGA yang dirawat di unit perawatan intensif pada 5 pusat akademik di seluruh Amerika Serikat. Selama periode 31 bulan, dilakukan evaluasi terhadap 1.243 pasien dan akhirnya sejumlah 618 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Pada penilitian ini CGA didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum ≥ 0.5mg/dl (pada kreatinin awal <1.5mg/dl) atau naik ≥ 1.0mg/dl (pada kreatinin awal 1.5 – 5mg/dl). Kematian mencapai 37%, dan 64% pasien membutuhkan terapi pengganti ginjal. Apabila perjalanan penyakit ginjal menjadi kronis (penyakit ginjal Kronis, PGK), angka kematian menjadi lebih rendah dibandingkan tanpa PGK (31% vs 41%, P=0,03), hasil yang mungkin mencerminkan pelaksanaan strategi profilaksis (misalnya meningkatkan hidrasi, menghindari obat nefrotoksik) yang bertujuan untuk meminimalkan risiko bertambah buruknya fungsi ginjal pada pasien dengan PGK dibandingkan dengan mereka tanpa PGK. (Mehta, 2004)

2.1.2 Definisi

(3)

Galen

ADQI = Acute Dialysis Quality Initiative, AKI = acute kidney injury, ARF = acute renal failure

Gambar 2.1 Sejarah Cedera Ginjal Akut. (Kellum, 2010)

(4)

loss dan ESRD, didefinisikan berdasarkan berapa lama hilangnya fungsi ginjal. (Bellomo, 2004) (Herget-Rosenthal, 2004)

Gambar 2.2 Kriteria RIFLE

(5)

produksi urin (oliguria <0,5 ml/kg/jam untuk >6jam), yang pada klasifikasi RIFLE dimasukkan dalam Risk menjadi stadium 1 pada AKIN, dan juga mempertimbangkan peningkatan kreatinin serum ≥0,3mg/dl (≥ 26,4ìmol/l), klasifikasi RIFLE Injury menjadi stadium 2 dan Failure menjadi stadium 3, termasuk pasien yang memerlukan terapi pengganti ginjal terlepas dari stadium mereka berada pada saat terapi pengganti ginjal. Dua kelas hasil luaran yaitu loss dan ESRD dihapus pada klasifikasi AKIN. (Mehta, 2007)

Modifikasi ini didasarkan pada bukti-bukti bahwa sedikit saja peningkatan kreatinin serum akan berhubungan dengan hasil luaran yang lebih buruk, dan variabilitas yang melekat dalam memulai terapi pengganti ginjal dan melekat pada sumber daya dalam populasi dan negara yang berbeda. Meskipun kriteria AKIN kemungkinan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih besar, saat ini belum diketahui apakah ada keuntungan dilihat dengan satu pendekatan terhadap definisi dan klasifikasi dibandingkan lainnya.

Tabel 2.1 Klasifikasi AKIN(Mehta, 2007)

(6)

The 2011 Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury (AKI) bertujuan untuk membantu praktisi merawat orang dewasa dan anak-anak yang berisiko CGA atau dengan CGA, termasuk cedera ginjal akut yang disebabkan obat kontras (Contrast Induced-Acute Kidney Injury). Definisi dan stadium AKI didasarkan pada Risiko (Risk), Cedera (Injury), Kegagalan (Failure), Hilang (Loss), penyakit ginjal tahap akhir/End-Stage Renal Disease (RIFLE) dan kriteria Acute Kidney Injury Network (AKIN) dan studi tentang hubungan risiko.(Kellum, 2012)

Stage Serum creatinine Urine Output

1 1.5-1.9 times baseline OR

≥0.3 mg/dl (≥26.5 μmol/l) increase

<0.5 ml/kg/h for 6-12 hours

2 2.0-2.9 times baseline <0.5 ml/kg/h for

(7)

dirawat di rumah sakit pendidikan selama 424 jam selama periode 3 tahun. Para penulis menggunakan database laboratorium elektronik untuk mengklasifikasikan pasien dalam RIFLE-R, I, dan F dan mengikuti hasil akhir pasien baik keluar dari rumah sakit atau meninggal. Hampir 10% dari pasien mencapai maksimum RIFLE-R, 5% I, dan 3,5% F. Ada peningkatan yang hampir linier antara mortalitas rumah sakit dengan meningkatnya kelas RIFLE, dengan pasien yang memiliki tingkat mortalitas lebih dari tiga kali lebih besar dibandingkan pasien tanpa CGA. Pasien kelas I memiliki tingkat mortalitas dua kali lebih besar daripada kelas R dan pasien kelas F memiliki tingkat mortalitas 10 kali lebih besar dari pasien rawat inap tanpa CGA. (Uchino, 2006)

Para peneliti melakukan analisis regresi logistik multivariat untuk menguji apakah klasifikasi RIFLE adalah prediktor independen kematian di rumah sakit. Mereka menemukan bahwa kelas R membawa rasio odds kematian di rumah sakit sebesar 2,5, I sebesar 5,4, dan F sebesar 10.1. Ali dkk. Mempelajari kejadian CGA di Skotlandia Utara, basis populasi geografis dari 523390. Kejadian CGA adalah 2147 per juta penduduk. Sepsis merupakan faktor pemicu pada 47% pasien. Klasifikasi RIFLE itu berguna untuk memprediksi pemulihan fungsi ginjal (P <0,001), persyaratan untuk TPG(P <0,001), lama tinggal di rumah sakit (P <0,001), dan mortalitas di rumah sakit (P =0,035). Meski tak lagi signifikan secara statistik, subyek dengan CGA memiliki angka kematian tinggi pada 3 dan 6 bulan. (Ali, 2007)

