• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Wacana

Wacana merupakan unsur kebahasaan yang paling kompleks atau lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Pada dasarnya, wacana merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Adapun pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan alat (piranti) yang cukup banyak. Wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan dalam menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain untuk membentuk satu kesatuan, dengan kata lain terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu (Moeliono,1988: 344). Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis (Tarigan, 1987:27).

Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide (Fatimah 1994:5). Adapun Lubis mendefinisikan wacana/diskursus sebagai 'kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda (2004:149). Wacana terealisasikan dalam bentuk teks, hingga kata teks dipakai sebagai istilah teknis yang mengacu pada rekaman verbal tindak komunikasi (Brown & Yule, 1983:6). Oleh karena itu, suatu bahasa dari sebuah konteks tertentu dapat pula disebut dengan teks.

Media penyampaian sebuah informasi tersebut dapat berupa tuturan maupun sebuah tulisan. Jadi, teks adalah satuan bahasa yang memiliki makna yang bersifat fungsional dan kontekstual. Berdasarkan sarananya, wacana dapat dibagi menjadi wacana lisan dan tulis. Kemudian jika dilihat penyampaian

(2)

commit to user

isinya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi, dan wacana argumentasi. Wacana narasi bersifat menceritakan sesuatu topik atau hal. Wacana eksposisi bersifat memaparkan topik atau fakta. Wacana persuasi bersifat mengajak, menganjurkan, atau melarang. Adapun wacana argumentasi bersifat memberi argumen atau ulasan terhadap suatu hal. Ciri-ciri wacana eksposisi antara lain, (1) menjelaskan dan menguraikan, artinya tidak memaksa apa yang diuraikan harus diikuti pembaca, (2) Gaya pemaparan bernada informatif, (3) Penutup/akhir paparan bernada menjelaskan kembali apa yang diuraikan, dan (4) fakta yang dikemukakan hanya dijadikan alat untuk membantu perumusan masalah yang dikemukakan (Hasnun, 2006: 185).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa wacana dapat dipilah-pilah berdasarkan sudut pandang yang akan digunakan. Wacana yang ada pada rubrik Lingkungan dan Kesehatan jika dilihat dari media yang digunakan/sarananya termasuk wacana tulis, dan jika dilihat dari penyampaian isinya termasuk wacana eksposisi. Wacana yang ada pada rubrik Lingkungan dan Kesehatan termasuk wacana tulis karena wacana tersebut disajikan melalui bahasa dalam media tulis, yakni surat kabar. Selain itu, wacana yang ada pada rubrik Lingkungan dan Kesehatan termsuk juga dalam wacana eksposisi karena wacana tersebut disampaikan dalam sebuah tulisan yang memaparkan sebuah topik atau fakta terkini yang sedang hangat dibicarakan masyarakat dan tentunya informasi yang aktual tersebut sangat bermanfaat bagi para pembacanya.

2. Analisis Wacana

Linguistik merupakan bagian dari filsafat. Linguistik modern, yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure pada akhir abad ke-19, mengkaji bahasa secara ilmiah. Kajian linguistik modern pada umumnya terbatas pada masalah unsur-unsur bahasa, seperti bunyi, kata, frase, dan kalimat serta unsur makna (semantik). Dalam kajian linguistik banyak terdapat permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Oleh karena itu, para ahli mencoba untuk mengembangkan

(3)

commit to user

disiplin kajian baru yang disebut analisis wacana. Kajian analisis wacana ini memperjelas dalam mengupas permasalahan bahasa (Pamungkas, 2012: 162).

Analisis wacana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa, dengan kata lain analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar, seperti percakapan/teks tertulis (Cahyono, 1995: 227). Di sisi lain, analisis wacana ialah suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa; dan oleh karena itu, analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit linguistik, yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks yang tertulis (Stubbs dalam Setiawan, 2012a: 1). Jadi bisa disimpulkan bahwa analisis wacana adalah suatu kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk mengkaji suatu satuan bahasa yang terlengkap untuk menghasilkan pengertian yang mendalam.

Dalam mengkaji wacana, kohesi dan koherensi merupakan hal yang paling penting. Kedua unsur ini digunakan untuk membangun wacana yang baik. Wacana yang baik ditandai dengan adanya hubungan semantis antarunsur bagian dalam wacana yang disebut dengan hubungan koherensi. Hubungan koherensi dapat diciptakan dengan menggunakan hubungan kohesi.

3. Kohesi

Kohesi atau kepaduan wacana ialah keserasian hubungan antarunsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana, sehingga terciptalah pengertian yang koheren. Kohesi mengacu pada aspek bentuk atau aspek formal bahasa, dan wacana itu terdiri dari kalimat-kalimat. Tarigan mengatakan bahwa kohesi atau kepaduan wacana merupakan aspek formal bahasa dalam wacana (1987: 96). Dengan kata lain, kepaduan wacana merupakan organisasi sintaktik, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu, dan padat untuk menghasilkan tuturan.

Unsur-unsur kohesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday & Hassan dalam Mulyana, 2005: 133). Kohesi atau kepaduan wacana banyak melibatkan aspek gramatikal dan aspek leksikal. Adapun penanda yang digunakan untuk mencapai kepaduan

(4)

commit to user

sebuah wacana juga meliputi kedua aspek tersebut. Penanda yang digunakan untuk mencapai kekohesifan wacana ialah kohesi gramatikal dan leksikal. Berikut akan dijelaskan secara mendalam mengenai kedua kohesi tersebut. a. Kohesi Gramatikal

Bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning). Hubungan antar bagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantik yang disebut koherensi (coherence), (Sumarlam, 2003 : 23). Kohesi sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Struktur lahir wacana atau segi bentuk disebut aspek gramatikal wacana dan struktur batin wacana atau segi makna disebut aspek leksikal wacana.

Kohesi gramatikal merupakan kepaduan bentuk bagian-bagian wacana yang diwujudkan ke dalam sistem gramatikal. Selain itu, kohesi gramatikal menggunakan unsur bahasa dalam mengikat suatu wacana. Dalam kohesi gramatikal, unsur bahasa digunakan untuk mengaitkan sebuah teks sehingga teks tersebut dapat dipahami dengan teks lainnya. Kohesi gramatikal bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian antar bentuk bahasa terhadap konteksnya.

Kushartanti menyatakan bahwa kohesi gramatikal merupakan hubungan semantik antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal, alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa (2009: 96). Kohesi gramatikal menggunakan unsur bahasa sebagai relasi utamanya dalam mengaitkan sebuah teks. Kohesi gramatikal tidak tercipta dengan sendirinya tetapi diciptakan oleh alat bahasa yang digunakan untuk menghasilkan keterkaitan dalam sebuah teks sehingga unsur bahasa dapat dipahami melalui unsur bahasa lainnya.

Sedangkan, Rani menyatakan bahwa kohesi gramatikal merupakan piranti atau penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Kohesi gramatikal juga merupakan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara

(5)

commit to user

menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur bahasa. Adapun Kohesi gramatikal dipergunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat (2004: 97).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesi gramatikal merupakan unsur bahasa yang terbentuk dalam suatu teks atau konteks dan tidak dapat diciptakan dengan sendirinya. Kohesi gramatikal juga merupakan hubungan unsur bahasa yang berkaitan dengan alat bahasa. Kohesi gramatikal dibuat oleh alat bahasa yang menghasilkan keterkaitan dalam sebuah teks, sehingga dapat dipahami melalui unsur teks lainnya.

Kohesi gramatikal merupakan kepaduan suatu teks yang saling berkaitan dan dikemukakan oleh unsur gramatikal. Hubungan kohesi gramatikal dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks, mengkaitkan makna yang terkandung di dalam unsur bahasa. Unsur-unsur kohesi gramatikal tersebut terdiri dari, pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction) (Sumarlam, 2005 : 23). Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai empat unsur gramatikal tersebut.

