• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi

Ciri khas yang merupakan dasar pemberian nama Rotatoria atau Rotifera adalah terdapatnya suatu bangunan yang disebut korona. Korona ini bentuknya bulat dan berbulu-bulu getar, yang memberikan gambaran seperti sebuah roda (Mujiman, 1998 ; Djarijah, 1995). Menurut Villegas (1982) dalam Isnansetyo & Kurniastuty (1995) Brachionus plicatilis merupakan salah satu Rotifera yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat hirarkinya sebagai berikut :

Phylum Kelas Ordo Subordo Familia Genus Spesies : : : : : : : Trochelminthes Rotifera Monogonata Ploima Brachionidae Brachionus B. plicatilis Muller

Selain B. plicatilis dikenal juga beberapa spesies lain dari Brachionus, antara lain : B. mulleri, B. angularis, B. calyciflorus, B. urceolaris, B. leydigi, B. quadridentatus, B. pterodinoides, B. rubeus, B. pala, B. punctatus, B. quadratus, dan B. mollis (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995 ; Mujiman, 1998). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dahril pada tahun 1996 pada kolam-kolam ikan air tawar di Pekan Baru ditemukan 5 spesies Rotifera, yaitu spesies B. calyciflorus, B. angularis, B. caudatus, B. quadridentatus dan B. falcatus.

(2)

2.2 Morfologi

Tubuh umumnya tidak berwarna atau transparan, mempunyai indra seperti bintik mata (Hyman, 1951). Ukuran tubuh genus Brachionus berkisar antara 50-300 mikron. Tubuh terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan kaki atau ekor (Gambar 1). Pada bagian kepala terdapat enam buah duri, diantaranya terdapat sepasang duri yang panjang dibagian tengah. Ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang silia yang kelihatan seperti spiral, disebut dengan korona yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Selanjutnya Dahril (1996) menjelaskan bahwa duri yang disebut dengan occipital spine berdasarkan bentuk, ukuran dan jumlahnya dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengenal jenis Rotifera.

Antara jenis jantan dan betina terdapat perbedaan bentuk yang menyolok. Yang jantan mempunyai bentuk tubuh yang jauh lebih kecil daripada yang betina, lagi pula mengalami degenerasi. Yang jantan biasanya hanya muncul pada musim-musim tertentu saja. Sedangkan yang betina hampir selamanya berkembang biak secara partenogenesis (tanpa kawin). Dalam banyak hal, yang jantan jarang sekali muncul. Bahkan banyak diantara jenisnya yang tidak kita kenal pejantannya. Mereka hidup antara 8-12 hari. Selama itu mereka dapat bertelur sebanyak 5 butir (Mujiman, 1998).

(3)

2.3 Daur Hidup dan Reproduksi Rotifera B. plicatilis

Djuhanda (1980) mengatakan bahwa sistem reproduksi rotifera ini terjadi secara seksual (kawin) dan aseksual (partenogenesis). Secara seksual, organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, yolk gland dan oviduct, sedangkan organ reproduksi pada jantan terdiri dari satu testis yang dihubungkan oleh satu saluran sperma ke penis.

Dari hasil penelitian Snell dan Garman (1966) dalam Dahril (1996) menyimpulkan bahwa perkembangan rotifera secara kawin atau tidak kawin sebenarnya terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. Peristiwa perkawinan Rotifera B. plicatilis akan sangat bergantung pada peluang terjadinya kontak antara B. plicatilis jantan dengan B. plicatilis betina. Pada saat populasi meningkat, jumlah jantan semakin banyak maka peluang untuk terjadinya perkawinan akan semakin besar. Apalagi B. plicatilis betina yang mana dalam waktu satu jam saja setelah telur menetas ia telah mampu mengawini B. plicatilis betina.

Selanjutnya Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (1995) menjelaskan bahwa daur hidup B. plicatilis adalah unik, dimana dalam keadaan normal, B. plicatilis berkembang secara parthenogenesis (bertelur tanpa kawin). B. plicatilis betina yang amiktik akan menghasilkan telur yang akan berkembang menjadi betina – amiktik pula. Namun dalam keadaan yang tidak normal, misalnya

terjadi perubahan salinitas, suhu air, intensitas cahaya dan kualitas pakan maka telur B. plicatilis betina- amiktik tadi dapat menetas menjadi betina- miktik. Betina- miktik

ini kemudian akan menghasilkan telur yang kemudian akan berkembang menjadi hewan jantan. Bila B. plicatilis jantan dan betina- mikitk tersebut kawin, maka betina- miktik akan menghasilkan telur- kista (dormant egg) yang tahan terhadap kondisi perairan yang jelek dan tahan terhadap kekeringan. Telur kista ini akan dapat menetas lagi bila keadaan perairan telah menjadi normal kembali.