(8)

epidemiologi dan prediktif pada 5.383 pasien sakit kritis. Mereka menemukan bahwa CGA terjadi pada 67% dari total pasien dengan pembagian 12% RIFLE kelas 'R', 27% pada RIFLE kelas 'I', dan 28% RIFLE kelas'F'. (Kellum, 2010)

Dari yang 1.510 pasien yang mencapai kelas'R', 56% berkembang menjadi salah satu kelas 'I' atau 'F'.Pasien dengan skor maksimum'R' memiliki angka kematian sebesar 8,8%, dibandingkan dengan 11,4% untuk 'I' dan 26,3% untuk 'F'. Disisi lain, pasien yang tidak memiliki bukti disfungsi ginjal memiliki angka kematian sebesar 5,5%. Selain itu, maksimum kelas RIFLE'I' (hazard rasio1,4) dan maksimum kelas RIFLE 'F' (hazard rasio 2,7) adalah prediktor independen kematian rumah sakit setelah mengontrol variabel lain yang dikenal untuk memprediksi hasil pada pasien sakit kritis. Temuan ini penting karena mereka melibatkan kohort besar pada pasien sakit kritis yang heterogen. Mereka mengunggapkan bahwa kejadian CGA jauh lebih besar dari yang telah dilaporkan sebelumnya. Klasifikasi RIFLE juga memungkinkan bagi para peneliti untuk menggambarkan perkembangan disfungsi ginjal dari waktu ke waktu. Dari catatan, lebih dari50% dari pasien berkembang menjadi bentuk yang lebih parah dari gangguan ginjal (RIFLE kelas 'I' atau 'F') masing-masing membawa peningkatan independen pada risiko kematian. (Abosaif, 2005)

2.1.3 Patofisiologi

(9)

epitel ginjal digambarkan secara skematis dalam gambar 2.1-3. Cedera mengakibatkan dengan cepat hilangnya integritas cytoskeletal dan polaritas sel. dijumpai pelepasan daribrush border tubulus proksimal, hilangnya polaritas dengan mislokasi dari molekul adesi dan protein membran lainnya seperti Na+K+ATPase dan β-integrin, serta apoptosis dan nekrosis. (Zuk, 1998) (Thadhani, 1996)

(10)
(11)

Gambar 2.4 Perubahan morfologi pada tulus proksimal (Schrier, 2004)

(12)

oksidan. Cedera oksidan dapat memicu menurunnya eNOS dan vasodilator prostaglandin dan juga meningkatkan endotelin yang hal-hal tersebut memperbesar terjadinya vasokontriksi vakular ginjal. (Schrier,2004)

Gambar 2.5 Efek vaskular pada cedera ginjal akut(Piccini, 2011)

2.1.4 Azotemia Pra-renal.

(13)

cedera ginjal histopatologi. Dengan demikian, istilah ini digunakan untuk membedakan cedera ginjal akut 'fungsional' dari 'struktural', di mana istilah cedera ginjal struktural diambil untuk menunjukkan adanya nekrosis tubular akut (NTA).Cedera ginjal akut pra-renal atau cedera ginjal akut fungsional biasanya timbul sebagai respon fisiologis untuk mengurangi volume"efektif" ekstraseluler, yang diartikan sebagai menurunnya stimulasi reseptor volume dan meningkatnya aktivitas adrenergik, dan bisa menyertai hilangnya volume aktual, gagal jantung kongestif, sirosis, nefrosis, atau sepsis (Gambar 1). Pertahanan utama terhadap penurunan volume efektif terjadi pada tingkat reabsorpsi tubular. Kompensasi awal ini melibatkan peningkatan aktifitas adrenergik dan angiotensin II serta meningkatnya pengaruh aldosteron pada tubulus, sehingga hasilnya terjadi peningkatan reabsorpsi tubular proksimal dan distal. Penurunan berikutnya pada laju filtrasi glomerulus, muncul ketika pertahanan utama tidak adekuat dan dimediasi sebagian besar oleh aktivasi lebih lanjut dari sistem neurohumoral yang sama yang memodulasi reabsorpsi tubular. Penurunan sekunder pada laju filtrasi glomerulus dapat dianggap sebagai tahap dekompensasi ginjal.(Aydogdu, 2013) (Blantz, 1998)

(14)

2.1.5 Nekrosis Tubular Akut (NTA).

Nekrosis Tubular Akut (NTA) adalah sindrom gagal ginjal intrinsik sekunder dari hasil iskemik atau toksik. Bila ginjal mamalia dikenakan iskemia berkepanjangan diikuti dengan reperfusi, ada nekrosis luas menghancurkan tubulus proksimal dari garis luar dari medulla, dan proximal convoluted tubules menjadi nekrotik juga.Keterlibatan nefron distal dalam hewan percobaan minimal, kecuali oksigenasi meduler secara khusus ditargetkan. Meskipun hewan ini berkembang menjadi CGAyang parah, seperti dicatat oleh Rosen dan Heyman, tidak banyak lagi menyerupai sindrom klinis pada manusia. Memang benar para penulis menunjukkan bahwa istilah nekrosis tubular akut tidak secara akurat mencerminkan perubahan morfologi dalam kondisi ini. Sebaliknya, istilah NTA digunakan untuk menggambarkan situasi klinis di mana terdapat perfusi ginjal yang cukup untuk sebagian besar menjaga integritas tubular, tetapi tidak untuk mempertahankan filtrasi glomerulus. (Heyman, 1992) (Spahillari, 2012)