1) Pengacuan (Referensi)

Referensi yang digunakan di dalam bahasa adalah unsur-unsur yang disebut nama diri, pronominal (orangan), dan unsur kosong (sifat) atau hilang (Fatimah, 1994: 41). Unsur pelaku perbuatan dan penderita perbuatan (pengalami), pelengkap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan pelaku, serta tempat perbuatan dapat kita temukan, baik pada wacana lisan maupun tulis. Unsur tersebut sering diulang untuk memperjelas makna, dan sebagai acuan (referensi).

Pengacuan merupakan bagian gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal atau lainnya (M. Ramlan, dalam Mulyana 2005:133). Hal ini senada dengan pendapat Sumarlam,dkk (2003: 23) yang menyatakan bahwa, pengacuan atau referensi merupakan

(6)

commit to user

salah satu jenis gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswati Purwo, 1993: 34) menyatakan bahwa pengacuan/referensi dalam analisis mengacu pada benda, binatang, atau orang yang dimaksud oleh pembicara. Dari berbagai pengertian mengenai pengacuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengacuan/referensi merupakan satuan lingual yang mengacu pada sesuatu yang lain untuk diinterpretasi untuk memperjelas makna dari hal yang disampaikan secara lisan maupun tulis.

Sumarlam mengatakan bahwa, berdasarkan tempatnya pengacuan dibedakan menjadi dua jenis, pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana (2003: 23). Pembahasan endofora antara lain masalah pemarkah anafora (mengacu pada konstituen di sebelah kirinya) dan katafora (mengacu pada konstituen di sebelah kanannya) (Purwo dalam Nadar, 2009: 59). Secara ringkas, Setiawan menjelaskan bahwa anafora (= merujuk kepada yang sudah disebut) dan katafora (= merujuk kepada yang akan disebut) (2012b: 20).

Pengacuan anafora adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Senada dengan hal itu, Hasanuddin WS juga menjelaskan bahwa anafora adalah hal atau fungsi yang menunjuk kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam kalimat atau wacana (2009: 70). Adapun pengacuan katafora merupakan kebalikan dari pengertian anafora, yakni mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Berikut gambaran mengenai pengacuan yang dibedakan berdasarkan tempatnya.

(7)

commit to user

Gambar 2.1 Pengacuan (Referensi)

Dari paparan di atas telah dijelaskan bahwa pengacuan merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstrati (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antar unsur yang satu dengan unsur lainnya). Dengan demikian, Sumarlam mengklasifikasi pengacuan menjadi tiga macam, yaitu pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif (2003: 24).

a) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronominal persona (kata ganti orang), yang meliputi (persona I), (persona II), dan (persona III), baik tunggal maupun jamak. hanya pengacuan kata ganti orang ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora (Purwo dalam Nadar, 2009: 59). Klasifikasi pengacuan persona I,II,dan III baik tunggal amupun jamak dapat diilustrasikan sebagai berikut. Pengacuan (Referensi) Pengacuan Eksofora Pengacuan Endofora Pengacuan Anafora Pengacuan Katafora

(8)

commit to user Tabel 2.1 Pengacuan Persona

Pengacuan Persona

I II III

Tunggal Jamak Tunggal Jamak Tunggal Jamak - aku, saya - terikat lekat kiri : ku- - lekat kanan : -ku - kami - kami semua - kita - kamu, anda - terikat lekat kiri : mu - lekat kanan : -mu - kamu semua - kalian - kalian semua - ia, dia, beliau - terikat lekat kiri : di- - lekat kanan : -nya - mereka - mereka semua b) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronominal demonstratif waktu (temporal) dan pronominal demonstratif tempat (lokasional). Pengacuan demonstratif waktu dibedakan menjadi tiga, sedangkan demonstrative tempat dikelompokkan menjadi empat bagian. Klasifikasi pronominal demonstratif waktu dan tempat dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Tabel 2.2 Pengacuan Demonstratif

Demonstratif

Waktu Tempat

- kini : kini, sekarang, saat ini - lampau : kemarin, dulu, …

yang akan datang

- netral : pagi, siang, sore, malam, petang, pukul 12

- dekat dengan penutur : sini, ini - agak dekat dengan penutur :

situ, itu

- jauh dengan penutur : sana - menunjuk secara eksplisit :

Yogya, Solo

Berikut ini adalah contoh kohesi gramatikal yang didukung oleh pengacuan demonstratif waktu dan pengacuan demonstratif tempat.

(9)

commit to user

(1) Pada tanggal 14 Februari 2014 kurang lebih hampir seminggu yang lalu berita hebat meletusnya gunung kelud beserta dampak dari letusan tersebut mampu menghebohkan masyarakat.

(2) “Reno kemana, Sri?” tanya Rian kepada Sri.

“Dia pergi beli durian di belakang kampus sana.” Jawab Sri sambil melanjutkan membaca majalah yang sedari tadi ada dihadapannya.

Pada tuturan (1) terdapat pronominal demonstratif seminggu yang lalu yang mengacu pada waktu lampau, 14 Februari 2014 yang juga termasuk jenis pengacuan endofora yang anaforis karena mengacu pada anteseden yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu, kata sana pada tuturan nomor (2) “Dia pergi beli durian di belakang kampus sana.” mengacu pada tempat (belakang kampus) yang jauh dari si pembicara (Sri).

c) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan, misalnya seperti, bagai, daripada, sedangkan, bagaikan, laksana, sama dengan, sama seperti, dibanding, dibandingkan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan, dan lain sebagainya. Berikut merupakan contoh penggunaan pengacuan komparatif ‘tidak berbeda dengan’ dan ‘sama seperti’.

(1) Ali tidak berbeda dengan Ayahnya semasa muda yang tampan, baik hati, dan gemar sekali bermain alat musik setiap pulang sekolah.

(10)

commit to user

(2) Setiap hari Anton hanya melamun dan menangis, persis seperti orang yang baru saja kehilangan seluruh hartanya dan keluarganya.

Satuan lingual tidak berbeda dengan pada tuturan (1) merupakan pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan antara ketampanan, baik hati, dan gemar bermain alat musik Ayah semasa muda dengan ciri-ciri yang sama dimiliki oleh Ali anaknya. Sementara itu, satuan lingual persis seperti pada tuturan (2) mengacu pada perbandingan atau persamaan antara sikap atau perilaku Anton yang melamun dan menangis dengan perilaku orang yang baru saja kehilangan seluruh harta dan keluarganya.

2) Penyulihan (Substitusi)

Penyulihan/substitusi merupakan proses dan hasil penggantian unsur bahwa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar (Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 134). Adapun substitusi merupakan penggantian suatu ekspresi di dalam teks dengan ekspresi lain, termasuk pronominal. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Sumarlam yang menyatakan bahwa, penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (2003: 28). Jadi dapat disimpulkan bahwa penyulihan merupakan hasil penggantian unsure/satuan lingual dengan unsure/satuan lingual lainnya yang sudah disebutkan. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi empat, yakni substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.

a) Substitusi Nominal

Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Penggunaan substitusi untuk menggantikan unsur tertentu dengan unusr lainnya dapat dicontohkan dalam kalimat berikut.

(11)

commit to user

Bian sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Titel kesarjanaanya itu akan digunakan untuk mencerdaskan anak bangsa dengan menjadi guru yang teladan.

b) Substitusi Verbal

Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba, misalnya kata berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut.

Terkadang kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk meraih cita-cita, namun sebagian dari kita lupa bahwa tanpa berikhtiar dengan sungguh-sungguh, belum tentu kita dapat meraihnya dengan mudah.

c) Substitusi Frasal

Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Perhatikan contoh substitusi frasal berikut.

