Oleh: H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
A. Pendahuluan
Bagi umat beragama, keimanan atau keyakinan merupakan masalah
fundamental dan asasi. Fundamental karena setiap umat beragama harus
memiliki keimanan, dan asasi karena ia menjadi dasar keberagamaan. Oleh
karena itu, dalam konteks kehidupan bernegara, kebebasan beragama dan
berkeyakinan merupakan suatu aspek penting dari Hak Asasi Manusia (HAM)
yang mendapatkan perlindungan hukum.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat),1 secara
tegas dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 2, telah memberikan jaminan kemerdekaan
atau kebebasan masing-masing warga negaranya untuk memeluk agama dan
keyakinannya. Ini berarti bahwa hak asasi manusia Indonesia untuk memiliki
agama dan keyakinan masing-masing mendapatkan jaminan konstitusional.
Akan tetapi, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut
akhir-akhir ini semakin sering dipertanyakan, lebih-lebih setelah terjadi tindak anarkhisme di Parung-tangerang yang menimpa Jama’ah Ahmadiyah tiga tahun yang lalu. Komunitas ini dikepung dan diminta menghentikan kegiatan-kegiatan
mereka. Mereka juga diancam, apabila kegiatannya diteruskan, maka tindakan kekerasan akan diambil. Akhirnya, terpaksa jama’ah Ahmadiyah diungsikan oleh alat negara guna menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja
peristiwa-peristiwa ini menimbulkan serentetan pertanyaan-pertanyaan.
Mengapa orang dicegah untuk mengekspresikan keyakinan mereka, sementara
UUD 1945 sangat jelas menjamin hal itu? Ke mana negara yang mestinya
memberi pengayoman kepada setiap warga negara sebagaimana ditegaskan di
dalam Pembukaan UUD 1945? Mengapa Pemerintah tidak secara tegas
menegakkan hukum bagi mereka yang melakukan tindak anarkhisme tersebut?
Apakah ini berarti pendekatan kekuasaan (machtsstaat) atau politik lebih dominan di bandingkan dengan pendekatan hukum (rechtsstaat)?
Tulisan berikut akan mencoba untuk mengulas kasus tindak anarkisme yang menimpa anggota jamaa’ah Ahmadiyah dalam kaitannya dengan jaminan konstitusi Indonesia bagi asing-masing warga negaranya untuk memeluk agama
dan keyakinannya. Namun demikian, sebelum tulisan ini membahas lebih jauh
tentang pokok persoalan di atas, akan diuraikan terlebih dahulu konsep tentang
hakekat negara hukum dan jaminan hak asasi manusia dalam sistem negara
hukum Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
a. Negara Hukum
Negara Hukum dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rule of law (bahasa Inggris) dan rechssstaat dalam rumusan bahasa Belanda dan Jerman.2
Sedangkan secara sederhana negara hukum adalah negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan
hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas
dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilaian
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah.
Menurut A.C. Dicey, suatu negara hukum (rule of law) harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1). Supremasi Hukum dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar
hukum, 2). Kedudukan yang sama di depan hukum, 3). Terjaminnya hak-hak
manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.3
Ciri-ciri negara hukum yang lebih terperinci dikemukakan oleh
Scheltema, sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta, sebagai berikut ini:4
1. Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Azasi Manusia yang
berakar dalam Penghormatan Atas Martabat Manusia (Human Dignity).
2. Asas Kepastian Hukum. Negara Hukum bertujuan untuk menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan kepastian dalam hubungan antar-manusia, yakni menjamin
prediktabilitas, dan juga untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang
berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum
adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan
c. Asas non-retroaktif perundangan; sebelum mengikat,
undang-undang harus diumumkan secara layak
d. Asas peradilan bebas: objektif-imparsial dan adil-manusiawi
e. Asas non-liquet: hakim tidak boleh meolak perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak ada
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam undang-undang (UUD)
3. Asas Similia Similibus (Asas Persamaan). Dalam negara hukum, pemerintah
tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus non-diskriminatif).