Ketika mekanisme patogenik yang tepat tidak diketahui, hipotensi sistemik, vasokonstriktor (misalnya, renin-angiotensin-aldosteron dan endotelin), meningkatnya sintesis asam nitrat dengan peningkatan resultan dioksidanitrat, sitokin (misalnya, TNF-alpha dan interleukin [IL] -1) ,endotoksin, dan radikal bebas telah dipelajari dan mungkin berkontribusi. Nekrosistubularakut (NTA) ditandai oleh penurunan mendadak fungsi ginjal. Tahapan klinisnya dapat dibagi menjadi 3 :

Fase Inisiasi : cedera pada sel-sel epitel tubular yang disebabkan oleh iskemia atau nephrotoxins berkembang namun belum terjadi. Ketika disfungsi berkembang, kematian sel dan ablasi dari membran basal menyebabkan nekrosis tubular yang mengurangi volume darah dan perfusi ginjal. Ada penurunan akut pada laju filtrasi glomerulus ke tingkat yang rendah, dengan peningkatan mendadak dalam kreatinin serum dan konsentrasi urea nitrogen darah. NTAberpotensi dicegah selama periode ini.

(15)

glomerulus pada 5 sampai 10mL/menit. Karena laju filtrasi rendah, kreatinin dan urea terus meningkat dan oliguria (volume urin berkurang) mungkin dijumpai. Penurunan kemampuan nefron 'untuk menghilangkan hasil limbah dengan azotaemia, retensi cairan, ketidakseimbangan elektrolit, dan asidosis metabolik. Fase ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai berbulan-bulan. Oliguria dan fase pemeliharaan berkepanjangan adalah tanda-tanda prognosis ginjal yang buruk Fase Pemulihan : pasien memulihkan fungsi ginjal melalui perbaikan dan regenerasi jaringan ginjal. Faktor pertumbuhan dihasilkan yang membantu dalam perbaikan dengan mengembangkan proliferasi sel tubulus ginjal. Fungsi Tubular pulih, dan ditandai oleh peningkatan volumeurin (jika oliguria hadir selama fase pemeliharaan) dan oleh penurunan bertahap dalam urea dan kreatinin serum.

2.1.6 Faktor Risiko Dan Penyebab Cedera Ginjal Akut

Ginjal adalah organ yang cukup kuat yang dapat mentolerir paparan beberapa faktor yang dapat menyebabkan CGA tanpa menderita perubahan struktural atau fungsional yang signifikan. Untuk alasan ini, setiap perubahan akut pada fungsi ginjal sering menyebabkan gangguan sistemik dan memprediksi prognosis yang buruk. Risiko untuk CGA meningkat oleh paparan terhadap faktor yang menyebabkan CGA atau adanya faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap CGA. Faktor-faktor yang menentukan kerentanan cedera ginjal termasuk dehidrasi, karakteristik demografik tertentu dan predisposisi genetik, komorbiditas akut dan kronis. Ini adalah interaksi antara kerentanan dengan jenis dan tingkat paparan faktor penyebab CGA yang menentukan risiko terjadinya CGA. Pada pasien sakit kritis, telah diidentifikasi beberapa faktor risiko untuk berkembangnya CGA. Demografi dan faktor risiko klinis yang telah diidentifikasi untuk berkembangnya CGA adalah diabetes, sirosis/gagal hati, gagal jantung kongestif, penyakit ginjal kronis, deplesi volume, sepsis, waktu cardiopulmonary bypass, dan paparan nefrotoksin.(de Mendonca, 2000) (Yegenaga, 2004)

(16)

CGA dan kerentanannya terhadap CGA. Namun, peluang berkembangnya AKI setelah paparan faktor-faktor penyebab CGA yang sama, berbeda antara individu yang berbeda. Hal ini disebabkan sejumlah faktor kerentanan yang bervariasi luas dari individu ke individu. Pemahaman kami tentang faktor kerentanan didasarkan pada pengamatan banyak studi yang membahas pengaturan yang berbeda berkaitan dengan jenis, keparahan, durasi, dan banyaknya faktor penyebab CGA. (Heyman, 1992)

Cause of AKI: exposures and susceptibilities for non-spesific AKI

Exposures Susceptibilities

Sepsis Dehydration or volume depletion

Circulatory shock Female gender

Burns Black race

Trauma Chronic disease

Cardiac surgey (especially with CPB)

Dibetes mellitus

Nephrotoxic drugs Cancer

Radiocontrast agents Anemia

Poisonous plants and animal

Tabel 2.3 Stratifikasi risiko cedera ginjal akut(Kellum, 2012)

(17)

sindrom kompartemen abdomen, rhabdomiolisis) dan terjadi sampai dengan 31% dari pasien trauma dewasa.(Vivino, 1998) (De Laet, 2007) (Lassnigg, 2004)