Aku tidak berani melihat korban kecelakaan yang tergeletak penuh dengan darah. Sahabatku juga takut melihat darah bercucuran. Kami berdua orang yang sama-sama takut akan darah.

d) Substitusi Klausal

Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lainnya yang berupa kata atau frasa. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.

A : “Jika segala perubahan baik akan sikap Beni saat ini tidak dapat diterima langsung oleh masyarakat sekitar, mungkin hal tersebut disebabkan karena Beni pernah masuk ke dalam penjara dengan kesalahan yang sama”.

(12)

commit to user 3) Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu suatu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan (Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana, 2005:134). Sumarlam (2003: 30) menyatakan bahwa pelesapan atau ellipsis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan dalam sebuah wacana, berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana, antara lain:

a) Menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat)

b) Efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa

c) Mencapai aspek kepaduan wacana

d) Bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan e) Untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara

lisan.

Dalam analisis wacana, unsur (konstituen) yang dilesapkan tersebut biasa ditandai dengan konstituen “nol” atau “zero”. Konstituen zero sering digantikan dengan lambang ϕ . Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penggalan wacana berikut.

(1) Aku dan dia kuliah di kota yang sama. Berangkat dan pulang kuliah bersama. Sering kali makan siang hingga makan malam di tempat yang romantis. Sudah tiga tahun bersama, banyak orang mengatakan serasi.

(2) Deva : Aku ingin makan ayam bakar, kentang goreng, dan es jeruk di Waroeng Nongkrong Babeh. Deka : Saya juga ingin.

Pada tuturan (1) terjadi pelesapan satuan lingual berupa frasa aku dan dia, yang juga berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan

(13)

commit to user

pada tuturan tersebut. Pelesapan itu terjadi tiga kali, pada awal klausa kedua, awal klausa ketiga, dan akhir klausa keempat. Perhatikan tuturan (1) apabila unsur-unsur tersebut telah dilesapkan/direpresentasikan kembali (1a) dan apabila unsur-unsur tersebut tidak dilesapkan pada (1b) sebagai berikut.

(1) a. Aku dan dia kuliah di kota yang sama. ϕ Berangkat dan pulang kuliah bersama. ϕ Sering kali makan siang hingga makan malam di tempat yang romantis. Sudah tiga tahun bersama, banyak orang mengatakan ϕ serasi.

b. Aku dan dia kuliah di kota yang sama. Aku dan dia berangkat dan pulang kuliah bersama. Aku dan dia sering kali makan siang hingga makan malam di tempat yang romantis. Sudah tiga tahun bersama, banyak orang mengatakan Aku dan dia serasi.

Pada tuturan (2) juga terjadi pelesapan satuan lingual berupa klausa yang terdiri atas predikat (makan), objek (ayam bakar, kentang goreng, dan es jeruk), dan keterangan tempat (Waroeng Nongkrong Babeh). Dalam hal ini, demi keevektifan kalimat, kepraktisan, dan efisiensi bahasa serta mengaktifkan pemikiran mitra bicara terhadap hal-hal yang tidak secara langsung diungkapkan kembali dalam tuturannya, dalam hal ini diperlukan pelesapan (tuturan Deka). Apabila tuturan (2) direpresentasikan kembali menjadi tuturan (2a), dan apabila klausa tersebut tidak dilesapkan pada (2b) maka akan menghasilkan tuturan yang tidak efektif dan tidak efisien karena mengulang kembali informasi yang telah disebutkan sebelumnya secara utuh. Perhatikan tuturan berikut.

(2) a. Deva : Aku ingin makan ayam bakar, kentang goreng, dan es jeruk di Waroeng Nongkrong Babeh. Deka : Saya juga ingin ϕ .

b. Deva : Aku ingin makan ayam bakar, kentang goreng, dan es jeruk di Waroeng Nongkrong Babeh.

(14)

commit to user

Deka : Saya juga ingin makan ayam bakar, kentang goreng, dan es jeruk di Waroeng Nongkrong Babeh.

4) Perangkaian (Konjungsi)

Parera mengatakan bahwa, markah perangkai ini merangkai satu kalimat dengan kalimat lain sehingga timbul koherensi dan kemasukakalan (2004: 227). Konjungsi inilah yang lebih banyak mendapatkan perhatian dalam analisis wacana daripada markah kohesi gramatikal yang lain. Selain itu, perangkaian/konjungsi merupakan bentuk/satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya (Harimurti Kridalaksana dan Henry Guntur Tarigan dalam Mulyana (2005: 134)).

Sumarlam,dkk (2003: 32), konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungakan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual yang dilesapkan berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan. Ramlan (1993) dalam Kusumaningsih (2013: 116) menyatakan bahwa macam-macam penanda kohesi perangkaian, antara lain.

dan, lalu, kemudian, tetapi, akan tetapi, namun, padahal, sebaliknya, bahkan, malah, apalagi, sesudah itu, setelah itu, sebelum itu, sementara itu, ketika itu, waktu itu, karena itu, oleh sebab itu, selain itu, selain daripada itu, disamping itu, kecuali itu, dengan itu, walaupun begitu / demikian, karenanya, akibatnya, sesudahnya, sebelumnya, dalam pada itu, dalam kaitan itu, akhirnya, misalnya, antara lain, contohnya, jadi. Selain macam-macam penanda kohesi gramatikal yang sudah disebutkan di atas, macam-macam penanda kohesi perangkaian konjungsi dibagi menjadi lima kelompok. Adapun bila dilihat dari

(15)

commit to user

sintaktiknya, perangkaian konjungsi tersebut antara lain konjungsi koordinatif, subordinatif, korelatif, antarkalimat, dan antarparagraf Moeliono (1988: 236). Berikut akan dijelaskan kelima jenis konjungsi. a) Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih dan kedua unsur tersebut memiliki status sintaktis yang sama. Anggota dari kelompok tersebut, yakni dan (menandai hubungan penambahan), atau (menandai hubungan pemilihan), tetapi (menandai hubungan perlawanan). Jadi konjungsi koordinatif memiliki hubungan yang terdapat dalam status sintakis yang sama.

b) Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kalausa atau lebih dan kedua klausa tersebut memiliki status sintaktis yang sama. Salah satu dari klausa tersebut merupakan anak kalimat dari kalimat induknya. Berikut kelompok-kelompok konjungsi subordinatif.

(1) waktu : sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, sehingga, dan sampai;

(2) syarat : jika, kalau, jikalau, asal (kan), bila, manakala (3) pengandaian : andaikan, seandainya, andaikan, umpamanya,

sekiranya;

(4) tujuan : agar, supaya, agar supaya, biar;

(5) konsesif : biarpun, meski (pun), sekalipun, walau (pun), sungguhpun, kendati (pun);

(6) pemiripan : seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, dan sebagai;

(7) penyebaban : sebab, karena, oleh karena;

(16)

commit to user (9) penjelasan : bahwa; dan (10) cara : dengan. c) Konjungsi Korelatif

Konjungsi korelatif adalah konjugsi yang menghubungkan dua kata, rasa, atau klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan. Berikut adalah contohnya.

(1) baik…maupun..., (maupun)…. (2) tidak hanya…, tetapi (..) juga .… (3) demikian (rupa) … sehingga …. (4) apa(kah) … atau ….

(5) entah … entah.

(6) jangankan …, ... pun …. d) Konjungsi Antarkalimat

Berbeda dengan konjungsi-konjungsi sebelumnya, konjungsi antarkalimat menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungsi semacam itu selalu memulai suatu kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis dengan menggunakan huruf kapital. Berikut adalah contoh-contoh fungsi antarkalimat.

