A. Tipologi Mediator dan Proses Pelaksanaan Mediasi
1. Tipologi Mediator
Beraneka ragam tipologi mediator yang dikemukakan oleh para ahli
Christopher W. Moore82 diantaranya, yang menyebutkan ada tiga tipe tipologi
mediator, yaitu:
1. Mediator sosial(social network mediator); 2. Mediator otoritatif(authoritative mediator);dan 3. Mediator mandiri(independent mediator). 1. Tipologi Pertama
Mediator berperan dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial
antara mediator dan para pihak yang bersangkutan. Mediator dalam tipologi ini
sebagai bagian sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah
berlangsung. Seseorang yang membantu menyelesaikan sengketa, misalnya
antara dua tetangganya, rekan sekerjanya, teman usahanya, atau antara
kerabatannya digolongkan dalam tipologi pertama ini. Begitu pula jika seorang
tokoh masyarakat atau agama yang dikenal oleh pihak-pihak yang bertikai
82Christopher W. Moore, The Mediation Process; Practical Strategies for Resolving Conflict
membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi, dapat digolongkan ke dalam
mediator hubungan sosial.
2. Tipologi Kedua83
Mediator berusaha membantuk pihak-pihak yang bersangkutan untuk
menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka dan memiliki posisi kuat
atau berpengaruh sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk
mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Akan tetapi, seorang
mediator otoritatif selama menjalankan perannya tidak menggunakan kewenangan
atau pengaruh itu karena didasarkan pada keyakinan atau pandangannya bahwa
pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya
selaku pihak yang berpengaruh atau berwenang, melainkan harus dihasilkan oleh
upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri.Namun dalam situasi-situasi tertentu,
mediator otoritatif mungkin akan memberikan batsan-batasan kepada para pihak
dalam upaya mereka mencari pemecahan masalah. Selain itu, mediator otoritatif
mungkin juga memberikan semacam ancaman kepada para pihak bahwa jika para
pihak sendiri tidak dapat mencari pemecahan masalah melalui pendekatan
kolaboratif atau kooperatif, mediator otoritatiflah yang akhirnya membuat
keputusan untuk penyelesaian yang harus diterima oleh para mediator tipologi ini
dapat dibedakan lagi antara lain:
a. Mediator benevolent(benevolent mediator) Mediator benevolent mempunyai ciri-ciri :
83
1) Dapat atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak.
2) Mencari penyelesaian terbaik bagi para pihak.
3) Tidak berpihak dalam hal hasil substantif.
4) Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan
implementasi kesepakatan.
b. Mediator administratif manajerial(administrative manajerial mediators) Mediator administratif manajerial mempunyai ciri-ciri :
1) Memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum dan sesudah
sengketa berakhir.
2) Mencari penyelesaian yang diupayakan bersama-sama dengan para pihak
dalam ruang lingkup ukuran manfaat atau kewenangannya.
3) Berwenang untuk member nasihat, saran dan jika para pihak tidak berhasil
mencapai kesepakatan, ia juga berwenang memutuskan.
4) Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan
implementasi kesepakatan.
c. Mediator vested interest (vested interest mediators)
Mediator vested interest (vested interest mediators)mempunyai ciri-ciri : 1) Memiliki hubungan dengan para pihak atau diharapkan memiliki
hubungan masa depan dengan para pihak.
2) Memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir.
3) Mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan mediator atau
4) Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan
implementasi kesepakatan.
5) Kemungkinan dapat menggunakan tekanan agar para pihak mencapai
kesepakatan.
3. Tipologi Ketiga84
Mediator mandiri adalah mediator yang menjaga jarak baik antara pihak maupun
dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak.Mediator tipologi ini
lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah
mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediator-mediator
professional. Anggota-anggota dalam masyarakat seperti ini cenderung lebih
menyukai permintaan bantuan kepada “orang luar” yang tidak memiliki
kepentingan sosial sebelumnya dengan para pihak atau terhadap masalah yang
timbul. Anggota-anggota masyarakat itu lebih mengandalkan para professional
speasialis dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.Keadaan ini
dapat dilihat atau dibuktikan dengan telah lahir dan berkembangnya profesi
mediator seperti halnya profesi pengacara, akuntansi dan dokter.Model mediasi
ini dipraktikkan atau berkembang di Amerika Utara. Di Amerika Serikat sendiri
telah berdiri kantor-kantor professional mediator, misalnya Collaborative Decision Resources(CDR) di Boulder,The Institute of Envoronmental Mediation di Seattle, JAMSen Dispute di Seattle, Confluence North West di Portliand Oregon dan Community DisputeResolution Center di Ithaca. Dengan telah
84
lahirnya asosiasi mediator professional di Amerika Serikat tersebut maka lahirlah
yang disebutSociety in Professional Dispute Resolution(SPIDER).
2. Proses Pelaksanaan Mediasi
Proses pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh mediator beberapa tahapan.
Masing-masing ahli membagi penahapan proses pelaksanan mediasi tersebut berbeda.
Sesungguhnya penahapan proses ini dimaksudkan memberikan kemudahan kepada
para pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator untuk mencapai kesepakatan
bersama yang merupakan akhir dari penyelesaian konflik melalui mediasi pembagian
penahapan proses pelaksanaan mediasi menurut para ahli tersebut sebagai berikut:85
a. Christopher W. Moore
Pernyataan (statement) Pembuka oleh mediator.
Statement pembuka adalah pidato atau monolog singkat yang dibuat oleh mediator dan/atau pihak-pihak yang bersengketa yang menggambarkan secara
garis besar alasan-alasan pokok yang mendasari terjadinya negosiasi.
Kerangka garis besar berikut ini tujukan untuk menolong mediator dan
pihak-pihak terlibat untuk menjadi lebih efektif dalam negosiasi.
Tujuan :86
1) Membuka pengantar tatap muka.
2) Menciptakan suasana positif.
85
Rachmadi Usman, SH, M.H. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal 118.
86
3) Memberitahukan kepada pihak-pihak terlibat mengenai proses negosiasi /
mediasi.
4) Mencapai kesepakatan mengenai patokan perilaku (tata cara).
5) Mendapatkan komitmen untuk memulai proses.
Prosedur :87
1) Memperkenalkan diri sendiri sebagai mediator.
2) Ucapkan selamat datang kepada semua pihak dan perkokoh kesediaan
mereka untuk membahas masalah atau menegosiasikan penyelesaian
masalah.
3) Ulas kembali alasang mengapa pihak-pihak terlibat harus datang
berkumpul dengan penjelasan yang bersifat netral.
4) Jelaskan bahwa proses mediasi adalah :
(a) Suatu upaya oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan mereka sendiri melalui diskusi atau negosiasi.
(b) Bersifat sukarela, tanpa paksaan.
5) Jelaskan peran anda :
(a) Sebagai pihak netral/tidak memihak siapapun.
(b) Sebagai pembantu untuk memperlancar prsoes.
(c) Bahwa anda bukanlah seorang pembuat keputusan.
6) Jelaskan proses pemecahan masalah :
(a) Setiap orang akan berbicara dan menjelaskan situasi.
87
(b) Pada peserta negosiasi akan melakukan kesepakatan terhadap
topik-topik tertentu untuk pembahasan.
(c) Para peserta akan membuat agenda.
(d) Para peserta akan saling menjelaskan kepada semua pihak mengenai
kepentingan dan kebutuhan mereka.
(e) Peran serta akan mendiskusikan butir-butir agenda satu persatu.
(f) Para peserta akan mencari pemecahan masalah yang memuaskan
semua pihak.