Aturan hukum berlaku sama untk setiap orang, karena itu harus dirumuskan
3Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 8 4B.Arief Sidharta, “kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum” dalam Jurnal Hukum “JENTERA”, Edisi 3 tahun II, Nopember 2004, h. 124-125.
secara umum dan abstrak. Dua hal penting yang terkandung dalam asas ini
adalah:
a. Persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan
b. Tuntutan perlakuan yang sama bagi semua warga negara
4. Asas Demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode
pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa tiap orang harus
mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan
pemerintahan. Asas ini diwujudkan lewat sistem representasi (perwakilan
rakyat) yang mempunyai peranan dalam pembentukan undang-undang dan
kontrol terhadap pemerintah. Beberapa hal penting dalam asas demokrasi:
a. Pemilihan Umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
b. Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban
oleh badan perwakilan rakyat
c. Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan politik dan
mengontrol pemerintah
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional
semua pihak
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat
f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi
g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif
5. Pemerintah dan pejabat pemerintah mengemban fungsi pelayanan
masyarakat. Pemerintah mengemban tugas untuk memajukan kepentingan
warga negara, semua kegiatan pemerintahan harus terarah kepada
kesejahteraan umum. Beberapa hal yang terdapat pada asas ini:
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki
tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig), jadi harus efektif-efisien Di Indonesia, pelaksanaan negara hukum mengalami pasang surut.
Selama kurun parlementer (1950-1957) negara hukum menjadi ideologi
pengabsah republik konstitusional, tetapi banyak di antara simbol-simbolnya
secara konservatif dikaitkan dengan lembaga, prosedur dan berbagai kitab
undang-undang hukum Belanda yang dilestarikan sampai masa kemerdekaan.
Dalam kurun demokrasi terpimpin (1958-1965), negara hukum tenggelam
dibawah tekanan patrimonialisme rezim dan ideologinya yang radikal-populis,
yang mengutamakan keadilan substantif daripada keadilan prosedural. Dengan
lahirnya Orde Baru, perbincangan mengenai negara hukum bangkit kembali
dengan cepat, sebagian sebagai reaksi terhadap demokrasi terpimpin namun
lebih jelas dan mendalam daripada yang sudah-sudah. Selama awal kurun Orde
Baru, sampai kira-kira tahun 1971, para pendukung negara hukum boleh dikata
lebih optimistis; optimisme ini berubah kemudian.5 Namun dalam perjalannan
selanjutnya Orde baru, sebagaimana orde sebelumnya, lebih menjadikan doktrin
negara hukum sebagai selogan, bahkan dalam kenyataannya implementasi
konsep negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat) justru lebih dominan dari pada penerapan konsep negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat).6 Pada Era
Reformasi saat ini, berjuangan menegakkan negara hukum memang sangat
nampak dipermukaan, terutama dengan lahirnya berbagai berundang-undangan
yang lebih responsif dengan tuntutan masyarakat. Namun demikian, hal ini
belum bisa menjamin akan diimplementasikannnya negara hukum yang lebih
subtansial.
b. Hak Asasi Manusia (HAM)
1). Pengertian dan Sejarah HAM
Hak asasi manusia (HAM) dalam istilah asing sering dikenal dengan
sebutan human right (Inggris), droit de l’home (perancis), mensen rechten (Belanda), yang dalam bahasa Indonesia semua istilah tersebut diartikan sebagai hak-hak
kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.7
Hak Asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,
yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Pengertian ini terdapat dalam ABC Teaching Human Rights, yang merumuslkan HAM sebagai “Human rights could be generally defined as those rights which are inhenrent in our nature and without which cannot live as human being.”
