• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inovasi Vol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Inovasi Vol"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Majalah INOVASI

ISSN: 0917-8376 Volume 2 /XVI/ November 2004

Daftar Isi

Editorial

Selamat Datang Orde Perubahan ... 1

Topik Utama Liputan Rekomendasi Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu ... 2

Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional ... 5

Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis... 10

Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah? ... 13

Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi ... 16

Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY: Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan... 20

Nasional Wakil Rakyat dan Masa Depan Politik Perikanan ... 22

Masa Depan Nelayan Pasca UU Perikanan Baru... 24

Mencari Akar Masalah Beras : Produksi Beras dalam Negeri, Cukup! ... 27

Menanti Pemimpin Sejati... 30

Iptek “Feed Quality for Food Safety”, Kapankah di Indonesia? ... 33

(3)

INOVASI Vol.2/XVI/Agustus 2004

ii

Inovasi

Alternatif Strategi Membangun Indonesia Bertumpu Teknologi Informasi... 41 Sistem Mitigasi Bencana di Selat Lombok ... 46 Merangsang Inovasi Daerah... 49

Humaniora

Bahasa (di) Indonesia

—Sebuah Renungan— ... 52 Menikmati Perbedaan Bahasa... 55 Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menengah (SMP dan SMA)

di Indonesia... 57

Kesehatan

Epilepsi, Bagaimana Jalan Keluarnya?... 59 Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA ... 64

Kiat

Tafakkur Menjelang Mudik... 67

Buku

Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan... 69

Tokoh

Wawancara dengan Agung Budiyono

Fisikawan Muda Berbakat ... 70

Redaksi

Guidelines Penulisan Naskah INOVASI... 73 Susunan Redaksi Majalah INOVASI ... 75

(4)

Selamat Datang Orde Perubahan

Akhirnya pilihan rakyat jatuh ke Soesilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam pemilihan presiden lalu. Tak terbayangkan ketika di era Habibie berkembang wacana pemilihan presiden dan wapres -nya secara langsung. Maklum, karena waktu itu kita baru saja keluar dari krisis politik sepanjang orde baru. Perjalanan Orde Baru telah mempengaruhi pola pikir rakyat Indonesia soal politik. Sehingga, tidak sedikit dari rakyat dan elit kita yang bersikap konservatif dan anti-perubahan. Namun akhirnya sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah mampu membuat sejarah baru yang ternyata masih langka di dunia ini. Yakni, suksesnya pemilihan presiden secara langsung.

Makna penting dari pemilihan presiden secara langsung adalah kuatnya legitimasi. Namun kuatnya legitimasi tentu tidak menjamin roda pemerintahan bisa berjalan secara stabil. Sebut saja, kerjasama dengan parlemen menjadi salah satu faktor yang mesti diperhitungkan. Selain itu, ada faktor lain yang sesungguhnya justru lebih penting lagi. Yakni, faktor politik pembangunan. Karena ini taruhannya adalah kepercayaan rakyat. Meski mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat, tapi kalau tidak mampu mengarahkan dan mengelola pembangunan dengan baik yang menyebabkan terulangnya krisis ekonomi, maka dapat diduga bahwa rezim ini akan jatuh. Memang soal ini ada dua pandangan. Pertama, determinisme ekonomi, yang mengatakan bahwa jatuhnya rezim adalah karena kegagalannya mensejahterakan rakyat. Tumbangnya Soekarno dan Soeharto adalah contohnya. Kedua, determinisme politik, yang mengatakan justru politiklah faktor penentu jatuh bangunnya rezim. Tumbangnya Habibie dan Gus Dur adalah contohnya. Habibie meski spektakuler dalam membuat stabilitas moneter tetap saja gagal dipercaya kembali. Bayangkan, kurs rupiah terhadap dolar Amerika sebesar Rp 15 ribu/dolar pada saat krisis ekonomi, mampu diturunkan menjadi sekitar Rp 6000/dolar. Wajar bila orang menyebutnya sebagai sebuah ”miracle”. Kasus Habibie ini yang dijadikan bantahan terhadap paham determinisme ekonomi. Kalau begitu, lalu mana yang benar ?

Yang jelas antara politik dan ekonomi

saling terkait. Namun dengan kekuatan parlemen yang nyaris seimbang –antara yang pro dan oposisi pemerintah—maka kekhawatiran terhadap krisis politik sudah bisa berkurang. Sebaliknya, bagaimana dengan ekonomi ? Disinilah taruhan besar SBY-Kalla pada rakyat. Sanggupkan SBY-Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) mampu membuat terobosan ekonomi yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan ?

Bagaimana pun istilah ”Perubahan” telah menjadi trade-marknya. Kalau memang SBY-Kalla benar-benar ingin mewujudkan ”perubahan” itu maka memang bidang politik pembangunan lah yang mesti pertama kali dibenahi. Karena inilah pangkal tolak kepercayaan rakyat sehingga mereka memilih pasangan SBY-Kalla. Disinilah SBY-Kalla harus mampu merubah strategi pembangunan dari yang broad based spectrum menjadi yang resources base. Kita kaya akan sumberdaya alam. Namun, selama ini alih-alih menjadi sumber kemakmuran bangsa malah muncul sejumlah ironi. Impor produk pertanian terus mengalir. Kekayaan laut terus terkuras oleh kapal asing. Hutan rusak karena illegal logging, dan seterusnya. Sehinggga, akhirnya rakyat hanya gigit jari menyaksikan itu semua. Akan tetapi juga jangan sampai pilihan ke arah strategi resources base pun bermasalah. Masalahnya biasanya terkait dengan siapa yang akan terlibat dan diuntungkan dari strategi ini. Kalau pilihan strateginya bersifat teknokratis, maka meskipun pemanfaatan sumberdaya alam menjadi arus utamanya, tetap saja masalah ketimpangan akan terus muncul. Kemiskinan akan terus menghantui. Karena, strategi teknokratik umumnya bertumpu pada pelaku besar saja. Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang sangat penting bagi SBY-Kalla dalam 100 hari pertama ini, adalah memformulasikan strategi pembangunan yang berbasis sumberdaya alam dan bertumpu pada ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat tidak anti besar. Adalah tugas pemerintah untuk membuat keduanya bersinergi. Jadi, kini bola ada di tangan Anda, SBY-Kalla. Karena itu, manfaatkan momentum 100 hari ini untuk membuat kita semua bisa menaruh harapan dan mengucapkan: selamat datang Orde Perubahan !

(Arif Satria-Pemimpin Redaksi).

(5)

Liputan Rekomendasi Program 100 Hari

Kabinet Indonesia Bersatu

Liputan ini merupakan rangkuman diskusi yang disarikan dari milist PPI Jepang (ppi-jepang@yahoogroups.com) dengan thema: ”100 Hari Rekomendasi Program Kabinet Indonesia (KIB)” pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla (SBY-JK) sejak dilantik tanggal 20 Oktober 2004. Saat ini pemerintahan SBY-JK sudah berjalan sekitar 1/4 bagian dari 100 hari tenggat waktu yang dicanangkan untuk membuat ”crash program terapi kejut ” pada berbagai program menteri KIB. Menarik apabila kita amati rekomendasi program yang diberikan warga PPI Jepang dengan gambaran program prioritas 100 hari pertama pemerintahan SBY-JK yang telah dipaparkan berbagai media massa. Liputan ini mencoba melihat lebih jauh apakah rekomendasi yang diberikan dan program pemerintah yang telah dijalankan bersinergi?. Sebagai penutup kami berikan catatan akhir untuk masukan pada pemerintah.

1. Diskusi 100 Hari Rekomendasi Program Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)

Tanggapan pertama dilontarkan Ronne Hendrajaya yang bernada skeptis bahwa patokan 100 hari itu dinilai hanya slogan, karena menganggap SBY sebagai “extraordinary people”, di lain pihak SBY masih “mengendarai” mesin birokrasi yang lama: sama lambatnya, sama bobroknya, dan hampir pasti sama kinerjanya. Ibaratnya: supirnya diganti ,namun kendaraannya tidak berubah.

