BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan Yang Relevan
Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan
dengan menggunakan referensi yang berhubungan, ini tidak terlepas dari buku-buku dan karya
ilmiah pendukung yang relevan dengan judul proposal ini. Agar penulisan karya ilmiah lebih
objektif, digunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa
buku-buku maupun pemahaman teoritis dan pemaparan dari fakta-fakta yang diperoleh dari
lapangan.
Chaer (dalam Rohmadi, 2004) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala
individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti
tindakan dalam tuturannya.
Tutur merupakan ujaran lisan atau rentang perbincangan yang didahului dan diakhiri
dengan kesenyapan pada pihak penutur.Sebuah tutur adalah penggunaan / pemakaian sepenggal
bahasa, seperti rentetan kalimat, sebuah frase, sepatah kata, oleh seorang penutur. (Parera 2004 :
262)
Dalam tesis Sibarani (2008) dengan judul “tindak tutur dalam upacara perkawinan
1. Dalam upacara marunjuk tindak tutur yang digunakan adalah berbeda dengan bahasa
sehari – hari, karena dalam acara marunjuk biasanya digunakan umpasa ‘pantun’,
ungkapan, frase, dan kata yang khusus.
2. Tindak tutur dalam upacara marunjuk digolongkan dengan ‘raja panise’ penanya
pihak hulahula dan ‘raja pangalusi’ penjawab dari pihak boru dan dongan sabutuha
‘kawan semarga’ serta unsur diluar Dalihan Na Tolu.
Dalam skripsi Astika (2012) yang berjudul “ Tindak tutur pada upacara adat perkawinan
masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin” mengatakan
bahwa :
1. Komponen tindak tutur yang menggunakan pantun pada upacara adat perkawinan
masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan terdiri atas lokusi, ilokusi dan
perlokusi, dan terdapat pada tindak tutur hempang batang , silat laga, sepatah kata
dilaman/halaman, hempang kipas/hempang pelaminan.
2. Fungsi tindak tutur yang menggunakan pantun pada upacara adat perkawinan
masyarakat Melayu di desa Pantai Cermin Kanan memiliki beberapa fungsi, yakni (1)
fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi komisif, (4) fungsi refresentatif, (5)
fungsi deklarasi.
Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa
pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka dalam setiap proses
komunikasi inilah terjadi apa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur dalam satu situasi
`Thomas (1995: 22) mendefenisikan ilmu pragmatik sebagai arti dalam interaksi ini
menggambarkan bahwa “makna” itu bukan suatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan
juga kata-kata yang dikeluarkan oleh pembicara dan pendengar, juga konteks ujaran (seperti
konteks fisik, sosial, budaya dan bahasa) dan arti yang mungkin muncul dari sebuah ujaran. Ini
merupakan defenisi interpretasi dari sudut pandang pendengar.
Menurut Cruse (2000:16) pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek
informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak
dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang
digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna
yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut
[penekanan ditambahkan].
Pragmatik berhubungan erat dengan tindak tutur karena pragmatik menelaah makna
dalam kaitan dengan situasi tuturan (Leech, 1983 : 19). Dalam menelaah tindak tutur, konteks
amat penting, telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita
menafsirkan kalimat disebut pragmatik
Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan
kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak tutur (speech acts). Dalam menelaah tindak tutur ini, kita
harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks ucapan / ungkapan.
Tindak tutur menurut Gunarwan (1999 : 1) adalah jika kita berbicara atau mengeluarkan
ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frase atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu
dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itulah yang sekarang dikenal dengan nama tindak
Richards (dalam Suyono, 1990) menyatakan tindak tutur adalah “the thing we actually do
when we speak” atau “the minimal unit of speaking which can be said to have a
function”.Tindak tutur adalah sesuatu yang benar-benar kita lakukan pada saat kita
berbicara.Sesuatu itu berupa unit tuturan minimal dan dapat berfungsi.Dalam hal ini adalah
untuk berkomunikasi.Dari sini dapat dipahami bahwa tuturan berupa sebuah kalimat dapat
dikatakan sebagai tindak tutur jika kalimat itu berfungsi. Fungsi yang dimaksud adalah bisa
merangsang orang lain untuk memberi tanggapan yang berupa ucapan atau tindakan.
Pertuturan atau tindak tutur adalah perbuatan yang menghasilkan bunyi bahasa secara
beraturan sehingga menghasilkan ujaran yang bermakna.Tindak tutur merupakan gejala
individual, bersifat psikologis, dan berkelangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam kehidupan sehari-hari. (Muslich,
2006:1) mengatakan :
“Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun , maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik dimasyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu). Sudah tentu penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dengan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa).”
Untuk dapat menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tuturnya, seorang penutur
harus dapat memilih dan menggunakan bahasa dengan tepat, yaitu dengan bentuk
kalimat.Ketepatan pemilihan ragam bahasa sangat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi.
Dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh seorang penutur dapat diketahui apa yang dibicarakan
dan diinginkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra tutur. Dengan demikian, mitra tutur
akan dapat menanggapi kalimat yang dibicarakan oleh penutur.