Dalam ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998, Hak asasi manusia
diartikan sebagai hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat
pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat
dan martabat manusia. Sedangkan dalam pasal 1 butir 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan
yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan sertiap orang
demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa HAM merupakan hak yang
esensial dalam kehidupan manusia yang harus dihormati, dan dilindungi oleh
siapapun termasuk oleh hukum sebua negara. Oleh karena itu, di antara ciri
negara hukum adalah negara yang memberikan pengakuan, penghormatan dan
perlindungan Hak Azasi Manusia yang berakar dalam Penghormatan Atas
Martabat Manusia (Human Dignity).
Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta (1215) yang memberikan hak-hak bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan raja. Selanjutnya dibeberapa negara
sebagai bentuk perjuangan terhadap HAM, dibuat beberapa peraturan atau
perundang-undanfg; di Amerika pada tahun 1776 dibuat documen The Virginia Bill og Right dan Declaration of Independent yang memberikan jaminan kebebasan individu terhadap kekuasaan negara; di Perancis tahun 1789 juga dibuat
Declaration des Droites L’Home et Du Cituyen, yang mengakui bahwa pada prinsipnya manusia adalah baik dan karenanya harus diberikan kebebasan dan
kesamaan kedudukan dalam hukum. Akhirnya, puncak dari deklarasi hak-hak
Asasi Manusia (HAM) terjadi pada tanggal 10 Desember 1948, di mana
Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Piagam hak asasi manusia,
yang kemudian dikenal dengan Declaration of Human Rights.
Deklarasi tersebut memuat tiga puluh (30) pasal tentang hak-hak asasi
manusia, yaitu antara lain: hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa
dan ditahan, dipersamakan di muka hukum (equality before the law), mendapatkan praduga tidak bersalah dan sebagainya. Ha-hak lain juga dimuat
dalam deklarasi tersebut seperti hak-hak akan nasionalitas, pemilikan,
pemikiran, agama, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan berbudaya.
2) Pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia
Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjadi diskurus di Indonesia sejak awal
pendirian negara ini, yaitu pada saat BPUPKI menyiapkan rancangan UUD pada
tahun 1945. Pro dan kontra untuk memasukan HAM dalam UUD mewarnai
perdebatan saat itu. Akhirnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan
hak-hak asasi manusia Indonesia dan kewajiban-kewajiban asasi manusia yang
bersifat dasar.8
Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM di dalam UUD 1945
antara lain terdapat pada:
a). Pembukaan UUD 1945 alinia 1-4
b). Batang Tubuh:
(1). Pasal 27 ayat 1: kesamaan didepan hukum dan kewajiban menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan
(2). Pasal 27 ayat 2: hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak
(3). Pasal 28 : hak atas kebebasan berserikat berkumpul, mengeluarkan
pendapat lisan maupun tulisan
(4). Pasal 29 : jaminan kebebasan beragama dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannnya.
(5). Pasal 30 : Hak dan kewajiban bela negara
(6). Pasal 31 : hak atas pengajaran/pendidikan
(7). Pasal 33 dan 34 : hak atas kesejahteraan sosial.9
Kurangnya ketentuan HAM dalam UUD 1945 mendorong MPRS pada awal Orde Baru merumuskan “Piagam hak-hak Asasi manusia dan Hak-hak Serta Kewajiban warga Negara”. Namun kemudian rumuskan itu gagal dilanjutkan. Baru pada tahun 1998 setelah runtuhnya Orde baru oleh orde reformasi, melalui ketetapan MPR No. XVII.MPR.1998, di tetapkan “hak Asasi Manusia” Inti ketetapan ini adalah, pertama, menugaskan kepada Kepala Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM
kepada seluruh masyarakat. Kedua, menugaskan kepada presiden dan DPR
8Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara Fak. Hum UI, 2005), Cet. 2, h. 8-11
untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.10
Selain itu di Era Reformasi, telah lahir UU No. 39 tahun 1999 tentang hak
asasi Manusia. UU ini merupakan kelanjutan dari amanah Tap MPR. No.