Terhadap sinyaleman di atas, Muhammad Arfian melihat hal sebaliknya. 100 hari pertama pemerintahan SBY pasti ada dampak positif yang bisa kita lihat, sekalipun itu masih terlihat tidak terlalu signifikan mengingat kerumitan permasalahan yang dihadapi. Sejalan dengan itu, Hasanudin juga melihatnya senada, dengan memberi catatan perlu adanya pembenahan pada birokrasi sebagai syarat minimal terjadinya perubahan. Parameter melihat perubahan tidak melulu dari hasil (outcome) semata, tetapi dilihat juga aspek kemauan dan strategi yang dilakukan pemerintahan SBY-JK.

Sejalan dengan itu, Subagyo menekankan perlunya pembenahan bidang Hukum secara tuntas, disamping Birokrasi

sebagai titik awal alat negara dalam menjalankan fungsinya. Hal itu disadari, terutama karena sumber krisis terbesar adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang tidak professional, sehingga sumber dana untuk menggerakkan ekonomi menguap, hilang percuma tidak berbekas untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Subagyo juga mengingatkan perlunya

memperbaiki mentalitas jajaran

pemerintahan untuk hidup hemat dan menjadi teladan kesederhaaan yang dilakukan sedini mungkin.

Selain itu, Subagyo juga menekankan pentingnya pembenahan perbankan sebagai penggerak sektor riil. Perbankan yang kuat merupakan modal dasar untuk menopang pertumbuhan usaha sektor riil, ekonomi mikro dan makro secara bersamaan. Hal itu harus ditopang dengan pembenahan pendapatan negara dari sektor Pajak yang mengutamakan asas keadilan. Beliau memberi contoh implementasi kebijakan tersebut di Jepang, dimana pembayar pajak yang mempunyai kekayaan berlebih dikenakan pajak tinggi. Demikian juga pajak harta warisan dibuat cukup besar agar dana yang dihimpun mempunyai fungsi sosial luas melalui pembenahan dan pembangunan fasilitas umum yang memadai.

Pada sisi lain, Arif Satria menyoroti “isu” bola panas kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) dunia yang berdampak pada kebutuhan lokal dapat juga menjadi ancaman kerentanan pemerintahan SBY-JK apabila tidak disikapi secara bijaksana. Terhadap isu tersebut, Muhamad Arfian menyarankan pemerintah sebaiknya membuat kebijakan program yang pro- rakyat kecil, misalnya dengan membuat skema khusus untuk rakyat kecil dan mencabut subsidi untuk pemakai premium yang pada umunya dikonsumsi orang kaya.

Sebagai responder terakhir, Mochammad Chaerul menyoroti perlunya isu lingkungan mendapat perhatian pemerintah. Prioritas pertama adalah pengusutan secara tuntas pencemaran Teluk Buyat, tanpa adanya intervensi dari pihak asing. Pengusutan ini mencakup juga audit lingkungan yang dilakukan secara menyeluruh tentang pengelolaan limbah (termasuk rona lingkungan sekitarnya) di perusahaan pertambangan lainnya. Prioritas kedua

(6)

melakukan investigasi mendalam tentang isu “illegal logging”, terutama di pulau Kalimantan dengan mengedepankan konsep “community development” sebagai antisipasi bilamana hal tersebut dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Prioritas ketiga perlu adanya tindakan secara berkesinambungan (bukan hanya tindakan pemadaman api) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan. Prioritas keempat pengkajian tentang pemanfaatan kembali areal bekas galian yg telah selesai masa konsesinya dan komitmen dari perusahaan untuk melakukan konservasi lahan. Hal ini penting untuk mengantisipasi masyarakat menggunakan lubang bekas galian yang syarat limbah industri untuk keperluan sehari-hari mereka.

Secara umum rekomendasi yang diberikan warga PPI Jepang mencakup 2 hal sbb.:

1. Pembenahan internal pemerintahan dalam rangka meletakkan dasar/pijakan yang kuat untuk menjalankan program utama. Pembenahan tersebut mencakup aspek birokrasi, hukum, sektor perbankan dan pengelolaan aset pajak, dan lain-lain. Penuntasan korupsi menjadi barometer keberhasilan sistem internal pemerintahan telah berjalan dengan baik. 2. Pembuatan kebijakan yang berorientasi

pada manajemen krisis berbasis pada kepentingan rakyat. Isu hangat yang terjadi secara nasional, seperti kenaikan BBM yang melonjak tinggi, isu lingkungan Teluk Buyat, illegal logging dlsb. menjadi prioritas utama yang perlu mendapat penanganan segera.

2. Program 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Pemerintahan SBY-JK

Program 100 hari pertama pemerintahan SBY tidak dituliskan secara terperinci dalam sebuah dokumen resmi, menyusul belum tersedianya informasi teknis sekitar program 100 hari KIB dalam rapat kerja komisi DPR dan pemerintah akibat krisis elite politik yang masih berlangsung di lembaga Yudikatif DPR ketika tulisan ini dibuat. Masyarakat hanya mendapat gambaran umum secara langsung dari presiden SBY, ketika rapat pertama KIB digelar sehari setelah acara pelantikan. Program tersebut lebih menekankan pada program “Terapi Kejut” (Shock Therapy) di semua departemen dan

kementerian negara. Walaupun tidak secara eksplisit dijelaskan, namun nampaknya pemerintah telah sejalan dengan rekomendasi diskusi warga PPI Jepang, yaitu pembenahan birokrasi, aspek hukum, perbankan dan pajak, dengan menjadikan penuntasan kasus korupsi sebagai barometer utama keberhasilan. Hal itu tampak dari semangatnya aparat hukum dan kejaksaan merespon program tersebut. Sinyal positif telah diberikan pemerintah dalam jajaran ini 3 minggu pemerintahan berlangsung. Presiden SBY dalam hal ini telah menunjukkan komitmen positif dengan mengutamakan kunjungan pada lembaga yang ditenggarai menjadi pusat in-efisiensi pemerintahan itu sendiri dalam menuntaskan kasus korupsi, yaitu Kejaksaan, Mabes POLRI, Kantor Bea Cukai dan Pajak.

Crash program dalam penanganan manajemen krisis juga telah diperlihatkan pemerintah dengan respon cepat pada kasus illegal logging, pemulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) illegal dari Malaysia.

3. Catatan Penutup

Secara umum rekomendasi hasil diskusi warga PPI Jepang relevan dengan program 100 hari pertama pemerintahan SBY. Perlu diberi catatan, bahwa lingkup pembenahan birokrasi cukup luas dan saling terkait. Misalnya saja birokrasi pada institusi pendidikan dan riset masih terjadi tumpang-tindih dalam pembagian otoritas hak penelitian; distribusi SDM yang belum merata; fasilitas penelitian; dlsb. Disini perlu melihat permasalahan birokrasi ini secara sistemik dengan memasukkan semua aspek terkait dalam satu sistem tunggal yang bekerja secara bersama-sama.

Tidak kalah pentingnya dalam membuat kebijakan manajemen krisis adalah perlunya pemerintah membuat sistem mitigasi bencana nasional. Sistem ini tidak hanya fokus pada bencana alam yang sering melanda Indonesia, seperti banjir pada saat memasuki musim penghujan dan kemarau yang selalu diikuti pekatnya kabut asap dan kebakaran hutan pada saat musim kering, disamping longsor, gelombang pasang, tsunami dan gempa bumi, dimana penanganannya selalu menyita perhatian pemerintah akibat kerugian materi dan jiwa yang sangat besar. Namun, sistem ini juga mencakup monitoring terhadap aspek yang mengancam keamanan, seperti maraknya

(7)

pencurian ikan laut, perompakan dan kerugian ekonomi akibat lingkungan yang berubah, seperti yang terjadi pada usaha budidaya laut gagal panen, karena terbatasnya akses informasi perubahan lingkungan laut yang terjadi. Apabila Sistem Mitigasi Bencana Nasional ini dibenahi dengan baik, maka kerugian materi

dan jiwa dapat dihindari sekecil mungkin, sehingga kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Perasaan aman bagi masyarakat terhadap datangnya bencana hendaknya menjadi salah satu prioritas utama program 100 hari pemerintahan SBY-JK. Selamat bekerja!