Ginjal adalah sensor awal hipertensi intra-abdominal dan tekanan kompartemen abdomen ≥12mmHg dapat berhubungan dengan CGA. Suatu tekanan intraabdominal berkelanjutan >20mmHg dalam hubungan dengan disfungsi organ baru akan dikaitkan dengan CGA pada >30% kasus. Rabdomiolisis menyumbang 28% dari trauma yang berhubungan CGA yang membutuhkan dialisis. Obat-obatan adalah penyebab yang juga sering dari CGA dan, menurut Uchino dkk, menyumbang hampir 20% dari semua kasus CGA di UPI.Mekanisme obat menyebabkan CGA adalah bervariasi dan termasuk nefritis interstitial akut, toksisitas tubular langsung (misalnya, aminoglikosida), dan gangguan hemodinamik (misalnya, agen antiinflamasi nonsteroidal, angiotensin-converting enzyme inhibitor). Nefritis interstisial akut kemungkinan sering merupakan etiologi CGA yang disebabkan obat-obatan yang jarang dikenali di UPI karena kurangnya temuan klinis di UPI. (Lassnig, 2004) (De Laet, 2007)

2.2 Penanda Biologis Cedera Ginjal Akut

2.2.1 Kreatinin sebagai penanda cedera ginjal akut

(18)

rendah, peningkatan ini terutama terkait terhadap degradasi kreatinin oleh bakteri usus dan dapat dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik. Untuk alasan ini, hubungan antara tingkat serum kreatinin GFR dan bervariasi secara substansial antara individu dan dari waktu ke waktu. Penggunaan dari berbagai referensi untuk serum kreatinin, untuk membedakan antara LFG normal dan abnormal dapat menyesatkan. (De Laet, 2007) (Stevens, 2005) (Levey, 1990) (Berglund, 1975) (Jones, 1998)

(19)

2.2.2 Kemunculan Penanda Biologis Baru Dalam Mendiagnosis CGA

Seperti yang telah disebutkan diatas kreatinin serum memiliki banyak keterbatasan dalam mendiagnosa CGA, terutama dalam ruang lingkup unit perawatan intensif sehingga kurang sensitif untuk menggambarkan tingkat disfungsi ginjal pada pasien sakit kritis. Munculnya penanda biologis baru dalam lingkup cedera ginjal akut sangat membantu para klinisi untuk dapat mendiagnosa CGA dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Kurangnya biomarker awal CGA pada manusiahingga saat ini telah mengurangi kemampuan kita untuk memulai terapi yang potensial efektif pada waktu yang tepat. Memang, penyelidikan manusia kini telah jelas menetapkan bahwa intervensi lebih awal meningkatkan kemungkinan perbaikan disfungsi ginjal. Kurangnya biomarker awal berdampak negatif pada sejumlah percobaan klinis yang menyelidiki terapi yang sangat menjanjikan untuk CGA. Selain membantu dalam diagnosis dini dan prediksi, biomarker dapat memberikan beberapa tujuan tambahan di CGA.

Dengan demikian, biomarker juga diperlukan untuk: (a) membedakan subtipe AKI (pra-renal, intrinsik renal, atau post-renal), (b) Mengidentifikasi etiologi CGA (iskemia, racun, sepsis, atau kombinasi); (c) membedakan CGA dari bentuk-bentuk lain dari penyakit ginjal akut (infeksi saluran kemih, glomerulonefritis, nefritis interstitial), (d) memprediksi keparahan CGA (stratifikasi risiko untuk ramalan serta untuk memandu terapi), (e) memantau jalannya CGA, dan (f) pemantauan respon terhadap intervensi CGA. Karena keterbatasan alat tradisional, calon biomarker baru CGA (dibahas secara terpisah) sedang aktif di teliti.(Villa, 2005) ( Schrier, 2004)

(20)

atau respon farmakologi untuk intervensi terapeutik. Selain itu, badan pengawasan obat dan makanan amerika serikat (FDA) menggunakan istilah penanda biologis untuk menggambarkan setiap indikator diagnostik yang dapat diukur dan digunakan untuk menilai risiko atau penyakit. Penanda biologis yang ideal untuk CGA harus terjangkau, cepat dan mudah untuk mengukur, tepat dan akurat, dan dapat menentukan tingkat keparahan disfungsi, khusus untuk ginjal, meningkat ditahap awal disfungsi, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dari sekian banyak penanda biologis baru yang tersedia, terdapat 4 penanda biologis yang saat ini secara luas digunakan para klinisi di seluruh dunia untuk mendeteksi CGA, antara lain Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL), cystatin C, KIM-1 dan interleukin-18. (Park, 2003) (Xu, 2000)

(21)

Gambar 2.7 Kidney injury continuum dan penanda biologis CGA(Vaidya, 2008) Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin

(22)

protein NGAL dengan mudah terdeteksi dalam darah dan urin segera setelah CGA. Temuan ini telah melahirkan sejumlah studi translasi untuk mengevaluasi NGAL sebagai biomarkernovel CGA manusia. Dalam sebuah studi cross-sectional, manusia dewasadi unit perawatan intensif dengan cedera ginjal akut (didefinisikan sebagai dua kali lipat dari kreatinin serum dalam waktu kurang dari 5 hari) sekunder yang disebabkan sepsis, iskemia, atau nephrotoksin menghasilkan peningkatan yang lebih besar dari 10 kali lipat dalam plasma NGAL dan lebih dari peningkatan100 kali lipat dalam NGAL urin melalui Western blotting bila dibandingkan dengan kontrol normal.Baik plasma dan urin NGAL sangat berkorelasi dengan kadar kreatinin serum. Biopsi ginjal pada pasien ini menunjukkan akumulasi intens NGAL imunoreaktif di 50% dari tubulus kortikal. Hasil ini mengindikasikan NGAL sebagai respon luas dan sensitif terhadap CGA pada manusia. (Xu, 2000) (Mishra, 2003) (Mori, 2005) (Villa, 2005)