XVII.MPR.1998 di atas. Hak-hak asasi manusia yang ditetapkan UU ini antara
lain meliputi: hak untuk hidup (pasal 9), hak berkeluarha dan melanjutkan
keturunan (pasal 10), hak mengembangkan diri (pasal 11-16), hak memperoleh
keadilan (pasal 17-18), hak atas kebebasan Pribadi (Pasal 20-27), hak atas rasa
aman (28-35), hak atas kesejahteraan (pasal 36-42), hak turut serta dalam
pemerintahan (43-44), hak wanita (45-51), dan hak anak (52-66). Selain itu UU ini
juga mengatur kewajiban dasar manusia (pasal 69-70).11
Untuk lebih memantapkan dukungan konstitusi terhadap HAM di
Indonesia, pada saat Perubahan (amandemen) Kedua UUD 1945 tanggal 7-18
Agustus 2000 ditetapkan bab khusus dalam UUD 1946 yang mengatur tentang “hak asasi manusia” dalam Bab X A. isi Bab tersebut merupakan perluasan pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya satu pasal menjadi beberapa pasal dan
beberapa ayat. (Pasal 28 A sampai 28 J). namun demikian secara subtansial
tambahan aturan HAM yang terdapat dalam UUD 1945 hasil amandemen
hampir serupa dengan yang ada dalam ketetapan MPR No. XVII.MPR.1998 dan
UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi Manusia.12
3). Jaminan Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Negara
Hukum Indonesia
Kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh UUD 1945. Dalam pasal 28E
ayat 1, 2 dan 3 tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
10Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia..., Op. Cit., h. 14 11Ibid., h. 16-17
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
Di samping itu, dalam pasal pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sementara , UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat 1, menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan redaksi yang sama juga terdapat dalam ketetapan MPR No. XVII.MPR.1998
tentang Hak Asasi manusia pasal 13.
2. Eksistensi Jama’ah Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah sebagai gerakan keagamaan lahir di India pada tahun 1888. pendirinya adalah Mirza Ghulam Ahmad (1985-1908). Lahirnya Jama’ah ini terutama dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua
Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan
ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris. 13
Ahmadiyah disebarkan di Indonesia untuk pertama kalinya oleh dua
mubalig Ahmadiyah aliran Lahore, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana
Ahmad, lewat kunjungan mereka ke Yogyakarta, 1924. Sementara Ahmadiyah
aliran Qadian masuk ke Indonesia tahun 1925 atas undangan beberapa orang
Indonesia yang pernah belajar di perguruan Ahmadiyah di Pakistan.14
13Muhammad Iqbal, Islam dan ahmadiyah, Terj. Mahsun Husain (Jakarta:PT. Bumi Restu, 1991), h. vii
Masuknya Ahmadiyah di Indonesia ternyata juga disambut para pejuang
pergerakan nasional, khususnya Bung Karno, karena mereka mendukung
perjuangan Indonesia merdeka. Karena sambutan yang hangat itu, Bung Karno
pernah dituduh telah masuk Ahmadiyah, yang kemudian dibantahnya melalui
sebuah artikel. Namun ajaran-ajaran Ahmadiyah (khususnya Ahmadiyah
Lahore) telah ikut memengaruhi para pemimpin pergerakan Indonesia seperti
H.O.S Tjokroamninoto, Agus Salim, dan Bung Karno sendiri, melalui tafsir The Holy Qur’an, buku the Religion of Islam, dan Sejarah Nabi Muhammad Saw.15
Ahmadiyah telah mendapatkan pengakuan resmi di Indonesia sejak
zaman kolonial tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Sedangkan
Pemerintah RI mengakui Ahmadiyah sebagai badan hukum berdasarkan SK
Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, yang dimuat
dalam Berita Negara RI Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953 diubah dengan akta
perubahan dan tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989.
Pengakuan ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama
Republik Indonesia tertanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh
organisasi agama di Indonesia bagi yang telah disahkan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangganyaa oleh Menteri Kehakiman sebagai badan
Hukum.16. Pengakuan resmi yang paling akhir sebagai organisasi
kemasyarakatan diberikan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan
Politik No. 75//D.I./VI/2003.