(g) Kesepakatan akan ditulis dan diformalisasikan menurut keinginan para
pihak bersengketa.
7) Jelaskan batas-batas kerahasiaan ancaman-ancaman fisik yang akan segera
terjadi atau kejadian yang sedang terjadi dalam bentuk kerugian fisik
terhadap para negosiasi atau pihak yang berhubungan dengan negosiasi.
8) Jelaskan proses dan keinginan untuk mendapatkan bimbingan hukum dan
peninjauan ulang sebelum, selama, dan pada akhir negosiasi.
9) Jelaskan kegunaan pertemuan-pertemuan tertutup.
10) Identifikasi dengan pihak-pihak terlibat, panduan prosedural yang bias
menolong mereka untuk bernegosiasi dengan cara yang efektif.
11) Mintalah peserta untuk mengajukan pertanyaan dan jawablah pertanyaan
yang ditanyakan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
12) Dapatkan komitmen dari masing-masing pihak untuk memulai negosiasi,
Selanjutnya, oleh Christopher W. Moore88 dikemukakan pula sejumlah
kondisi yang harus menyertai mediasi agar menjadi sangat efektif.Kondisi yang harus
menyertai mediasi agar menjadi sangat efektif.Ketiadaan kondisi-kondisi dimaksud
bukan berarti bahwa keberhasilan mediasi tidak mungkin lagi dicapai.Hal ini berarti
persengketaan tanpa ciri-ciri tersebut kurang dapat diselesaikan dengan merumuskan
dibandingkan jika kondisi-kondisi tersebut dipenuhi. Adapun kondisi-kondisi
dimaksud, seperti dibawah ini :
1) Pihak-pihak yang terlibat pernah bekerja sama dan berhasil dalam
menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal.
2) Pihak-pihak yang terlibat tidak mempunyai sejarah panjang hubungan
adversarial atau litigasi sebelum melakukan proses mediasi.
3) Jumlah pihak yang terlibat dalam persengketaan terbatas dan
pengangkatan tersebut tidak menyebar luas sampai ke pribadi-pribadi atau
kelompok-kelompok yang berada di luar masalah.
4) Masalah-masalah yang menimbulkan sengketa tidak terlalu banyak
jumlahnya dan pihak-pihak yang terlibat telah sepakat untuk membahas
beberapa masalah saja.
5) Kemarahan dan kekasaran dari satu pihak ke pihak lain tidak besar atau
dalam tingkat rendah.
6) Pihak-pihak yang terlibat mempunyai atau mungkin baru menjalin suatu
hubungan yang telah dan sedang berlangsung.
7) Pihak-pihak yang berkeinginan tinggi untuk mencari jalan keluar dari
persengketaan.
8) Pihak-pihak yang terlibat menerima campur tangan dan bantuan pihak
ketiga.
9) Terdapat tekanan dari luar untuk menyelesaikan sengketa (waktu,
keuntungan-keuntungan yang semakin mengecil akibat sengketa,
akibat-akibat sengketa yang terkirakan).
10) Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai keterikatan psikologis kecil,
termasuk keakraban yang bersifat negatif baik antara satu dan yang
lainnya maupun persengketaan itu sendiri.
11) Terdapat sumber-sumber daya yang memadai untuk mempengaruhi
sebuah kompromi. Ketersediaan sumber daya yang terbatas cenderung
menciptakan hubungan yang kompetitif dan membuat orang untuk
memperjuangkan jalan keluar yang memenangkan pihak tertentu saja
(win/lose outcomes).
12) Pihak-pihak yang mempunyai kemampuan untuk mengangkat pihak lain
(kemampuan) untuk memberikan penghargaan atau menimbulkan
kerugian).
a. Gary Goodpaster
Senada dengan itu Gary Goodpaster 89 menyatakan mediasi tidak selalu tepat
untuk diterapkan terhadap semua sengketa atau tidak selalu diperlukan untuk
89 Gary Goodpaster, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Seri Dasar-Dasar
menyelesaikan semua persoalan dalam sengketa tertentu. Mediasi akan berfungsi
dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut:
1) Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding.
2) Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan.
3) Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
(trade offs).
4) Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan.
5) Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan
mendalam.
6) Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut mereka tidak
memiliki penghargaan yang banyak tetapi dapat dikendalikan.
7) Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting
dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak.
8) Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan
pelaku lainnya, seperti para pengacara dan penjamin tidak akan
diperlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.
Gary Goodpaster,90membagi proses pelaksanaan mediasi berlangsung melalui
empat jenjang atau penahapan, yaitu :
1) Tahap pertama : menciptakan forum.
90 Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Sebuah Pedoman Negosiasi dan
Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mediator
adalah:
(a) Mengadakan pertemuan bersama.
(b) Menyampaikan pernyataan pembukaan.
(c) Membimbing para pihak.
(d) Menetapkan aturan dasar perundingan.
(e) Mengembangkan hubungan dan kepercayaan di antara para pihak.
(f) Mendengarkan pernyataan-pernyataan para pihak.
(g) Mengadakan atau melakukan “hearing” dengan para pihak.
(h) Mengembangkan atau menyampaikan dan melakukan klarifikasi
informasi.
(i) Menciptakan interaksi model dan disiplin.
2) Tahap kedua : pengumpulan dan pembagian informasi.
Dalam tahap ini, mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan secara
terpisah atau dinamakan dengan kaukus-kaukus terpisah guna:
(a) Mengembangkan informasi lanjutan.
(b) Melakukan eksploitasi yang mendalam mengenai keinginan atau
kepentingan para pihak.
(c) Membantu para pihak dalam menafsir dan menilai kepentingan.
(d) Membimbing para pihak dalam tawar-menawar penyelasaian masalah.
Dalam tahap ketiga ini, mediator dapat mengadakan pertemuan bersama
atau “kaukus-kaukus” terpisah sebagai tambahan atau kelanjutan dari sebelumnya dengan maksud untuk:
(a) Menyusun dan menetapkan agenda.
(b) Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah.
(c) Meningkatkan kerja sama.
(d) Melakukan identifikasi dan klasifikasi isu dan masalah.
(e) Mengadakan pilihan penyelesaian masalah.
(f) Membantu melakukan pilihan penafsiran.
(g) Membantu para pihak dalam menafsir, menilai dan membuat prioritas
kepentingan-kepentingan mereka.
4) Tahap keempat: pengambilan keputusan :
(a) Mengadakan kaukus-kaukus dan pertemuan-pertemuan bersama. (b) Melakukan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pihak.
(c) Mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah.
(d) Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan.
(e) Mengonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian.
(f) Membantu para pihak untuk membandingkan propsosal penyelesaian
masalah dengan pilihan di luar perjanjian.
(g) Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan dan
(h) Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win solution dan
tidak hilang muka, membantu para pihak melakukan mufakat dengan
pemberi kuasa mereka.
(i) Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami oleh
Mediator
Salah satu sumber obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia
satu dengan manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu
kemudian bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak proporsional
sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa warisan
merupakan bentuk harta yang dapat saja membuat orang menjadi kaya raya karena
hal tersebut.Sebaliknya juga orang atau setiap manusia dapat menjadi miskin karena
tidak mendapatkan harta warisan tersebut, bahkan dapat saja membuat setiap orang
menjadi gila sampai meninggal dunia akibat tidak mendapatkan harta warisan.