(8)

Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional

Sri Harjantoi

Venture Business Laboratory, Akita University, Japan, Penggiat ISTECS JAPAN

E-mail: harjanto@ipc.akita-u.ac.jp

1. Pengantar

Sangat menarik mencermati konsep awal pembangunan Iptek yang dicanangkan oleh Menristek Profesor Kusmayanto Kadiman pada acara serah terima jabatan beberapa waktu lalu [5]. Secara singkat dan sederhana diungkapkan bahwa konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang direncanakan di Indonesia adalah ABG kompak. Singkatan dari Academia, Bussiness dan Government, yaitu kerjasama yang melibatkan Akademisi atau universitas, Bisnis atau industri dan pemerintah. Bentuk kerja sama ini sering pula disebut sebagai triple helix (istilah yang meminjam bangun geometri yang terdiri dari tiga buah jalinan menyerupai susunan rantai DNA). Jika konsep itu memang akan konsisten dijadikan konsep kebijakan iptek nasional maka itu adalah sebuah nilai positif.

Ada nuansa baru yang menonjol dalam konsep tersebut, yaitu mengemukanya peran universitas dalam pembangunan iptek. Di satu sisi, dirasakan adanya upaya untuk menggeser peran universitas lebih aktif dari sekedar menjadi ‘menara gading’. Selain itu meskipun bukan hal yang sama sekali baru, secara lebih eksplisit, konsep tersebut berpotensi untuk mendorong kontribusi nyata iptek pada bidang ekonomi.

Namun demikian, sangat disayangkan sampai saat ini belum ada penjabaran yang lebih lengkap mengenai konsep yang disebutkan itu. Sulit dihindari kesan bahwa konsep tersebut baru sebatas ide. Hubungan antara konsep tersebut dengan kebijakan terdahulu belum jelas (UU no. 18 tahun 2002). Meskipun beberapa langkah-langkah pembenahan telah dilakukan, seperti optimalisasi institusi dalam bentuk rencana pembentukan samsat bioteknologi, masih belum cukup untuk menunjukkan visi Menristek dalam sebuah kebijakan iptek nasional yang utuh.

Masyarakat tentu sangat berharap, bekal yang dimiliki Menristek sebagai mantan pimpinan salah satu institut ternama di tanah air dapat membawa kebijakan baru pembangunan iptek yang terintegrasi

dengan pembangunan ekonomi dan berkelanjutan.

Tulisan singkat ini bermaksud untuk mengkaji dan menelaah keterkaitan konsep yang disebutkan Menristek sebagai konsep ABG dengan kebijakan iptek sebelumnya, dengan UU no. 18 tahun 2002 sebagai rujukan. Mengingat secara substansi UU no. 18 tahun 2002 bisa dikatakan sebagai sebuah prototipe Sistem Inovasi Nasional (SIN) Indonesia. Karenanya diulas keterkaitan SIN dengan konsep ABG. Beberapa hal yang berhubungan dengan triple helix juga akan didiskusikan. Selanjutnya beberapa harapan akan kebijakan iptek ke depan dikemukakan.

2. SIN

Meminjam pendefinisian yang dikemukakan oleh Freeman [3], National Innovation System atau Sistem Inovasi1 Nasional (SIN) merupakan jejaring (network) institusi maupun interaksi, baik di sektor publik maupun swasta untuk menginisiasi, mengimpor, memodifikasi dan mendifusikan teknologi baru. Selain definisi SIN oleh Freeman, masih terdapat beberapa definisi lain dari SIN, salah satunya adalah seperti yang dibuat oleh Lundvall [7]. Disebutkannya bahwa SIN adalah sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur (pelaku SIN) dan hubungan interaktif dalam produksi, difusi dan penggunaan pengetahuan baru yang juga bermanfaat secara ekonomis.

Dikemukakan oleh Lundvall [8], ide dasar SIN bisa ditarik kembali jauh ke belakang pada awal terbentuknya, sebagai salah satu respon terhadap pendekatan Adam Smith yang cenderung kosmopolitan. Friedrich List dengan konsepnya ‘national system of production’, mengkritik pendekatan Smith, dimana perdagangan bebas diasumsikan sebagai sebuah keunggulan/keuntungan bagi ekonomi nasional baik yang kuat maupun lemah. Sebaliknya List

1

Pengertian inovasi dalam tulisan ini dibatasi pada perubahan kemampuan teknik baru yang dicapai dari sebuah produksi barang, proses, sistem atau organisasi [10].

(9)

menekankan perlunya membangun infrastruktur dan institusi nasional dalam upaya meningkatkan akumulasi modal mental (mental capital) dan menggunakannya untuk mendorong pembangunan ekonomi daripada sekedar mempercayai ‘the invisible hand’ menyelesaikan permasalahannya.

Baik List yang merupakan ekonom berpendekatan insitusionalis maupun Lundvall yang evolusionaris berperan dalam mengembangkan konsep SIN sampai pada bentuknya sekarang ini. Konsep ini masih terus berkembang dan mengalami penyempurnaan. Namun demikian seperti diungkapkan oleh Lundvall [8], bahwa secara umum konsep SIN memiliki beberapa karakteristik, utamanya jika dibandingkan dengan pendekatan neo-klasik, diantaranya.

(1) Sistem nasional berbeda secara khusus dengan produksi, perdagangan dan pengetahuan (knowledge). Pandangan ini mirip dengan teori perdagangan neo-klasik. Satu hal yang berbeda adalah terdapat kopling dinamis antara apa yang negara kerjakan dengan apa yang orang dan perusahaan dalam negara tersebut tahu bagaimana mengerjakan. Kopling ini memberikan implikasi dinamis, pertama bahwa struktur produksi dan struktur pengetahuan akan berubah perlahan, dan kedua perubahan tersebut harus melibatkan pembelajaran sebagaimana perubahan suatu industri.

(2) Unsur penting pengetahuan untuk kinerja ekonomi adalah terlokalisasi dan tidak mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini berbeda dengan dunia fiktif neo-klasik dimana pengetahuan disamakan dengan informasi dan dimana masyarakat (society) dipopulasikan secara sempurna sebagai agen rasional, yang memiliki akses tidak terbatas terhadap informasi. Dengan demikian menurut pendekatan neo-klasik sistem inovasi menjadi tidak diperlukan. Asumsi dibalik perspektif sistem inovasi adalah bahwa pengetahuan (knowledge) berbeda dan memiliki nilai lebih dibanding informasi, karena mencakup unsur tacit.

(3) Unsur penting pengetahuan terikat pada pikiran dan tubuh agen pembawa pengetahuan, seperti prosedur dalam perusahaan dan tidak jarang dalam bentuk hubungan antara orang dengan organisasi.

(4) Asumsi sentral dari ide sistem inovasi berfokus pada interaksi (interaction) dan hubungan (relationship). Hubungan (relationship) bisa dipandang sebagai pembawa pengetahuan, dan interaksi (interaction) adalah proses dimana pengetahuan baru dihasilkan. Asumsi ini menggambarkan bahwa perusahaan, institusi pengetahuan dan orang tidak berinovasi sendiri. Hal ini berimplikasi bahwa sistem, perlu dikarakterisasi secara simultan melalui unsur-unsurnya dan hubungan-hubungan diantara unsur-unsur itu.

Asumsi-asumsi diatas menegaskan kembali bahwa SIN pada dasarnya merupakan sistem yang terintegrasi antara agen institusi dan sistem ekonomi yang secara langsung mendorong pemunculan dan penggunaan inovasi dalam ekonomi nasional. Agar SIN ini bisa berfungsi terdapat beberapa pelaku-pelaku yang diperlukan, yang bisa dibedakan dalam beberapa kategori berikut [9].

Universitas Pemerintah Perush. swasta (firm) Sistem peraturan: Haki dll. Org. lain: Lab. S&T hibrida,

Masy. ilmiah

Budaya Faktor pasar Organisasi sistem

keuangan

Kebijakan moneter

Sumber Daya Alam

Sistem Inovasi Nasional

Lingkungan Inovasi Nasional

Gambar 1. Peta Sistem Inovasi Nasional.

- Pemerintah, baik pusat maupun daerah. - Universitas dan institusi yang memasok

pengetahuan dan keterampilan kunci. - Perusahaan swasta (industri) dan institusi

penelitian yang dibiayainya.

- Intitusi penghubung, seperti dewan riset dan asosiasi riset yang berfungsi sebagai pemerintah dengan pelaku riset.