Pengakuan resmi tersebut di atas, selalu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu17
Meski demikian, majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah
Nasional ke II yang berlansung di Jakarta tanggal 26 Mei sampai 1 Juni 1980
15Dawam Rahardja,
telah mengeluarkan fatwa yang isinya antara lain bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Hal ini karena Ahmadiyah telah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menerima wahyu, padahal
selama ini doktrin yang diyakini Islam adalah bahwa Muhammad SAW adalah
nabi dan rasul terakhir. Keputusan fatwa MUI ini kemudian diperkuat kembali
dengan hasil Musyawaran nasional ke VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005, di
samping itu dalam keputusannya MUI menghimbau pemerintah untuk
melarang penyebaran paham Ahmadiyah diseluruh Indonesia serta menutup
semua tempat kegiatannya. 18
Menyikapi fatwa MUI di atas, Jama’ah ahmadiyah menilai Fatwa tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang memberikan kebebasan
masing-masing warga negara untuk memeluk agama dan memegang
keyakinannya.19
3. Kasus Tindak anarkhis Terhadap Jama’ah Ahmadiyah
Kasus tindak anarkis masa terhadap jama’ah Ahmadiyah yang diangkat dalam tulisan ini terjadi pada tanggal 9 Juli 1995 di Kampus Mubarak Desa
Pondok Udik, Kemang, Parung Bogor. Kampus yang berdiri di atas lahan 4,5
hektar ini, selain sebagai kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga
merupakan tempat penggemblengan mubalig Ahmadiyah (Qadiyan) dari
seluruh Indonesia. Adapun kronologi kejadiannya adalah sebagai berikut:
Kejadian ini bermula dari ketidak setujuan tokoh masyarakat yang
tergabung dalam Front pembela Islam (FPI) Wilayah Bogor terhadap rencana jama’ah Ahmadiyah menggelar acara Jalsah Sanah (pertemuan tahunan) di kampus Mubarak yang akan diikuti kurang lebih 11.000 orang. Ketidak
setujuannya tersebut disampaikan oleh Amin Jamaluddin (pimpinan FPI)
kepada panitia penyelenggara. Walaupun demikian, akhirnya acara jalsah sanah
18Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kompilasi Keputusan Fatwa MUI hasil Musyawarah
Nasional VII, Jakarta, 26-29 Juli 1995.
tetap dilaksanakan oleh jama’ah ahmadiyah, dan ketika itu juga Amin Jamaluddin mendatangi kantor Camat meminta agar acara Ahmadiyah
dibubarkan. Akan tetapi ketika dialog di kantor kecamatan, tidak terjadi titik
temu di antara mereka. Pihak Ahmadiyah tetap menyatakan akan melanjutkan
acara, karena itu hak asasi yang dijamin undang-undang. Sementara Amin
Jalaludin menyatakan "Kalau begitu, masyarakat akan bertidak sesuai dengan
hak asasi juga,"
Akhirnya, Tepat Pada hari Jum’at tanggal 9 Juli 2005, usai shalat jum’at sekitar lima ribu orang berkumpul di halaman Masjid Al-Hidayah, Parung,
Bogor. Mereka menamakan diri sebagai Gerakan Umat Islam Indonesia dengan
mamakai atribut serban, gamis putih, dan kopiah. Ada juga yang mengenakan
atribut Front Pembela Islam (FPI). Aksi ini dipimpin oleh Habib Abdurrahman,
Ketua Lembaga Kajian Islam Indonesia, Parung.