Berdasarkan kompetensi atau tugas dan kewenangan mengadili dari badan
peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan Pasal 25
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, badan
peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili persengketaan atau
perkara perdata adalah peradilan umum dan peradilan agama (terhadap perkara
perdata tertentu khusus bagi yang beragama islam). Terkait itu pengadilan itu adalah
peradilan umum yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta peradilan agama
Mahkamah Agung, sedangkan proses perkara akan difokuskan pada proses
penyelesaian perkara di pengadilan negeri dan pengadilan agama. Perkara yang
ditangani oleh pengadilan agama adalah perkara tertentu seperti gugat cerai, gugat
waris bagi mereka yang beragama Islam.91
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, ahli waris dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa
pembagian harta waris. Selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa
juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) yang lazim dinamakan
denganAlternatif Dispute Resolution (ADR).
Pengunaan mediasi dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada
kerangka peraturan perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam
penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat atau sengketa-sengketa dalam
masyarakat pada umumnya seperti sengketa keluarga, waris, batas tanah, dan
masalah-masalah pidana seperti perkelahian dan pencurian barang dengan nilai-nilai
relative kecil.
Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri dari atas dua pihak yang
bersengketa maupun oleh lebih dari dua pihak (multiparties). Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima
penyelesaian itu. Ada kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu
91I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia
mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian
hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para
pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas.92
Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak
mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa adalah
keinginan dan itikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka.
Keinginan dan itikad baik ini, kadang-kadang memerlukan bantuan pihak ketiga
dalam perwujudannya. Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah
keunggulan/kelebihan, antara lain:93
1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif
murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka
secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga
mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
92Takdir Rahmadi,Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat(Jakarta:
Rajawali Pers, 2010),hal.13.
4. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap proses dan hasilnya.
5. Mediasi dapat mengubah hasil yang dalam litigasi sulit diprediksi dengan
suatu kepastian melalui suatu konsensus.
6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa
karena mereka sendiri yang memutuskannya.
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiapputusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan olehhakim
di pengadilan.
Kelebihan mediasi sangat jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa yang
dilakukan dalam proses litigasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi banyak
memberikan keuntungan bagi ahli waris dalam menyelesaikan sengketa pembagian
harta waris. Para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris lebih tepat apabila
memilih jalur non litigasi, yakni dengan mediasi sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa pembagian harta waris. Penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi tidak memberikan suatu manfaat dalam sengketa pembagian sengketa waris
ini karena sengketa ini menyangkut hubungan kekeluargaan. Pada sengketa ini ahli
waris tidak hanya menyelesaikan sengketa pembagian harta waris tersebut tetapi juga
mempertahankan tali silatuhrahmi dan menjaga harmonisasi dengan Ahli waris
lainnya. Pada hukum waris Islam menekankan bahwa suatu sengketa waris harus
Penyelesaian secara damai merupakan jalan yang terbaik bagi semua pihak,
penggunaan jalur litigasi yang panjang dan berbelit-belit pada akhirnya hanya sebagai
sarana untuk menunjukkan sikap egois semata. Para pihak yang tetap berkeras
menginginkan agar penyelesaiannya diputuskan oleh pengadilan biasanya
mengandung konflik non hukum di luar pokok sengketanya, misalnya diantara para
pihak terlibat konflik emosional, dendam dan sentiment pribadi. Hal inilah yang
sering mengemuka menjadi dinding penghalang terjadinya perdamaian diantara para
pihak.94
Tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut merupakan
suatu pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154RBg sehingga
mengakibatkan putusan atas perkara yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.
Hal ini juga berkaitan dengan kewajiban hakim agar dalam pertimbangannya
putusannya menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan
perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang
bersangkutan.
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Secara khusus pengertian dijelaskan
dalan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 pasal 1 butir 7 yang
berbunyi: "Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator."
Tahap-tahap proses mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dalam Pasal 13 dijelaskan:95
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk
mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih
mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada
hakim mediator yang ditunjuk.
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediator dapat diperpanjang
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh)
hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
95
Dalam kasus yang diangkat kali ini, para pihak sebelumnya telah menempuh
jalur hukum sampai telah mendapatkan keputusan Pengadilan Tingkat Tinggi dan
sedang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung, namun tidak mencapai kepuasan
masing-masing pihak dan akhirnya kedua pihak yang bersengketa memutuskan untuk
melakukan mediasi di luar pengadilan.
Mediasi yang dilakukan oleh para ahli waris akan menghasilkan suatu
kesepakatan atas sengketa yang dialami oleh ahli waris. Ahli waris yang bersengketa
akan mengukuhkan hasil dari kesepakatan yang telah disepakati dalam proses mediasi
untuk mendapatkan kekuatan hukum dan dapat mengikat bagi para ahli waris. Hal ini
diatur dalam Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyatakan bahwa:96
1. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan
bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai
dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
2. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak
wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
3. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan mediator memeriksa materi
kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang
bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang
memuat itikad tidak baik.
96
4. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang
telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
5. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
Peranan mediator dalam usaha menyelesaikan perkara tersebut secara damai
adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi
masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan.
Apabila mediator berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak maka dibuat akta
perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian
tersebut. Akta otentik terutama memuat keterangan dari seseorang pejabat yang
menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya. Terkait itu akta
perdamaian merupakan bukti bagi para pihak bahwa sengketa antara para pihak sudah
selesai sama sekali dengan jalan damai.97
Adapun persyaratan formal suatu putusan perdamaian menurut Rachmadi
Usman, sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya98, dijelaskan sebagai berikut:
1. Persetujuan Untuk Mengakhiri Persengketaan.
Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara jelas mensyaratkan
bahwa persetujuan perdamaian dimaksudkan untuk mengakhiri suatu perkara yang
sedang berjalan ataupun untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Intinya
97
Victor M.Situmorang,Perdamaian dan Perwasitandalam Hukum Acara Perdata.Jakarta: Rineka Cipta,1993, hal.34.
98
persetujuan perdamaian harus mengakhiri suatu perkara yang dituangkan dalam suatu
akta perdamaian.
Persetujuan perdamaian tersebut harus mengakhiri perkara secara tuntas dan
keseluruhan, tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa para pihak
terlepas dari seluruh sengketa. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya
telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian. Selama masih ada
yang belum diselesaikan dalam kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan
dalam bentuk penetapan akta perdamaian mengandung cacat formal karena
bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan dalam pasal 1851 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.99
2. Putusan Perdamaian Dibuat Secara Tertulis
Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 130 HIR
mensyaratkan putusan perdamaian dibuat secara tertulis, tidak dibenarkan dibuat
secara lisan (oral), artinya dituangkan dalam suatu akta. Pengertian tertulis di sini tidak hanya dituangkan dalam bentuk akta otentik, dapat saja putusan atau
kesepakatan perdamaian tersebut dituangkan dengan akta di bawah tangan.100
3. Dilakukan Para Pihak yang Mempunyai Kekuasaan.
Syarat ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1852 ayat (1) KUH Perdata,
yang mensyaratkan bahwa untuk mengadakan suatu perdamaian haruslah seorang
yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan (authorized). Untuk itu, jika tidak
99
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,Jakarta : CV. Sinar Grafika, 2008. Hal. 275.
100
mempunyai kekuasaan atau kewenangan, ia akan melepaskan haknya atas hal-hal
yang termaktub dalam perdamaian itu. Jadi, pihak yang membuat persetujuan
perdamaian haruslah orang yang mempunyai kewenangan dalam melakukan
perbuatan hukum untuk mengadakan perdamaian.