(1) biarpun demikian/begitu, sekalipun demikian/begitu, sungguhpun demikian/begitu, walaupun, demikian/begitu; (2) meskipun demikian/begitu, kemudian, sesudah itu, setelah itu,

selanjutnya;

(3) tambahan pula, lagi pula, selain itu; (4) sebaliknya;

(5) sesungguhnya, bahwasanya; (6) (akan) tetapi, namun; (7) kecuali itu;

(17)

commit to user (9) olah karena itu, oleh sebab itu; dan (10) sebelum itu.

e) Konjungsi Antarparagraf

Jika konjungsi antarkalimat menghubungkan dua kalimat dan memulai suatu kalimat baru, konjungsi antarparagraf pada umumnya memulai suatu paragraf. Hubungannya dengan paragraf sebelumnya berdasarkan makna yang terkandung pada paragraf sebelumnya itu. Konjungsi pada kelompok (1) berikut ini masih sering kali dipakai, sedangkan yang ada pada kelompok (2) umumnya hanya terdapat pada naskah sastra.

(1) adapun, akan hal, mengenai, dalam pada itu; dan (2) alkisah, arkian, sebermula, syahdan.

b. Kohesi Leksikal

Kushartanti (2005: 96) mengatakan bahwa kohesi leksikal adalah hubungan semantik antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Adapun Mulyana berpendapat bahwa, kohesi leksikal merupakan hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif (2005: 134). Jadi dapat disimpulkan bahwa kohesi leksikal adalah hubungan semantik antar unsur pembentuk wacana yang memiliki keserasian struktur secara kohesif.

Kohesi leksikal dibagi menjadi enam bagian, yakni repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), dan hiponimi (hubungan atas-bawah). Adapun dari keenam bagian tersebut, hanya empat bagian yang ditemukan datanya untuk dianalisis. Berikut keempat bagian dalam mencapai kepaduan wacana secara utuh melalui kohesi leksikal akan diuraikan lebih lanjut.

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi merupakan pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam. 2003: 35). Razak menyatakan, kekuatan sebuah kalimat dapat pula dibangkitkan dengan

(18)

commit to user

mengulang sebuah kata yang dianggap penting dalam bagian kalimat (1990: 95). Gaya bahasa menyebut cara ini dengan istilah repetisi, misalnya perhatikan contoh berikut:

a) Rajin membaca, rajin memerhatikan, rajin belajar, rajin membantu orang tua, rajin menabung, kelak bias menjamin kemenangan atas kesuksesan dikemudian hari. Lingkungan adalah sumber hidup kita, sumber yang member kita makan, sumber yang melindungi kita dari kemelaratan, sumber yang menyelamatkan kita dari serangan cuaca, pendeknya sumber yang menjamin masa depan turunan-turunan kita.

b) Dia yang terlanjur kesal karena tidak diberi uang saku lebih oleh ibunya berangkat begitu saja ke sekolah tanpa membawa payung, padahal dia tahu bahwa cuaca sedang tidak bersahabat dan dia benar-benar tidak peduli bila nantinya dia jatuh sakit.

Gaya repetisi tentu sering kali kita temui dalam sebuah karangan yang sengaja ditulis untuk memberikan informasi. Tidak semua pengulangan yang ada dapat dikatakan sebagai repetisi yang efektif. Apabila sebuah kata diulang berkali-kali sedangkan kata tersebut tidak akan mengubah makna bila tidak diulang, hal yang disampaikan dapat pula menghasilkan kalimat yang lemah dan cenderung tidak menarik karena pengulangan yang tidak berarti.

Contohnya:

Bertamu ke rumah orang jangan terlalu lama kalau sekiranya sekadar bertamu saja, paling lama kita bertamu kira-kira setengah jam saja.

Contoh pengulangan di atas sebaiknya dihindarkan karena tidak ada sesuatu hal yang penting yang perlu ditonjolkan dan dengan berkali-kali mengulang kata bertamu menyebabkan berkali-kalimat itu terasa hambar

(19)

commit to user

dan tidak efektif. Adapun kalimat di atas bila diperbaiki akan menjadi, seperti:

Bertamu ke rumah orang jangan terlalu lama kalau sekiranya tidak perlu betul, paling lama kira-kira setengah jam saja.

Kalimat di atas terlihat lebih mudah dipahami dan lebih menarik. Oleh karena itu, dalam sebuah kalimat sebaiknya jangan sampai kita menggunakan kata yang diulang bila tidak perlu dilakukan, kecuali memang kita sengaja menggunakan pengulangan kata untuk keperluan repetisi yang memang harus ditekankan untuk menarik perhatian pembaca.

Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf (1994) dalam Sumarlam (2003: 35). Berikut penjelasan mengenai delapan jenis repetisi yang akan diuraikan di bawah ini.

a) Repetisi Epizeuksis

Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Adapun contoh penggunaan pengulangan satuan lingual selagi sebanyak tiga kali secara berturut-turut terdapat padapada kalimat di bawah ini. Satuan lingual (kata) ‘selagi’ diulang secara berturut-turut karena untuk menekankan pentingnya kata tersebut.

(1) Sebagai orang beriman berdoalah selagi ada kesempatan, selagi diberi kesehatan, selagi diperi kebahagaan, dan selagi diberi umur yang panjang.

b) Repetisi Tautotes

Repetisi tautotes merupakan pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah kontruksi. Berikut contoh pengulangan satuan lingual kata menyayangi yang diulang sebanyak tiga kali dalam sebuah kontruksi.

(20)

commit to user

(2) Aku dan dia jarang bertemu, tetapi aku sangat

menyayangi dia, dia pun sangat menyayangi aku. Aku dan dia saling menyayangi.

c) Repetisi Anafora

Repetisi anafora ialah perulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pada tiap baris atau kalimat berikut. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi pada puisi. Adapun pengulangan pada tiap kalimat atau klausa biasanya terdapat pada prosa. Berikut contoh penggunaan repetisi anafora pada puisi dan prosa.

(3) Bukan nafsu,

Bukan wajahmu, Bukan kakimu, Bukan tubuhmu,

Aku mencintaimu karena hatimu,

(4) DIM merupakan tanggapan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, terkait RUU penyiaran yang dirancang DPR. DIM pemerintah nomor 707 berbunyi, “Siaran iklan dilarang memuat materi minuman keras atau sejenisnya, narkotika, dan psikotropika”. DIM itu menghilangkan frasa zat adiktif yang tercantum pada RUU yang diajukan DPR. (24/01/14 : alinea 6, kalimat 1, 2, dan 3).

Pada contoh (1) terdapat penggalan puisi di atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan kata bukan pada baris pertama sampai baris keempat. Repetisi semacam itu dimanfaatkan oleh penulis puisi untuk menyampaikan bahwa aku (tokoh pertama pada puisi itu mencintai seseorang benar-benar karena hatinya). Adapun pada contoh (2) terdapat pengulangan kata “DIM” di awal kalimat dan kalimat-kalimat berikutnya sebanyak tiga kali.

d) Repetisi Epistrofa

Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata atau frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Berikut contoh penggunaan repetisi epistrofa pada puisi dan prosa.

(5) Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari, adalah puisi. Udara yang kau kauhirupi, air yang kauteguki, adalah puisi. Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi.

(21)

commit to user

Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali, adalah puisi.

(Gorys Keraf, 1994:128)

(6) Menurut data dari dinas kesehatan, sampah yang terangkut hingga Sabtu (25/1) berjumlah 383,18 ton. Jumlah sampah itu lebih banyak dari produksi sampah hari sebelumnya yang mencapai 341,52 ton. Dalam seminggu terakhir, sampah terbanyak yang bisa terangkut adalah pada hari Kamis, yaitu sebanyak 411,62 ton. (26/01/14 : alinea 10, kalimat 1, 2, dan 3).

