• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keeratan Hubungan Perawat dan P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Keeratan Hubungan Perawat dan P"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Keeratan Hubungan Perawat dan Pasien Rawat Inap Bunda Dan

Kebidanan terhadap Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dengan

Metode

Human Sigma

Tahun 2014

Eva Oktavianingsih1, Masyitoh2

1.2 Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,

Depok 16412

Email : eva.oktavianingsih@ui.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara perawat dan pasien rawat inap bunda dan kebidanan terhadap Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita. Metode yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan adalah Human Sigma serta ditunjang dengan analisis univariat dan bivariat. Hasil yang didapatkan adalah keeratan hubungan antara perawat dan pasien rawat inap bunda dan kebidanan terhadap Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita berada di posisi HS3 yang berarti bahwa terdapat salah satu subjek yang keeratannya belumlah optimal. Keeratan tersebut berdasarkan analisis bivariat dipengaruhi secara signifikan oleh variabel kepemimpinan akan tetapi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh variabel kesesuaian posisi. Diperlukan intervensi yang bersifat transformasional dan transaksional secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan keeratan hubungan.

Engagement Analysis Nurses and Inpatient Mother and Obstetric Units to Children and

Maternity Harapan Kita Hospital with Human Sigma Method 2014

Abstract

This research aims to determine the engagement nurses and inpatient mother and obstetrics to Units to Children and Maternity Harapan Kita Hospital. The method to measure the engagement is the Human Sigma and supported by univariate and bivariate analysis. The results is the engagement nurse and inpatient unit mother and obstetrics to Children and Maternity Harapan Kita Hospital are in a position HS3, which means there is one subject that the engagement not optimal yet. The engagement have a significant correlation with leadership but do not have significant correlation with the right position. It is required an intervention transformational and transactional sustainably in order to improve the relationship.

(2)

Pendahuluan

Januari 2014 merupakan salah satu bulan yang bersejarah bagi dunia kesehatan di

Indonesia dimana Pemerintah Indonesia melaksanakan sebuah sistem yang dinamakan dengan

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana didalamnya, terdapat program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) (DJSN, 2012). Pelayanan kesehatan sebagai fasilitas dari program

ini sebelumnya telah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia

Nomor 71 Tahun 2003 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Sistem

pada pelayanan kesehatan baik primer maupun sekunder pun mengalami perubahan yang

signifikan dengan adanya kedua peraturan diatas (DJSN, 2012).

Perubahan yang cukup signifikan pada pelayanan kesehatan diantaranya adalah sistem

rujukan dan sistem pemilihan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) (Kemenkes, 2014). Sistem

pemilihan PPK pun turut diatur dalam pelaksanaan JKN ini. Pasien BPJS diberikan kebebasan

untuk memilih fasilitas kesehatan primer, sekunder dan tersier yang telah dikontrak oleh BPJS

(DJSN, 2012). Melalui konsep ini, PPK baik primer, sekunder, maupun tersier akan bersaing

memberikan layanan yang berkualitas dan memuaskan.

Rumah sakit merupakan PPK sekunder yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaan

BPJS di Indonesia. Menurut Undang-Undang Rumah Sakit No 44 Tahun 2009 menjabarkan

bahwa rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Sumber daya yang dibutuhkan guna

menyelenggarakan pelayanan kesehatan tersebut tidaklah sedikit, maka dari itulah Rumah Sakit

dikatakan sebagai industri padat karya, padat modal, dan padat teknologi (Yoga, 2006).

Kebutuhan akan modal dan tenaga yang tinggi, tidak menghalangi industri ini untuk

terus berkembang di Indonesia. Data dari BUK tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2013

terdapat peningkatan rumah sakit sebesar 21% dan 13% pada tahun 2014, maka rumah sakit

pun dituntut untuk untuk terus melakukan inovasi, beradaptasi dengan cepat, serta memiliki

keunggulan yang kompetitif (Marbun, 2009). Keunggulan kompetitif yang kerap digunakan

sebagai strategi oleh rumah sakit adalah peningkatan mutu pelayanan terhadap pelanggan

(Widiharti, 2011). Hal tersebut dikarenakan salah satu pendekatan yang sangat mendasar dalam

memberikan pelayanan kepada pasien adalah jaminan mutu pelayanan kesehatan (Imbalo,

2007).

Aspek kualitas pelayanan yang diberikan sangatlah berkaitan erat dengan mutu

pelayanan rumah sakit tersebut. Mutu pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan tingkat

(3)

sakit, petugas kesehatan, atau pelayanan pendukung (Widiharti, 2011). Pelayanan adalah semua

upaya yang dilakukan karyawan untuk memenuhi keinginan pelanggannya dengan jasa yang

akan diberikan. Suatu pelayanan dikatakan baik oleh pasien, ditentukan oleh kenyataan apakah

jasa yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi pasien

tentang pelayanan yang diterima (Anjaryani, 2009).

Beberapa indikator untuk mengetahui mutu pelayanan dari rumah sakit diantaranya

adalah pemanfaatan tempat tidur, pemanfaatan tenaga, pemanfaatan penunjang medik, dan

keuangan. Indikator pemanfaatan tempat tidur sendiri dapat diketahui melalui angka BOR (Bed

Occupancy Rate), BTO (Bed Turn Over), ALOS (Average Length Of Stay), dan TOI (Turn Over

Interval) (Sabarguna, 2004). Departemen Kesehatan Republik Indonesia pun membuat standar

mutu pelayanan tersebut seperti standar persentase pemanfaatan tempat tidur (BOR) yakni

sebesar 60-85%.

Salah satu alasan dari rendahnya angka BOR sebuah rumah sakit adalah rendahnya

kualitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut. Pasien atau calon pasien akan

enggan untuk memilih sebuah pelayanan jika dirinya merasa diperlakukan secara kurang

profesional. Rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan dapat mengurangi minat calon

pasien lain untuk memilih rawat inap di rumah sakit. Pasien pada umumnya lebih memilih

untuk dirawat di rumah sakit yang memberikan pelayanan secara baik. Kondisi inilah yang

menggambarkan mengapa rendahnya BOR bisa disebabkan oleh rendahnya pelayanan yang

diberikan (Widaryanto, 2005).