Kadar NGAL dalam urin dan serum berkorelasi dengan kadar kreatinin serum dan peningkatan kadar NGAL mendahului peningkatan kadar kreatinin serum. Biopsi ginjal pada pasien CGA menunjukkan akumulasi intens NGAL secara imunoreaktif di tubular kortikal, menunjukkan NGAL sebagai indeks sensitif dalam menetapkan CGA. Beberapa studi menunjukkan NGAL sebagai biomarker diagnostik awal CGA, seperti studi pada anak-anak yang telah menjalani operasi jantung elektif, yang kemudian menderita CGA, serum dan tingkat NGAL urin meningkat 10 kali lipat. NGAL juga digunakan sebagai biomarker dalam transplantasi ginjal. Ada korelasi antara intensitas pewarnaan NGAL dan delayed graft function. NGAL juga merupakan penanda biologis prediktif dalam nefrotoksisitas setelah paparan kontras. Karena sifatnya yang sangat prediktif, NGALjuga digunakan dalam studi intervensi seperti penggunaan hydroxyl-ethyl starch di albumin atau gelatin pada lansia untuk mempertahankan fungsi ginjal, hal itu menilai apakah konsentrasi NGAL dalam urin akan menurun.

(23)

sebagai peningkatan 50% kreatinin serum. Kadar NGAL urin pada 2 jam menjalani CPB hampir secara sempurna memprediksi pasien akan berkembang menjadi CGA (AUC-ROC 0,998). NGAL serum lebih inferior daripada NGAL urin untuk identifikasi CGA. Perlu dicatat bahwa 29% dari pasien yang memenuhi syarat dikeluarkan karena penggunaan ibuprofen, ACE inhibitor, gentamisin, atau vankomisin perioperatif. Sebuah studi lanjutan yang lebih besar dari 120 anak (menggunakan kriteria eksklusi yang sama) oleh Dent dkk. menunjukkan bahwa 2 jam pasca operasi serum NGAL adalah prediksi dariCGA (AUC-ROC 0,96) dan berkorelasi dengan perubahan serum kreatinin pasca operasi, durasi AKI, dan lama rawat di rumah sakit. Parikh dkk. Mempelajari NGAL urin pada 53 pasien yang menjalani transplantasi ginjal donor hidup atau meninggal. Kadar NGAL (dinormalisasi untuk konsentrasi kreatinin urin) secara signifikan lebih tinggi pada penerima donor meninggal dengan delayed graft function (DGF) (n = 10, median 3.306ng/mg kreatinin) dibandingkan prompt graft function (n = 20, median 756ng/mg kreatinin). Nilai cut off kreatinin 1.000ng/mg memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 83% untuk identifikasi DGF, AUCROC adalah 0,90. (Mishra, 2005) (Parikh, 2005) (Dent, 2007)

(24)

NGALdapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penyakit ginjal kronis, hipertensi kronis, infeksi sistemik, kondisi peradangan, dan keganasan. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, kadar NGAL berkorelasi dengan keparahan kerusakan ginjal. Ini mungkin menjadi kelemahan untuk penentuan NGAL.(Dent, 2007)

Kidney Injury Molecule-1

KIM-1 adalah glikoprotein membran sel tipe 1 yang berisi 6-sistein menyerupai imunoglobulin. KIM-1 mRNA meningkat lebih tinggi dari gen lain menyusul disfungsi ginjal. Ekspresi gen tersebut meningkat dalam 24-48 jam setelah kejadian iskemik pada tikus. KIM-1 gen dan ekspresi protein yang tidak terdeteksi di ginjal normal. Fungsi KIM-1 pada ginjal adalah untuk membuatsel epitel mengenali dan memfagosit sel-sel mati di ginjal karena iskemia dan menyebabkan obstruksi lumen yang menyebabkan CGA. Sel epitel yang mengalami apoptosis akan menghasilkan phosphatidylserine (PS), yang akan dikenali oleh sel-sel hidupdengan KIM-1 sebagai reseptor fagosit untuk PS, dan akan di fagosit. Dengan demikian,sel epitel dengan KIM-1 bekerja sebagaifagosit semi profesional. KIM-1 sangat spesifik dan sensitif dalam mengidentifikasi zat beracun di tubulus proksimal. Dari spesimen biopsi ginjal pada 6 pasien dengan akut tubular, kadar urin KIM-1 meningkat dalam 12 jam setelah disfungsi ginjal, mendahului pembentukan silinder.(Vaidya, 2008)

(25)

ke-24. Dalam studi kecil kasus-kontrol dari 40 anak menjalani operasi jantung, 20 anak dengan AKI (didefinisikan sebagai peningkatan 50% pada kreatinin serum) dan 20 anak tanpa AKI, kadar KIM-1 urin dengan nyata meningkat, dengan AUC0,83 pada waktu 12 jam. (38) Dengan demikian, KIM-1 merupakan kandidat yang menjanjikan untuk dimasukkan dalam'panel AKI' urin. Keuntungan dari KIM-1 melebihi NGAL adalah bahwa KIM-1 lebih spesifik untuk cedera ginjal iskemik atau nefrotoksik, dan tidak terpengaruh oleh penyakit ginjal kronis atau infeksi saluran kemih. Sangat mungkin bahwa NGAL dan KIM-1 akan muncul sebagai biomarker tandem AKI, dengan NGALyang paling sensitif pada waktu paling awal dan KIM-1 yang memiliki kekhususan signifikan dengan waktu yang sedikit lebih lama dibanding NGAL. (Herget-Rosenthal, 2004) (Villa, 2005) (Schrier, 2004)