- Organisasi lain, publik maupun swasta Pemetaan pelaku/unsur SIN dalam lingkup sempit dapat dilihat pada Gambar 1 [3] dimana, interaksi diantara pelaku-pelaku SIN pada akhirnya menentukan efektivitas SIN dalam peningkatan ekonomi nasional.

Permasalahan umum dalam implementasi SIN antara negara maju dan

(10)

berkembang sangat berbeda satu sama lain. Bagi negera berkembang permasalahan dalam SIN umumnya terkait dengan rendahnya implementasi.

Kajian SIN di negara berkembang seperti Thailand [6] menunjukkan bahwa SIN negara tersebut belum terkait langsung dengan pembangunan struktural ekonomi. Permasalahan lain yang juga muncul dan teramati adalah rendahnya keterkaitan dan interaksi antara pelaku-pelaku SIN.

Hal yang tidak jauh berbeda juga ditemui dalam implementasi SIN di Indonesia [1]. Kajian yang mengambil rujukan pada beberapa kebijakan iptek nasional seperti UU no. 18 tahun 2002, menunjukkan bahwa intensitas dan efektivitas interaksi unsur-unsur SIN Indonesia masih rendah. Diindikasikan adanya inkohenrensi kebijakan-kebijakan antara para pelaku SIN di Indonesia. Sudah barang tentu SIN di Indonesia masih belum mampu mendorong pembangunan ekonomi apalagi kekompetitifan bangsa.

3. ABG

Jika pendekatan neo-klasik menekankan pada kekuatan pasar, maka SIN menekankan pada perusahaan sebagai salah satu infrastruktur pengetahuan yang mendorong inovasi. Sedangkan model kebijakan triple heliks secara lebih detil menjelaskan interaksi antara Academia (A: Universitas) – Business (B: industri)- Government (G: pemerintah) dalam bentuk mengemukanya peran infrastruktur pengetahuan masyarakat (universitas) dalam mendorong inovasi.

Berkembangnya sistem inovasi dan pencarian bentuk hubungan unsur-unsur SIN yang paling optimal, menggambarkan terjadinya perubahan bentuk konfigurasi hubungan antara universitas, industri dan pemerintah. Sejauh ini terdapat 3 jenis konfigurasi hubungan ABG di dunia [2]

Konfigurasi 1 (Gambar 2) meng- gambarkan model triple helix dimana peran negara sangat besar dalam mengarahkan universitas dan industri serta hubungan keduanya. Versi peran yang kuat dari negara dapat di temui di negara-negara bekas Uni Sovet dan Eropa Timur, sedangkan versi yang lebih lunak dapat ditemui di negara-negara Amerika Latin dan pada beberapa negara Eropa seperti Norwegia.

Pemerintah

(G)

Industri (B) Universitas (A)

Gambar 2. Model hubungan ABG yang

masih menyertakan peran pemerintah Model triple helix kedua (Gambar 3) terdiri dari lingkaran institusi yang terpisah dengan batas yang tegas membagi ketiganya dan menggambarkan hubungan yang terpisah satu sama lain.

Sedangkan model terakhir men- indikasikan munculnya sebuah infrastruktur pengetahuan (knowledge infrastructure) dalam bentuk irisan lingkaran institusi yang saling berbagi peran dalam bentuk organisasi hibrida yang muncul di bagian antar muka ketiga lingkaran (Gambar 4).

Model triple helix pertama digambarkan sebagai sebuah model yang gagal oleh Etzkowitz dan Leydesdorff. Dengan rendahnya inisiatif ‘bottom up’, inovasi cenderung kurang mengalami dorongan yang memadai. Sebaliknya, triple helix 2, muncul sebagai sebuah respon terhadap model pertama yang membawa kebijakan ‘laissez-faire’ (persaingan bebas) yang mengurangi peran negara.

Seperti yang disebutkan dalam publikasi di atas, beberapa negara, khususnya negara maju, saat ini sedang mengarah pada pembentukan model hubungan yang digambarkan pada triple helix 3.

Tujuan umum dari upaya itu antara lain untuk merealisasikan lingkungan inovatif dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil ‘spin off’ universitas, aliansi strategis perusahaan-perusahaan (baik besar maupun kecil yang beroperasi di daerah yang berbeda dan dengan level penguasaan teknologi yang berbeda) dengan laboratorium pemerintah dan grup penelitian akademik/universitas. Bentuk hubungan itu

(11)

bukan melalui pengontrolan pemerintah, melainkan didorong secara alami.

Perubahan status BHMN (badan hukum milik negara) pada beberapa universitas di Indonesia sejak tahun 2000, pada dasarnya merupakan salah satu pertanda terjadinya perubahan peran universitas. Terlepas dari pro-kontra kebijakan otonomi universitas ini, kebijakan ini perlu disambut baik karena secara internal kebijakan ini bisa mendorong universitas dikelola secara lebih efisien. Pada batas-batas tertentu kebijakan ini pun berpotensi dalam mengarahkan kontribusi universitas dalam sistem inovasi nasional. Pada akhirnya dalam batas maksimal diharapkan muncul dorongan alami universitas BHMN itu untuk lebih berperan serta dalam pembangunan ekonomi daerah maupun nasional. Pemerintah (G) Universitas (A) Industri (B)

Gambar 3. Model hubungan ABG yang

berasaskan persaingan bebas (laissez-faire) Saat ini nampaknya universitas BHMN di Indonesia masih dalam masa transisi. Pola hubungan antara universitas dan industri di Indonesia, merujuk pada ketiga model triple helix di atas, masih belum jelas. Intensitas hubungan dengan industri secara kualitatif pun masih rendah. Kalau pun ditemukan intensitas hubungan yang tinggi, secara umum belum mencapai ‘critical mass’ dan itu pun masih terbatas pada beberapa universitas besar saja.

Di sisi perusahaan atau industri besar, keterikatan pada pihak prinsipal nampaknya masih kuat mewarnai kegiatan R&D, sehingga turut memberikan andil terhadap rendahnya hubungan itu. Sedangkan secara umum, baik pada perusahaan besar maupun kecil dan menengah, masih belum tumbuh secara memadai kesadaran umum peran positif pengetahuan untuk peningkatan kinerja ekonomi perusahaan.

Demikian pula dengan kontribusi universitas pada pembangunan ekonomi daerah maupun nasional pun tidak signifikan. Setidaknya tergambarkan dengan masih rendahnya anggaran belanja universitas pada bidang penelitian dan pengembangan, sebesar 6% dari total 0.05% (dari PDB) anggaran belanja penelitian dan pengembangan (R&D) nasional pada tahun 2000 [1]. Universitas (A) Industri (B) Pemerintah (G)

Jaringan tri-lateral dan

organisasi hibrida

Gambar 4. Model hubungan ABG triple helix

ketiga

4. Refleksi dan Harapan

Dari paparan singkat di atas, terungkap bahwa masih diperlukan usaha-usaha yang lebih sistematik untuk menjadikan konsep ABG sebagai sebuah kebijakan iptek nasional yang menyeluruh dan implementatif. Dalam hemat penulis, langkah awal yang nyata dan penting di bidang Ristek ini adalah tampilnya peran Menristek dalam mendorong berfungsinya SIN Indonesia.

Di samping itu, beberapa catatan dibawah ini menguraikan refleksi dan harapan akan peran dan langkah-langkah yang seyogyanya diambil dan dilakukan oleh Menristek.

(1) Perlu ditumbuhkan suatu kesadaran sosial secara mikro kepada pelaku SIN khususnya, maupun secara makro pada masyarakat umumnya, akan peran penting dan signifikan pengetahuan (iptek) terhadap pembangunan ekonomi bangsa. Hanya dengan kesadaran inilah pembangunan iptek bisa berjalan dan menjadi lebih membumi serta dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

(12)

perbedaan pendekatan yang digunakan dalam kebijakan pembangunan iptek (yang cenderung institusionalis-evolusionaris) dengan kebijakan pembangunan ekonomi (yang dominan neo-klasik). Di sini peran Menristek dalam menjembatani perbedaan pendekatan itu menjadi penting, dalam upaya meningkatkan hubungan dan interaksi para pelaku SIN agar menghasilkan keluaran yang optimal. Ke depan dirasakan perlu adanya komunikasi yang lebih intensif baik antara Menristek dengan Mendiknas (Dikti) maupun Menristek dengan Menperind. Ide pembentukan suatu ‘komisi meja bundar’ ketiga institusi itu selayaknya dipertimbangkan.