Seksi Rekam Medis RSAB Harapan Kita melaporkan bahwa angka BOR dari RSAB

Harapan Kita pada tahun 2011 hingga tahun 2013 berturut-turut adalah 44.63%, 47.43%, dan

50.78%. Apabila dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh Depkes yakni sebesar

60-85%, maka dapat dilihat bahwa pemanfaatan tempat tidur belum dapat dimaksimalkan dengan

baik, namun RSAB Harapan Kita terus berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk

indikator BOR tersebut, dilihat dari setiap tahunnya BOR dari RSAB Harapan Kita terus

meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 3.075%.

Pencapaian BOR suatu rumah sakit, menggambarkan tingkat pemanfaatan dari tempat

tidur oleh pasien, BOR dapat digunakan pula untuk melihat tingkat kepuasan pasien terhadap

pelayanan rumah sakit ataupun kinerja petugas kesehatan yang ada di dalamnya (Lolongan,

Balqis, & Darmawansyah, 2013). Salah satu penyebab rendahnya BOR adalah ketidakpuasan

pasien sehingga memutuskan untuk tidak menggunakan jasa pelayanan rumah sakit tersebut

(4)

kepada orang lain yang akhirnya membentuk persepsi kurang baik terhadap pelayanan rawat

inap rumah sakit tersebut (Laksono, 2008).

Pelayanan rawat inap merupakan salah satu pelayanan di rumah sakit yang dirasakan

oleh pasien dalam jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pelayanan kesehatan

lainnya. Dari lamanya interaksi itulah pasien dapat menilai kualitas dari pelayanan rumah sakit

pun dapat lebih dirasakannya baik secara subjektif maupun objektif. Penilaian tersebut juga

akan memperlihatkan bagaimana kepuasan dari pasien dan hal ini tentulah berhubungan dengan

loyalitas dari pasien. Semakin tinggi kepuasan pasien maka loyalitas dari pasien tersebut pun

akan tinggi dan sebaliknya (Wahdi, 2006).

Tidak berbeda jauh dengan pasien, loyalitas perawat terhadap rumah sakit pun

hendaklah turut diperhitungkan karena hal tersebut merupakan salah satu modal yang dimiliki

oleh rumah sakit untuk meningkatkan produktivitasnya. Loyalitas pada sisi pasien dan perawat

terhadap rumah sakit dapat membentuk sebuah keeratan sehingga perawat dapat memberikan

pelayanannya secara optimal dan hal tersebut dapat berdampak pada kepuasan bagi sisi pasien

sebagai customer (Anjaryani, 2009).

Salah satu variabel untuk mengukur keeratan dari kedua sisi tersebut adalah metode

Human Sigma yang dikembangkan oleh John H. Fleming, Jim Asplund, Curt Coffman, dan

James Harter. Dengan menggunakan metode tersebut akan didapatkan nilai dari keeratan antara

pasien dan perawat serta akan diketahui pula koefisien keuangan dari perusahaan tersebut.

Tidak hanya melihat dari sisi pasien sebagai customer, metode ini juga menaruh perhatian yang

besar terhadap perawat sebagai karyawan karena melalui metode ini dapat dilihat apa saja

kebutuhan dan harapan dari karyawan tersebut serta dapat melihat tingkat kepuasan dan

keeratan dari karyawan terhadap rumah sakit (Fleming & Asplund, 2007).

Didalam sebuah bisnis, keterikatan karyawan dan pelanggan dengan perusahaan

sangatlah diperhatikan oleh perusahaan. Begitupula dengan rumah sakit, keterikatan perawat,

sebagai sumber daya rumah sakit dengan dengan jumlah yang cukup besar dan memiliki waktu

interaksi dengan pelanggan lebih lama dibandingkan dengan sumber daya lainnya, perlulah

diperhatikan oleh pihak manajemen. Hal tersebut dikarenakan keeratan yang positif antara

perawat dengan rumah sakit dapat meningkatkan loyalitas pelanggan, produktivitas, dan

profitabilitas (James, 2013).

Begitu pula dengan pasien sebagai pelanggan dari rumah sakit. Keeratan dari pasien

perlulah diketahui oleh pihak manajemen. Pelanggan yang memiliki keterikatan kuat dengan

perusahaan akan memberikan 23% kelebihan diatas rata-rata pelanggan dalam hal profitabilitas,

(5)

Permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana keterikatan

antara pasien sebagai customer dan perawat sebagai employee terhadap rumah sakit dengan

cara mendapatkan hasil analisis dari nilai keeratan hubungan pasien dan perawat ruang rawat

inap Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita melalui metode Human Sigma.

Tinjauan Teoritis

Human Sigma merupakan suatu metode untuk meningkatkan kualitas interaksi antara

karyawan dan pelanggan dimana metode ini tidak bergantung pada pengurangan variabel akan tetapi lebih berfokus kepada “bagaimana” karyawan dikelola dengan baik atau “bagaimana” karyawan melayani pelanggan (Fleming & Asplund, 2007).

Berbeda dengan perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur yang akan

memperhatikan sistem produksi mereka, perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan atau

jasa akan memperhatikan dan mengelola interaksi dari karyawan dan pelanggan untuk

meningkatkan kualitas serta membuatnya lebih produktif. Hal tersebut dikarenakan karyawan

dan pelanggan merupakan manusia, dengan semua perilaku tidak logis dan emosional yang

melekat pada dirinya sebagai manusia (Fleming & Asplund, 2007).

Terdapat 2 (dua) subjek yang diperhatikan oleh Human Sigma, yakni karyawan dan

pelanggan. Masing-masing subjek dalam pengukuran dengan metode Human Sigma,

dipengaruhi oleh 4 (empat) dimensi emosional yang dijadikan sebagai parameter kualitatif mutu

interaksi dalam Human Sigma (Fleming & Asplund, 2007).

Keterikatan antara perusahaan dengan karyawan digambarkan oleh Human Sigma

melalui 4 (empat) dimensi yakni apa yang karyawan dapatkan dari perusahaan, apa yang dapat

karyawan berikan untuk perusahaan, apa saja yang karyawan miliki dalam perusahaan tersebut,

dan bagaimana karyawan dan perusahaan dapat bersama-sama berkembang (Fleming &

Asplund, 2007).