Interleukin-18

(26)

sedangkan kadar IL-18 urin meningkat sekitar 6 jam dan memuncak di lebih dari 25 kali lipat pada 12jam setelah operasi (AUC 0,75).(Melnikov, 2001) (Parikh, 2006) (Herget-Rosenthal, 2004)

Studi pada manusia menunjukkan bahwa konsentrasi IL-18 meningkat dalam 24-48jam sebelum CGA berdasarkan kriteria RIFLE. Kadar IL-18 urin berkorelasi dengan tingkat keparahan CGA dan hal ini adalah prediktor untuk CGA dan kematian dalam kelompok heterogen anak-anak dengan penyakit kritis. Kadar IL-18 urin meningkat 2 hari lebih awal, yang mendahului kenaikan kadar kreatinin pada pasien non-sepsis. Kadar IL-18 urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas >90% dalam mendiagnosis CGA. Ini adalah penanda biologis yang menjanjikan untuk dikembangkan karena tes ini cepat, dapat diandalkan, dan terjangkau. Dibandingkan dengan penanda lainnya, IL-18 memiliki keuntungan besar karena dapat diukur dengan cepat dengan metode ELISA. IL-18 juga mungkin merupakan kandidat yang menjanjikan untuk dimasukkan dalam' Panel biomarker CGA ' urin. IL-18 lebih spesifik untuk CGA iskemik, dan sebagian besar tidak terpengaruh oleh nephrotoksin, penyakit ginjal kronis atau infeksi saluran kemih. Sangat mungkin bahwa NGAL dan IL-18 akan muncul sebagai penanda biologis urin sekuensial untuk CGA. (Chung, 2010)

2.2.3 Cystatin C

(27)

20 tahun menunjukkan cystatin C menjadi prediktor laju filtrasi glomerulus yang lebih baik dibandingkan kreatinin. Rosental S dkk (2004) melakukan penelitian pada 85 pasien yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi CGA menggunakan kriteria RIFLE, kreatinin serum dan cystatin C diukur setiap hari. 44 pasien yang mengalami CGA, peningkatan cystatin C (>50% dari baseline) mendahuluinya peningkatan kreatinin sebesar 1,5 hari.(Villa, 2005) (Royakkers, 2011) (Manetti, 2005) (Bjarnadottir, 1995)

Vande Voorde RG dkk (2006) melakukan sebuah studi prospektif membandingkan kemampuan C cystatin serum dan NGAL dalam prediksi CGA setelah operasi jantung. Dari 129 pasien, 41 pasien berkembang menjadi CGA (didefinisikan sebagai peningkatan 50% dalam kreatinin serum) 1-3 hari setelah cardiopulmonary bypass. Dalam kasus CGA, kadar serum NGAL meningkat 2 jam setelah operasi, sedangkan kadar serum cystatin C meningkathanya setelah 12 jam. Baik kadar NGAL dan cystatin C pada 12 jam adalah prediktor independen yang kuat dari CGA, namun NGAL mengungguli cystatin C pada waktu yang lebih awal. Mi Yeon Chung dkk (2010), melakukan penelitian pada 53 pasien sirosis hepatis yang bertujuan mengetahui peran serum cystatin c sebagai faktor prognostik untuk cedera ginjal akut. Di akhir penelitian diperoleh bahwa serum cystatin c dan serum kreatinin merupakan faktor prediktif untuk cedera ginjal akut dengan akurasi diagnostik 0,735 untuk serum cystatin c dan 0,698 untuk serum kreatinin. Dalam analisis multivariat, hanya serum cystatin c yang merupakan faktor risiko independen untuk cedera ginjal akut. Sensitivitas dan spesifisitas serum cystatin c untuk cedera ginjal akut pada kadar >1,23 mg/l adalah 66% dan 86%. Pada kesimpulan didapati bahwa akurasi dalam memprediksi cedera ginjal akut dan mortalitas jangka pendek adalah lebih tinggi pada kadar serum cystatin c >1,23 mg/l daripada serum kretinin pada pasien sirosis hepatis. (Vorde, 2006) (Chung, 2010)

(28)

kreatinin 0,694 dengan 95% CI berbanding AUC untuk cystatin C 0,927 dengan 95% CI). Setengah dari jumlah pasien mengalami disfungsi ginjal akut. Hanya 5 pasien (20%) dari 25 pasien yang mengalami peningkatan serum kreatinin, sedangkan 76% dari jumlah pasien yang mengalami disfungsi ginjal akut terjadi peningkatan kadar serum cystatin c (P = 0,032).15Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Royakkers dkk (2009) yang melakukan penelitian pada 151 pasien di UPI untuk mengevaluasi apakah serum dan urin cystatin c dapat memprediksi cedera ginjal akut lebih awal dan kebutuhan akan terapi pengganti ginjal. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa baik serum maupun urin cystatin c merupakan penanda biologis yang buruk untuk prediksi cedera ginjal akut dan kebutuhan akan terapi pengganti ginjal.(Villa, 2006)