Tampak pada contoh (5) terdapat bait puisi di mana satuan lingual frasa adalah puisi pada akhir baris diulang secara berturut-turut sebanyak empat kali. Adapun pada contoh (6) terdapat satuan lingual kata ton yang diulang pada akhir kalimat secara berturut-turut sebanyak tiga kali.

e) Repetisi Simploke

Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Berikut contoh penggunaan repetisi simploke pada puisi.

(7) Kamu bilang aku yang pertama. Bohong.

Kamu bilang aku satu dihatimu. Bohong.

Kamu bilang tidak akan menduakan aku. Bohong. Kamu bilang tidak akan meninggalkan aku. Bohong.

Pada pernyataan di atas terdapat pengulangan satuan lingual “kamu bilang aku” pada baris pertama dan kedua, dan satuan lingual “kamu bilang tidak akan” pada baris ketiga dan keempat, masing-masing terdapat pada awal baris. Sementara itu, satuan lingual yang berupa kata “bohong” diulang empat kali pada tiap akhir baris.

f) Repetisi Mesodiplosis

Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut. Berikut contoh penggunaan repetisi mesodiplosispada puisi.

(8) Masih kecil jangan berbohong kepada orang tua Beranjak remaja jangan membolos sekolah

Sudah dewasa jangan bertingkah seperti anak kecil

Menjadi orang tua jangan menganggap dirinya selalu benar.

(22)

commit to user

Pada tiap baris di atas terdapat satuan lingual kata jangan yang terletak di tengah-tengah baris secara berturut-turut. Pengulangan seperti itu dimaksudkan untuk menekankan makna satuan lingual yang diulang, yaitu ‘larangan’.

g) Repetisi Epanalepsis

Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu merupakan pengulangan kata atau frasa pertama. Berikut contoh penggunaan repetisi epanalepsis pada puisi.

(9) Memberilah kalian kepada sesama, sebelum mereka datang memberi.

Pada tuturan di atas terdapat repetisi epanalepsis, yaitu pengulangan satuan lingual frasa memberi pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris pertama. Pengulangan yang terjadi berfungsi untuk menekankan pentingnya makna satuan lingual yang diulang, yaitu memberi.

h) Repetisi Anadiplosis

Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris atau kalimat berikutnya. Berikut contoh penggunaan repetisi anadiplosis pada puisi.

(10) Dalam hidup ada tujuan

Tujuan dicapai dengan usaha Usaha baiknya disertai doa Doa merupakan harapan Harapan adalah perjuangan Perjuangan adalah pengorbanan

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi merupakan kesamaan arti kata (Lyons (1996: 60) dalam Saddhono (2009: 28)). Sementara itu, Saedd mengungkapkan bahwa sinonim adalah kata yang secara fonologis berbeda namun mempunyai kesamaan atau kemiripan makna (2000: 65). Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain

(23)

commit to user

(Abdul Chaer, 1990:85 dalam Sumarlam, 2003: 39). Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal yang mendukung kepaduan dalam suatu wacana itu sendiri.

Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sinonim, makna dari kata-kata yang bersinonim hanya “mempunyai kesamaan atau kemiripan”. Suwandi menyatakan bahwa, relasi atau hubungan dua bentuk bahasa (kata, frasa, dan kalimat) yang bersinonim itu bersifat dua arah (1994: 91). Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Ilustrasi mengenai sinonimi dan contohnya akan diperjelas dalam pernyataan berikut.

a) Sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), misal antara kata aku/saya (morfem bebas) dan ku (morfem terikat), dan antara kata dia (morfem bebas) dan –nya (morfem terikat).

(1) Aku ingin kau selalu bersamaku. (2) Cita-cita dia setinggi langit

Cita-citanya setinggi langit. b) Sinonimi kata dengan kata

Contoh:

(1) untuk, buat, bagi, guna; (2) jelek, buruk;

(3) mati, meninggal, wafat, mampus, berpulang; (4) sampai, hingga;

(5) melihat, menatap, mengerling, memandang, melirik, meneropong, menerawang, mengintip;

(6) akan, hendak, mau;

(7) amat, sangat, sungguh, sekali; (8) depan, muka;

(24)

commit to user (10) cepat, segera, lekas;

(11) enak, lezat, nyaman, nikmat; dan (12) bayaran, gaji.

c) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya Contoh:

(1) Meninggal : tutup usia

(2) Pencuri : tamu yang tidak diundang (3) Suka : riang gembira, gembira ria (4) Musibah : hujan, banjir, kecelakaan d) Sinonimi frasa dengan frasa

Contoh:

(1) Baju baru : baju yang baru

(2) Meninggal dunia : berpulang ke Rahmatullah (3) Orang tua : Bapak Ibu

(4) Pandai bergaul : Mampu beradaptasi dengan baik e) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat

Contoh :

Pikirkanlah kembali untuk memecahkan masalah itu. Pemikiran yang matang saat hati dan pikiran mulai tenang

merupakan situasi yang sangat menentukan dalam

menyelesaikan masalah tersebut.

3) Antonimi (Lawan Kata)

Kata antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan anti yang berarti ‘melawan’ (Chaer dalam Suwandi 2011: 129). Dengan demikian, antonimi berarti ‘nama lain untuk benda yang lain pula’. Sependapat dengan Chaer, Sumarlam menyatakan bahwa, antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual lain (2003: 40). Antonimi disebut juga oposisi makna. Hal serupa disampaikan pula oleh Suparno, bahwa dalam antonimi, makna satu dengan makna yang lain merupakan makna-makna

(25)

commit to user

yang beroposisi (1994: 243). Jadi dapat disimpulkan bahwa oposisi makna (antonimi) merupakan salah satu aspek leksikal yang dapat mendukung kepaduan makna wacana secara semantik.

Oposisi bergradasi disebut antonim, sedangkan oposisi tak bergradasi disebut komplementari (Lyons dan Cruse dalam Rahyono, 2012: 158). Antonimi atau keberlawanan makna telah lama dikenal sebagai salah satu hubungan makna yang paling penting (John Lyons, 1995: 452). Berbeda dengan sinonimi sebelumnya, Rahardi menyatakan bahwa kata-kata berantonim menunjuk pada kata-kata yang memiliki makna yang tidak sama (2009: 65-66). Dengan kata lain, kata-kata yang maknanya bertentangan atau memiliki pertentangan makna disebut dengan antonim. Seed mendefinisikan antonim sebagai kata-kata yang berlawanan makna dan memiliki tiga jenis hubungan antonimik, yaitu (1) antonim sederhana (komplementari), (2) antonim bergradasi, dan (3) relasi berlawanan (2000: 66).

Berdasarkan sifatnya, Sumarlam (2003: 40) dan Suwandi (2011: 130) membagi oposisi makna (lawan kata) menjadi lima macam, yaitu a) oposisi mutlak, b) oposisi gradasi (kutub), c) oposisi hubungan (relasional), d) oposisi hierarkial, dan e) oposisi majemuk (resiprokal). a) Oposisi Mutlak/Saling

Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak dan muncul apabila pertentangan antara kata atau bentuk bahasa yang memiliki hubungan antonim tersebut bersifat mutlak. Oposisi mutlak ini ditandai dengan prinsip jika salah satu tidak berlaku, maka yang lain pasti berlaku (Suparno, 1994: 243). Contoh oposisi yang demikian itu adalah oposisi antara hidup dan mati. Dengan prinsip di atas, jika seseorang dikatakan hidup, pasti dia tidak mati. Contoh lainnya, seperti oposisi hitam dan putih. Dengan prinsip tersebut, jika seseorang memiliki kulit berwarna hitam, pasti dia tidak memiliki kulit berwarna putih. Jadi dapat disimpulkan bahwa oposisi mutlak adalah pertentangan makna yang bersifat mutlak atau utuh.