Isnansetyo & Kurniastuty (1995) mengatakan bahwa telur istirahat yang dihasilkan oleh betina-miktik akan menetas menjadi betina amiktik dan antara betina miktik dan amiktik tidak dapat dibedakan secara eksternal. Selanjutnya Mujiman (1998) mengatakan bahwa B. plicatilis yang jantan hanya muncul pada musim- musim tertentu saja sehingga yang betina hampir selamanya berkembang biak secara

(4)

partenogenesis (tanpa kawin) dan dalam banyak hal yang jantan jarang sekali muncul, bahkan banyak diantara jenisnya tidak dikenal pejantannya. Untuk lebih jelasnya siklus hidup dan Reproduksi Rotifera B. plicatilis dapat dilihat pada gambar. 2 dibawah ini :

Gambar 2. Skema siklus hidup dan reproduksi Rotifera B. plicatilis menurut Barnes (1987).

2.4 Ekologi

Brachionus sp dapat ditemukan di perairan tawar, payau ataupun laut, tergantung dari jenisnya dan hewan ini dapat ditangkap dengan jala plankton (Djarijah 1995;

(5)

Mujiman, 1998). Menurut Landau (1992) dan Cole (1993) B. plicatilis umumnya banyak terdapat pada perairan laut.

B. plicatilis merupakan rotifera yang bersifat planktonik dan dapat muncul didalam suksesi tertentu terutama berkaitan erat dengan musim yang merupakan kondisi yang eksternal (Hyman, 1951; Djarijah, 1995). Sedangkan Isnansetyo & Kurniastuty (1995) menjelaskan bahwa B. plicatilis besifat euthermal, dimana pada suhu 15 oC masih dapat tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi dengan baik sedangkan pada suhu dibawah 10 oC akan membentuk telur istirahat. Kenaikan suhu antara 22- 30 oC merupakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuan dan reproduksi. Disamping itu B. plicatilis juga bersifat euryhalin. Kadar garam airnya tergantung pada jenis Brachionus. Untuk jenis air tawar dengan sendirinya dapat kita pelihara di air tawar. Sedangkan untuk jenis air asin, ada yang dapat hidup baik pada kadar garam antara 15-18 permil, dan ada pula yang masih dapat hidup baik pada kadar garam antara 28-30 permil (Mujiman, 1998).

Umumnya rotifera planktonik secara normal membutuhkan O2 yang cukup tinggi. Namun genus Brachionus yaitu B. plicatilis dapat bertahan pada kondisi yang anaerob dan mampu bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah untuk jangka panjang (Pennak, 1978). Lite & Whitney (1925) dalam Hyman (1951) menemukan bahwa aerasi pada telur istirahat B. plicatilis dapat menyebabkan sel embrio berkembang. Akan tetapi cangkang yang membungkus embrio tidak dapat pecah sehingga embrio tidak dapat keluar atau menetas.

2.5 Intensitas Cahaya

Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa peristiwa berkumpulnya zooplankton di bawah lampu dapat dibedakan sebagai berikut :

• peristiwa langsung, yaitu zooplankton yang karena cahaya lalu berkumpul di sekitar lampu.

• peristiwa tidak langsung, yaitu karena adanya cahaya maka zooplankton berkumpul dengan tujuan makan (feeding).

(6)

Selanjutnya dikatakan bahwa timbulnya tanggapan positif (phototaxis positive) zooplankton terhadap cahaya dapat disebabkan antara lain oleh adanya keinginan untuk makan ataupun berkumpul dengan teman sejenisnya. Sedangkan menurut Abdullah (1971) tertariknya zooplankton pada cahaya antara lain : tertarik pada makanan yang berkumpul disekitar lampu, adanya perubahan suhu air sebagai akibat dari pemanasan lampu serta waktu dan intensitas cahaya. Menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995) penetrasi cahaya juga sangat mempengaruhi perkembangbiakan Brachionus plicatilis, bila intensitas cahaya kurang, sedangkan kepadatan pakan, jenis pakan dan salinitas mencukupi perkembangbiakannya juga agak lambat.

2.6 Peranan Pupuk Dalam Pembudidayaan Rotifera B. plicatilis

Rotifera merupakan organisme yang sangat menyukai memakan organisme lain dengan ukuran tubuh lebih kecil yang banyak hidup pada perairan yang telah tersuspensi bahan organik, seperti ganggang renik, ragi, bakteri, dan protozoa (Djarijah, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut penambahan pupuk ke dalam kolam akan mempersubur kehidupan jasad renik. Pupuk organik dengan kandungan nitrogen yang banyak akan merangsang kegiatan jasad renik, karena jasad renik memerlukan nitrogen untuk kehidupan dan perkembangannya (Mustahal, 1995).

Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa pemakaian pupuk organik untuk bahan media kultur, terutama yang berasal dari kotoran ternak akan memberikan keuntungan, yaitu dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme, diantaranya adalah pupuk organik dari kotoran ayam yang mempunyai kandungan unsur hara cukup tinggi, karena bagian yang cair (urins) bercampur dengan bagian yang padat. Selain itu pupuk kotoran ayam dan pupuk kandang pada umumnya adalah pupuk yang lengkap karena mengandung hampir semua unsur hara yang bekerja secara perlahan-lahan dalam jangka waktu yang lama. Komposisi mineral dan kandungan air kotoran ayam dan beberapa jenis kotoran ternak lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(7)

Tabel 1. Komposisi mineral dan kandungan air beberapa jenis kotoran ternak dan unggas

Jenis ternak Kadar zat dan air dalam %

Nitrogen Fosfor Kalium Air

Kuda - padat 0,55 0,30 0,40 75 - cair 1,40 0,02 1,60 90 Sapi -padat 0,40 0,20 0,10 85 -cair 1,00 0,50 1,50 92 Kerbau -padat 0,60 0,30 0,34 85 -cair 1,00 0,15 1,50 92 Kambing -padat 0,60 0,30 0,17 60 -cair 1,50 0,13 1,80 85 Domba -padat 0,75 0,50 0,45 60 -cair 1,35 0,05 2,10 85 Babi -padat 0,95 0,35 0,40 80 - cair 0,40 0,10 0,45 87 Ayam

- padat dan cair 1,00 0,80 0,40 55

Sumber : Lingga (1995)

Berdasarkan kandungan unsur hara, pupuk urea dan TSP termasuk pupuk tunggal, karena hanya mengandung satu macam unsur hara. Urea hanya mengandung N sedangkan TSP hanya mengandung P. Urea dan TSP termasuk pupuk buatan (pupuk anorganik) yang berkadar hara tinggi (Sutejo, 1995). Urea terbuat dari gas amoniak dan gas asam arang yang mengandung zat N 46%. TSP berupa bubuk berwarna abu-abu dan mengandung zat P 14-20% (Lingga, 1995).

Tabel 2. Beberapa jenis pupuk nitrogen dan fosfor beserta kadar haranya

Jenis pupuk Kadar N (%) Kadar P (%)

Zwavelzure ammoniak Urea Chilisalpeter Natronsalpeter Kalkammonsalpeter Kalkstikastof

Superposfat/ Enkel uperposfat (ES) Dubble Superposfat (DS)

Triple Superposfat (TSP) Posfat Cirebon

Fused Magnesium posfat (EMP)

20 – 21 45 – 46 14 – 16 16 20 20 -21 - - - - - - - - - - - 18 – 20 36 – 40 48 – 54 25 – 28 19 Sumber : Lingga (1995).

Gambar

Gambar 1. Morfologi Brachionus plicatilis
Gambar 2. Skema siklus hidup dan reproduksi Rotifera B. plicatilis  menurut                        Barnes (1987)
Tabel 1. Komposisi mineral dan kandungan air beberapa jenis kotoran  ternak                dan unggas

Referensi

Dokumen terkait

Fekunditas populasi, yaitu jumlah telur yang dihasilkan oleh induk ikan. betina dalam suatu populasi walaupun kelompok

Imago betina meletakkan telur pada tanaman yang terserang kutu daun, larva yang menetas berwarna putih keabu-abuan berukuran besar dan agak pipih (Kalshoven 1981)..

Culex betina meletakkan telur dalam bentuk berkelompok yang tersusun rapi di atas permukaan air, sehingga berbentuk seperti rakit. Sedangkan nyamuk betina lain

Ikan sidat ( Anguilla sp.) merupakan ikan yang unik, mengawali hidup (menetas dari telur) di laut, tumbuh menjadi dewasa di perairan tawar seperti sungai dan danau, kemudian

Penyerbukan dengan bantuan angin terjadi dengan cara serbuk sari yang dihasilkan oleh bunga jantan terbawa oleh angin dan jatuh pada kepala putik bunga betina..

Telur yang infektif, apabila tertelan oleh manusia, maka telur cacing ini akan menetas di usus halus, lavarnya akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau

Di usus halus larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa, sedangkan cacing yang betina akan bertelur dan telur akan keluar kea lam luar bersama tinja, apabila

A telur menetas menjadi ulat lalu berubah menjadi kepompong lalu kupu kupu dewasa B telur menetas menjadi jentik jentik lalu berubah menjadi pupa lalu jadi nyamuk dewasa C telur menetas