Tidak hanya dimensi diatas yang dapat menjabarkan bagaimana tingkatan interaksi dari

karyawan terhadap perusahaan, Gallup pun menjabarkan bagaimana tingkatan emosional yang

akan tercipta antara pelanggan dan perusahaan. Dimensi tersebut adalah confidence, integrity,

pride, dan passion (Fleming & Asplund, 2007).

Penghitungan nilai keeratan pada Human Sigma menggunakan 2 (dua) ukuran, yakni

ukuran kuantitatif hubungan antara karyawan dan perusahaan yang disebut dengan Employee

(6)

disebut dengan Customer Engagement (CE). Masing-masing ukuran kuantitatif tersebut akan

menghasilkan sebuah nilai yang disebut dengan EE persentile dan CE persentile. Kedua nilai

persentile pun akan dihitung dalam satu rumus Human Sigma agar dapat diketahui nilai Human

Sigma pada perusahaan tersebut (Fleming, Coffman, & Harter, 2005).

Komponen yang mendukung dari keterikatan diantaranya kesesuaian posisi dari setiap

sumber daya manusia. Kesesuaian posisi ini menurut Hapsara & Sakinah (2013) diantaranya

adalah pendidikan, pengalaman, keterampilan, kesehatan, status perkawinan, dan faktor usia.

Selain kesesuaian posisi, Human Sigma turut memperhatikan bagaimana pemimpin memimpin

unit yang dipimpinnya. Robbins & Coutler (2010) menyebut perilaku dari seorang pemimpin

dalam sebuah kelompok guna meningkatkan kinerja dari kelompok tersebut diantaranya adalah

pengawasan, pengembangan, motivasional.

Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai dan tingkat keeratan antara pasien dan

perawat di ruang rawat inap bunda RSAB Harapan Kita. Penelitian ini dilaksanakan dengan

desain penelitian cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jalan Letjen S. Parman Kav.

87 Jakarta Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Desember 2014.

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dan perawat ruang rawat inap dimana untuk

menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan dari masing-masing subjek dilihat dari jumlah

populasi yang ada. Jumlah sampel perawat yang dibutuhkan penelitian ini dihitung dengan

menggunakan rumus Slovin dengan alasan dikarenakan jumlah populasi sudah diketahui

sehingga didapatkan jumlah sampel perawat adalah sebanyak 40 orang sedangkan Sampel dari

pasien di hitung dengan menggunakan rumus Lemeshow dikarenakan populasi dari pasien tidak

tetap dan tidak dapat diketahui secara pasti, sehingga didapatkan jumlah sampel pasien adalah

69 orang.

Terdapat 5 (lima) instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur masing-masing

(7)

Tabel 1 Instrumen Penelitian

No Variabel Metode Instrumen Sumber Informasi

1 Kesesuaian Posisi Pengisian

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis secara univariat

masing-masing variabel, analisis bivariat antara variabel kesesuaian posisi dan kepemimpinan terhadap

variabel keterikatan pegawai, analisis deskriptif dari masing-masing variabel untuk

menentukan faktor dominan serta analisis secara Human Sigma untuk dapat menentukan posisi

dari Human Sigma di ruang rawat inap bunda dan kebidanan RSAB Harapan Kita.

Hasil Penelitian

Karakteristik dari masing-masing responden diantaranya adalah seluruh responden baik

perawat maupun pasien adalah wanita. Untuk perawat, jabatan yang paling banyak menjadi

sebagian besar responden adalah perawat pelaksana dengan 52,5% dan dengan pendidikan D3

yakni sebesar 50% serta usia diatas 30 tahun sebesar 85%, sedangkan untuk pasien, sebagian

besar pasien yang menjadi responden pada penelitian ini merupakan pasien BPJS dengan

persentase sebesar 43,5%.

Analisis univariat pada variabel kesesuaian posisi, di dapatkan hasil dari 40 responden

terdapat 27 orang atau sebesar 67.5% yang memiliki persepsi bahwa posisi atas dirinya telah

sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang dikerjakan. Untuk variabel kepemimpinan,

didapatkan hasil sebesar 55% memiliki persepsi bahwa kepemimpinan atasan langsung sudah

baik untuk dirinya.

Analisis univariat pada variabel Employee Engagement didapatkan hasil bahwa

sebagian besar responden memiliki nilai employee engagement sedang yakni sebesar 75,4%

(8)

rendah. Tidak berbeda jauh dengan Employee Engagement, sebagian besar pasien juga

memiliki customer engagement yang sedang yakni sebesar 75,4% namun terdapat 1,4% pasien

yang memiliki nilai customer engagement rendah.

Analisis Human Sigma pada penelitian ini didapatkan bahwa total Employee

Engagement pada perawat ruang rawat inap Bunda dan kebidanan adalah sebesar 149,3333

dengan nilai mean sebesar 3,73333 serta memiliki nilai median sebesar 3,83333. Pada tabel

diatas, nilai mean terletak pada urutan 19 dan 20 sehingga diperoleh nilai Employee

Engagement percentile adalah 48,75 %.

Selisih sekitar 10% pada Employee Engagement percentile, total Customer Engagement

pada pasien ruang rawat inap Bunda dan kebidanan adalah sebesar 251,7273 dengan nilai mean

sebesar 3,648221 serta memiliki nilai median sebesar 3,636364. Pada tabel diatas, nilai mean

terletak pada urutan 39 dan 40 sehingga diperoleh nilai Customer Engagement percentile adalah

57,25 %.Dari nilai Employee Engagement percentile dan Customer Engagement percentile

dapat dihitung nilai dari Human Sigma dengan menggunakan salah satu rumus yang telah

ditetapkan. Pada penelitian ini didapatkan nilai dari Human Sigma sebesar 26,4%.

Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana hubungan

antara kesesuaian posisi dan kepemimpinan terhadap keterikatan pegawai. Analisis bivariat

dengan uji statistik antara variable kesesuaian posisi dan keterikatan pegawai didapatkan nilai p = 0,316 (α > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesesuaian posisi perawat dengan keterikatan pegawai.