(26)

commit to user b) Oposisi Gradasi (Kutub)

Oposisi bergradasi/kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Suatu antonim dapat disebut sebagai antonim gradasi apabila penegatifan suatu kata tidaklah bersinonim dengan kata lain. Misal, seseorang yang tidak pintar belum tentu orang tersebut bodoh. Secara singkat dapat dinyatakan sebagai berikut.

Tidak pintar bodoh

Tidak cantik jelek

Tidak kurus gendut

tinggi >< rendah

panjang >< pendek

lebar >< sempit

besar >< kecil

jauh >< dekat

c) Oposisi Hubungan (Relasional)

Oposisi hubungan (relasional) adalah jenis oposisi makna yang bersifat melengkapi dan memperlihatkan kesimetrian dalam makna anggota pasangannya. Karena oposisi ini bersifat saling melengapi, kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata lain yang menjadi oposisinya; atau kehadirannya yang disebabkan oleh adanya kata yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua macam oposisi relasional dan antonim relasional, yaitu berupa kata kerja dan kata benda seperti antara kata-kata:

bapak >< ibu guru >< murid dosen >< mahasiswa dokter >< pasien suami >< istri jual >< beli maju >< mundur

(27)

commit to user d) Oposisi Hierarkial

Oposisi hierarkial adalah oposisi makna yang menyatakan dengan jenjang atau tingkatan. Suwandi menyatakan bahwa kata-kata yang termasuk oposisi hierarkial adalah nama satuan waktu (berat, panjang, isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama satuan jenjang kepangkatan, dan sebagainya (2011: 133). Misalnya tampak pada oposisi kata-kata di bawah ini.

kilogram >< kuintal >< ton

hari >< bulan >< tahun

milimeter >< sentimeter >< meter >< kilometer prajurit >< letnan >< mayor >< jendral e) Oposisi Majemuk (Resiprokal)

Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata yang mengandung pasangan yang berlawanan atau bertentangan dalam makna, namun secara fungsionalnya tetap memiliki hubungan yang sangat erat, yakni kaitannya berupa hubungan timbal balik.

Contoh :

berdiri >< jongkok >< duduk >< berbaring

diam >< berbicara >< bergerak >< bertindak

berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti

mengajar >< belajar

4) Hiponimi (Hubungan Atas - Bawah)

Hiponim merupakan istilah-istilah adaptasi dari istilah bahasa Inggris hyponymy (Suparno & Oka, 1994: 247). Apabila dilihat secara etimologis, istilah itu berasal dari kata Yunani kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dari etimologinya itu, hiponimi dapat diartikan sebagai ‘nama yang berada di bawah nama yang lain’. Pemakaian istilah hiponim dalam bahasa Indonesia dapat mengacu pada kata benda dan kata sifat (adjektif). Hiponimi memiliki relasi

(28)

commit to user

searah, berbeda dengan sinonim, antonim, dan homonym yang memiliki relasi dua arah (Suwandi, 2011: 140-142).

Hubungan dalam semantik antara anggota taksonomi dan nama taksonomi disebut hiponimi. Sumarlam menyatakan bahwa hiponimi dapat diartikan sebagai bahasa (kata, frasa, dan kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain (2003: 45). Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut “hipernim” atau “superordinat”. Jadi dapat disimpulkan bahwa hiponim adalah hubungan antara makna spesifik dan makna generik atau antara anggota taksonomi dan nama taksonomi.

Suparno & Oka menambahkan bahwa dalam hiponimi terdapat dua komponen, yakni kelas atasan dan bawahan (1994: 247). Kelas atasan merupakan anggota yang disebut hipernim, yakni kelas yang maknanya mencakup nama-nama yang berada di bawahnya. Kelas bawahan merupakan kohiponim, yakni kelas yang maknanya berada tercakup dalam kelas di atasnya. Untuk memperjelas batasan hubungan hiponimi, simak gambar berikut.

Unggas - - - “Hipernim”

Burung ayam itik angsa - - - “Hiponim”

“Kohiponim”

Gambar 2.2 Hubungan antara hipernim, hiponim, dan kohiponim dalam hiponimi “unggas”

c. Materi Ajar Teks Eksposisi

Materi ajar adalah isi yang diberikan kepada siswa pada saat berlangsungnya proses belajar mangajar (Sudjana: 2009). Melalui materi yang disampaikan guru, siswa diantarkan kepada tujuan pengajaran. Dengan

(29)

commit to user

perkataan lain tujuan yang akan dicapai siswa dibentuk dan dikemas dalam materi ajar. Bahan ajar pada hakekatnya adalah isi dari mata pelajaran atau bidang studi yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang digunakannya.

Materi ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi yang dimaksud bisa berupa materi tertulis, maupun materi tidak tertulis. Materi ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis, sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Materi ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.

Dari berberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa materi ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Materi ajar paling tidak dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu materi cetak, materi ajar dengar, materi ajar pandang dengar, serta materi ajar interaktif.

Materi ajar bertujuan untuk membantu siswa dalam mempelajari sesuatu, menyediakan berbagai jenis pilihan materi ajar, memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran, serta agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik. Manfaat materi ajar adalah membantu pelaksanaan belajar mengajar, berikut jenis-jenis materi ajar, antara lain:

1. materi ajar cetak: ialah materi yang dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk, diantaranya handout, buku, modul, evaluasi, lembar kegiatan siswa, brusur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/market;

2. materi ajar dengar: di antaranya, kaset, radio;

(30)

commit to user

4. materi ajar interaktif: berupa kombinasi dari dua buah meteri ajar, yaitu, audio dan visual. Contonya dapat berupa, teks, grafik, dan sebagainya.

Materi ajar yang akan disampaikan dan dipelajari tentu perlu dikuasai oleh guru dan peserta didik. Adapun dalam mendapatkan materi ajar yang sesuai dengan tuntutan kompetensi diperlukan analisis terhadap kurikulum, analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul materi ajar. Berikut akan dijelaskan analisis-analisis tersebut.

1. Analisis kurikulum dilakukan untuk menentukan kompetensi mana yang memerlukan materi ajar dengan cara mempelajari standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator yang menandai bahwa suatu kompetensi dasar telah dicapai, materi pokok, dan pengalaman belajar yang akan dilakukan oleh peserta didik.

2. Analisis sumber belajar yang akan digunakan sebagai materi penyusunan materi ajar. Analisis dilakukan terhadap ketersediaan, kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkannya dengan cara menginventarisasi ketersediaan sumber belajar yang dikaitkan dengan kebutuhan.

3. Pemilihan dan penentuan materi ajar dimaksudkan untuk memenuhi salah satu kriteria bahwa materi ajar harus menarik, dapat membantu siswa untuk mancapai kompetensi. Jenis dan bentuk materi ajar ditetapkan atas dasar analisis kurikulum dan analisis sumber materi sebelumnya. Peta kebutuhan materi ajar disusun setelah diketahui berapa banyak materi ajar yang harus disiapkan melalui analisis kebutuhan materi ajar. Di samping itu peta dapat pula digunakan untuk menentukan sifat materi ajar, apakah dependen (tergantung) atau independent (berdiri sendiri).

Pada kurikulum 2013, materi pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan pendekatan berbasis teks. Hal ini diterapkan untuk membangun sturuktur berpikir siswa secara lebih kompleks. Pembelajaran teks membawa siswa sesuai dengan perkembangan mentalnya sehingga dapat menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan berpikir kritis.