Dengan bersenjatakan bambu, batu, dan kayu, mereka menyatroni
Kampus tersebut sambil meneriakan hujatan dan memberikan ultimatum agar penghuni kampus, para jama’ah Ahmadiyah, segera meninggalkan tempat paling lambat pukul 16.00, Kalau tidak, mereka akan menyerbu masuk. Untuk
mengamankan situasi, ratusan polisi yang dikomandani Ajun Komisaris Besar
Polisi Agus K. Sutisna, Kapolres Bogor berjaga-jaga. Menjelang tenggat pukul
16.00, polisi mendatangkan empat bus di tambah empat truk untuk mengevakuasi jama’ah Ahmadiyah yang berjumlah sekitar 300 orang yang terjebak dalam lingkungan kampus. Sementara itu, massa menuntut agar papan
nama Kampus Mubarak dan Ahmadiyah dirobohkan. Untuk meredam amarah
warga, polisi pamong praja dari Pemda Bogor ditugaskan menurunkan papan
nama itu.
Massa juga minta perwakilan mereka diperbolehkan masuk. Namun
jemaat Ahmadiyah menolak. Setelah para pejabat seperti Agus K. Sutisna
negeri), dan Albert Pribadi (wakil bupati) turun tangan, jemaat luluh juga.
Mereka mengizinkan Habib Abdurrahman masuk.
Setelah tuntutan mereka dipenuhi, akhirnya masa penyerang
membubarkan diri setelah memasang spanduk: "Disegel oleh Umat Islam
Indonesia". Dalam orasi penutupnya, Habib Abdurrahman mengatakan bahwa
perjuangan telah selesai. "Kita harus bersyukur kepada Allah," . Dia juga minta
massa membubarkan diri. Setelah bersujud syukur, massa berangsur-angsur
meninggalkan Mubarak.
Atas kejadian tersebut di atas, sejumlah tokoh agama dan masyarakat
yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani mengecam keras terhadap
tindakan kekerasan dan pemaksaan itu dan menuntut pemerintah memberi
jaminan terhadap kebebasan dan keamanan serta keselamatan para anggota jama’ah ahmadiyah sesuai dengan UUD 1945 pasal 29. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah menindak tegas para pelakunya.
Merespon kejadian di atas, jama’ah Ahmadiyah telah melaporkan peristiwa tersebut ke Komnas HAM yang kemudian mendapat sambutan baik
dan pembelaan dari lembaga ini. Dalam konferensi persnya, Ahmadiyah MM
Billah yang didampingi Ketua Tim Peristiwa Ahmadiyah Chandra Setiawan dari komnas HAM menyatakan, ” pemerintah tidak bisa begitu saja menutup atau membubarkan organisasi Jemaah Ahmadiyah. "Ahmadiyah adalah organisasi
berbadan hukum. Hak beragama, berorganisasi, dan berpendapat dijamin undang-undang. Maka, kalau mau dibubarkan, harus dilakukan melalui proses”. Di samping itu, Jama’ah Ahmadiyah juga mengajukan peristiwa tersebut ke pengadilan Bogor, tetapi hingga kini hasilnya belum mendapatkan kepastian
hukum.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespon peristiwa
menilai Ahmadiyah sebagai jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Karena itu, MUI menghimbau kepada pemerintah untuk melarang penyebaran
paham Ahmadiyah diseluruh Indonesia serta menutup semua tempat
kegiatannya. 20
Sedangkan dari pihak pemerintah SBY-JK, peristiwa tersebut disikapi dingin dan tidak memberikan perlindungan yang significant kepada jama’ah ahmadiyah. Bahkan dibeberapa tempat di Indonesia pusat-pusat kegiatan
Ahmadiyah untuk sementara ditutup dan kegiatan-kegiatan mereka selalu
diawasi pihak berwajib.21
4. Analisis kasus
Dari paparan kerangka teoritis dan penjelasan kasus tindak anarkis masa terhadap jama’ah Ahmadiyah tersebut diatas, dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, Negara Indonesia secara jelas dalam penjelasan UUD 1945,
konstitusi tertulis, menyatakan diri sebagai negara hukum, yaitu negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan dan bersaranakan hukum.