4. Para Pihak Menyetujui Perdamaian.
Seperti halnya perjanjian, persetujuan perdamaian dipersyaratkan pula harus
disepakati para pihak yang bersengketa. Kesepakatan perdamaian harus
dilakukan/dibuat oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan pokok persengketaan. Hal
ini dapat ditafsirkan dalam ketentuan Pasal 1851 ayat (1) KUH Perdata yang, antara
lain, menyatakan : "Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang,..."101
Jadi, baik, penggugat, tergugat, penggugat dan tergugat, maupun pihak
lainnya yang terlibat, maupun pihak lainnya yang terlibat dalam perkara perdamaian,
harus diikutsertakan pula dalam membuat kesepakatan damai. Pihak yang berdamai
harus memberikan persetujuan atas kesepakatan damai yang telah dicapai tersebut.
Membuat kesepakatan perdamaian yang tidak mengikutsertakan seluruh pihak
penggugat dan tergugat dianggap mengandung cacat plurium litis consortium, yaitu tidak lengkap pihak yang berdamai.102
5. Menyelesaikan Persengketaan yang Telah Ada atau Berjalan.
Syarat ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1851 ayat (1) KUH Perdata,
yang mensyaratkan bahwa kesepakatan perdamaian dimaksudkan untuk mengakhiri
101
Ibid,hal 270. 102
atau menyelesaikan persengketaan yang sedang berlangsung ataupun untuk mencegah
timbulnya suatu perkara.103
Dari ketentuan ini, syarat untuk dapat digunakan dasar putusan perdamaian itu
hendaklah persengketaan para pihak yang sudah terjadi, baik, yang sudah terwujud
maupun yang sudah nyata terwujud, tetapi baru akan diajukan ke pengadilan sehingga
perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang
pengadilan.104
Dengan adanya akta perdamaian maka kesepakatan perdamaian tersebut
memperoleh kepastian hukum. Bahkan dengan dikuatkan kesepakatan damai dalam
akta perdamaian maka kesepakatan perdamaian itu memiliki kekuatan eksekutorial
atau memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan.105 Setelah
kesepakatan perdamaian yang telah dibuat oleh para ahli waris dikukuhkan menjadi
akta perdamaian maka akta perdamaian tersebut mengikat terhadap ahli waris. Ahli
waris wajib menaati akta perdamaian yang telah dikukuhkan oleh hakim. Akta
perdamaian tersebut berisikan kesepakatan diantara para ahli waris mengenai
sengketa pembagian harta waris,dengan kata lain, sengketa pembagian harta waris
tersebut telah berakhir karena munculnya akta perdamaian merupakan akhir dari
sengketa pembagian harta waris.
103
Rachmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa...Op.Cit. Hal 271. 104
Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008. Hal. 156.
105Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan: dalam teori dan praktek,Jakarta: Sinar Grafika,
C. Contoh Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami
Adapun kasus yang diangkat dalam penulisan tesis ini adalah Putusan
Pengadilan Negri Medan Nomor: 124/Pdt.G/2009/PN-Mdn juncto Putusan
Pengadilan Tingi Medan Nomor: 423/Pdt/2009/PT-Mdn, yang pada akhirnya
diselesaikan melalui jalur mediasi (luar pengadilan) yang dilakukan oleh seorang
mediator yang ditunjuk sendiri oleh kedua belah pihak yang juga merupakan seorang
notaris yang berkedudukan di Deli Tua, Sumatera Utara. Putusan mediator tersebut
dituangkan dalam akta perdamaian Nomor 40 tanggal 23 Juni 2011.
Berdasarkan Salinan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
124/Pdt.G/2009/PN-Mdn, diatas, dijelaskan Almarhum semasa hidupnya telah
melangsungkan perkawinan dengan 5 (lima) orang perempuan (istri) dan dari
perkawinan tersebut dikarunaikan 13 (tiga belas) orang anak.106Pada saat Almarhum
meninggal, istri pertama sampai dengan istri ketiga sudah meninggal terlebih dahulu
dari Almarhum. Jadi, ahli waris Almarhum terdiri dari 13 (tiga belas) orang anak dari
5 (lima) orang istri yang pernah dinikahinya tersebut, dan 2 (dua) orang istri yang
masih hidup, yaitu istri keempat dan istri kelima.
Almarhum semasa hidupnya ada mendirikan perusahaan yang bergerak di
bidang Pemborongan Bangunan Niaga dan Industri sebut saja PT. ABCD. Para pihak
yang bersengketa yaitu ahli waris Almarhum memperebutkan 20 lembar saham yang
ditinggalkan untuk mereka.
106
Perkara tersebut timbul akibat adanya gugatan ahli waris dari istri pertama dan
kedua yaitu 4 (empat) orang anak dari istri pertama dan seorang anak dari istri kedua
sebagai penggugat, terhadap ahli waris lainnya yaitu 4 (empat) orang anak dari istri
ketiga, dua anak dari istri keempat dan dua anak dari istri kelima sebagai tergugat.
Dalam akta perdamaian Nomor 40 tanggal tanggal 23 Juni 2011 yang dibuat
dihadapan Notaris yang berkedudukan di Deli Tua, Dana Barus, SH, dijelaskan:
Bahwa antara pihak pertama (penggugat) dengan pihak kedua (tergugat) telah
terjadi perselisihan hukum yang menyangkut saham-saham dan asset-asset
perusahaan PT. ABCD tersebut berkedudukan di Medan.
Bahwa pihak pertama (penggugat) telah mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Medan pada tanggal 18 Maret 2009 yang putusannya diberikan/dikeluarkan
pada tanggal 9 Oktober 2009 sebagaimana tersebut dalam perkara Nomor:
124/Pdt.G/2009/PN-Mdn, untuk kemenangan Pihak Pertama.
Bahwa pihak kedua (tergugat) telah mengajukan banding Pengadilan Tinggi
Medan, dan atas banding tersebut telah pula dikeluarkan putusan oleh Pengadilan
Tinggi pada tanggal 20 Januari 2010 sebagaimana tersebut dalam putusan perkara
Nomor: 423/Pdt/2009/PT-Mdn, juga untuk kemenangan pihak pertama (terbanding)
yang mana perkara tersebut saat akta ini dibuat sedang dalam proses Kasasi padan
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Setelah mencapai kesepakatan dari semua pihak melalui jalur mediasi ini,
- Ahli waris anak perempuan dari istri pertama sampai isteri kelima yaitu sebanyak
7 (tujuh) orang ahli waris masing-masing mendapatkan 0,95 lembar saham.
- Sementara masing-masing ahli waris anak laki-laki (semua anak laki-laki dari
semua istri) yaitu sebanyak 6 (enam) orang ahli waris masing-masing
mendapatkan 2,22 lembar saham.
Dalam pembagian bagian warisan tersebut di atas, yang berhak menjadi ahli
waris hanyalah 13 (tiga belas) orang anaknya dari istri pertama sampai istri kelima itu
saja, sebagaimana yang dinyatakan dalam Akte Wasiat Nomor 25 tertanggal 22
November 1997 yang dibuat dihadapan Notaris Syahril Sofyan, SH. Akte wasiat
tersebut dinyatakan sah dan mengikat dalam amar putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi tersebut.