(3) Konsep ABG dengan pola yang lebih spesifik perlu segera diwujudkan dengan lebih nyata, karena konsep ini berpotensi menjadi motor berfungsinya SIN. Penulis berpedapat, model hubungan universitas – industri sebagaimana yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin relatif cukup realistis untuk diadopsi, selain karena kondisi ekonomi negara-negara tersebut memiliki kemiripan dengan Indonesia, juga karena model tersebut mengkombinasikan ruang inisiatif universitas yang ‘bottom up’ sifatnya dengan kebijakan pendukung dari pemerintah yang sifatnya ‘top down’ secara serasi. Dengan demikian, hubungan dengan industri yang selama ini telah tumbuh di universitas perlu diberikan iklim yang lebih kondusif agar bisa berkembang lebih besar. Pada saat yang sama kebijakan yang bersifat ‘top down’ masih diperlukan sebagai stimulan. Keduanya seyogyanya bersifat komplementer satu sama lain.

(4) Peningkatan anggaran penelitian dan pengembangan (R&D) 0,05% dari PDB ke angka yang lebih signifikan perlu diperjuangkan lebih gigih. Peningkatan anggaran ini akan menjadi insentif para SDM iptek dalam memberikan kontribusi riilnya ke masyarakat. Terkait dengan hal itu, perlu pula dilakukan proporsionalisasi apresiasi finansial SDM iptek yang menekuni jalur fungsional agar keluarannya bisa lebih bersaing dengan jalur struktural.

5. Daftar Pustaka

[1] Aiman, S., Hakim, L., Simamora, M., 2004, National Innovation System of Indonesia: A Journey and Challenges, The first Asialic International Conference on ‘ Innovation Systems and Cluster :

Challenges and Regional Integration’, Bangkok, Thailand, 1-2 April 2004. [2] Etzkowitz, H. and Leydesdorff, L., 2000,

The dynamic of innovation: from National System and “Mode 2” to a Triple Helix of university-industry-government relations, Research Policy 29: 109-123.

[3] Feinson, S., 2003, National Innovation System Overview and Country Case, in Knowledge Flows, Innovation, and Learning in Developing Countries, p. 13-38, Rockefeller Foundation.

[4] Freeman, C., 1987, Technology and Economic Performance: Lesson from Japan, Pinter, London.

[5] Humas BPPT, 2004, Serah Terima Jabatan Menristek dan Ketua BPPT, 25 Oktober 2004, http://www.bppt.go.id/berita/news2.php? id=325

[6] Intarakumnerd, P., Chairatna, P. and Tangchitpiboon, T., 2002, National innovation system in less succesful developing countries: the case of Thailand, Research Policy 31: 1445-1457.

[7] Lundvall, B-A (ed.), 1992, National Innovation System: Towards a Theory of Innovation nad Interactive Learning, Pinter, London.

[8] Lundvall, B.-A, 2003, National I nnovation System: History and Theory,

Proceeding of NSTDA-JICA Seminar on Innovation System in Asian Economies, Bangkok.

[9] OECD, 1999, Managing National Innovation System.

[10] Viotti, E. B., 2002, National Learning systems: A new approach on technological change in late industrializing economies and evidences from teh cases of Brazil and South Korea, Tech. Forecasting and Social Change, 69: 653-680.Pinter, London

i Staf Akademik pada Departemen Metalurgi dan

Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saat ini sebagai peserta program posdoktoral di Venture Business Laboratory, Akita University - Japan

(13)

Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi:

Beberapa Catatan Kritis

Tri Widodo W. Utomo

Peneliti LAN dan Mahasiswa Program Doktor di GSID, Nagoya University, Jepang Dalam sebuah kesempatan kampanye

Capres di Jakarta (7/9/04), SBY pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang professional, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan) dari program reformasi birokrasi tersebut.

Selama masa kampanye Pemilu lalu (baik Legislatif maupun Presiden), isu pembenahan administrasi publik nampaknya terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan stabilitas ekonomi makro. Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang lainnya.

Beberapa alasan yang mendasari perlunya dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Sementara mengenai country risk (indeks tingkat risiko), dari 185 negara yang di survei, Indonesia menempati urutan ke-150. Peringkat ini hasil dari kompilasi pemeringkatan oleh Marvin Zonish & Associate, Standard & Poors, Moody Investor Services, Economist Intelligence Unit, dan World Market Research Centre.

Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia, Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam. Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua dibawahnya adalah Gabon dan Suriname. Sedangkan periode 1994-1996,

peringkat Indonesia masih berada di posisi ke-52.

Gambaran umum kondisi bangsa Indonesia tersebut berakar dari permasalahan dan menjadi titik sentral yaitu antara lain masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara negara baik di fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Pada gilirannya, kelemahan penyelenggara negara tersebut telah menyebabkan tidak mampunya bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan suatu kepemerintahan yang baik. Hal tersebut tentu saja berdampak terhadap keseluruhan aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi negara dan kualitas SDM Aparatur yang rendah. Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat pembangunan nasional. Dengan kata lain, dalam kinerja makro pembangunan nasional yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi nasional secara menyeluruh.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemilu 2004 dan terpilihnya Presiden baru mestinya dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk mencanangkan program reformasi nasional dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang bersih, baik, dan kuat (clean, good and strong governance). Dan bersamaan dengan selesainya Pemilu ini, DPR telah pula menyetujui revisi UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu butir pokok dalam revisi tadi adalah pengaturan tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah

(14)

secara langsung.

Dalam tahap implementasinya, lahirnya UU baru tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) ini ternyata mengundang polemik serta mendapat reaksi cukup keras dari berbagai pihak. Dari penolakan yang disampaikan Dewan Presidium Formas (Suara Merdeka, 11/10/04) hingga gagasan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas, 19/10/04). Lahirnya UU ini sekaligus menandai babak baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini masih carut-marut.

Secara sekilas, butir-butir perubahan UU tadi nampaknya memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih demokratis, melalui mekanisme pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung. Namun jika dicermati lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi permasalahan yang cukup kompleks.

Dalam hal pengajuan calon Kepda, misalnya, UU ini menentukan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk itu (pasal 56). Kata-kata “partai politik atau gabungan partai politik” ini dapat menimbulkan polemik, mengingat selama ini usulan calon Kepda datang dari Fraksi di DPRD (bukan dari partai politik). Selain itu, dengan pola “satu pintu” ini akan tertutup peluang bagi calon independen untuk menjadi Kepala Daerah.

Dilihat dari prinsip efektivitas, mungkin saja pola satu pintu ini lebih baik. Namun secara filosofis hal ini tidak akan dapat mewujudkan cita-cita untuk membabat praktek money politics di daerah. Sebagaimana dilaporkan berbagai media, dewasa ini tersebar perilaku korup dari para anggota dewan serta perselingkuhan politik antara DPRD dengan Bupati/Walikota. Kondisi ini terjadi karena DPRD menurut UU 22/1999 memiliki kekuasaan yang luar biasa, dari memilih Kepda hingga meminta pertanggungjawabannya. Dengan model pemilihan langsung, praktek kotor tersebut diharapkan dapat dihindari. Inilah sesungguhnya esensi dasar dari pemilihan Kepda secara langsung.

Sayangnya, UU baru ini tidak memberi “hak inisiatif” kepada rakyat untuk

mengajukan calonnya tanpa melalui partai politik. Dengan kata lain, rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yang telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat.

Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut.

Memang benar bahwa pasal 59 memerintahkan parpol atau gabungan parpol untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan diluar kader partai. Namun pasal ini kelihatannya hanya akan menjadi pemanis, karena hampir mustahil sebuah partai memiliki goodwill untuk mencalonkan orang yang bukan kadernya menjadi Kepala Daerah.

Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini adalah tiadanya hubungan hierarkis dan koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi, sementara KPU propinsi berhubungan secara struktural dengan KPU. Celakanya, UU tadi justru memerintahkan KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD. Ketentuan ini jelas sekali tidak masuk akal. Pertanggungjawaban proses pemilihan Kepda secara langsung tidak mungkin diberikan kepada institusi yang memiliki wewenang untuk mengajukan calon Kepda.