Spahillari dkk (2012), melakukan penelitian pada 1150 pasien yang berisiko tinggi berkembang menjadi cedera ginjal akut setelah operasi jantung. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sensitivitas deteksi cedera ginjal akut dengan menggunakan serum cystatin c dan serum kreatinin. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar serum kreatinin mendeteksi lebih banyak kasus CGA daripada kadar serum cystatin c, 35% pasien terjadi peningkatan ≥25% dari kadar serum kreatinin, sedangkan hanya 23% dari pasien terjadi peningkatan ≥25% dari kadar serum cystatin c, begitu juga pada proporsi peningkatan 50% dan 100%. Kesimpulan penelitian ini adalah kadar serum cystatin c lebih kurang sensitif daripada kadar serum kreatinin dalam mendeteksi cedera ginjal akut pasca operasi jantung. Penelitian yang dilakukan Pauline R. Slort dkk (2012) pada 24 pasien yang menjalani transplantasi ginjal yang bertujuan untuk membandingkan

cystatin C dan kreatinin untuk deteksi disfungsi allograft akut pada anak

memberikan kesimpulan penelitian bahwa cystatin C serum tidak lebih superior

dibanding kreatinin serum untuk deteksi disfungsi allograft akut. (Spahillari,

(29)

2.3 Mengukur laju filtrasi glomerulus

Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah ukuran standar fungsi ginjal dan sangat penting untuk diagnosis dan manajemen penyakit ginjal. LFG diterima sebagai ukuran terbaik untuk menilaifungsi ginjal. Nilai normalnya, berhubungan dengan usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh, kira-kira 130 ml per menit per 1,73m2 pada pria muda dan 120 ml per menit per 1,73m2 pada wanita muda. Dan nilainya menurun seiring bertambahnya usia. LFG yang paling baik dengan sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi diukur melalui bersihan kemih atau plasma dari suatu penanda filtrasi yang ideal seperti insulin atau penanda eksogen alternatif seperti iothalamate, EDTA, asam dietil entriamin penta acetic, daniohexol. Mengukur LFG dengan penggunaan penanda eksogen adalah kompleks, mahal, dan sulit untuk dilakukan dalam praktek klinis.Oleh karena itu pengukuran LFG dengan penanda endogen masih digunakan secara luas saat ini oleh para klinisi dikarenakan kemudahan dan secara biaya jauh lebih murah dibandingkan penanda eksogen. Penanda endogen yang paling sering digunakan untuk mengukur LFG dewasa ini adalah kreatinin. (Wesson, 1969) (Mohanram, 2005)

Terdapat banyak formula saat ini yang dapat mengestimasi laju filtrasi glomerulus melalui pengunaan penanda endogen kreatinin. Beberapa formula tersebut adalah

Bersihan kreatinin urin 24 jam Formula cock-croftgault

Formula Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)

(30)

2.4 Cedera Ginjal Akut Pada Sepsis

Sepsis dan presentasinya yang lebih parah syok sepsis, adalah penyebab utama CGA di Unit Perawatan Intensif(UPI), terhitung hingga 50% dari semua kasus. Kematian akibat sepsis tetap tinggi, terutama bila dikaitkan dengan disfungsi organ seperti CGA (dengan tingkat kematian 20-35%) atau dengan adanya perubahan hemodinamik (rata-rata mortalitas 60%). Patofisiologi CGA pada sepsis sangat kompleks dan multi-faktorial yang mencakup perubahan hemodinamik intrarenal, disfungsi endotel, infiltrasi sel-sel inflamasi di parenkim ginjal, trombosis intra glomerular, apoptosis sel tubular, dan obstruksi tubulus dengan sel nekrotik.Bukti-bukti yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa sepsis yang menyebabkan aktifnya respon imun melibatkan aktivasi mekanisme baik pro maupun anti-inflamasi.Setelah interaksi awal dari tuan rumah (host) dan mikroba, ada aktivasi yang luas dari respon imun bawaan, yang mengkoordinasi respon pertahanan yang melibatkan kedua komponen humoral dan seluler.67Hal ini pada akhirnya menyebabkan sekresi berbagai sitokin, yang paling penting IL-1, TNF-α, dan IL-6, yang dapat berkembang menjadi situasi atau keadaan badai sitokin, ketidak stabilan hemodinamik, dan akhirnya organ disfungsi dan syoksepsis. (Wan, 2008) (Munford, 2001) (Tracey, 1986) (Okusawa, 1988)

(31)

MMP-9 yang memiliki efek antiapoptotik melalui aktivasi cKit. (Tracey, 1986) (Okusawa, 1988) (Monneret, 2008) (Grigorvey, 2008) (De Vriese, 2003) (Rittirsch, 2007) (Sharfuddin, 2009) (Bengatta, 2009)

Vasodilatasi arteri yang berhubungan dengan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (SVR) adalah ciri dasar dari sepsis, dan sampai saat ini, pada umumnya kita percaya CGA karena sepsis terutama disebabkan hipoperfusi dari ginjal. Jika benar, ini akan berimplikasi pada sarana utama renoproteksi pada sepsis adalah restorasi dari aliran darah ginjal (RBF) dan hipoperfusi. Sebagian besar pemahaman tentang aliran darah ginjal (RBF) selama sepsis bergantung pada model binatang. Pada banyak penelitian yang melibatkan hewan, perubahan aliran darah ginjal (RBF) yang diamati bervariasi dari tidak berubah, berkurang, dan meningkat tajam, hal ini menerjemahkan ketidakpastian tentang penerapan hasil penilitian tersebut pada manusia. Pola karakteristik aliran darah ginjal (RBF) pada manusia dengan sepsis, sebagian besar tidak diketahui karena aliran darah ginjal (RBF) tidak dapat diukur secara kontinyu pada manusia, dan bahkan pengukuran intermitennya membutuhkan metode invasif tingkat tinggi. Namun, sekelompok kecil penelitian dimana aliran darah ginjal (RBF) diukur pada pasien dengan sepsis melaporkan bahwa aliran darah ginjal (RBF) menunjukkan nilai normal atau meningkat. (Langenberg, 2005) (Bagshaw, 2007) (Licari, 2007) (Bradley, 1976)