Hasil dari perhitungan pembagian waris tersebut diatas, dimana anak
perempuan masing-masing mendapatkan 0.95 lembar saham, dan anak laki-laki
mendapatkan masing-masing 2.22 lembar saham, dengan total keseluruhan jika
dijumlahkan berjumlah 19,97 lembar saham. Hasil pembagian tersebut merupakan
hasil pembagian yang diperoleh dari kesepakatan para pihak yang bersengketa yaitu
13 orang anak-anak almarhum tersebut.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi ini, mediator bersifat
mendengarkan para pihak dan memberikan solusi hingga tercapainya kesepakatan
bersama. Dengan adanya akta perdamaian yang dikeluarkan oleh mediator sendiri
yang juga merupakan seorang notaris, dalam Pasal 1 akta perdamaian tersebut
dan Pihak Kedua (ahli waris yaitu anak-anak dari istri ketiga sampai kelima) dengan
akte ini saling menyetujui dan menerima baik diantara para penghadap untuk
mengakhiri perkara perdata maupun pidana yang sudah berlangsung diantara para
penghadap dan tidak akan melaksanakan isi putusan Pengadilan khusus perkara
perdata Nomor 124/Pdt.G/2009/PN-Mdn juncto (jo) perkara Nomor:
423/PDT/2009/PT-Mdn, yang sekarang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung,
sehingga diantara Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak ada lagi gugatan
perdata/pidana maupun Tata Usaha Negara apapun juga belakang hari prihal hak atas
saham-saham dan asset-asset perseroan yang disebutkan di atas."
Perdamaian yang dicapai menurut akte ini meliputi pula persetujuan dari para
penghadap untuk tidak mengajukan tuntutan pidana kepada para pihak yang
bersengketa dengan dalih apapun juga berdasarkan hal-hal dan materi pokok yang
sudah didamaikan dan diselesaikan menurut akte ini.
Melalui mediasi ini, para pihak berkomunikasi secara bermusyawarah hingga
akhirnya tercapainya kesepakatan diantara mereka yang bersengketa sehingga
mengakhiri perkara diantara mereka yang sedang berlangsung dan menghapuskan
putusan Pengadian Tinggi yang sudah diputuskan sebelumnya, seperti yang
dijelaskan pada Pasal 3 akte perdamaian tersebut yang berbunyi:
pengadilan tinggi tanggal duapuluh Januari dua ribu sepuluh (20-01-2010), Nomor: 423/PDT/2009/PT.Mdn yang sekarang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia diakhiri dan perkara tersebut dicabut atau dianggap selesai.
Berdasarkan kasus di atas, maka mediator dalam hal menjalankan perannya
untuk menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami, sudah melakukan perannya
sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan. Meski mediasi di luar pengadilan tidak diatur secara khusus dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, ada beberapa pasal yang
menyinggung tentang mediasi di luar pengadilan.
Seperti yang disebutkan di atas, kasus tersebut sebelumnya sudah memiliki
keputusan hakim yang tetap pada tingkat Pengadilan Tinggi dan sedang diproses pada
tingkat kasasi di Mahkamah Agung, sebelum akhirnya para pihak memutuskan untuk
melakukan mediasi di luar pengadilan. Hal tersebut diperbolehkan dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
dengan prosedur sebagai berikut:
Pertama, para pihak wajib menyampaikan keinginan berdamai secara tertulis
kepada Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili. Kedua, Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang bersangkutan segera memberi tahu Ketua Pengadilan Tingkat
Banding, atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak. Ketiga, jika
perkara itu sedang diperiksa, pada tingkat banding atau kasasi atau peninjauan
kembali, hakim majelis pemeriksa perkara itu wajib menunda pemeriksaan perkara
para pihak untuk berdamai. Keempat, jika berkas atau memore banding, kasasi,
peninjauan kembali belum dikirim, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang
bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi dan
peninjauan kembali untuk memberikan kesempatan kepada para pihak mengupayakan
perdamaian.107
Lebih lanjut dijelaskan mengenai kesepakatan di luar pengadilan:108
(1) Para pihak dengan bantuan mediator yang bersertifikat yang berhasil
menyelesaikan sengketa di luar pengadian, dengan kesepakatan perdamaian
dapat mengajukan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau
dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang
membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan dalam bentuk
akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. tidak dieksekusi;
107
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 21 ayat(2), (3),(4) dan (5) serta Pasal 22 ayat (1).
e. dengan itikad baik.
Dalam kasus ini, mediator yang juga seorang notaris, membuat langsung
kesepakatan perdamaian yang dituangkan ke dalam akte perdamaian setelah
tercapainya kesepakatan para pihak. Mediator yang juga merupakan seorang notaris
memiliki wewenang dalam membuat akta perdamaian otentik secara langsung.
Akta perdamaian yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan
hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut mempunyai beberapa
kekuatan hukum, sepanjang telah memenuhi persyaratan formal sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya di atas. Kekuatan hukum dari akta perdamaian
dimaksud selengkapnya akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini.109
1. Mempunyai Kekuatan seperti Putusan Pengadilan yang Mempunyai Kekuatan
Hukum Tetap.
Kekuatan hukum yang demikian disebutkan dalam ketentuan Pasal 1858 ayat
(1) KUH Perdata yang menentukan bahwa: "Segala perdamaian di antara para pihak
mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang
penghabisan atau final."
Hal yang sama dikemukakan pula pada Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat
(2) RBg dengan bunyi : "Akta perdamaian itu berkekuatan sebagaimana putusan yang
biasa."
Artinya, akta perdamaian tersebut disamakan dengan kekuatan hukumnya
seperti putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
109
Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan
konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap
apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya suatu putusan memiliki
kekuatan hukum tetap apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun,
terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri melekatkan kekuatan itu
secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara
inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap sehingga akta perdamaian itu
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap.110
2. Akta Perdamaian Mempunyai Kekuatan Eksekutorial.
Karena disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dengan sendirinya akta perdamaian yang telah mempunyai
kekuatan hukum mengikat, juga mempunyai kekuatan eksekutorial.
Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat (2)
RBg dengan bunyi : "akta perdamaian itu dijalankan sebagai putusan biasa."
Kata-kata "dijelaskan" di sini berarti bahwa akta perdamaian itu selain
mempunyai kekuatan hukum mengikat, juga dapat dieksekusi. Karenanya, akta
perdamaian mempunyai kekuatan eksekutorial.111
Dikatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena putusan perdamaian
itu mengikat para pihak yang membuatnya, juga mengikat pihak luar atau
orang-110
Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,sebagaimana dikutip dari M. Yahya Harahap,Op.Cit.Hal 279-280.
111
orang yang mendapat hak dan manfaat dari padanya. Putusan perdamaian juga
mempunyai kekuatan eksekusi apabila pihak-pihak yang membuat persetujuan
perdamaian itu tidak mau melaksanakan persetujuan yang disepakati secara sukarela.
Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan karena tidak ditaati persetujuan perdamaian
itu dapat meminta pengadilan yang membuat putusan perdamaian untuk
melaksanakan eksekusi.112
Eksekusi atas akta perdamaian ini sejalan dengan amar putusannya yang
menghukum para pihak untuk menaati perjanjian perdamaian yang mereka sepakati.
Dalam putusan akta perdamaian tercantum amar kondemnasi (condemnation) sehingga apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukarela, dapat
dilaksanakan pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.113
3. Akta Perdamaian Tidak Dapat Dimintakan Banding.
Berhubung akta perdamaian mempunyai kekuatan sama seperti putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dengan sendirinya tidak
dapat dilakukan upaya hukum atas akta perdamaian. Artinya, akta perdamaian tidak
dapat dibanding atau bahkan dikasasikan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan
adanya akta perdamaian tersebut. Penegasan ini dapat ditemukan dalam Pasal 130
ayat (3) HIR/Pasal 154 ayat (2) RBg yang menyatakan bahwa: "Terhadap putusan
sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding."