Pada uji statistik variabel kepemimpinan, hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,011 (α

< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

kepemimpinan dengan keterikatan pegawai. Nilai OR= 9,600 (CI: 1.767-52.165) artinya

kepemimpinan yang baik berpeluang 9,600 kali untuk memiliki keterikatan pegawai yang

tinggi dibandingkan dengan kepemimpinan yang tidak baik.

Pembahasan

Kesesuaian Posisi

Analisis univariat pada variabel kesesuaian posisi menggambarkan bahwa terdapat 13

responden perawat yang menyatakan dirinya tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab

(9)

dirinya telah sesuai terhadap tugas dan tanggung jawab yang dijalankan. Kesesuaian atas posisi

ini berkaitan erat dengan penempatan kerja dimana tahapan ini merupakan tahapan penempatan

pegawai sesuai dengan kemampuan, kecakapan, dan keahliannya (Sastrohadiwirjo, 2002).

Penempatan karyawan yang kurang tepat secara tidak langsung dapat mempengaruhi

produktivitas kerja baik produktivitas secara individu maupun secara kelompok, lebih lanjut

penempatan karyawan yang tidak tepat dapat mengakibatkan karyawan cenderung untuk

memilih berhenti bekerja (Rivai & Jauvani, 2011). Penempatan karyawan menjadi penting

dikarenakan hal tersebut menjadi dasar dari peningkatan kepuasan kerja karyawan dan akan

meningkatkan loyalitas karyawan sehingga perusahaan mampu berkembang dan bersaing

dalam jangka waktu yang panjang (Paratama & Utama, 2013).

Faktor yang mendapatkan skor terendah dari kesesuaian posisi adalah faktor

pengalaman dimana faktor ini mendapatkan skor akhir 119 yang berada pada posisi sesuai. Hal

tersebut memiliki artian bahwa perawat rawat inap bunda dan kebidanan memiliki keterampilan

yang sudah sesuai terhadap posisi yang Ia kerjakan. Faktor pengalaman menjadi hal yang cukup

dipertimbangan dalam penempatan karyawan, hal ini dikarenakan karyawan yang memiliki

pengalaman kerja akan memiliki keterampilan dan keahlian yang lebih tinggi dibandingkan

dengan karyawan yang belum memiliki pengalaman kerja.

Penelitian dari Putu Ivan Ady Paratama dan I Wayan Mudiartha Utama menjabarkan

bahwa pengalaman kerja yang dimiliki oleh karyawan dapat membantu karyawan dalam

melaksanakan tugasnya serta pengalaman ini dapat meningkatkan loyalitas kerjanya seiring

dengan kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugas (Paratama & Utama, 2013).

Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam keperawatan memiliki artian bahwa bagaimana seorang

pemimpin (yang juga berprofesi sebagai perawat) mempengaruhi perawat lain yang berada

dibawah pengawasannya untuk pembagian tugas dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan

dari keperawatan (Maryanto, Pujiyanto, & Setyono, 2013).

Pada analisis deskriptif menjabarkan setiap faktor yang membangun variabel

kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut diskoring masing-masing dan diperoleh nilai rata-rata.

Sedikitnya terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi variabel kepemimpinan yakni

pengawasan, pengembangan diri, motivasional, inisiatif, dan partisipatif (Robbins & Coutler,

(10)

Faktor motivasi memiliki skor yang terendah dibandingkan dengan variabel lainnya.

Faktor ini berada pada posisi sesuai dan memiliki nilai rata-rata sebesar 67. Hal tersebut

memiliki artian bahwa responden setuju bahwa atasan langsung telah memberikan motivasi

baik dalam bentuk penghargaan maupun sanksi. Angka 67 memang dapat dikatakan cukup baik

walaupun belum dapat dikatakan maksimal. Faktor motivasi merupakan faktor yang cukup

berperan dalam produktivitas dari karyawan, hal tersebut dikarenakan motivasi pemimpin dapat

mempengaruhi karyawan untuk bekerja lebih sehingga hal tersebut secara tidak langsung

mempengaruhi bagaimana kondisi finansial sebuah perusahaan (Lambrou, Kontodimopoulos,

& Niakas, 2010).

Employee Engagement

Analisis univariat pada Employee Engagement menunjukkan bahwa keeretan antara

karyawan dengan perusahaan sudah terbangun dengan baik walaupun belum terlalu kuat. Hal

tersebut terlihat dari tidak ada dari responden yang memiliki nilai Employee Engagement yang

rendah dan sebagian besar dari karyawan memiliki Employee Engagement yang sedang, yakni

sebesar 65%. Nilai engagement ini memberikan gambaran bahwa perusahaan berpeluang tinggi

untuk meningkatkan keeratan hubungan antara karyawan dengan perusahaan sehingga dengan

ditingkatkan keeratan ini, maka dapat meningkatkan pula produktivitas kerja dari karyawan.

Dimensi yang memiliki skor terendah pada analisis deskriptif adalah how can we grow.

Dimensi ini merupakan dimensi yang menggambarkan bagaimana peran dari karyawan sebagai

satu entitas dari perusahaan. Ketika perusahaan mampu memberikan kepastian akan posisi dari

karyawan tersebut maka karyawan pun akan meningkatkan produktivas kerja dikarenakan

karyawan akan berpikir bahwa ketika dia dapat berkembang maka perusahaan juga akan

berkembang dan identitas posisi dia pada perusahaan dapat diperhitungkan (Fleming &

Asplund, 2007).

Rata-rata skor yang didapat pada dimensi ini hanya sebesar 134,5 yang berartikan

bahwa karyawan menilai posisi atas kerjanya belum dapat dimaksimalkan oleh perusahaan

karena sebagian karyawan merasa bahwa dirinya belum memiliki kesempatan untuk belajar dan

berkembang serta merasa bahwa tidak ada yang menanyakan bagaimana perkembangan dari

(11)

Customer Engagement

Analisis univariat pada Customer Engagement sudah cukup baik namun perlu

ditingkatkan lebih lanjut. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa 75.4% keterikatan antara

pelanggan dengan berada pada posisi sedang. Nilai engagement ini memberikan gambaran

bahwa perusahaan berpeluang tinggi untuk meningkatkan keeratan hubungan antara pelanggan

dengan perusahaan sehingga dengan ditingkatkan keeratan ini, maka dapat meningkatkan pula

produktivitas produktivitas dan profitabilitas dari perusahaan.