(15)

Bayangkan, seandainya DPRD daerah tertentu memiliki 5 fraksi, dan setiap fraksi memiliki calon Kepda tersendiri, maka di daerah tersebut terdapat 5 pasangan calon Kepda-Wakepda. Dalam kasus seperti ini, persaingan ketat diantara ke-5 fraksi tersebut tidak terhindarkan. Kemenangan pasangan dari fraksi tertentu bukan tidak mungkin menimbulkan ketidakpuasan dan protes dari fraksi lainnya. Padahal, seluruh fraksi tadi sama-sama merupakan alat kelengkapan pada lembaga yang sama, yakni DPRD. Bagaimana mungkin mereka dapat menerima pertanggungjawaban dari KPUD secara kolektif, sementara mereka memiliki kepentingan yang parsial?

Disini nampak sekali bahwa klausul “KPUD bertanggungjawab kepada DPRD” (pasal 57) membuka potensi terjadinya 2 jenis konflik, yakni konflik internal dalam DPRD (antar fraksi), serta konflik antara KPUD dengan DPRD itu sendiri. Potensi konflik ini semakin menguat ketika UU Pemda tidak menyediakan aturan dalam hal pertanggungjawaban KPUD ditolak oleh DPRD.

Disinilah sesungguhnya KPU (pusat) dapat memainkan perannya selaku koordinator, fasilitator, pengawas / pengendali, sekaligus penanggungjawab akhir dari seluruh proses Pilkada secara langsung. Dengan dikebirinya peran KPU, maka ancaman terjadinya deadlock dalam proses Pilkada semakin nyata membayangi implementasi UU baru ini. Uniknya, peran KPUD sendiri sebenarnya juga sudah terkebiri oleh UU Pemda ini. Sebab, meskipun KPUD masih memiliki hak membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang

dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepda secara langsung. Padahal, aturan-aturan teknis penyelenggaraan pemilu langsung ini semestinya dilakukan oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, RUU Pemda ini secara dini telah membatasi discretionary of power dari KPUD.

Paparan diatas menyiratkan bahwa dinamika politik lokal di Indonesia dalam waktu dekat ini akan cukup panas dan bergejolak. Ketergesaan dalam bertindak dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pemda, adalah kontributor utama terhadap kemungkinan munculnya dinamika tadi. Yang paling menyedihkan, pemerintah dan masyarakat daerah nampaknya masih banyak dipandang sebagai ladang eksperimen politik bagi elit-elit tertentu.

Pemberlakuan UU 22/1999 yang terkesan terburu-buru dan “dipaksakan” adalah eksperimen yang pertama. Dampaknya, persoalan muncul disana sini seperti pemekaran wilayah yang tidak terkendali, konflik vertikal dan horisontal antar unit

pemerintahan, penggelembungan

kelembagaan Pemda, korupsi legislatif, dan sebagainya. Dan ketika UU ini baru berjalan efektif 3 tahun lebih, tiba-tiba Revisi UU 22/1999 telah ditetapkan secara terburu-buru pula. Instrumen Pilkada secara langsung yang sarat masalah, adalah salah satu bukti baru betapa eksperimen politik lokal itu tengah berlangsung secara kasat mata.

Pertanyaannya, adakah eksperimen tadi mampu menghasilkan manfaat optimal bagi masyarakat lokal, ataukah elit-elit politik lokal dan nasional yang akan tetap bermahkotakan penderitaan rakyat? Waktulah yang akan membuktikan segalanya, apakah kabinet

SBY – Kalla mampu mewujudkan

(16)

Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah?

Asnawi Manaf

Staff Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang Kandidat Doktor di Universitas Kassel, Jerman

E-mail: asnawi_manaf@yahoo.de

1. Pentingnya Perspekti f Baru Kinerja Pembangunan Perumahan

Setelah diumumkan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, seolah ada satu harapan dan kegembiraan tersendiri dengan diadakannya kembali Menteri Negara Perumahan Rakyat sebagai satu posisi menteri yang saya amati cukup dinantikan, terutama oleh para pengusaha atau pengembang. Menteri Negara Perumahan

Rakyat yang sejak pemerintahan

Abdurrahman Wahid telah dihapus atau tugas perannya dilebur menjadi satu dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, kini diadakan kembali.

Bisakah dia menjadi sebuah harapan meningkatnya kembali kinerja pembangunan perumahan, terutama perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah?

Mencermati beberapa isu yang

berkembang di media massa, terlihat jelas bahwa harapan-harapan itu masih sebagian besar datang dari kalangan pengembang atau pelaku bisnis perumahan. Pengamat property, Panangian Simanungkalit juga melihat harapan ini secara positif (setali tiga uang). Menurut penulis, cara pandang itu masih bertumpu dari satu sudut pandang yang melihat persoalan perumahan masih di tingkat permukaan atau ukuran kinerja pembangunan hanya diukur dari jumlah (kuantifikasi) rumah yang dibangun. Dan dianggap bahwa kinerja pembangunan perumahan hanya semata-mata bergantung pada peran pengusaha atau pengembang perumahan yang mampu menawarkan harga rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah di pasar-pasar perumahan formal.

Padahal dapat diamati, bahwa pada prakteknya justru penyedia perumahan yang paling dominan adalah swadaya masyarakat

yang menyumbang lebih 80%, bukan berasal dari pasar perumahan formal. Disamping itu, tumbuh dan berkembangnya pemukiman atau hunian informal, yaitu hunian yang dibangun secara swadaya (kawasan-kawasan kumuh) di perkotaan sebetulnya juga bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pasokan rumah secara kuantitatif, tetapi lebih disebabkan oleh produk rumah yang tidak relevan dengan kebutuhan rasional mereka yang berpenghasilan rendah. Bila mereka ingin memperoleh hunian murah yang disediakan oleh pasar formal, maka mereka harus tinggal jauh dari sumber mata pencaharian mereka.

Kelemahan mekanisme pasar (market failure) dalam menjawab kebutuhan perumahan ini, sebetulnya sudah terlihat juga sejak Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) itu ada (Orde Baru) dengan terjadinya banyak kredit macet di bidang properti.

Secara kuantitatif tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dihapusnya Menpera, kinerja pasar perumahan menurun secara signifikan. Pada era Orde Baru bisa dihasilkan rata-rata 100 ribu lebih rumah per tahun, sementara pada era Reformasi setelah dihapusnya Menpera menurun sampai 50 ribu unit rumah per tahun. Akan tetapi merosotnya jumlah rumah yang diproduksi pada era Reformasi ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan atas kontrol pemerintah yang semakin ketat akibat pengalaman buruk perilaku kotor pengusaha property pada era tersebut yang ikut memberikan sumbangan atas terjadinya krisis moneter di tanah air, yaitu banyak kasus kredit macet (non-performing loan).

Logika pasar yang bebas tanpa adanya intervensi pemerintah, terutama dalam mengelola sumber daya yang krusial, seperti aset lahan, biaya, dan perijinan, pada kenyataannya telah mempercepat melambungnya harga lahan dan rumah yang tidak hanya ditentukan oleh rasionalitas hukum permintaan dan penawaran, akan

(17)

tetapi justru oleh tumbuh suburnya semangat para pengusaha hitam untuk menumpuk kekayaan melalui spekulasi lahan perumahan.

Perilaku menyimpang dari model pasar bebas ini, haruslah menjadi pengalaman kita. Sebelum krisis moneter, jumlah kredit yang sudah terlanjur disalurkan perbankan nasional ke sektor properti mengalami kemacetan dan akhirnya terpaksa diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ini menunjukkan alokasi dana tersebut sia-sia belaka, karena telah disalahgunakan untuk kepentingan para spekulan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini pada akhirnya merugikan masyarakat. Mereka yang sesungguhnya membutuhkan dana tersebut selalu terdiskriminasi.

Bertolak dari kenyataan ini maka perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan seharusnya mulai digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya. Untuk kabinet yang akan datang, diharapkan kebijakan perumahan ke depan harus lebih berani melakukan reorientasi strategi dari yang sebelumnya hanya bertumpu pada pelaku bisnis perumahan dengan orientasi mengambil keuntungan sebanyak mungkin menjadi focus pada pelaku pembangunan lain yang lebih luas dan lebih berorientasi pada kepentingan

pembangunan perumahan yang

berkesinambungan.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada masyakarat haruslah menjadi primadona. Melalui penekanan pada upaya mengelola potensi swadaya masyarakat yang selama ini kurang mendapat dukungan, diharapkan lebih mampu menjawab permasalahan perumahan secara mendasar. Hal ini memerlukan terobosan baru dalam kebijakan manajemen pembangunan, sehingga kelompok sasaran yang mendesak (urgen) betul-betul dapat terprioritaskan terlebih dahulu.