112
Abdul Manan.Op.Cit.Hal. 162. 113
Jadi, berdasarkan ketentuan ini jelas bahwa akta perdamaian tidak dapat
dimintakan banding karena akta perdamaian merupakan putusan terakhir atau final.
Sebaliknya, karena tidak dapat dimintakan banding, dengan sendirinya putusan
perdamaian dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap layaknya sebagai suatu
putusan pengadilan yang dapat dieksekusi.114
Satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya putusan perdamaian itu adalah dengan mengadakan
perlawanan terhadap putusan tersebut. Perlawanan itu bisa berbentuk derden verset atau bisa berbentuk partai verset. Apabila yang menjadi objek putusan perdamaian itu bukan menjadi milik para pihak yang membuat persetujuan perdamaian,
melainkan milik orang lain, dalam hal seperti itu bagi pihak yang merasa dirugikan
dapat mengajukan derden verset karena barang yang dicantumkan dalam putusan perdamaian itu miliknya. Mengajukan derden verset ini dapat juga dilaksanakan dengan alasan barang yang menjadi objek putusan perdamaian telah digunakan
kepadanya oleh salah satu pihak atau juga atas alasan di atas barang yang menjadi
objek putusan perdamaian telah diletakkan conservatoir beslag atau sita eksekusi untuk kepentingan pelawan.115
114
Rachmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa...Op.Cit. Hal 274. 115
A. Faktor-faktor Penghambat dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris
Poligami yang Dihadapi oleh Mediator
Mediasi dalam literatur islam disamakan dengan Tahkim. Tahkim dalam terminolgi fiqh ialah adanya dua orang atau lebih yang meminta orang lain agar
diputuskan perselisihan yang terjadi diantara mereka dengan hukum syar’i.116
Konsep penyelesaian sengketa win-win solution seperti dalam mediasi, juga dikenal dalam sistem Hukum Islam. Walaupun disebut dengan mediasi, namun
penyelesaian sengketa yang digunakan menyerupai pola yang digunakan dalam
mediasi. Dalam sistem hukum Islam dikenal apa yang disebut istilah islah dan hakam.
Tahkim yakni berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusannya untuk meyelesaiakan
persengketaan mereka, berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang
mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan/menyelesaikan perselisihan
yang terjadi di antara mereka.117
Lembaga Tahkim telah dikenal sejak sebelum masa islam. Orang-orang Nasrani apabila mengalami perselisihan di antara mereka mengajukan perselisihan
116Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat Dalam Islam (Jakarta:Khalifa,
2004), hal 328
kepada Paus untuk diselesaikan secara damai. Hakam atau juru damai dalam tahkim
dapat terdiri dari satu oarng atau lebih. Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang
mengankat dan mengutus hakam atau mediator dalam sengketa syiqoq. Mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa berdasarkan zhahir ayat 35 surat
an-Nisa’ bahwa hakam atau mediator diangkat oleh pihak keluarga suami atau istri, dan
bukan suami atau istri secara langsung.118Pandangan ini berbeda dengan dengan
pandangan Wahbah Zuhaili dan Sayyid Sabiq bahwa hakam dapat diangkat oleh
suami istri yang disetujui oleh mereka.
Islah adalah ajaran Islam yang bermakna lebih menonjolkan metode
penyelesaian atau konflik secara damai dengan mengesampingkan
perbedaan-perbedaan yang menjadi akar perselisihan. Intinya bahwa para pihak yang berselisih
diperintahkan untuk mengiklaskan “kesalahan” masing-masing dan diamalkan untuk
saling memaafkan.
Pengertian islah juga sangat berkembang penggunaanya di kalangan
masyarakat Islam secara luas, baik untuk menyelesaikan kasus-kasus perselisihan
ekonomi, bisnis maupun non ekonomi bisnis.Konteks islah dapat diidentikkan dengan
mediasi atau konsiliasi.119
Selain islah dikenal juga istilah hakam, hakam mempunyai pengertian yang
sama dengan mediasi. Dalam sistem Hukum Islam biasanya berfungsi untuk
118Kholis Firmansyah, Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kota Malang Terhadap
PERMA No.01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi, skripsi (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008)
119 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Jakarta:
menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan syiqaq. Mengenai
pengertian hukum, para ahli Hukum Islam memberikan pengertian yang
berbeda-beda. Namun dari pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa
hakam merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam yang terjadi di antara
suami/istri sebagai pihak yang akan menengahi atau menyelesaikan sengketa di
antara mereka.120
Sebagai pedoman, pengertian hakam dapat diambil dari penjelasan Pasal 76
ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama. Dikatakan bahwa hakam adalah orang yang ditetapkan
pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk
mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Dari bunyi penjelasan pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi hakam hanyalah untuk mencari upaya
penyelesaian perselisihan, bukan untuk menjatuhkan putusan.
Dari definisi di atas menunjukkan bahwa pemilihan dan pengangkatan
seorang juru damai (hakam) dilakukan secara sukarela oleh kedua belah pihak yang
terlibat persengketaaan.
Setelah hakam berusaha sekuat tenaga untuk mencari upaya perdamaian di
antara suami-istri, maka kewajiban dari hakam berakhir. Hakam kemudian
melaporkan kepada hakim tentang usaha yang mereka ambil terhadap para pihak
120Nailul Sukri,Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
(suami-istri). Selanjutnya, keputusan akan diambil oleh hakim dengan
mempertimbangkan masukan dari hakam.
Dengan demikian, bahwa hakam dalam Hukum Islam ini mempunyai
kesamaan dengan mediator keduanya (baik mediator maupun hakam) tidak
mempunyai kewenangan untuk memutus. Keduanya merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Bahwa pola penyelesaian sengketa melalui mediasi telah dikenal pula dengan
sistem Hukum Islam. Islah dan hakam dapat dikembangkan untuk menjadi metode
penyelesaian berbagai jenis sengketa, termasuk sengketa perdata dan bisnis sebagai
mana ajaran Islam yang memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang
terjadi antara manusia dengan cara perdamaian (islah) sesuai firman Allah swt.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat (49) : 9 yang berbunyi “jika ada dua golongan
orang beriman bertengkar maka damaikanlah mereka, perdamaian itu hendaklah
dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah sangat mencintai orang yang berlaku
adil”. Walaupun pranata hakam dalam system Hukum Islam digunakan untuk
menyelesaikan masalah perceraian, hal ini dapat diterapkan juga pada bidang-bidang
sengketa yang lainnya.
Mengingat peranan mediator sangat menentukan efektivitas proses
penyelesaian sengketa pembagian waris poligami, maka seorang mediator harus
memiliki persyaratan dan kualifikasi tertentu. Kualifikasi seorang mediator dapat
dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi eksternal mediator tersebut dan juga dari sisi
Ketrampilan seorang mediator sangatlah diperlukan demi keberhasilan
mediasi yang dilakukannya. Mediator dalam menjalankan mediasi harus memiliki
sejumlah ketrampilan, yaitu ketrampilan mendengarkan, ketrampilan membangun
rasa memiliki bersama, ketrampilan memecahkan masalah, ketrampilan meredam
ketegangan, dan ketrampilan merumuskan kesepakatan.121
Ketrampilan dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan mediasi.