Dimensi yang pertama adalah confidence dimana pada dimensi ini pelanggan sudah

mulai mempercayai perusahaan tersebut untuk pemenuhan kebutuhannya. Rata-rata skor yang

didapatkan pada dimensi ini adalah sebesar 265.2, skor tertinggi berada pada poin mengenai

kepercayaan yakni sebesar 295. Nilai tersebut memiliki artian bahwa pelanggan sudah sangat

mempercayai perusahaan sebagai perusahaan yang mampu memberikan pelayanan yang sesuai

dengan kebutuhan dari pelanggan, hal tersebut didukung oleh skor yang didapatkan untuk poin

pemenuhan kebutuhan yakni sebesar 249.

Poin kepercayaan pun turut didukung oleh poin kepuasan dimana skor kepuasan

terhadap pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan sebesar 279 sehingga dapat dikatakan

bahwa tingkat kepuasan dari pelanggan sudah sangat tinggi. Akan tetapi pada nyatanya

sebagian dari pelanggan bersikap netral dalam penyebaran informasi mengenai jasa ini kepada

teman atau kerabat mereka.

Hal tersebut terlihat pada poin rekomendasi, hanya sebagian responden saja yang mau

merekomendasikan ini kepada rekan atau kerabatnya sedangkan sebagian lagi bersikap netral

dalam artian responden berpersepsi bahwa dirinya tidak memiliki keharusan untuk

menyebarkan informasi mengenai layanan yang telah diterimanya. Pada dimensi terlihat bahwa

kepuasan pelanggan baru sebatas pada kepuasan rasional dikarenakan pelanggan merasa bahwa

perusahaan telah memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya dengan baik (Fleming,

Coffman, & Harter, 2005).

Dimensi yang memiliki skor terendah adalah passion, dimana dimensi ini

menggambarkan hubungan yang berjangka waktu sangat panjang dan perusahaan tidak mudah

tergantikan dengan perusahaan lainnya (Fleming, Coffman, & Harter, 2005). Dimensi ini

memiliki skor rata-rata yang cukup baik yakni 219. Sebagian besar responden bersikap netral

saat memilih Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dibandingkan harus memilih rumah

sakit lainnya serta bersikap netral saat mempersepsikan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan

(12)

Human Sigma

Pada penghitungan nilai mean dari setiap nilai di kuesioner Q11 maupun Q12 didapatkan

nilai dari keterikatan karyawan adalah sebesar 48.75%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa

tingkat keeratan antara karyawan dengan perusahaan belumlah dapat dikatakan optimal karena

batas minimal dari keterikatan yang optimal adalah sebesar 50%. Kondisi tersebut dapat

dikatakan bahwa karyawan cenderung netral dalam memandang perusahaan dan memandang

perusahaan tidak lebih sebatas pemenuhan kebutuhan (Fleming & Asplund, 2007).

Berbeda dengan keterikatan karyawan, keterikatan antara pelanggan dengan perusahaan

dapat dikatakan cukup optimal dan perusahaan memiliki peluang yang tinggi untuk

meningkatkannya. Nilai dari keterikatan pelanggan mencapai 57.25% sehingga kondisi ini

dapat diartikan bahwa pelanggan sudah mulai terikat dengan perusahaan, namun belum terlalu

kuat.

Selisih antara nilai keterikatan pelanggan dan karyawan terhadap perusahaan cukuplah

besar yakni sekitar 8.49%. Hal tersebut memiliki artian bahwa keterikatan pelanggan lebih

besar dibandingkan dengan keterikatan karyawan. Human Sigma plot menggambarkan bahwa

posisi keterikatan diatara keduanya terhadap perusahaan berada pada Human Sigma 3.

Berikut merupakan Human Sigma Plot yang memperlihatkan posisi dari Human Sigma 3

Gambar 1 Human Sigma Metric Ruang Rawat Inap Bunda dan Kebidanan RSAB

(13)

Nilai Human Sigma tersebut berhubungan dengan kekuatan keuangan secara

keseluruhan pada unit tersebut. Melalui penghitungan nilai Human Sigma di dapatkan nilai

sebesar 26.4% hal tersebut sesuai dengan posisi Human Sigma yakni Human Sigma 3. Angka

tersebut memiliki artian bahwa unit atau bagian yang vital dari pelayanan tersebut telah

memberikan kontribusi yang baik untuk posisi keuangan namun untuk unit atau bagian yang

lain belumlah dapat berkontribusi dengan baik. Kinerja keuangan perusahaan pada Human

Sigma 3 pun lebih besar 2.5 kali dibandingkan dengan Human Sigma 1.

Kondisi pada Human Sigma 3 adalah partial optimize yakni hanya salah satu dari subjek

(dalam hal ini adalah pelanggan) yang keeratannya bernilai optimal. Pada kondisi ini maka

perusahaan berada pada kuadran ke III dalam Human Sigma Plot (gambar 1). Selain dapat

melihat bagaimana posisi keuangan dari unit, Human Sigma dapat melihat pula bagaimana

kinerja pada unit tersebut. Arti dari kuadran ketiga adalah kinerja perusahaan 1.7 kali lebih

besar dibandingkan ketika perusahaan berada pada kuadran 1 (pertama), terutama pada kinerja

keuangannya.

Hubungan antara Employee Engagement dan Kesesuaian Posisi

Dalam meningkatkan keterikatan pegawai, kesesuaian posisi menjadi salah satu faktor

yang mendorong nilai keterikatan tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketika karyawan merasa

bahwa dirinya telah sesuai pada posisi tersebut, maka karyawan akan lebih senang dalam

menjalani pekerjaan tersebut sehingga dapat meningkatkan keeratan diantara dirinya dengan

perusahaan dan dapat meningkatkan produktivitas kerja (Fleming & Asplund, 2007).