Ukuran urgensi ini tercermin dari munculnya pemukiman-pemukiman informal yang dibangun secara swadaya. Kemunculan pemukiman itu tidak mendapat dukungan teknis yang memadai, ditambah dengan

kondisi sosial dan ekonomi mereka yang minim menjadikan sebagian besar kondisi pemukiman tidak layak huni (kumuh). Paradigma melihat permasalahan mereka hendaknya tidak lagi dilihat dari sudut pandang negatif, namun harus dilihat sebagai gambaran konkrit upaya swadaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahnya dengan segala pertimbangan yang sangat matang dari sudut pandang sosial dan keterjangkauan ekonomi yang mereka miliki (Turner, 1968, 1976, 1978, 1997).

2. Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Masyarakat sebagai Satu Alternati f

Dalam rangka mengelola potensi swadaya masyarakat untuk mengantisipasi munculnya hunian yang kurang manusiawi ini, pada era Orde Baru sebetulnya telah disosialisasikan sebuah strategi alternatif Pembangunan Perumahan yang B ertumpu Pada Kelompok (P2BPK).

P2BPK ini dikalangan LSM pembangunan perumahan seperti AKPPI dan ASPEK sudah cukup dikenal dan bahkan pernah dijalankan dengan berhasil. Salah satu motivasi P2BPK adalah upaya mengorganisir potensi swadaya masyarakat tersebut dalam satu kelompok atau secara kooperatif dikelola secara baik untuk membangun rumah secara swadaya atau swakelola sehingga produk hunian dan lingkungan yang terjadi bisa lebih tertata dan bisa mengurangi munculnya lingkungan kumuh.

Karena dilakukan secara berkelompok atau kooperatif, maka secara teoritis pola P2BPK ini memiliki potensi sebagai sarana untuk menjembatani kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam mengakses sumber-sumber daya kunci perumahan (lahan, perijinan, biaya) yang selama ini kurang berpihak pada si miskin. Hal ini disebabkan karena lemahnya posisi tawar (bargaining power) mereka (the ruled class) terhadap kelompok masyarakat yang dominan atau penentu kebijakan (the rulling class) untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya (Asnawi, 2003), terutama akses ke sumber daya kunci di atas, karena mereka bergerak tidak terorganisir dalam satu kelompok.

Berdasarkan dari laporan-laporan kegiatan P2BPK yang dilaksanakan pada masa Orde

(18)

Baru memang pada kenyataannya belum memberikan gambaran yang menggembirakan (Warta Damar, 2001). Upaya yang dilakukan oleh para LSM untuk mengorganisir masyarakat dari bawah (struggle from below) untuk memiliki rumah sering kandas atau tidak berjalan seperti apa yang diharapkan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena kurang adanya dukungan (political will) dari pemerintah. Sehingga P2BPK di masa lalu sulit diwujudkan dan salah satu alasan paling mendasar disebabkan keberpihakan pemerintah secara politis masih sangat lemah untuk mendukung pola ini, sehingga harapan-harapan P2BPK yang diuraikan di atas sering kandas di tengah jalan.

Sebagai penutup, saya berharap semoga Kementrian Perumahan ke depan hendaknya dapat mengembangkan perspektif baru dalam melihat keberhasilan kinerja pembangunan perumahan: tidak hanya dari sudut kuantitatif, tetapi juga yang lebih penting dari segi kualitatif. Dengan sikap profesional dan kejujuran yang tinggi, kementrian perumahan di Kabinet Indonesia Bersatu ini akan mampu untuk mengelola sumber daya kunci perumahan terutama lahan secara lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat umum.

Juga dengan semangat keberpihakan yang tinggi kepada si miskin (pro poor), Kementrian Perumahan juga dapat lebih melindungi mereka sehingga tidak terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan sempit. Dan lingkungan fisik perumahan sebagai ekspresi rasional pertarungan antar klas (Castells, 1978) tidak semakin memperjelas segregasi sosial dan spasial yang semakin mencolok antara the have (permukiman mewah yang di jaga satpam siang malam) dan the have not (permukiman kumuh yang tidak manusiawi) yang berakibat munculnya kecumburuan sosial (collective conciousness) yang membahayakan kekuatan modal sosial (social capital) dan membangkitkan semangat gerakan sosial yang mengarah pada tindakan desktruktif.

Demikian sedikit sumbang saran dari saya sebagai pengamat dan pelaku pembangunan perumahan melalui pola swadaya dan

Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK).

3. Daftar Pustaka

[1] Asnawi, Manaf (2003), Refleksi Penerapan Enabling Strategy dan Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK). Jurnal Tata Loka, PWK Undip Semarang, vol 5. no. 2, pp. 73-79.

[2] Bishwapriya, Sanyal (1998), Beyond the Theory of Comparative Advantage, in Shelter and Society: theory, research, and policy for nonprofit housing / edited by C. Theodore Koebel.

[3] Castells, Manuel (1978), City, Class and Power, London: The Macmillan Press LTD.

[4] Dirjend. Perumahan dan Permukiman Departemen KIMPRASWIL, Penerapan Pembangunan Perumahan dan Daerah berbasis pada Prakarsa Komunitas masyarakat, Bulletin, Warta Damar, E disi Perdana, Oktober 2000-Maret 2001 [5] Turner, John F.C. (1968), The Squatter

Settlement: An Architecture that Works, Architectural Design 38 vol. 8 London, pp. 357-360

[6] Turner, John F.C. (1976), Housing By People: Toward Autonomy in Building Environments, London: Marions Boyars. [7] Turner, John F.C. (1978), Housing in

Three Dimensions: Term of Reference for Housing Question Redefined, World Development, no. 9/10 vol. 6, London:Pergamon, pp. 1135-1145

[8] Turner, John F.C. (1997), Learning in a Time of Paradigm Change: The role of the professional, In Burgess, Rod, Carmona M, Kolstee T (eds.). The Challenge of Sustainable Cities: Neoliberalism and Urban Strategies in Developing Countries, London: zed books ltd. pp. 162-175

(19)

Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan

Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi

Jangkung Handoyo Mulyo Dosen Universitas Gadjah Mada,

Mahasiswa Program Doktor pada Department of Economic Development and Policies, Graduate School of International Cooperation Studies, Kobe University

E-mail: JhandoyoM@yahoo.com

Di antara tugas berat pemerintahan baru dibawah Presiden SBY adalah bagaimana membangkitkan kembali dan sekaligus mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi nasional pasca krisis moneter. Ekonomi kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi yang memberikan pemihakan kepada pelaku ekonomi lemah kiranya pantas mendapatkan prioritas utama penanganan. Hal ini bukan saja karena ekonomi kerakyatan memiliki pijakan konstitusional yang kuat, namun juga karena ia gayut langsung dengan nadi kehidupan rakyat kecil yang secara obyektif perlu lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu ‘engine’ bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (social welfare) dan sekaligus alat ampuh untuk lebih memeratakan ‘kue pembangunan’ sejalan dengan program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation).

1. Pengantar

Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia.

Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Banyak pihak mengkritik, antara lain Baswir (2003),

bahwa konsep perdagangan bebas cenderung mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai strata sosial yang terdapat dalam masyarakat.

Dalam sistem perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu agar tetap survive, maka koperasi yang oleh Anthony Giddens (dalam Rahardjo, 2002) dipopulerkan sebagai the third way, perlu diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak dini, apakah dengan membentuk jaringan kerjasama antar koperasi dari berbagai negara, melakukan merger antar koperasi sejenis, atau melakukan langkah antisipatif lainnya.

2. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi Rakyat

Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan.

Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang

(20)

berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.

3. Citra dan Peran Koperasi di Berbagai Negara

Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang kita harapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis, handycap dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi.

Oleh karena itu, disini perlu dipaparkan beberapa contoh untuk lebih meyakinkan kita semua bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi.

Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi

diharapkan masyarakat setempat

mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.

Di Indonesia, menurut Ketua Umum Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi

perekonomian nasional akan sangat signifikan.

Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank , yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula.

Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).

Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi.

4. Pemberdayaan Koperasi: Menggali Key Success Factor

Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci yang urgent dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. Diantara faktor

(21)

penting tersebut, antara lain:

a. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi (definition of co-operative), nilai-nilai koperasi ( values of co-operative) dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (principles of co-operative) (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan entry point dan sekaligus juga crucial point dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Sebagai catatan tambahan, aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003). b. Dalam menjalankan usahanya, pengurus

koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.

c. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.

d. Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi

dengan aktifitas usaha anggotanya. e. Adanya efektifitas biaya transaksi antara

koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.

5. Penutup

Sebagai sesama anak bangsa, kita terpanggil untuk secara bersama-sama memberdayakan koperasi sehingga koperasi bukan hanya berperan sebagai lembaga yang menjalankan usaha saja, namun koperasi bisa menjadi alternatif kegiatan ekonomi yang mampu menyejahterakan anggota serta sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain, kita mengharapkan tumbuh berkembangnya koperasi yang memiliki competitive advantage dan bargaining position yang setara dengan pelaku ekonomi lainnya.

Upaya untuk lebih memberdayakan koperasi diawali dengan mengembalikan koperasi sesuai dengan jatidirinya. Selain itu diperlukan upaya serius untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan koperasi dalam format gerakan nasional berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media masa, maupun media yang lainnya.

Semoga koperasi sebagai salah satu representasi dari ekonomi kerakyatan yang bersendikan demokrasi ekonomi dapat tumbuh, berkembang dan berdaya guna serta mampu menjadi salah satu pilar penting perekonomian bangsa.

Daftar Pustaka

[1] Anonim, 2004, Pemerintah Tak Serius Berdayakan Koperasi, Kompas, 28 Februari 2004.

[2] Baga, L.M, 2003, “Foolishisasi” Koperasi, Kompas, 12 Juli 2003.

[3] Baswir, R, 2003. Koperasi dan Perdagangan Bebas. Republika, 23 Juni 2003.

(22)

[4] International Co-operative Information Centre, 1996. What is a co-operative? (www.wisc.edu/uwcc/icic/def-hist/def/wha t-is.html)

[5] Krisnamurthi,B, 2002. Membangun Koperasi Berbasis Anggota Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 4 (www.ekonomirakyat.org)

[6] Mubyarto, 2002. Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi:Peran Perguruan Tinggi, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 6 (www.ekonomirakyat.org)

[7] Mutis, T, 2001. Satu Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan, Kompas, 29 September 2001.

[8] _______, 2003. Koperasi Konsumsi Harus Bisa Digalakkan Kembali, Kompas, 5 Juli 2003.

[9] Rahardjo,D, 2002. Apa Kabar Koperasi Indonesia, Kompas, 9 Agustus 2002

(23)

Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY:

Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan

Dodik Ridho Nurrochmat*

Dosen Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, IPB, dan Kandidat Doktor di Universitas Göttingen, Jerman Menteri Negara Komunikasi dan Informasi,

Sofyan Djalil, membeberkan rencana pemerintah melakukan shock therapy dengan prioritas mengatasi illegal logging, korupsi, dan penegakan hukum dalam 100 hari pertama pemerintahan (KCM 22/10/2004). Komitmen ini patut dihargai, meskipun sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru, karena pada tahun 2000, pemerintahan sebelumnya (juga) telah menegaskan tekadnya memerangi illegal logging yang termaktub dalam 12 butir self commitment pengelolaan hutan secara lestari. Namun, ada jurang perbedaan yang dalam antara komitmen normatif dan fakta di lapangan. Kenyataannya, pengelolaan hutan Indonesia makin jauh dari komitmen normatif mewujudkan hutan lestari yang dicanangkannya sendiri (Bank Dunia, 2001).

Pemerintahan SBY-Kalla harus dapat menjawab keraguan masyarakat bahwa komitmen memerangi illegal logging benar-benar serius dilaksanakan, bukan lagi (mengulang) pepesan kosong pemerintahan sebelumnya. Kekhawatiran masyarakat ini hadir bukan tanpa sebab, setidaknya kesan bahwa pengangkatan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu semata-mata karena perimbangan jatah parpol, harus dijawab dengan kesungguhan kerja dan bukti nyata memberangus peredaran kayu ilegal.

1. Menata (kembali) Common Property

Salah satu sebab tragedi dan krisis berkepanjangan di negeri kita tak lain karena mentalitas bangsa yang tak pernah menghargai milik umum (common property). Illegal logging hanyalah sejumput masalah diantara segudang problematika pengelolaan common property di negara ini. Lihatlah (apa saja) yang memakai label umum. Di mana-mana WC umum, bus -bus umum, telepon umum dan property berlabel umum lainnya selalu cepat rusak, jorok, dan tak terawat. Di benak (sebagian) masyarakat, label umum selalu mengandung makna

inferior, barang yang boleh dikotori, dirusak, bahkan dijarah.

Dengan logika yang sebangun, illegal logging bukanlah suatu hal yang aneh karena hutan (dianggap) sebagai common property yang boleh diperlakukan sesuka hati. Bahwa dengan penjarahan kayu yang menggila mengakibatkan hutan dan lingkungan terdegradasi hebat bukanlah hal yang perlu dipikirkan karena hutan dianggap barang milik umum yang dianggap remeh eksistensinya.

Ironisnya, kehancuran barang milik umum bisa terjadi dari niatan yang mulia. Bayangkan apa yang akan terjadi jika WC umum (di negera kita) digratiskan dan dibiarkan bebas akses bagi siapa saja yang ingin berhajat? Tak perlu menunggu sepekan untuk melihatnya jorok dan bobrok.

Jangan-jangan, kehancuran masal ekosistem hutan juga diawali dari maksud yang baik. Illegal logging memang cerita lama, namun angkanya melonjak tajam sejak berhembusnya angin reformasi di sektor kehutanan. Tak diragukan ada tujuan mulia dibalik keluarnya SK Menhutbun No.735/Kpts-II/1998 yang diperkuat dengan PP Nomor 6 tahun 1999 yang membatasi luas kepemilikan HPH maksimal 100.000 hektar setiap propinsi (kecuali di Papua diperbolehkan hingga 200.000 hektar).

Jelas, maksud peraturan ini dikeluarkan sangat baik, yakni untuk memberangus praktik monopoli dan memangkas konglomerasi bisnis kehutanan. Apalagi, keluarnya peraturan ini diikuti dengan kebijakan redistribusi kepemilikan HPH kepada koperasi dan pengusaha kecil yang nuansa keberpihakannya terhadap kalangan bawah sangat kental.

Terlepas dari maksud baiknya memberikan kesempatan berusaha yang (lebih) merata kepada masyarakat lokal, kebijakan redistribusi HPH tampaknya dibuat

Gambar

Gambar 1.  Peta Sistem Inovasi Nasional.
Gambar 2. Model hubungan ABG yang  masih menyertakan peran pemerintah  Model triple helix kedua (Gambar 3) terdiri  dari lingkaran institusi yang terpisah dengan  batas yang tegas membagi ketiganya dan  menggambarkan hubungan yang terpisah  satu sama lain
Gambar 4. Model hubungan ABG triple helix  ketiga
Gambar 1. Diagram alir analisis wilayah rawan kekeringan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Teknik Equivalence Partitions adalah pengujian didasarkan masukkan data pada setiap form yang ada pada sistem informasi pengelolaan masjid, setiap menu akan dilakukan

Obyek penelitian adalah koridor jalur pejalan kaki yang berada di koridor kawasan Tedies Ketapang satu Kota Kupang yang memiliki beberapa ruang yang berorientasi

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengenai pengaruh rasio keuangan, pertumbuhan penjualan dan dividen

Narasi merupakan susunan tulisan yang menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke

Dari berbagai faktor yang ada tersebut akhirnya pihak petani sawah selaku yang memiliki sawah dan pihak pengelola irigasi yang mempunyai alat-alat untuk

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

No NSPP Nama Pondok Pesantren Alamat Telepon Kecamatan...

– Beban penjagaan menjadi lebih berat kerana Beban penjagaan menjadi lebih berat kerana hampir 50% wanita dewasa terlibat dalam hampir 50% wanita dewasa terlibat dalam..