Ketrampilan harus diasah dan dipraktekkan secara terus menerus, sehingga memiliki
ketajaman dalam menganalisis, menyususn langkah kerja, dan menyiapkan solusi
dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak antara lain :
1. Ketrampilan mendengarkan
Ketrampilan mendengarkan sangat penting bagi mediator dan dariketrampilan
mendengar ini akan memunculkan kepercayaan dari para pihakbahwa mediator
benar-benar memahami dan mendalami persoalan mereka.Mediator akan diterima
para pihak sebagai juru damai. Dengan diterimanyamediator oleh para pihak akan
memudahkan membangun kekuasaansebagai mediator. Kekuasaan ini bukan untuk
mendominasi dan menekanpara pihak akan tetapi menerima tawaran solusi, tetapi
menciptakan ruangaman dalam membangun komunikasi konstruktif.122
Ketrampilan mendengar disebut juga dengan pendengar aktif. Konsep
pendengar aktif ini menegaskan bahwa menjadi pendengar yang baik buka suatu
kegiatan yang pasif. Namun berkaitan dengan kerja keras.Pendengar harus secara
fisik menunjukkan perhatiannya, dapat berkonsentrasi penuh, mampu mendorong
para pihak untuk berkomunikasi dapat menunjukkan suatu sikap keprihatinan dengan
tidak berpihak, tidak bersifat mengadili orang lain, tidak disibukkan untuk melakukan
berbagai tanggapan dan tidak terganggu oleh hal-hal yang tidak relevan.123
2. Ketrampilan Membangun rasa memiliki bersama
Ketrampilan membangun rasa memilki bersama dimulai dengan sikap empati
yang ditunjukkan mediator terhadap persoalan para pihak.Mediator harus
mengetahui, mengidentifikasi dan memahami perasaan yang dialami para pihak yang
bersengketa.Mediator juga harus membantu menumbuhkan rasa memilki bersama
dengan para pihak, guna merumuskan berbagai solusi atas berbagai persoalan
mereka. Membangun rasa memiliki bersama dapat dilakukan mediator dengan
menjernihkan berbagai persoalan, mengidentifikasikan keprihatinan bersama dan
menitikberatkkan pada kepentingankedua belah pihak.
3. Ketrampilan memecahkan masalah
Ketrampilan yang sangat esensial di antara ketrampilan lainnya adalah
ketrampilan memecahkan masalah, karena inti dari mediasi adalah menyelesaikan
persengketaan yang terjadi antara para pihak. Dalam memecahkan masalah, mediator
melakukan beberapa langkah penting yaitu; mengajak para pihak untuk fokus pada
hal-hal positif, fokus pada persmaan kepentingan dan kebutuhan, fokus pada
penyelesaian masalah untuk masa depan, memperlunak tuntutan, ancman dan
penawaran terakhir, dan mengubah suatu permintaan atau posisi absolut menjadi
suatu bentuk penyelesaian.
4. Ketrampilan meredam ketegangan
Mediator dapat mengambil sejumlah tindakan yang merupakan ketrampilan
dalam mengelola dan meredam kemarahan dari dua belah pihak yang
bersengketa.Mediator harus memposisikan diri sebagai penengah dan tempat para
pihak menumpahkan kemrahannya.Mediator harus bisa mencegah pengungkapan
kemarahan tidak secara langsung ditujukan kepada masing-masing pihak, tetapi
mereka harus menyatakan kemarahannya dihadapan mediator. Jadi pengungkapan
kemarahan para pihak harus ditanggapi positif dan tenang oleh seorang mediator,
karena melalui pengungkapan kemarahan akan dapat ditemukan esensi atau penyebab
utama terjadi sengketa di antara para pihak.
5. Ketrampilan Merumuskan Kesepakatan
Ketika para pihak sudah mencapai kesepakatan dalam mediasi, maka tugas
mediator harus merumuskan kesepakatan tersebut dalam bentuk tulisan.Mediator juga
mengajak para pihak secara bersama-sama memberikan tanggapan, apakah
kesepakatan tersebut sudah berlangsung, apakah sudah mencakup hal-hal yang
esensial ataukah mereka bersedia melaksanakannya. Bila para pihak telah memahami
rumusan kesepakatan dengan baik dan mereka akan melaksanakannya, maka para
pihak dapat membubuhkan tandatangannya. Dengan penandatangan kesepakatan
Apabila suatu perkara diajukan ke persidangan, maka berdasarkan Pasal 130
HIR dan Pasal 154 Rbg, Hakim Pengadilan Negeri wajib lebih dahulu berusaha
mendamaikan pihak yang bersengketa melalui. Namun, dalam hal mediasi di luar
pengadilan para pihak memilih sendiri mediator yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Dalam kasus yang diangkat dalam tesis ini, para pihak sebelumnya sudah
berusaha menempuh jalur hukum terlebih dahulu, seperti yang dijelaskan dalam
contoh kasus pada Bab III huruf C sebelumnya, tentu sebelumnya mereka sudah
melalui tahap mediasi dari Pengadilan Negeri, namun belum juga mencapai kepuasan
masing-masing pihak hingga kasus yang sudah diputuskan pada tingkat Pengadilan
Tinggi, kemudian berlanjut ke jalur kasasi dan sedang diproses di Mahkamah Agung
Republik Indonesia, sebelum akhirnya para pihak sepakat untuk melakukan mediasi
di luar pengadilan.
Pada pelaksanaan pembagian harta warisan tidaklah semudah yang tertuang
dalam kertas atau sebatas teori, dalam pembagian waris adanya faktor penghambat
atau kendala yang dihadapi dalam penyelesaiannya. Terutama dalam hal pembagian
yang mana harta peninggalan terbatas namun ahli warisnya banyak sehingga banyak
pula keinginan yang timbul dari ahli waris tersebut terhadap pembagian harta
peninggalan. Kendala yang timbul dari pelaksanaan pembagian waris kebanyakan
kendala tersebut timbul dari dalam keluarga sendiri.
Salah satu kendala yang sering dihadapi adalah hal ketidakpuasan ahli waris
menguasai keseluruhan atau bagian yang menguntungkan saja bagi ahli waris. Dalam
hal ini kendala pembagian warisan terdapat pada faktor ketidak inginan membagi
warisan namun penguasaan sepihak terhadap harta warisan tersebut. Penjelasan
mengenai kendala atau faktor penghambat di atas merupakan hal menjelang
pelaksanaan penentuan pembagian, namun jika penentuan pembagian telah
dilaksanakan melalui akta perdamaian yang mana kesepakatan mengenai bagian
masing-masing ahli waris, maka kendala yang timbul merupakan cara untuk membagi
langsung kepada individu ahli waris itu sendiri. Seperti contoh jika harta peninggalan
berupa tanah dan bangunan hanya ada 2, sedangkan ahli waris ada tujuh dan bagian
untuk masing-masing mendapat 1/7 (sepertujuh) bagian. Dalam hal itu untuk
mudahnya dapat ditempuh dengan menjual harta peninggalan dan hasil penjualan
dibagi sama rata kepada keseluruhan ahli waris.