Berbeda dengan teori yang dijabarkan oleh metode Human Sigma bahwa kesesuaian

posisi ini menjadi faktor pendukung keeratan, pada penilitian ini didapatkan hasil bahwa tidak

ada hubungan yang signifikan antara keterikatan pegawai dengan kesesuaian posisi. Hal

tersebut dikarenakan baik pendidikan, kompetensi maupun keterampilan sudah dipersiapkan

sejak awal sebelum karyawan menempati posisi tersebut. Lebih lanjut untuk mendapatkan

posisi tersebut, karyawan pun harus memiliki surat tanda registrasi yang dikeluarkan oleh

Pemerintah. Melalui penjelasan diatas, maka profesi pada posisi ini memiliki syarat jabatan

yang apabila karyawan tidak memenuhi syarat jabatan tersebut, maka tidak dapat menduduki

posisi tersebut.

Kebutuhan dan kesesuaian atas karyawan dipengaruhi oleh visi, misi, nilai, dan budaya

dari perusahaan sehingga setiap perusahaan akan memiliki gambaran mengenai kebutuhan dan

(14)

menjelaskan bahwa kebutuhan akan perawat (baik jumlah maupun spesifikasi) merupakan

refleksi dari budaya organisasi tentang peran dan pentingnya perawat, keselamatan dan

kepuasan pasien, serta job satisfaction, job spesification dsb (Fried & Fottler, 2008).

Hubungan antara Employee Engagement dan Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bagaimana kondisi dan

nilai dari keterikatan karyawan. Hal tersebut dikarenakan dengan kepemimpinan yang baik,

pemimpin dapat mempengaruhi orang lain dan dapat mengarahkannya melalui proses

komunikasi yang efektif sehingga tujuan dari perusahaan pun tercapai (Subanegara, 2005).

Kepemimpinan yang baik memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan dan loyalitas

dari karyawan (Ding, Lu, Song, & Lu, 2012).

Tidak hanya berhubungan secara signifikan terhadap kepuasan dan loyalitas,

kepemimpinan pun memiliki hubungan yang signifikan terhadap kinerja dari karyawan.

Kepemimpinan yang efektif berhubungan secara signifikan dengan kinerja dikarenakan

kepemimpinan yang efektf diyakini dapat mempengaruhi karyawan untuk meningkatkan

kinerjanya (Pradeep & Prabhu, 2011).

Keterikatan secara emosional barulah dapat ditemui dalam sebuah perusahaan ketika

pemimpin melakukan pendekatan secara transformasional dimana pemimpin mampu

memotivasi karyawan terhadap visi dan misi perusahaan dan menanamkan visi dan misi

tersebut kepada karyawan sehingga karyawan dengan sendirinya akan terinspirasi pemimpin

untuk meraih visi perusahaan (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).

Human Sigma dan Kinerja Ruang Rawat Inap Bunda dan Kebidanan

Bed Occupaton Rate (BOR) meruapakan salah satu indikator dari rumah sakit yang

dapat menggambarnya bagaimana persentase dari pemanfaatan tempat tidur. Melalui asumsi

sederhana, dapat disimpulkan, apabila nilai BOR ini tinggi, maka pemanfaatan tempat tidur

tinggi sehingga pemasukan untuk rumah sakit pun meningkat. BOR Standar persentase

pemanfaatan tempat tidur (BOR) yakni sebesar 60-85% sedangkan pada tahun 2014, Januari

hingga bulan November, rata-rata BOR dari ruang rawat inap bunda dan kebidanan adalah

sebesar 46,37% sehingga apabila dapat kita bandingkan dengan angka kinerja Human Sigma,

maka perbandingan keduanya cukup mendekati. Hasilnya adalah perbandingan antara nilai

(15)

Melalui perhitungan, di dapatkan bahwa ruang rawat inap bunda dan kebidanan RSAB

Harapan Kita berada pada Human Sigma 3 sehingga kinerja dari unit ini adalah sebesar 1,7

yang memiliki artian bahwa unit tersebut hanya salah satu saja yang keeratannya optimal,

sehingga apabila unit tersebut ingin bernilai optimal dimana kedua subjek yakni perawat dan

pasien memiliki keterikatan yang tinggi, maka unit harus meningkatkan kinerjanya 2x agar

bernilai 3,4. Angka tersebut pun berbanding searah dengan kondisi BOR pada unit tersebut.

Rata-rata BOR pada tahun ini di unit tersebut adalah sebesar 46.37% sehingga apabila BOR

pada unit tersebut ingin ditingkatkan sesuai dengan tingkat BOR tertinggi yang ditetapkan oleh

Depkes, maka rumah sakit pun harus meningkatkannya 2x agar dapat memiliki BOR 85%.

RSAB Harapan Kita merupakan rumah sakit khusus tipe A dimana hal tersebut

memiliki artian bahwa RSAB Harapan Kita memiliki kemampuan dan fasilitas pelayanan

medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap, sehingga

melalui penjelasan tersebut maka penyakit-penyakit yang memerlukan pelayanan medik

spesialis dan pelayanan medis subspesialis lah yang cenderung lebih banyak ditangani pada

rumah sakit ini (UU 44 tahun 2009).

Penyakit yang membutuhkan pelayanan tersebut tidaklah banyak diderita oleh

masyarakat, akan tetapi penyedia pelayanan kesehatan haruslah tetap memiliki baik fasilitas

maupun kemampuan untuk menangani penyakit-penyakit tersebut (Pudjiyantoro, 2008).

Beberapa alasan mengapa BOR dari RSAB Harapan Kita yang berada dibawah dari

standar Depkes diantaranya adalah karena pengaruh dari tingkatan pada rumah sakit. RSAB

Harapan Kita merupakan rumah sakit tingkat ke III tersier, sehingga penyakit-penyakit yang

tidak dapat ditangani atau dengan keparahan tertentulah yang akan dirujuk ke RSAB Harapan

Kita akan tetapi proporsi masyarakat dengan penyakit yang membutuhkan pelayanan medik

spesialis dan pelayanan medik subspesialis tidaklah sebanyak penyakit umum.