(31)

commit to user

Kurikulum 2013 mengisyaratkan sebuah proses pembelajaran melalui Scientific Approach (Pendekatan Ilmiah). Dalam pendekatan ini, keberhasilan akan diraih apabila siswa mampu melakukan langkah-langkah scientific mulai dari mengamati, bertanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Oleh karena itu, siswa diharapkan untuk aktif, kreatif, dan mandiri dalam proses pembelajaran khususnya bahasa Indonesia, pembelajaran teks eksposisi.

Apabila selama ini pembelajaran bahasa Indonesia lebih bersifat language use, pembelajaran bahasa Indonesia kini berubah menjadi language usage. Dengan kata lain, language use berarti pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menekankan pengetahuan tentang bahasa atau kebahasaan. Sementara itu, language usage lebih menekankan keterampilan berbahasa. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, tentu tidak luput dari peran guru dalam rangka menciptakan siswa yang aktif, kreatif, dan mandiri. Oleh karena itu, penggunaan sumber pembelajaran sebagai materi ajar harus dipilih oleh guru dengan cermat dan tepat sesuai kemampuan siswa. Bukan hanya sumber pembelajaran, melainkan metode dalam menyampaikan materi pun sangatlah penting supaya lebih mudah siswa memahami serta menguasai materi teks eksposisi tersebut. Dari penjelasan di atas diharapkan supaya siswa lebih tertarik untuk mendalami pembelajaran bahasa Indonesia, yakni materi teks eksposisi.

Berangkat dari isi materi, proses pembelajaran, dan peran guru tentunya harus didukung dengan adanya sistem penilaian secara autentik. Kurikulum 2013 menekankan penilaian pada tiga aspek, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Adanya sistem penilaian tersebut, siswa diharapkan memiliki keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills), manusia yang memiliki kecakapan, dan manusia yang memiliki pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills).

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia memiliki empat aspek keterampilan berbahasa. Terampil adalah cakap dalam menyelesaikan tugas, mampu, dan cekatan (Hoetomo, 2005: 531-532). Keterampilan adalah

(32)

commit to user

kecakapan untuk menyelesaikan tugas atau kecakapan yang diisyaratkan. Dalam pengertian luas, jelas bahwa setiap cara yang digunakan untuk mengembangkan manusia yang bermutu dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana yang diisyaratkan (Suparno, 2001: 27). Keempat keterampilan berbahasa tersebut, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Kata eksposisi berasal dari bahasa Inggris ”exposition” yang dalam bentuk kata kerjanya ”to expose” berarti menerangkan, menjelaskan. Eksposisi adalah tulisan yang bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi tentang sesuatu (Semi dalam Kusumaningsih, 2013: 80). Eksposisi biasanya dikembangkan dengan susunan logis dengan pola pengembangan gagasan seperti definisi, klasifikasi, ilustrasi, perbandingan dan pertentangan, analisis fungsional. Ciri penanda tulisan atau karya wacana eksposisi ada empat, antara lain:

1) Berupa tulisan yang bertujuan memberikan informasi, pengertian dan pengetahuan kepada pembaca;

2) Sifatnya menjawab pertanyaan tentang apa, siapa, mengapa, kapan dan bagaimana (boleh sebagian dari unsur itu);

3) Disampaikan dengan gaya lugas dan menggunakan bahasa baku; dan 4) Disajikan dengan nada netral, tidak memihak dan memaksakan

pandangan atau sikap penulis terhadap pembaca (Semi dalam Kusumaningsih, 2013: 80).

Ciri bahasa yang terdapat dalam teks eksposisi, yaitu bersifat informatif, objektif, berdasarkan fakta-fakta, sering menggunakan kata pronomina (saya, kami, dan -nya), selalu menggunakan konjungsi dan, atau, dan tetapi untuk menandai hubungan penambahan, pemilihan, dan perlawanan dalam teks eksposisi untuk memperjelas pemahaman isi teks tersebut. Materi ajar teks eksposisi mencakup KI 3.1 sampai KI 4.4 di mana di dalamnya siswa akan mengawali materi yang disampaikan dengan tahap pengenalan struktur teks eksposisi hingga meringkasnya. Keseluruhan jumlah K.I dalam materi ajar teks eksposisi adalah 8, antara lain memahami

(33)

commit to user

teks eksposisi (K.I 3.1), menangkap makna teks eksposisi (K.I 4.1), membedakan teks eksposisi dengan teks lainnya (K.I 3.2), menyusun teks ekposisi (K.I 4.2), mengklasifikasi teks eksposisi melalui lisan maupun tulisan (K.I 3.3), menelaah dan merevisi teks eksposisi sesuai dengan struktur dan kaidah teks (K.I 4.3), mengidentifikasi kekurangan teks eksposisi berdasarkan kaidah-kaidah teks (K.I 3.4), dan meringkas teks eksposisi (K.I 4.4). Dari keseluruhan KI tersebut, penelitian ini dapat diimplementasikan pada KI 4.2,4.3,3.4,dan K.I 4.4.

Dari penjelasan di atas, untuk memperoleh tujuan dari hasil pembelajaran teks eksposisi sesuai harapan, seorang guru dan siswa harus mengenali terlebih dahulu dari memahami struktur teks, ciri khas dari teks eksposisi, baik penggunaan bahasa, kohesi gramatikal, maupun leksikal yang terdapat dalam setiap wacana. Oleh karena itu, pemahaman akan ciri teks eksposis, kohesi gramatikal dan leksikal dapat digunakan dalam menyusun serta meringkas teks eksposisi.

B. Penelitian yang Relevan

Kusumaningtyas (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Aspek Gramatikal Pengacuan pada Karangan Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 1 Slogohimo Wonogiri menghasilkan bahwa dapat diketahui (1) bentuk pengacuan pronominal persona mencakup pengacuan endofora dan eksofora. 204 pengacuan pronominal persona I tunggal (terdiri atas 93 bentuk bebas aku dan 42 bentuk bebas saya), 2 bentuk terikat lekat kiri ku- dan 67 bentuk terikat lekat kanan –ku), 79 pengacuan pronominal persona I jamak (terdiri atas 56 satuan lingual kami, 12 satuan lingual kami semua, dan 11 satuan lingual kita), 6 pengacuan pronominal persona II tunggal (terdiri atas 5 satuan lingual kamu, dan 1 satuan lingual terikat lekat kanan –mu), 3 pengacuan pronominal persona II jamak kalian, 1 pengacuan pronominal persona III tunggal dia, dan 2 pengacuan pronominal persona III jamak mereka. (2) bentuk pengacuan demonstratif juga mencakup pengacuan endofora dan eksofora. Terdiri atas 114 pengacuan demonstratif waktu yang mengacu pada waktu netral (pagi, siang, sore, malal, dan pukul), 1 pengacuan

(34)

commit to user

demonstratif waktu yang mengacu pada kini (kini), dan 1 pengacuan demonstratif waktu yang mengacu pada waktu yang akan datang (besok). Pada karangan siswa kelas X.3 SMA N 1 Slogohimo Wonogiri tidak ditemukan pengacuan demonstratif tempat. Dan (3) bentuk pengacuan komparatif pada karangan siswa kelas X.3 SMA N 1 Slogohimo Wonogiri terdapat 3 bentuk pengacuan komparatif (seperti, seakan).