(32)

vasodilatasi ginjal disertai dengan peningkatan aliran darah ginjal (RBF). Meskipun terjadi peningkatan aliran darah ginjal (RBF), bersihan kreatinin menurun secara signifikan, dan serum kreatinin meningkat sekitar empat kali lipat. Melalui pemantauan terhadap tahap pemulihan dan perubahan hemodinamik, kelompok peneliti yang sama menggunakan konsep ini satu langkah lebih jauh. Dalam studi komprehensif, sembilan domba diinstrumentasi untuk terus dilakukan pemantauan hemodinamik sistemik dan aliran darah ginjal (RBF). Sirkulasi hiperdinamik dan normotensi yang diinduksi oleh bakteri (Escherichia Coli) dan pemberian cairan dijumpai terjadinya vasodilatasi ginjal yang signifikan dan meningkatnya aliran darah ginjal (RBF). Meskipun perfusi ginjal dipertahankan dengan baik, laju filtrasi glomerulus (LFG) memburuk. Identik dengan arteriol sistemik yang berkontribusi sekitardua-pertiga dari total resistensi perifer, arteriol aferen dan eferen merupakan regulator yang sangat penting pada perfusi ginjal. Pelebaran kedua arteriol secara serentak (dengan vasodilatasi yang lebih besar pada arteriol efferen daripada arteriol afferen) dapat menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerular dan berikutnya penurunan filtrasi. (Bradley, 1976) (Brenner, 1990) (Parker, 1987) (Langenberg, 2006) (Langenberg, 2007)

(33)

2.5 Definisi Sepsis dan Syok Sepsis

Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun 2016 (tabel 2.5). (Singer, 2016)

Sepsis Kejadian infeksi,yang terlihat atau sangat dicurigai,dengan respon inflamasi sistemik,yang telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda infeksi Syok Sepsis Sepsis berat yang diperumit oleh kegagalan akut

sirkulasi yang ditandai dengan hipotensi arteri secara terus-menerus, meskipun volum resusitasi cukup,dan sebab lainnya yang tidak dapat dijelaskan

(Diambil dari Singer M, Deutschman CS et al,International Sepsis Definitions Conference 2016)

(34)

2.6 Kerangka Teori

Gambar 2.8 Kerangka Teori Sepsis

Anti-inflamasi

Meningkatnya IL-10 Fagositosis tidak efektif Gangguan fungsi imun Terganggunya kemotaksis Limfosit Apoptosis Pro-inflamasi

Aktivasi jalur koagulasi dan komplemen

Aktivasi protease

Pembentukan free radikal Sekresi sitokin (IL-1, IL-6, PAF, TNF-α)

Keterlibatan selular (neutrofil, makrofag,dll)

Serum cystatin C

↓ LFG

Cedera Ginjal Akut Serum NGAL

Mortalitas Disfungsi mitokondrial Apoptosis dan nekrosis Disfungsi endotelial Kebocoran kapiler Trombosis

Oliguria

(35)

2.7 Kerangka Konsep

Gambar 2.9 Kerangka Konsep

= Variabel Bebas

= Variabel Tergantung

Sepsis

NGAL

Cystatin C

Gambar

Gambar 2.1 Sejarah Cedera Ginjal Akut. (Kellum, 2010)
Gambar 2.2 Kriteria RIFLE
Tabel 2.1 Klasifikasi AKIN (Mehta, 2007)
Tabel 2.2 Kriteria KDIGO (Kellum, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

satisfaction of retailers and, on the contrary, poor quality service will cause dissatisfaction; second, service quality has positive influence on trust, which means that good or

bahwa mayoritas responden menyatakan setuju terhadap pernyataan tersebut. Pada pernyataan ketiga , “ Saya berusaha mengkreasikan konsep

Golongan remaja pada hari ini tidak boleh menghabiskan masa dengan melepak dan melakukan perbuatan yang negatif.. 6 Apabila berbincang, ahli-ahli mesyuarat menyuarakan pendapat

pengaruh Karakteristik Wirausaha Terhadap Tingkat Keberhasilan Usaha pada Sentra Usaha Kecil Pengasapan Ikan Di Krobokan Semarang.. Universitas

Penggunaan mulsa plastik secara nyata berpengaruh meningkatkan hasil biji jagung per tanaman, tetapi tumpangsari dengan kacang gude (C. cajan) pada

Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh perencanaan program terhadap efektivitas corporate social responsibility dikarenakan

Bahan: 2 helai kertas lukisan, berus gigi lama, bekas pembancuh warna, warna poster, gunting2. Bidang: Membuat corak dan rekaan Tajuk: Corak

• kemudian kita akan membuat diagram, pie chart, histogram dan lain-lain dari data yang kita miliki dengan langkah :. o untuk pie chart, pilih menu Graph &gt; pie dan akan muncul