Adapun penelitian penulis yang berjudul tindak tutur, tidak sama dengan karya ilmiah
yang tersebut di atas, penulis mengkaji tentang , “Tindak tutur dalam bahasa Melayu Tanjung
Balai” yang masih sedikit dilakukan penelitiannya.
2.2 Teori Yang Digunakan
Untuk mengumpulkan data yang akurat dan memiliki landasan yang kuat maka
dipandang perlu menggunakan teori yang nantinya akan digunakan dalam meneliti dilapangan.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menganalisis sebuah ujaran yang berupa frase atau
kalimat yang mempunyai makna tuturan.Sehubungan dengan hal tersebut penulis menggunakan
teori tindak tutur Searle (1983).
Levinson (1983) dalam Rahardi (2005:48), mendefinisikan pragmatik sebagai studi
tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.Batasan
Levinson itu, selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language
(Levinson, 1983: 9)
Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasaterdapat kesantunan berbahasa, atau
disebutdengan kesantunan saja. Teori kesantunan banyakdiperoleh dari Brown dan Levinson
(1987), yangmemberi batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam
menjaga keperluanmuka orang lain. Istilah muka, dalam hubunganini, oleh Brown dan Levinson
(dalam Peccei 1999dan Yule 1996) dimaknai sebagai citra diriseseorang dalam masyarakat.
Teori tindak tutur bermula pada karya buku Austin dan Searle (dalam Ibrahim 1993:108).
Bertolak dari pendapat tersebut, buku How to do things with word (bagaimana melakukan
sesuatu dengan kata-kata) dengan pengarang Austin dan Searle yang menyajikan
makalah-makalah tindak tutur.
Dari pendapat di atas, Ibrahim (1993:109) menguraikan definisi tindak tutur, tindak tutur
adalah suatu tuturan yang berfungsi pikologis dan sosial di luar wacana yang sedang
terjadi.Definisi Ibrahim berbeda dengan Yule (2006:82) tindak tutur adalah tindakan-tindakan
yang ditampilkan lewat tuturan.Dengan demikian, dapat disimpulkan tindak tutur memiliki
fungsi psikologis dan sosial saat berkomunikasi dan sebagai sarana untuk melakukan sesuatu
melalui tindakan-tindakan yang diucapkan lewat lisan.
Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi
dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya
mengatakan “Jakarta ibu kota Indonesia”. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur
yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat
mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi benar atau tidak.
Austin (1962) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan
sesuatu, dia juga melakukan sesuatu, misalnya, ketika seseorang menggunakan kata-kata kerja
promise ‘berjanji’, apologize ‘minta maaf’, name ‘menamakan’, pronounce ‘menyatakan’
misalnya dalam tuturan I promise i will come on time, I apologize for coming late dan I name
this ship Elizabeth, maka yang bersangkutan tidak hanya mengucapkan tetapi juga melakukan
tindakan berjanji, meminta maaf dan menamakan. Tuturan-tuturan tersebut dinamakan tuturan
performatif, sedangkan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif.
Menurut Austin (1962), ada 3 syarat agar tuturan performatif dapat terlaksana (felicity
conditions), yaitu :
1. The persons and circumstances must be appropriate(pelaku dan situasi harus sesuai)
misalnya tuturan yang sering disampaikan kepada seorang pengantin I pronounce you man and wife (“saya nyatakan saudara-saudara sebagai suami istri”) hanya dapat dipenuhi bila yang mengucapkan adalah seseorang yang memang berwenang untuk mengucapkan tuturan tersebut.
2. The act must be executed completely and corretly by all participants (“tindakan harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku). Misalnya, seseorang pemimpin yang mengatakan you are totally wrong (“anda betul-betul salah”) kepada bawahannya namun tidak mampu menunjukkan kesalahannya ataupun peraturan apa yang membuatnya dianggap salah merupakan tuturan yang tidak valid.
3. The participants must have the appropriate intensions (“pelaku harus mempunyai
maksud yang sesuai”), misalnya tuturan I’ll see you on the office at three, sedangkan sebetulnya pukul tiga penutur tersebut tidak mengadakan janji lain dengan pihak tertentu, maka tuturan tersebut tidak valid.
Dari pemikiran austindiatas, Searle (1975) mengembangkan hipotesis bahwa pada
hakekatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, dan bukan hanya tuturan yang mempunyai
Searle (1975) berpendapat bahwa unsur yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak
tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan,
minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat, dan sebagainya. Tuturan I’am sorry for
coming late bukanlah sekedar tuturan yang menginformasikan penyesalan bahwa seseorang
menyesal karena sudah datang terlambat, melainkan tindakan minta maaf itu sendiri.
Searle (1975) memberi contoh tindak tutur promise ada 5 syarat agar tindakan melalui
tuturan tersebut dikatakan valid, yaitu :
1. The speaker must intend to do what he promise(“penutur harus sungguh-sungguh
bermaksud melakukan apa yang dijanjikan”). Seseorang mungkin saja mengatakan I’ll lend you this dictionary tomorrow, namun kalau yang bersangkutan tidak sungguh-sungguh ingin meminjamkan kamus tersebut kepada lawan tuturnya besok maka tuturannya bukanlah suatu janji yang benar.