Handayani (2009) dalam skripsinya yang berjudul Aspek Leksikal Album Dekade Karya Chrisye menghasilkan penggunaan aspek leksikal (kolokasi) yang paling banyak muncul pada setiap lagunya. Kolokasi yang digunakan cenderung digunakan dalam suatu ranah tertentu dalam mendukung banyak tema yang bertemakan cinta sehingga membutuhkan kata-kata yang mendukung makna tersebut. Pada album dekade ini tdak hanya kolokasi yang digunakan, melainkan juga terdapat penggunaan repetis yang memiliki fungsi yang berbeda-beda pada masing-masing lagunya. Pada lagu “kangen”, repetisi yang digunakan memiliki fungsi untuk menyatakan makna kata rindu yang memiliki arti yang berbeda-beda. Adapun pada lagu “Sakura dalam Pelukan”, “Anggrek Bulan”, dan “Dara Manisku”, repetisi yang digunakan untuk menekankan makna suatu kata yang dipentingkan. Repetisi untuk menunjukkan tempat terjadinya kejadian terdapat pada lagu “Kisah Kasih di Sekolah” dan “Kr. Pasar Gambir & Stambul Anak Jambang”. Aspek leksikal yang lainnya berupa sinonim, penggunaan antonim, hiponim, dan ekuivalensi yang dimanfaatkan untuk kepaduan wacana.

Siregar (2009) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Sarana Kohesi Pada Tajuk Rencana dalam Harian Sinar Indonesia Baru menghasilkan penggunaan konjungsi adservatif, klausal, koordinatif, dan subordinatif. Adapun terdapat penggunaan referensi yang merujuk pada pronominal persona, yaitu dia, kita, mereka, dan-, nya. Referensi persona kita dalam setiap wacana mengacu pada satu acuan, yaitu masyarakat Sumatera Utara. Pronomina penunjuk umum itu dan ini pada umumnya mengacu pada konteks waktu dan kejadian dan pronominal penanya apa dan siapa yang mengacu pada konteks individu sebagai pelaku.

(35)

commit to user

Simanjuntak (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pemarkah Kohesi sebagai Penyelaras Wacana: Kajian Terhadap Kumpulan Cerita Pendek Harian Kompas menghasilkan bahwa dapat diketahui dalam mewujudkan wacana yang koheren, penulis cenderung menggunakan pronominal persona ketiga dia (7%), ia (28%), -nya (48%), beliau (3%), dan mereka (14%). Pemarkah referensi dalam wacana tersebut mencapai (45%). Penggunaan referensi pronominal persona ketiga –nya menduduki posisi terbanyak. Pemarkah demonstratif itu cenderung bersifat eksoforis, dan terdapat pula penggunaan referensi komparatif seperti. Adapun pemarkah relasi konjungtif menduduki posisi kedua terbanyak (35%). Terdapat banyak penggunaan kata dan yang berfungsi menghubungkan antarparagraf, kalimat, dan klausal. Konjugsi adversatif yang dominan digunakan adalah kata tetapi mencapai (47%), konjungsi klausal yang digunakan kata karena, dan terdapat konjungsi temporal, yakni kata sejak.

Tularsih (2007) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Wacana Rubrik Opini Majalah Respon Edisi Januari-Desember 2005 (Kajian Keutuhan Wacana) menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, yaitu wacana pada rubrik Opini Majalah Respon edisi Januari sampai Desember 2005 telah menggunakan kohesi gramatikal yang berupa pengacuan, penggantian, penghilangan, dan perangkaian, namun terdapat ketidaktepatan dalam penggunaan kohesi gramatikal yang berupa pengacuan, misalnya kata ganti orang tunggal yang mengacu pada orang yang jumlahnya jamak, atau sebaliknya. Kedua, wacana ini juga menggunakan kohesi leksikal berupa pengulangan, padan kata, lawan kata, sanding kata, hubungan atas-bawah, dan kesepadanan. Ketiga, dalam wacana ini belum koheren karena ada salah satu aspek kekoherensian yang tidak terpenuhi dalam wacana tersebut, yakni koherensi antarkalimat dalam satu paragraf, koherensi antara paragraf yang satu dan paragraf yang lain, dan koherensi antara paragraf dan judul wacana.

Alarcon dan Morales (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Kohesi Gramatikal dalam Esai Argumentatif Siswa dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Digunakan 64 esai yang memenuhi syarat sebagai korpus penelitian dari 104 esai yang ada. Dalam penelitiannya menghasilkan bahwa penggunaan referensi memiliki frekuensi tertinggi yaitu 90,67 % dari total perangkat kohesif

(36)

commit to user

dengan nilai rata 53,37. Konjungsi terjadi 326 kali, yaitu 9,08% dengan rata-rata skor 5,34, sementara substitusi adalah jenis yang paling sedikit digunakan perangkat kohesif yang hanya 0,25 %. Berdasarkan analisis kualitatif , ditemukan bahwa jenis kohesif tertentu membantu siswa dalam proses argumentasi. Penggunaan konjungsi 'tapi' paling sering digunakan berlawanan bersama oleh siswa yang mungkin menandakan bahwa pengetahuan mereka pada penggunaan jenis perangkat kohesif terbatas. Ada kasus di mana siswa dapat menggunakan konsesif seperti "belum” atau “namun" untuk menetapkan klaim kuat. Oleh karena itu, analisis kualitatif mendukung konsep bentuk dan fungsi.

Wu (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Kohesi Leksikal dalam bahasa Inggris Lisan menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, kohesi leksikal terkait dengan kualitas bahasa Inggris lisan. Dalam analisisnya, hasil penandaan menampilkan bahwa Kualitas Tinggi Wacana (HQDs) berbeda dari Kualitas Rendah Wacana (LQDs) baik secara kuantitatif dan kualitatif dalam menggunakan kohesi. Adapun semakin tinggi kualitas wacana, ikatan kohesif lebih bekerja . Kedua, frekuensi kolokasi membuktikan bukti positif berkorelasi dengan kualitas berbicara. Ada perbedaan signifikan antara HQDs dan LQDs kompetensi kolokasi mereka. Dibandingkan dengan LQDs, HQDs menampilkan pilihan dan produksi kolokasi dalam berbicara. Ketiga, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menggunakan kata benda umum antara keduanya, HQDs dapat menggunakan kata benda umum dengan lebih akurat dan kompleks. Keempat, perangkat kohesif utama yang digunakan adalah pengulangan, sedangkan perangkat lain jarang digunakan dalam bahasa Inggris lisan karena keterbatasan kosa kata dan ketakutan untuk membuat kesalahan. Mereka cenderung sering menggunakan pengulangan dan kata benda umum, sinonim, dan antonim.

Alasan peneliti memilih beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas sebagai penelitian yang relevan dikarenakan kelima penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Keterkaitan tersebut terdapat pada variabel yang digunakan, yaitu kohesi gramatikal dan leksikal. Selain itu, keterkaitan tersebut persamaan penelitian dilakukan oleh beberapa

Gambar

Gambar 2.1 Pengacuan (Referensi)
Tabel 2.2 Pengacuan Demonstratif
Gambar 2.2 Hubungan antara hipernim, hiponim, dan kohiponim dalam  hiponimi “unggas”
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Wacana Tulis 1.  Pengacuan 2.  Penggantian 3.  Penghilangan 4

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Univariat dalam penelitian ini dengan melihat persentase dari penggunaan ovitrap pada jenis tutup datar dan jenis tutup lengkung yang dilihat dari jumlah jentik nyamuk

Berdasarkan tabel diatas Uji F menunjukkan hasil signifikansi sebesar 0.000000 &lt; 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, yang berarti

Ipal biofilter elah dilengkapi dengan air blower yang mampu memecahkan partikel sabun dan senyawa kimia yang lainnya sehingga hasil air limbah buangan (effluent) menjadi

5ada penentuan metode ini&amp; yang ditentukan bukanlah kuprooksida yang mengendap tapi kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi ( titrasi blanko)

Setelah dilakukan tindakan dengan menggunakan pendekatan scientific pada pembelajaran tematik keanekaragaman hewan dan tumbuhan kelas IV SDN 1 Reco Kertek Wonosobo

[r]

Dikarenakan ada data yang tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji korelasi statistik non parameterik yaitu Korelasi Spearman untuk mengetahui apakah