Tidak hanya berkaitan dengan tingkat keparahan dari penyakit, tingkat pertumbuhan

rumah sakit yang sejenis dengan RSAB Harapan Kita pun perlu diperhatikan. Saat ini menurut

data dari PERSI, terdapat kurang lebih 27 rumah sakit yang memiliki kekhususan dibidang anak

maupun bunda, sehingga dengan adanya pertumbuhan rumah sakit dengan kekhususan yang

sama tersebut, maka akan semakin banyak pula pilihan untuk pasien dalam memilih pelayanan

kesehatan yang berkaitan dengan anak dan bunda.

(16)

Berikut merupakan kesimpulan dari penelitian ini

1. Perawat ruang rawat inap bunda dan kebidanan RSAB Harapan Kita merasa sesuai

atas posisi dirinya dengan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan. Hal tersebut

dibuktikan dari 40 responden, 67,5% menyatakan bahwa dirinya sesuai dan sisanya

berpersepsi dirinya tidak memiliki kesesuaian.

2. Sama halnya dengan kesesuaian posisi, kepemimpinan pada perawat ruang rawat

inap bunda dan kebidanan sudah baik, hal tersebut terlihat dari 40 responden, 55%

diantaranya berpersepsi bahwa kepemimpinan atasan langsung sudah baik dan

sisanya berpersepsi tidak

3. Kedua variabel tersebut diyakini berpengaruh pada keeratan dari perawat, namun

pada ruang rawat inap bunda dan kebidanan, hanya kepemimpinan saja yang

mempengaruhi nilai keeratan tersebut. Kesesuaian posisi tidak berhubungan secara

signifikan dikarenakan pendidikan, pengalaman, keterampilan, dan usia dari

perawat sebelumnya telah ditentukan dalam Job Spesification perawat sehingga

dengan adanya kesesuaian pendidikan, pengalaman, usia, dan keterampilan,

dianggap perawat sudah mengetahui apa yang hendak ia harapkan dari pekerjaan

tersebut serta bagaimana cara ia melakukan dan meningkatkan pekerjaan tersebut.

4. Nilai keeratan hubungan dari perawat mendapat nilai sebesar 48,75% dimana dalam

nilai tersebut perawat bersikap netral dalam artian belum adanya keterikatan antara

keduanya dikarenakan perawat hanya sebatas menganggap bahwa pekerjaan

tersebut tidak lebih untuk pemenuhan hidupnya. Hal tersebut pun didukung dengan

sebagian besar dari responden memiliki Employee Engagement yang sedang.

5. Nilai keeratan hubungan dari pasien mendapatkan nilai sebesar 57,25% dimana

dalam nilai tersebut pasien sudah memiliki keterikatan dengan rumah sakit namun

tidaklah cukup kuat sehingga dapat pula menurunkan tingkat keterikatan tersebut.

6. Tingkat keeratan antara perawat dan pasien berada pada Human Sigma 3 dan di

posisi Partial Optimize. Kondisi tersebut diartikan bahwa hanya salah satu subjek

saja yang optimal sedangkan subjek lainnya belum dikatakan optimal. Tingkat

kinerja dari ruang rawat inap bunda dan kebidanan berada pada nilai 1.7 dan 2.5

dimana nilai tersebut berartikan bahwa untuk dapat mencapai posisi yang optimize

yakni kuadran ke IV dengan Human Sigma 5-6 maka unit ini haruslah meningkatkan

(17)

Saran

Human Sigma memberikan 2 (buah) jenis intervensi yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan keeratan dari perawat dan pasien terhadap rumah sakit yakni Intervensi yang

pertama bersifat transformasional dan tranformasional. Berikut merupakan saran yang dapat

dikembangkan dari penelitian ini

1. Intervensi transformasional yang dapat dilakukan diantaranya adalah mengembangkan

kemampuan dan keterampilan dari perawat secara keseluruhan dan memastikan setiap

dari perawat mendapatkan kesempatan tersebut. Pengembangan kemampuan dan

keterampilan tersebut dapat dilakukan dengan adanya pelatihan, seminar, maupun

workshop yang bertujuan untuk peningkatan kemampuan dan keterampilan tersebut.

Pengembangan keterampilan dan kemampuan tersebut dapat dijadikan sebagai reward

atas kinerja dari perawat sehingga dapat dijadikan motivasi dalam bekerja

2. Intervensi yang transaksional dimana intervensi ini perlu dilakukan secara keseluruhan

dan dalam waktu yang berkelanjutan. Hal yang dapat dilakukan dalam intervensi ini

adalah peningkatan komunikasi dua arah sehingga pada intervensi ini peran pemimpin

sangatlah diperlukan. Pemimpin haruslah mampu melihat setiap performa individu dan

mengevaluasinya. Bagi individu yang memiliki kinerja yang baik, tidak perlulah

sungkan untuk memberikan pujian baik secara lisan maupun secara fisik dikarenakan

dengan adanya reward dapat meningkatkan kinerja dari individu. Tak hanya reward

perlu adanya sanksi terhadap individu yang memiliki hasil evaluasi kinerja yang rendah.

3. Tidak hanya berupa pemberian reward dan sanksi, pemimpin haruslah mampu

memotivasi dari setiap karyawan. Pemberian motivasi tersebut dapat dilakukan secara

kultural melalui komunikasi yang efektif atau dapat pula dibuatkan performance board

yang dapat memantau bagaimana kinerja dari masing-masing perawat disetiap ruangan.

Secara tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan motivasi dari perawat agar setiap

harinya mampu memberikan performa yang yang terbaik.

4. Saran metodologis pada penelitian ini adalah diperlukannya penelitian lebih lanjut

mengenai bagaimana Human Sigma mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan secara

langsung serta meneliti bagaimana hubungan antara Employee Engagement dengan

(18)

Daftar Referensi

Anjaryani, W. D. (2009). Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat Di Rsud

Tugurejo Semarang. Semarang: Program Pascasarjana; UNDIP.

Arini, D. (2011). Hubungan Prestasi Akademik Perawat Selama Pendidikan dengan Kinerja

Perawat di RUMKITAL dr. Ramelan Surabaya. Jurnal Kesehatan AIPTINAKES

JATIM, 1(1), 1-11.

Christine, Oktorina, M., & Mula, I. (2010). Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga

Terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel.

Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 12(2), 121-132.