Faktor lainnya yang menghambat mediator dalam penyelesaian sengketa
pembagian waris poligami dalam kasus yang diangkat dalam tesis ini, yaitu tidak
hadirnya para pihak yang bersengketa yang hanya diwakilkan kepada orang lain
dengan memakai surat kuasa, sehingga mediator tidak dapat langsung mendengarkan
keinginan para pihak yang bersengketa, meskipun sudah cukup jelas mendengarkan
keinginan mereka dari kuasa masing-masing pihak, tetapi tetap saja sulit untuk
mencapai kesepakatan karena pihak yang bersengketa tidak hadir dan kesepakatan
B. Upaya yang Dilakukan Mediator dalam Menangani Penyelesaian Pembagian
Waris Poligami
Dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami mediator dalam
penyelesaian sengketa pembagian waris poligami, mediator telah mengupayakan
beberapa bentuk cara penyelesaian, diantaranya dengan :
1. Meningkatkan Kepercayaan Para Pihak Terhadap Mediator
Seorang mediator harus mampu mengembangkan kepercayaan para pihak
terhadap peran mediator, hal tersebut merupakan sikap yang harus ditunjukan oleh
mediator kepada para pihak bahwa mediator tidak memiliki kepentingan apa pun
terhadap sengketa pembagian waris seseorang yang berpoligami tersebut. Mediator
hanya membantu para pihak untuk mengakhiri perselisihan. Mediator dalam
memfasilitasi dan melakukan negosiasi antarpara pihak yang berselisih harus bersifat
netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak dalam menjalankan proses mediasi
tersebut. Seorang mediator harus mampu mendengarkan permasalahan dari setiap
pihak secara seimbang dan dapat menunjukan sikap empati kepada para pihak,
dimana mediator harus memiliki rasa peduli terhadap sengketa tersebut.Rasa empati
ini ditunjukan mediator dengan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencari
jalan keluar terbaik dari perselisihan yang sedang terjadi yang menguntungkan kedua
belah pihak secara adil. Dengan terciptanya rasa kepercayaan para pihak kepada
mediator maka dapat terjalin komunikasi yang baik sehingga kepentingan kedua
dapat mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
yang sedang mereka hadapi.
2. Mendengarkan dan Memahami Masing-masing Pihak yang Bersengketa
Tugas mediator yang paling utama adalah mendengarkan masing-masing
pihak, setelah mendengarkan kemudian memahami maksud dan tujuan kedua belah
pihak yang bersengketa sebelum akhirnya memberikan solusi kepada mereka.
Mediator harus bersikap diam dan netral dalam mendengarkan para pihak hingga
kedua belah pihak selesai menyampaikan maksud mereka masing-masing dan
mediator memahami maksud mereka tersebut.
3. Memberikan Nasehat dan Solusi Kepada Para Pihak
Dalam memberikan nasihat dan solusi para pihak sekali lagi mediator harus
besikap netral dan tidak memihak pihak manapun. Biasanya dalam memberikan
nasihat dan solusi, mediator berusaha sebisa mungkin untuk memberikan pilihan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau setidaknya tidak merugikan pihak yang satu
dan menguntungkan pihak yang lain, karena dengan begitu tidak akan tercapai kata
sepakat dan damai dari keduanya. Namun tidak jarang terjadi ada pihak yang masih
masih belum puas dengan pilihan yang diberikan mediator kepadanya, meski menurut
mediator pilihan-pilihan yang diberikannya tersebut sudah cukup adil bagi para pihak.
Dalam kasus yang diangkat dalam tesis ini, yang menjadi sengketa para pihak
adalah 20 (dua puluh) lembar saham yang diperebutkan oleh para ahli waris yang
terdiri dari 13 (tiga belas) orang anak dari 5 (lima) orang istri yang pernah dinikahi
sepakati. Dari kelima orang istri tersebut, istri pertama sampai istri ketiga sudah
meninggal terlebih dahulu dari almarhum, istri yang masih hidup yaitu istri keempat
dan kelima, tidak mendapat bagian dari sengketa saham ini, karena pembagian
didasarkan dengan Akte Wasiat Nomor 25 tertanggal 22 November 1997 yang
ditinggalkan oleh almarhum yang menjelaskan 13 (tiga belas) anaknya saja yang
A. Kesimpulan
1. Peranan mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian waris terhadap
perkawinan poligami adalah sebagai penengah, yang mana seorang mediator
berperan untuk dapat menjembatani dua kepentingan yang berbeda antar para
pihak yang sedang bersengketa. Di mana untuk menjalankan perannya tersebut,
seorang mediator menjalankan tugasnya secara aktif dalam membantu para pihak
dengan memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang sedang
dihadapi dengan membangun komunikasi yang baik di antara para pihak
sehingga para pihak dapat mengemukakan pandangan dan tuntutan
masing-masing secara terbuka. Pada akhirnya, seorang mediator dapat memberikan
pilihan-pilihan penyelesaian perselisihan yang akan disepakati para pihak yang
sekaligus mengakhiri persengketaan di antara ahli waris almarhum yang
bersengketa yaitu ke-13 (tigabelas) orang anaknya dari 5 (lima) orang istri yang
pernah dinikahinya.
2. Mekanisme penyelesaian sengketa pembagian waris poligami yang dilakukan
oleh mediator adalah yang pertama, para pihak sepakat untuk menempuh proses
mediasi. Kesepakatanmerupakan awal untuk memulai mediasi, para pihak yang
bersengketa harus menyetujui dan mematuhi aturan dalam mediasi, sehingga
baik bagi para pihak yang bersengketa maupun mediator harus memahami betul
duduk permasalahan yang ada. Adapun mediator tidak boleh berpihak dan
mendengar dari satu sisi saja, harus dari pihak yang bersengketa. Ketiga,
memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah, sebagai solusi yang tidak
menberatkan kedua belah pihak. Keempat, mencapai kesepakatan. Proses yang
telah dilewati dari tahap awal hingga tahap ketiga dengan menentukan pilihan
pemecahan permasalahan, maka adanya kesepakatan yang dipilih oleh para pihak
yang bersengketa. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan baik
berupa kesepakatan perdamaian yang dikeluarkan oleh hakim mediator atau lebih
baik lagi dibuat dalam bentuk otentik berupa akta perdamaian yang dibuat
dihadapan notaris. Kesepakatan yang telah dibuat merupakan peraturan bagi para
pihak yang bersengketa untuk tunduk dan terikat dengan kesepakatan tersebut.
Kelima, melaksanakan kesepakatan. Tahap terakhir merupakan tahap
pelaksanaan dimana para pihak melaksanakan kesepakatan yang telah dipilih dan
ditentukan. Kesepakatan tersebut merupakan Undang-undang bagi para pihak
yang awalnya bersengeketa dan harus dipatuhi.
3. Faktor-faktor yang menghambat dalam proses penyelesaian sengketa pembagian
waris poligami yang dihadapi mediator, pertama adalah sulitnya menemukan
kesepakatan para pihak karena adanya ketidakpuasan ahli waris dalam
mendapatkan bagian masing-masing, sehingga timbulnya ketamakan untuk
menguasai keseluruhan atau bagian yang menguntungkan saja bagi ahli waris.
kuasa masing-masing pihak sehingga sulit mendengarkan secara langsung
keinginan para pihak yang disampaikan melalui kuasa masing-masing saja.
B. Saran
1. Bertindak sebagai seorang Mediator atau penengah dalam penyelesaian masalah
hendaknya dapat berperan dengan baik dan tidak memihak salah satu pihak.
2. Mekanisme penyelesaian sengketa mediator yang secara umum diatur di dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 kebanyakan mengatur tentang
mediasi di pengadilan, dan hanya beberapa pasal yang membahas atau mengatur
tentang mediasi di luar pengadilan, hendaknya pemerintah membuat peraturan
yang mengatur secara khusus mediasi di luar pengadilan.
3. Penyelesaian sengketa oleh mediator hendaknya dilakukan dengan cara,
memahami masalah-masalah sengketa yang dihadapinya tersebut, mendengar
pendapat dari kedua belah pihak yang bersengketa dan bersikap netral/tidak
memihak, memberikan solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak dalam
menyelesaikan persengketaan di antara mereka hingga tercapainya kesepakatan