Sebagai konsekwensi negara hukum, pengakuan, penghormatan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia seharusnya mendapatkan
perhatian yang serius tanpa melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Kedua, Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sesuatu yang
sangat asasi pada setiap manusia. Oleh karena itu sebagai negara hukum yang
menghargai HAM, Indonesia telah menjaminnya dalam UUD 1945, yang
kemudian dipertegas dalam TAP MPR, dan UU tentang hak Asasi Manusia.
20Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kompilasi Keputusan Fatwa MUI hasil Musyawarah
Nasional VII, Jakarta, 26-29 Juli 1995.
Ketiga, Jama’ah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan telah mendapatkan legalitasnya dari negara Indonesia sebagaimana telah disebutkan
di atas. Bahkan dalam kenyataannya organisasi ini telah beraktifitas di Indonesia
kurang lebih selama 81 tahun. Sementara itu, adanya ketidak setujuan atau
bahkan protes dari kelompok lain dalam perjalanannya merupakan hal yang
wajar selama disampaikan secara proposional dan konstitusional. Atas dasar
beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka tindak anarkis masa terhadap jama’ah Ahmadiyah jelas telah mencederai prinsip negara hukum dan melanggar pancasila, UUD 1945, dan perundang-undangan yang memberikan
perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sementara itu, sikap apatis pemerintah dalam merespon peristiwa
tersebut jelas menunjukan tidak adanya niatan serius pemerintah untuk
menagakkan rule of law di negara Indonesia. Ini berarti bahwa pemerintah lebih memenangkan pendekatan kekuasaan (machtsstaat) atau politik di bandingkan dengan pendekatan hukum (rechtsstaat). Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, pemerintahan SBY-Kalla, tampaknya, terpojok dengan isu kebijakan ekonomi
yang tidak populis. Kenaikan BBM dua kali semakin memudarkan pesona
publik SBY-Kalla. Untuk hal itu, SBY-Kalla tidak ingin kembali mengambil
kebijakan yang tidak populis. Bisa jadi, jaminan terhadap kebebasan beragama
bukan isu populis, malah bisa kontraproduktif. Kedua, pemerintah SBY-Kalla didukung oleh parlemen yang berasal dari gabungan partai-partai agama
konservatif yang selama ini siap mengamankan kebijakan ekonomi SBY. Dalam
hal ini, kompensasi kenaikan BBM adalah pemasungan kebebasan beragama.
Ketiga, tidak ada sikap tegas departemen dan lembaga pemerintah yang
sebenarnya memiliki tanggung jawab langsung. Sikap departemen dan lembaga
pemerintah tersebut ikut menyuplai darah segar bagi kelompok-kelompok
DAFTAR PUSTAKA
B.Arief Sidharta, “kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum” dalam Jurnal Hukum “JENTERA”, Edisi 3 tahun II, Nopember 2004
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1990 Harian kompas 7/27/05, 3
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2005 Majalah Gatra Nomor 36 Beredar Senin, 18 Juli 2005,
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kompilasi Keputusan Fatwa MUI hasil Musyawarah Nasional VII, Jakarta, 26-29 Juli 1995.
Marjanne Termorshuizen, The Consept Rule of Law, dalam “JENTERA Jurnal
Hukum”, Edisi 3 tahun II, Nopember 2004
Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Liberty, 1993 Muhammad Iqbal, Islam dan ahmadiyah, Terj. Mahsun Husain, Jakarta:PT. Bumi
Restu, 1991
Rojikin daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: Raja wali Press, 1995, Cet. 2
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara Fak. Hum UI, 2005, Cet. 2
Satya Arinanto, Perspektif 54 Tahun Negara Hukum, Majalah “Berita Keadilan, Edisi N0. 43/.Tahun 1, 18 Agustus – 24 Agustus 1999
Satya Arinanto, Diktat Politik Hukum Jilid 1-3, Jakarta, Program Pascasarjana
FHUI, 2001
Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,