Ding, D., Lu, H., Song, Y., & Lu, Q. (2012). Relationship of Servant Leadership and Employee

Loyalty: The Mediating Role of Employee Satisfaction. iBusiness; Scientific

Research(4), 208-2015.

DJSN. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Dewan Jaminan

Sosial Nasional.

Fleming, J. F., Coffman, C., & Harter, J. K. (2005). Manage Your Human Sigma. Canada:

Harvard Business Review.

Fleming, J. H., & Asplund, J. (2007). Human Sigma : Managing the Employee- Customer

Encounter. New York: Gallup Press.

Fried, B. J., & Fottler, M. D. (2008). Human Resources in Healthcare; Managing for Success

(3rd ed.). Chicago: Health Administration Press.

Imbalo, P. (2007). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan; Dasar-Dasar Pengertian dan

Penerapan. Jakarta: EGC.

Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. T. (2006). Perilaku dan Manajemen

Organisasi (Tujuh ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

James. (2013). The Relationship Between Engagement at Work and Organizational Outcomes.

Washington DC: Gallup, Inc.

Kemenkes. (2014). Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Laksono, I. N. (2008). Analisis Kepuasan Dan Hubungannya Dengan Loyalitas Pasien Rawat

Inap Di Rumah Sakit Dedi Jaya Kabupaten Brebes. Semarang: Magister Ilmu

(19)

Lambrou, P., Kontodimopoulos, N., & Niakas, D. (2010). Motivation and Job Satisfaction

Among Medical and Nursing Staff in A Cyprus Public General. Human Resources for

Health, 8(26), 1-9.

Lolongan, N., Balqis, & Darmawansyah. (2013). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Lakipadada Kabupaten Tana Toraja

Tahun 2013. Makasar: FKM UNHAS.

Mailani, D. (2009). Analisis Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Terhadap Kepuasan Kerja

Perawat pada RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 8(2), 54-61.

Marbun, L. L. (2009). Gambaran Sistem Pelayanan pada Unit Diklat Rumah Sakit

Metropolitan Medical Centre Jakarta Tahun 2009. Jakarta.

Maryanto, Pujiyanto, T. I., & Setyono, S. (2013). Hubungan Kepemimpinan Kepala Ruangan

dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Swasta di Demak. Jurnal Manajemen

Keperawatan, 1(2), 146-153.

Paratama, P. A., & Utama, I. M. (2013). Pengaruh Penempatan dan Pengalaman Kerja serta

Lingkungan Kerja terhadap Loyalitas Karyawan. E Jurnal Manajemen Universitas

Udayana, 2(4), 398-409.

Pradeep, D. D., & Prabhu. (2011). The Relationship between Effective Leadership and

Employee. IPCSIT, 20, 198-208.

Pudjiyantoro, R. (2008). Pengembangan Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Semarang. Semarang: Tesis Universitas Diponegoro.

Ridwan. (2007). Pengaruh Kesesuaian Posisi Pekerjaan Terhadap Produktivitas Kerja

Karyawan Pada Divisi Distribusi Center PT. Maxistar Intremoda Indonesia. Jakarta:

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah.

Rivai, & Jauvani, E. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Robbins, P. S., & Coutler, M. (2010). Manajemen (10 ed.). Jakarta: Erlangga.

Sabarguna, B. S. (2004). Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit. Yogyakarta: Konsorsium

Rumah Sakit Islam Jateng-DIY.

Sastrohadiwirjo, S. B. (2002). Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Subanegara, H. P. (2005). Diamond Head Drill dan Kepemimpinan dalam Manajemen Rumah

Sakit (1st ed.). Yogyakarta: ANDI.

Sunar. (2012). Pengaruh Faktor Biografis (Usia, Masa Kerja, dan Gender) terhadap

(20)

Wahdi, N. (2006). Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kepuasan Pasien sebagai

Upaya Meningkatkan Loyalitas Pasien. Semarang: Program Pasca Sarjana; UNDIP.

Widaryanto. (2005). Analisis Strategi Peningkatan Kinerja Rumah Sakit Melalui Faktor

-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Pelayanan (Studi Kasus pada Rumah

Sakit Kariadi Semarang. Semarang: UNDIP.

Widiharti, S. d. (2011). Pengembangan Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan Keperawatan

Berdasarkan Analisis Posisi Perilaku Caring Perawat Dengan Jendela Pelanggan

;Development Of Improved Nursing Care Quality Based On Nurses Caring Behavior

Position Analysis With Customer Window. Ners Vol 6, 21-30.

Yoga, A. T. (2006). Manajemen Administrasi Rumah Sakit Edisi Kedua. Jakarta: Universitas

Gambar

Tabel 1 Instrumen Penelitian
Gambar 1 Human Sigma Metric Ruang Rawat Inap Bunda dan Kebidanan RSAB

Referensi

Dokumen terkait

Prioritas pembangunan daerah tahun 2012, sebagaimana yang tercantum dalam RKPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2012, yang terkait pada pembangunan peternakan adalah (1)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) profil pasien rawat inap di Rumah Sakit Sekar Kamulyan Cigugur Kuningan, (2) tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap

Kepada Perusahaan yang dinyatakan sebagai pemenang, diharapkan menghubungi Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Swasta, Satuan Kerja

Pemanfaatan SIPD untuk PENYUSUNAN RKPD 2022 Penetapan RKPD Rancangan Akhir RKPD Musrenbang RKPD Rancangan RKPD Rancangan Awal RKPD Persiapan RKPD PASAL 274 UU 23/2014

Paket pelatihan konseling pranikah dalam melestarikan keluarga sakinah merupakan media layanan bimbingan dan konseling yang ditujukan kepada pasangan calon pengantin yang

Masyarakat Desa Namo telah menerapkan penyadapan dengan metode koakan maka permasalahan dalam penelitian ini seberapa besar jumlah produksi getah pinus yang

Untuk menambah pengetahuan penulis tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pengguna jasa laundry pakaian serta pertanggungjawaban pihak pelaku usaha

Sedangkan hipotesis minor yang kedua adalah, ada hubungan positif antara kepercayaan nasabah terhadap organisasi dengan loyalitas nasabah.Subyek penelitian berjumlah 70 orang