2. The speaker must believe (that the hearer believes) that the actions is in the hearer’s best interset (“penutur harus percaya bahwa lawan tutur percaya tindakan tersebut adalah yang terbaik untuk pihak lawan tutur”). Misalnya tuturan I promise I will hit you if you don’t lend me the book, bukan tuturan yang benar karena penutur tidak berjanji untuk kebaikan lawan tutur (tindak tutur yang mengancam daripada janji).
3. The speaker must believe that he can perform the action (“penutur harus percaya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan tersebut”) misalnya tuturan dari seseorang yang sakit kepada temannya yang berkunjung kepadanya I promise I will be well tomorrow tidak dapat dikatakan valid karena siswa tersebut tidak dalam posisi mempunyai kemampuan untuk mengontrol kesehatannya sendiri.
4. The speaker must predicate a future action (“penutur harus menyatakan tindakan di masa yang akan datang”). Suatu tuturan yang mengandung janji dengan bentuk lampau tidak dapat dianggap valid, misalnya I promise I did not lend the book to him. Tindak tutur menjanjikan haruslah memprediksikan suatu tindakan dimasa yang akan datang.
5. The speaker must be predicate an act of himself (“penutur harus menyatakan tindakannya sendiri). Seorang anak yang mengatakan I promise my mother will give you a lovely birthday present, tidak dapat dikatakan sebagai membuat janji yang baik karena yang bersangkutan tidak dapat mewakili ibunya untuk membuat janji.
.
Leech (Wijana, 1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut
dengan konteks situasi tutur (speech situational contexts).Konteks situasi tutur, menurutnya,
1. Penutur dan lawan tutur
2. Konteks tuturan
3. Tujuan tuturan
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Secara singkat masing masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983),
lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti ‘pembicara atau penutur’ dan H
(hearer) yang dapat diartikan ‘pendengar atau mitra tutur’. Digunakannya lambang S dan
H itu tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada
bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.
2. Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat
mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks
dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan
sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas
apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. Berkenaan dengan hal itu
Leech (1983) telah menyatakan sebagai berikut.
I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by S and
H and which contributes to H’s interpretation of what S means by a given utterance.
3. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena
pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur
maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau
tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Di sinilah dapat
dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata
bahasa yang berorientasi formal atau struktural.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani
pragmatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur
tertentu,dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret
karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu
tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.
5. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan
demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah
hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang
melingkupi dan mewadahinya.
Skala kesantunan Leech dalam Kunjana (2005:66) mengatakan teorinya sebagai berikut :
1) Skala Kerugian dan Keuntungan (Cost-benefit Scale), menunjuk kepada besar kecilnya
kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah
pertuturan.
2) Skala Pilihan (Optionality Scale), menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan
(Option) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur didalam kegiatan bertutur.
3) Skala Ketidaklangsungan (Indirecness Scale), menunjuk kepada peringkat langsung atau
4) Skala Keotoritasan (Authority Scale), menunjuk kepada hubungan status sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.
5) Skala Jarak Sosial (Social Scale), menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Dengan kata lain, tingkat
keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat
kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
Adapun teori yang digunakan penulis adalah Searle (dalam Rahardi, 2005:35), dalam
bukunya speech acts: an essay in the philosophy of language menyatakan bahwa dalam
praktikpenggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak
tutur itu berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1) tindak lokusioner (locutionary
acts),(2) tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary
acts).
1) Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan
makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut
sebagai the act of saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan
maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur.
Contoh :aku lapar
Maksud dari contoh tersebut, ‘aku’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan
‘lapar’ mengacu pada ‘perut kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta
makanan, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada
2) Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu
pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something.
Contoh :sudah hampir jam tujuh
Maksud dari contoh tersebut, yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan
untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu, waktu yang
menunjukkan hampir pukul tujuh, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan
mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan waktu yang menunjukkan
hampir pukul tujuh. Kalimat di atas bila dituturkan oleh seseorang suami kepada istrinya
di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu
mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat kekantor, jadi minta
disediakan sarapan.
3) Tindak perlokusioner adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur.
Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone.
Contoh :tanganku gatal
Maksud dari contoh tersebut, yang penutur ucapkan, dapat digunakan untuk
menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul,
misalnya, karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai seorang tukang pukul
yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
Untuk mengklasifikasikan fungsi tindak tutur didalam bahasa Melayu Tanjung Balai
mengacu pada pendapatSearle (dalam Rahardi, 2005:36), yaitu :
1) Asertif (assertives), yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi
2) Direktif (directives), yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat
pengaruh agar simitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering),
memerintah(commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan
merekomendasi (recommending).
3) Ekspresif (expressives), adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih
(thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan
(blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).
4) Komisif (commissives), yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau
penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah(vowing), dan menawarkan sesuatu
(offering).
5) Deklarasi (declarations), yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis
(christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan