• Tidak ada hasil yang ditemukan

untuk pancaran dengan cakupan jarak dekat dan sedang di band HF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "untuk pancaran dengan cakupan jarak dekat dan sedang di band HF"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

K

K

o

o

n

n

s

s

e

e

p

p

N

N

V

V

I

I

S

S

(

(

N

N

e

e

a

a

r

r

V

V

e

e

r

r

t

t

i

i

c

c

a

a

l

l

I

I

n

n

c

c

i

i

d

d

e

e

n

n

c

c

e

e

S

S

k

k

y

y

w

w

a

a

v

v

e

e

)

)

untuk pancaran dengan cakupan

jarak dekat dan sedang di band HF

bam, ybØko/1 Pengantar:

Bagi kebanyakan rekan amatir, judul artikel ini barangkali terasa janggal, karena adagium yang lazim terdengar di antara mereka yang bekerja di band HF adalah: “bentangkan antena sepanjang dan setinggi mungkin, agar dapat menjangkau jarak sejauh mungkin!” Sepengamatan penulis, memang di YB-land ini belum lazim untuk memanfaatkan band HF untuk menjalin komunikasi jarak dekat dan sedang, taruhlah dalam radius 0~400 Km dari asal pancaran; karena untuk cakupan dengan jarak segitu umumnya rekans lebih mengandalkan pancaran di band V/UHF, apalagi kalau di area yang hendak dicakup sudah tersedia jaringan repeaters.

Lagipula, dalam kondisi normal masih banyak moda komunikasi lain yang bisa dipakai: jaringan tilpon publik dari TELKOM, jaringan seluler dari berbagai provider, atau untuk di daerah-daerah remote/terpencil yang jauh dari jaringan BTS sistim seluler bisa dipakai jaringan telepon satelit, atau perangkat VSAT.

Tapi, bagaimana kalau terjadi kondisi darurat, misalnya di saat terjadinya bencana alam berskala nasional (seperti gempa bumi, angin topan, banjir bandang, tsunami dan lain-lainnya) yang melumpuhkan semua prasarana bagi berjenis jaringan reguler tersebut?

Tulisan ini akan mengulas tentang konsep NVIS (Near

Vertical Incidence Skywave) di band HF, yang setahu

penulis selama ini masih kurang dimanfaatkan secara “sengaja dan maksimal” oleh rekans amatir di sini, walaupun dalam praktek sehari-hari mungkin banyak yang secara tidak sadar telah melakukannya.

Sebutan NVIS — Near-Vertical Incidence Skywave merujuk kepada pancaran (sinyal) radio di band HF, yang memancar dengan sudut pancaran (Take off atau Elevation Angle) yang nyaris tegak lurus (= near

vertical), sehingga sinyal yang dipantulkan lapisan

ionosfir jatuh kembali ke area yang berjarak sekitar 0~400 Km dari asal pancaran.

Dalam praktek sehari-hari baik di lingkungan amatir maupun pengguna band HF lainnya (dinas Pemerintahan, militer maupun pengguna komersial), tergantung frekuensi/band yang dipakai sering terjadi pada jam-jam tertentu jarak segitu tidak bisa diliput dengan baik karena adanya skip zone: area yang terlalu jauh untuk rambatan ground wave, tetapi belum cukup jauh atau masih terlalu dekat untuk menerima pantulan sky wave dari ionosfir.

Sejarahnya:

NVIS sudah dipakai sebagai backbone (tulang punggung) sistim komunikasi pasukan Nazi Jerman (yang sesuai zamannya memang mengandalkan band

HF untuk berkomunikasi) pada tahun-tahun menjelang dan selama Perang Dunia (PD)-II.

Pasca PD-II tehnik NVIS kemudian diadopsi dan dikembangkan (dengan sebutan Zenith Radiation) oleh militer Uni Soviet.

Dengan kondisi geografis wilayah Uni Soviet (dan Blok Timur waktu itu) yang begitu luas (membentang dari pantai Atlantik di barat sampai ke pantai Pasifik di timur) komunikasi di band HF menjadi satu-satunya pilihan bagi sistim komunikasi mereka, baik di masa damai (sebagai infrastuktur jaringan telekomunikasi sistim pemerintahan) maupun di

Gambar 1- Panzer Nazi Jerman pada PD-II sudah dilengkapi dengan Loop Antenna untuk NVIS.

Gambar 2 - Armored PC (Personnel Carrier) BTR 60 dari Angkatan Darat Uni Soviet, juga dilengkapi Loop Antenna untuk ber NVIS saat-saat ada clash militer (termasuk di era Perang Dingin, sampai tahun 80an).

Rekan-rekan yang berumur di atas 50 tahun barang-kali masih ingat bagaimana ampuhnya sinyal OTHR (over the horizon radar – sistim radar yang bekerja di band HF) militer Blok Timur -- yang sekaligus digunakan sebagai sistim jamming dan counter

jamming -- dapat melumpuhkan seantero band HF

(2)

Di Indonesia, tank amphibi ex Uni Soviet yang pernah dipakai Korps Marinir (KKo) TNI/AL sebenarnya juga sudah dilengkapi dengan perangkat radio HF dan antena untuk ber-NVIS, tapi pasca 1965 (ketika pasokan sukucadang dari Unie Soviet jadi tersendat) perangkat ini lantas di-dump dan diganti dengan perangkat yang dipasok dari blok Barat.

Terlena dengan kemajuan mereka di bidang komunikasi satelit (yang sebenarnya berbasis komunikasi LOS/line-of-sight di band V/UHF) di dasawarsa 50-60an, fihak Barat terutama AS seakan melupakan potensi sistim komunikasi di band HF untuk aplikasi militer -- dan baru tergerak untuk memanfaatkan NVIS di saat Perang Vietnam hampir berakhir (paruh kedua dasawarsa 70an), sesudah melakukan serangkaian percobaan di wilayah Vietnam dan Thailand.

Adalah Lt Col David M. Fiedler (NJ ARNG - Ret.) dari US Army Signal Corps yang di tahun 80an gigih memperjuangkan (advocating) agar HF/NVIS dima-sukkan dalam doktrin dan pelatihan bagi pelaku sistim komunikasi militer AS.

[ … otherwise tactical commanders will be tied to LOS/line-of-sight communications and area system, which will not respond adequately to high-mobility battle situation Army Communicator,

Winter/Spring 1987]

Awal dekade 90an Patricia Gibbons WA6UBE gencar sekali meng-sosialisasikan NVIS di lingkungan amatir, sampai kemudian artikel Mayor (CA SMR) Edward J. Farmer (di lingkungan amatir lebih dikenal sebagai Ed Farmer, AA6ZM) di QST edisi January 1995 seolah “menyulut” boom penggunaan NVIS oleh tim-tim ARES/RACES (unit-unit Emergency Services ARRL), Palang Merah, Salvation Army (Bala Keselamatan), dan sebagainya di AS.

Walaupun secara tidak sadar (atau tidak sengaja) ada juga amatir Indonesia yang menggunakan konsep NVIS dalam ber-QSO, resminya pengetahuan tentang NVIS ini baru diperkenalkan oleh OM Wyn Purwinto AB2QV di depan para peserta Temu Kangen Amatir Radio Lintas Generasi dan Sarasehan Tehnis Murnajati 2006, bulan Juli 2006 di Lawang, Jawa Timur.

Sisi Tehnis NVIS

Tergantung jarak yang hendak dicapai, tingkat keberhasilan dan efisiensi sebuah jaringan komunikasi radio selalu merupakan perpaduan antara pilihan yang tepat atas tiga faktor: Power Output (Po), Frekuensi dan Elevation (Take off) angle.

POWER

Level ELEVATION Angle

FREQUENCY

Dalam ber-NVIS, faktor yang paling menentukan adalah Elevation Angle atau Sudut Pancar, dan karena Sudut Pancar ini antara lain juga ditentukan oleh tinggi rendahnya posisi Feedpoint dari Antena, maka syah-syah saja kalau ada yang menyebutkan bahwa tinggi rendahnya bentangan antenalah yang merupakan faktor penentu.

1. ELEVATION ANGLE: Dalam hal NVIS, untuk dapat mencakup liputan dalam radius 0 ~ 400 Km yang diperlukan adalah antena dengan Sudut Pancar yang tinggi (High Elevation Angle), nyaris mendekati 900.

Gambar 3 – High dan low Elevation Angle

TX RX-1 RX-2

ionosfir

Bumi

Konsep atau pengertian High Elevation angle (pada Gambar 3 digambarkan dengan garis solid) dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi kalau seseorang menyemprotkan (lewat slang) air ke langit-langit (plafond) kamar. Bertambah rendah sudut kemiringan semprotan, bertambah jauh pula jatuhnya air yang dipantulkan oleh langit-langit; sedangkan kalau slang diarahkan nyaris tegak lurus ke atas maka air seakan di kembalikan tidak jauh di seputar asal semprotan itu sendiri.

2. POWER OUTPUT/LEVEL: Dari Gambar 3 yang kelewat disederhanakan itupun bisa dilihat bahwa karena jarak yang harus di”jangkau” (dari titik TX sampai ke titik pantul di ionosfir) relatip lebih dekat ketimbang jarak yang harus dijangkau sinyal dengan sudut pancar rendah, maka Power Level yang diperlukan untuk ber-NVIS relatip juga lebih kecil ketimbang Power untuk sinyal dengan elevation angle yang rendah.

Dalam praktek, untuk ber-NVIS Power Output sekitar 50W dianggap sudah cukup, malah untuk keperluan taktis/tactical (yang meliput jarak dekat/sedang) perangkat yang tersedia di pasaran (untuk keperluan militer, patroli hutan, eksplorasi di ladang-ladang minyak maupun untuk keperluan amatir) kebanyakan cukup dengan output 20W saja (misalnya transceiver militer –- terutama dalam bentuk manpack –- seperti AN/PRC-74, PRC 1099A, Barret 2040,Q-Mac HF90M, Codan 2110M (dipakai sebagai perangkat tactical

standard di lingkungan NATO), versi manpack lama

dari Racal, Thomson CSF, Harris dsb. -- yang banyak dikoleksi rekans amatir -– sedangkan di lingkungan amatir dikenal Tentec Argonout V dan SGC 2020). 3. FREQUENCY: Untuk pemakaian di lingkungan

militer, maritim, dinas pemerintahan maupun komersial dipakai rentang frekuensi 2 ~ 10 MHz. Biasanya dipakai 2 frekuensi: frekuensi tinggi untuk pemakaian di siang hari dan frekuensi rendah untuk malam hari, atau bila diperlukan

Woodpecker) di saat-saat mereka

(3)

komunikasi 24 jam PENUH maka diperlukan satu frekuensi tambahan sebagai frekuensi transisi. Frekuensi persisnya ditentukan lewat prediksi MUF (Maximum Usable Frequency), yang selalu berubah sesuai dengan musim, siklus bintik/noda matahari, time of the day serta berbagai fenomena alam lainnya.

Untuk lingkungan amatir, hanya ada 2 band yang berada pada rentang frekuensi 2 ~ 10 MHz tersebut, karenanya hanya tersedia pilihan di band 40m untuk siang hari dan 80m untuk malam hari.

Sebenarnya ada band yang ideal sebagai band transisi (katakanlah di pagi hari, saat band 80m sudah mulai tertutup tetapi 40m belum sepenuhnya terbuka, atau kondisi sebaliknya di sore hari), yaitu band 60m/5 MHz.

Pada rig buatan pabrik, baik dari khazanah YAECOMWOOD maupun dari pabrikan Amerika (seperti TenTec dan Elecraft) keluaran tahun-tahun terakhir, band 60m sudah ter-install pada produk mereka, walaupun pada beberapa merk hanya tersedia sebagai opsi, yang baru dipasang jika diminta saja.

Sebagai anggota IARU (International Amateur Radio Union) Region III, di Indonesia band 60m MASIH BELUM BOLEH dipakai, walaupun atas dasar sharing (dengan dinas lain) sekalipun, sedangkan di beberapa negara di wilayah IARU Region I dan II dengan beberapa pertimbangan Regulator setempat sudah memberikan persetujuan-nya, walaupun sifatnya masih sangat terbatas (misalnya atas sharing basis, hanya dengan mode tertentu, hanya untuk eksperimen dan sebagainya).

Pengguna NVIS

Di samping untuk komunikasi taktis di lingkungan militer dan instansi pemerintah di tempat terpencil (remote areas) dengan prasarana telekomunikasi yang terbatas, sekitar satu dasawarsa belakangan ini komunikasi HF/NVIS berkembang pesat sebagai penunjang bagi Komunikasi Darurat (KomDar) atau EmComm/Emergency Communication, yaitu komuni-kasi di saat dan dari lokomuni-kasi bencana.

Pelaku EmComm bisa berasal dari organisasi manapun, seperti di AS dicontohkan operator bisa dari Red Cross, Salvation Army, misi SAR, Signal Corps (militer), amatir radio (ARES, RACES, MARS). EmComm di Indonesia

Sesuai dengan kondisi geografis dan sistim pemerintahan di Indonesia, EmComm dipakai untuk cakupan (coverage):

1. LOKAL – tingkat Kabupaten kebawah 2. REGIONAL – ke ibukota Propinsi 3. NASIONAL – ke Pusat*)

*) kadang-kadang saja, lebih bersifat untuk

laporan ketimbang operasional dan koordi-natip seperti pada butir 1 dan 2.

Dalam kondisi NORMAL, kebutuhan akan komuni-kasi REGULER lazimnya dilayani oleh:

ƒ Jaringan TELEPON PUBLIK (dari PT TELKOM) ƒ Jaringan seluler: GSM/CDMA

ƒ TELEPON SATELIT (mis.: Byru, Inmarsat) ƒ Jaringan V/UHF (dengan Repeaters)

ƒ Internet based (VOIP dengan berbagai variantnya): YM, Google Talk, Echolink, e/i-QSO, APRS

ƒ VSAT (very small aperture terminal), setasiun bumi kecil dengan parabola yang cukup kecil juga, berkemampuan TX dan RX – yang dioperasikan (atau disewakan) oleh PT Telkom di tempat-tempat terpencil di mana dianggap akan lebih mahal untuk membangun infrastruktur jaringan telepon reguler lainnya.

Namun dalam kondisi (terjadi) BENCANA, sering ditemui bahwa sebagian besar prasarana dasar komunikasi reguler tersebut lumpuh: badai, gempabumi, tsunami bisa merobohkan bukan saja menara BTS, tiang dan menara tegangan rendah, sedang dan tinggi listrik, sentral telepon, gedung sentral telpon atau pusat komunikasi lainnya, bahkan setasiun bumi atau tiang dan antena parabola dari sistim komunikasi satelit --- dan seperti yang di alami di belahan bumi manapun, dalam keadaan seperti ini maka komunikasi berbasis HF akan kembali menjadi pilihan.

Untuk cakupan jarak jauh, komunikasi di band HF memang sudah umum dilakukan, tetapi bagaimana dengan cakupan jarak dekat dan sedang?

Dalam berbagai kasus bencana, bantuan darurat (bahan makanan, pakaian, obat-obatan atau lojistik lainnya), tenaga medis dan para medis, para relawan (TAGANA, berbagai LSM), tim SAR dan sebagainya biasanya begitu datang akan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten saja. Dari ibukota Kabupaten ke lokasi bencana jaraknya masih bisa bervariasi dalam hitungan puluhan sampai ratusan kilometer …. dan di

sinilah -- dalam kondisi lumpuh atau belum pulihnya

sarana komunikasi reguler – komunikasi HF/NVIS bisa berperan sebagai penyedia layanan komunikasi, terutama di bidang koordinasi dan penyaluran lojistik. Kenapa harus NVIS?

Dalam keadaan darurat, ada kelebihan (advantages) HF/NVIS yang bisa menjadikannya sebagai pilihan: I – INDEPENDENT

1. TIDAK memerlukan infrastuktur lain (mis.: jaringan repeater, koneksi Internet dsb.)

2. TIDAK memerlukan bantuan fihak ke-3 (Telkom, PHB instansi lain dsb.)

3. Karena tidak memerlukan tiang/mast yang tinggi, instalasi (dan operasi)-nya mudah dan bisa ditangani operatornya sendiri, tanpa harus mengandalkan bantuan orang lain.

II – Kelebihan TEKNIS

1. Relatip bebas QSB (fading)

(4)

man made noise yang kebanyakan

berpola-risasi vertikal

3. Relatip lebih bebas interfence (QRM) dari sumber sinyal yang berada di luar area cakupan (= pancaran dengan low elevation angle)

4. Butir 2 dan 3 berarti S/N (signal-to-noise) ratio yang lebih baik

5. Meningkatnya S/N ratio memungkinkan dipa-kainya Perangkat/Rig dengan Power yang relatip lebih rendah, yang berarti penghematan enerji.

6. TIDAK ada Skip-zone

III - OPERASIONAL: ramah LOKASI, dalam arti kontur dan topografi lapangan tidak mempengaruhi kwalitas pancaran, apakah berada di lembah, rawa, pantai, dikelilingi genangan air (banjir), padang rumput, hutan lebat, lereng gunung dan sebagainya.

KONFIGURASI HF/NVIS SET-UP Persyaratan:

Merujuk kepada sifat (nature) dari bencana yang dihadapi (misalnya gempabumi, tsunami, angin topan, misi pencarian pesawat atau kapal yang hilang dsb.), maka perangkat/AlKom untuk misi EmComm harus bisa memenuhi persyaratan berikut:

ƒ Ringan, kompak (sehingga mudah untuk dipindah-pindahkan/easily movable & transportable) ƒ Praktis ( = mudah instalasi dan operasinya) ƒ Handal (= reliable)

ƒ Dapat dioperasikan 24 jam ƒ Hemat Enerji

XCVR ATU

CATU

DAYA - Bank Aki - Genset/Solar Cell Antena NVIS

Gambar 4 – Konfigurasi sebuah stasiun HF/NVIS I- TRANSCEIVER

HF/SSB Multibander, setidaknya duo-bander (80/40m), 12-13.8 VDC, Po 20~50 watt.

Dari awal harus diantisipasi bahwa terjadi power

breakdown di lapangan, sehingga alih-alih

membawa unit Catu daya (Power Supply) konvensional, sebaiknya siapkan/bawa saja 2 bh aki mobil MF-Type, dengan kapasitas 80Ah/buah. Untuk meng-charge batere kering tersebut (dan penerangan sekedarnya) bawa juga Genset kapasitas 500-750 VA. (pastikan Genset tersebut dilengkapi terminal baterry charger).

Yang lebih praktis lagi (karena lebih ringan dan tidak memerlukan BBM) adalah kalau bisa disediakan PLTS/Pembangkit Listrik Tenaga Surya ukuran rumah tangga (kapasitas 250 VA), yang memang dirancang untuk mencatu battery bank dengan rentang voltage 12 ~ 13.8 VDC.

II- ANTENNA TUNING UNIT/ATU: untuk mengan-tisipasi kalau antena yang dibawa rusak (dalam perjalanan) sehingga tidak dapat dipakai, atau kalau karena satu dan lain hal harus membuat antena dari bahan seadanya di lapangan; atau kalau kabel coax tertinggal, jatuh, rusak atau hilang.

Untuk itu sebaiknya disiapkan ATU yang mempunyai keluaran balance (untuk disam-bungkan ke balanced-open wire-feeder yang bisa dibuat di lokasi) dan unbalance (untuk koneksi ke kabel coaxial) seperti Z-match Tuner yang bisa dibuat sendiri (homebrewed) menuruti skema berikut ini.

Gambar 5 – TTE-T17A 80/40m 50w SSB Transceiver buatan OM Supardi YB3DD, Surabaya

Gambar 6 – Skema Z-Matcher, Tuner serba guna yang bisa dibuat sendiri

Rekans yang menginginkan artikel rinci tentang Z-Matcher ini – termasuk cara merakit dan mencari komponen-komponennya – dapat memintanya dengan mengirim imil pendek ke:

unclebam@gmail.com

[bagi pecinta produk dalam negeri, penulis

sangat merekomendasikan HF/SSB XCVR

(5)

III – SISTIM ANTENA, yang terdiri dari: III-1 - Antena untuk pancaran NVIS

III-2 - Saltran (saluran transmisi/Transmission Line) III-3 - Tiang atau Mast

III.1- Antena untuk NVIS, yang harus memenuhi kriteria sbb. :

• Polarisasi HORIZONTAL • Sudut elevasi TINGGI

• Pancaran OMNI-DIRECTIONAL

Antena NVIS yang paling sederhana adalah sebuah (atau dua buah untuk mengcover 2 band) DIPOLE 1/2λ biasa yang dinaikkan dengan posisi feedpoint pada ketinggian 0.2 – 0.1 λ.

Untuk mengurangi ground losses serta pengaruh dari pancaran ground wave maka kalau bisa (kondisi lapangan memungkinkan) bentangkan sebuah Reflektor sepanjang 1.05x panjang elemen, yang dipasang 0.15λ di bawah bentangan antena (Gambar 7).

Untuk open-wire feeder buatan sendiri ini penulis membuatnya dengan 2 cara yang berbeda:

1. Open-wire biasa:

Untuk masing-masing konduktor/wire-nya penulis menggunakan konduktor dari kabel speaker Monster 2x50 yang di”belah” dua (“kawat”nya yang satu berwarna merah tembaga, satunya lagi berwarna perak). Kawat tersebut dibentang berjajar, dengan jarak/space 5cm di antaranya.

Untuk spacer-nya penulis menggunakan sedotan plastik ukuran sedang, yang biasa dipakai untuk menyedot bubur halus bagi pasien dengan gangguan pencernaan, atau minuman kental sejenis gel atau jelly.

[cara ini penulis pakai pula untuk membuat rangkaian Linear Loading – yang terbuat dari 3 konduktor berjajar dengan jarak 2.5 cm antar-konduktor. Dengan men”copot” konduktor yang di tengah, maka bentangan multi-konduktor tersebut bisa juga difungsikan sebagai open-wire (lihat Gambar 13 tentang pembuatan Linear Loading Module ini di belakang)]

2. Shielded Open-wire:

Untuk mengantisipasi open-wire dibentang menyusup dedaunan, ranting-ranting pohon dsb., sebaiknya disiapkan open-wire yang

shielded. Penulis membuatnya dari dua utas

kabel coax (boleh RG-58, boleh RG-59) yang dibentang berjajar juga, tapi TANPA jarak/ space di antara keduanya (jadi kedua coax seakan ditempelkan satu sama lain. Untuk ini penulis mengikatnya dengan nylon cable ties). Kedua inner conductor dari masing-masing coax difungsikan sebagai konduktor dari open-wire, sedangkan outer conductor/braid coax di-short (dengan disolder atau di-jumper) jadi satu pada kedua ujung (atas dan bawah). III.3- TIANG/Mast

Untuk ber-NVIS sebaiknya tiang dibuat dari material NON-KONDUKTIP (mis.: bambu, batang/pipa fiberglass dsb.)

Karena tidak perlu terlalu tinggi – cukup ketinggian 6 mtr untuk band 80m -- sebaiknya dibuat sendiri dan disiapkan di home-base jauh-jauh hari sebelum harus berangkat ke lapangan -- dalam bentuk teleskopis dengan ukuran 1 ~ 1,5 mtr per section supaya mudah dibawa-bawa.

[lihat cara amatir yang pernah penulis lakukan dalam membuat “collapsible” mast sepanjang 6 mtr yang penulis wedar di halaman-halaman belakang tulisan ini) BERJENIS ANTENA UNTUK NVIS

1 - Yang paling mudah didapat adalah antena Whip atau Mobile antenna, baik buatan pabrik maupun buatan sendiri (homebrew), syukur-syukur kalau Gambar 7a– Dipole 1/2λ dengan Reflector

Gambar 7b– Versi Inverted Vee dari Gambar 7a

III.2- SALTRAN

• Kabel coax 50 ohm (dengan Power Output

yang < 100 watt cukup dipakai jenis RG-58 - yang lebih ringan dan mudah digulung)

• Balanced feeder: buatan pabrik, misalnya 300

ohm Super Low Loss TV TwinLead type 15-1175 dari Radio Shack, atau 450 ohm window-type Ladder line dari berbagai suppliers, atau open-wire buatan sendiri.

(6)

bisa didapatkan yang versi duo-bander 80/40m. Yang harus diingat adalah antena jenis ini dari

sono-nya dirancang untuk bekerja dengan polarisasi vertikal dan sudut pancar yang rendah,

sehingga sebenarnya TIDAK COCOK untuk ber-NVIS; namun hal ini bisa diatasi dengan memasangnya secara miring (kira-kira 45 ~ 600).

Hal ini bisa diamati dari bagaimana operator radio militer memiringkan Whip antenna pada Manpack set mereka saat hendak dipakai (dalam keadaan standby Whip antenna dari jenis Ribbon type biasanya digulung, supaya tidak mengganggu mobilitas operatornya).

Demikian juga cara yang dipakai pada pema-sangan di kendaraan, seperti contoh pada Gambar 8 berikut:

satu lewat coaxial tubing (yang sekaligus berfungsi sebagai tiang/mast) yang menghubung-kannya ke ATU sebelum tersambung ke TX.

Gambar 8– Contoh pemasangan Whip Antenna pada kendaraan militer, dengan “menarik miring” ujung antena dengan nylon cord (tambang plastik), sehingga bentangan ante-na membentuk sudut 45-600

terhadap permukaan tanah.

2. Dipole 1/2λ dengan reflector di bawahnya, seperti di Gambar 7a/b.

Untuk bekerja Duo-bander 80/40m kedua versi di Gambar 7 tersebut bisa dibuat sebagai sebuah FAN Dipole (antena Kumis Kucing), dimana pangkal kedua Dipole (masing-masing untuk 80 dan 40m) dipasang pada SATU feedpoint (dan diumpan lewat satu Saltran) dengan ujung-ujungnya dipisah dengan jarak minimal 1 mtr untuk menghindari interaksi di antara keduanya.

3- Rancangan lain yang ingin penulis tawarkan untuk

dieksplor lebih lanjut adalah rancangan yang penulis adopsi dari antena AS-2599 GR, tactical

antenna standard yang dipakai satuan-satuan Signal Corps (PHB) Angkatan Bersenjata AS.

AS-2599 GR berbentuk dua buah Dipole yang masing-masing bekerja pada Low dan High Frequency di sepanjang rentang frekuensi 2 ~ 30 Mhz.

Kedua Doublet (sebutan bagi Dipole yang tidak dibuat untuk resonan di frekuensi tertentu) yang dipasang dalam konfigurasi Inverted Vee tersebut dibentang tegak lurus satu sama lain, membentang ke empat jurusan, sehingga sekaligus berfungsi sebagai guy-wires bagi tiang/

mast-nya.

Pada versi aslinya, kedua doublet diumpan jadi

Gambar 9 – Skema Antena AS-2599 GR AS-2599 GR (termasuk mast-nya) dikemas dalam sebuah tas kanvas yang bisa digulung, sehingga praktis untuk diselipkan dalam ransel untuk digendong atau ditenteng operatornya.

Gambar 9a – Kemasan antena AS-2599 GR Dalam keadaan extended (yang dilakukan dengan menyekrupkan 8 mast sections saling sambung-menyambung dari bawah ke atas), mast tersebut bisa mencapai ketinggian sampai 6 mtr. (Gambar 9b)

Gambar 9b – Typical installation AS-2599 GR antenna AS-2599 GR tidak dibuat KHUSUS untuk ber-NVIS (apalagi di amateur band), karenanya penulis lakukan beberapa modifikasi untuk menyesuai-kannya dengan kondisi rata-rata rekans amatir di sini:

(7)

1- Struktur Mast diganti dengan collapsible mast yang penulis buat dari joran pancing fiberglass (berbentuk telescopic tubing, BUKAN rod atau batang pejal) yang diperkuat dengan mema-sukkannya kedalam tubing PVC (pipa pralon) yang dibuat teleskopis juga (PVC 1,5 inch sepanjang 1.25 mtr sebagai “seksi” paling bawah, berturut-turut 1,25”, 1”, 0.75” dan 0.5 di ujung paling atas).

2- Penulis pakai joran pancing (buatan Korea) sepanjang 9 mtr, yang dipotong kira-kira 2-3 mtr bagian ujung yang terlalu kecil untuk difungsikan sebagai bagian dari sebuah struktur tiang, sehingga di ujung atas diameter “tiang” tinggal “tibang pas” untuk dimasukkan ke pipa PVC 0.5 inch.

3- Untuk elemen-elemennya penulis pakai dua buah Dipole yang masing-masing dibuat resonan di 7.055 dan 3.860 MHz (disesuaikan dengan rig TTE T-17R (dual bander 80/40m) yang dipakai. Rig buatan OM Supardi YB3DD ini begitu ON memang di-set dari “pabrik” untuk di masing-masing band muncul di frekuensi tersebut).

4- Karena pemakaian dua band tersebut dilakukan secara bergantian, pada versi sederhana hanya dipakai SATU bentangan antena saja, yang bisa dioperasikan apakah (either) di 40m, atau (or) di 80m.

5- Untuk membuat antena dual-band yang bisa bekerja dengan moda “either-or” seperti ini, awalnya penulis buat dulu sebuah linear loaded

dipole untuk band 40m (sebut saja sebagai modul

linear loaded 40m atau LLM-40.1)

6- Untuk bisa bekerja di 80m, penulis buat modul yang sama SEBUAH lagi (sebut saja LLM-40.2) 7- Waktu bekerja di 40m, yang dihubungkan ke

feeder line di feedpoint adalah LLM-40.1 SAJA, sehingga antena ini bekerja (dan berkinerja) layaknya sebuah shorted 40m Dipole biasa.

8- Untuk bekerja di 80m, maka pada tiap sayap ujung LLM-40.1 sambung-serie-kan (dengan

di-jumper) dengan LLM-40.2. Penalaan untuk bisa

resonan di 3.860 MHz (atau frekuensi lain di 80m) dilakukan sesudah tahap penyambungan ini (lihat ditil di alinea-alinea berikut).

LLM-40.1 LLM-40.2

Jumpering board

Gambar 10 – Satu sayap dari 80/40m LLM Dipole 9- Di siang hari, kalau hendak bekerja di 40m saja

maka koneksi ke LLM-40.2 di-diskonek, dan sore

3.20 mtr 3.65 mtr Linear Loaded Segment Pig tail

Dengan pendekatan ini penulis bisa mendapatkan ukuran fisik yang cukup pendek – tanpa harus banyak kehilangan efisiensinya --, dari ukuran semula (dengan pendekatan biasa) yang +/- 6.85 mtr menjadi < 5 mtr per sayap, sehingga dengan menggabungkan 2 buah LLM-40 (seperti di Gambar 10) didapatkan sebuah Dipole 80m dengan bentangan 2 x 10 mtr saja.

Catatan:

LLM-40 dibuat dari potongan-potongan belahan kabel speaker Monster 2x50, sebagai 3 konduktor yang direntang sejajar (untuk kemudian di-jumper seperlunya) dengan spasi antar konduktor = 2.5 cm.

Untuk spacer-nya penulis gunakan sedotan plastik ukuran sedang yang mudah didapat di toko-toko penjual barang-barang plastik atau peralatan pesta (lihat Gambar 13).

Gambar 11 – 40m Linear Loaded Dipole biasa

Gambar 12 – LLM-40, 40m Linear Loaded Dipole dengan pendekatan baru

pig tail*) 3 mtr

2 bh Linear Loaded Segment 1.85 mtr

Short

*) untuk Fine Tuning

10-Pada versi AS-2599 GR standard (dengan dua buah Dipole yang disilang), penulis membuat elemen 80m seperti pada butir 8 di atas sebagai LONG wire pada skema di Gambar 8, sedang untuk SHORT wire-nya dipakai Full size 40m Dipole biasa.

Pembuatan LLM-40 ini penulis lakukan dengan pendekatan yang sedikit berbeda dari cara pembuatan antena dengan Linear Loading biasa. Alih-alih membuatnya dengan konfigurasi segmen Linear Loaded + Pigtail seperti biasa (lihat Gambar 11) maka yang penulis lakukan adalah dengan meng-serie-kan dua buah segmen Linear Loaded seperti di Gambar 12.

hari kalau 80m sudah membuka (dan 40m mulai tertutup) maka pada masing-masing sayap kedua LLM di jumper, untuk memfungsikannya sebagai sayap sebuah shorted Dipole 80m.

Karena saat ber-NVIS antena digantung tidak terlampau tinggi, pekerjaan jumper-men-jumper ini tentunya tidak terlalu susah untuk dilakukan.

(8)

Gambar 13 – proses “perakitan” LLM-40.

Proses yang sama dilakukan dalam membuat open-wire (dengan “merangkai” 2 konduktor saja, atau dengan mencopot konduktor yang di tengah).

Paradigma baru (?)

Dengan merebaknya aplikasi konsep NVIS dimana-mana sejak dua dasa warsa belakangan ini, rasanya paradigma lama yang menganggap band HF hanya cocok untuk komunikasi jarak jauh CARA LAMA (pra era komunikasi satelit, dimana HF memang satu-satunya moda komunikasi jarak jauh) sudah sepantasnya dikaji kembali.

Adagium yang menyebutkan:

HF = DX

ke depan tentunya bisa dimaknai lebih luas setelah mengkaji kelebihan komunikasi di band HF (dengan konsep NVIS) di saat terjadinya kelumpuhan (failure) pada jaringan komunikasi reguler lainnya seperti disebutkan di bagian awal tulisan ini, sehingga bisa di teriakkan dengan lantang adagium baru:

H

H

F

F

/

/

N

N

V

V

I

I

S

S

:

:

if

i

f

e

el

ls

se

e

f

fa

ai

il

ls

s

!

!

!

!

!

!

What next?

Aplikasi HF/NVIS sebagai tulang punggung EmComm di Indonesia masih perlu lebih disosialisasikan, baik di lingkungan amatir radio atau penyelenggara, penggiat dan pelaku EmComm lainnya, misalnya di lingkungan TAGANA/Taruna Siaga Bencana yang dikembangkan Departemen Sosial, unit-unit SAR yang dikembangkan berbagai LSM atau kelompok relawan, pecinta alam, penjaga/polisi hutan, Pemda dengan areal rawan bencana dan sebagainya.

Ke depan, upaya untuk meningkatkan kecepatan dan ke-akurasi-an penyampaian berita – terutama yang menyangkut angka, data dalam bentuk Tabel dan sebagainya – dengan penggunaan moda dijital sudah harus dijajagi dan dikembangkan.

Moda dijital era 80an seperti PSK-31, RTTY dan semacamnya rasanya tidak dapat memenuhi tuntutan akan kecepatan, sehingga rekans amatir radio di luar sana (terutama di AS dan Jepang) sejak 2-3 tahun belakangan sudah menjajagi penggunaan perangkat lunak berbasis antarmuka sound card (PC-to-XCVR), seperti WL2K (WinLink 2000), yang dapat menyajikan tampilan berformat e-mail biasa, TANPA harus ada koneksi ke Internet.■

Rujukan:

+ Literatur ex ARRL dan situs para penggiat NVIS: Patricia Gibbons WA6UBE, Norm Fusaro W3IZ; Pat Lambert WØIPL, Dr. Carl O. Jelinek N6VNG, Bob Hejl W2IK, Harold Hamilton K5VR

+ Kliping majalah Army Communicator (untuk artikel dari Lt Col David M. Fiedler)

Gambar

Gambar 2 -  Armored PC (Personnel Carrier) BTR 60  dari Angkatan Darat Uni Soviet, juga  dilengkapi Loop Antenna untuk ber NVIS  saat-saat ada clash  militer (termasuk di era  Perang  Dingin, sampai tahun 80an)
Gambar 6 –  Skema Z-Matcher, Tuner serba guna  yang bisa dibuat sendiri
Gambar 9b – Typical installation AS-2599 GR antenna  AS-2599 GR tidak dibuat KHUSUS untuk ber-NVIS  (apalagi di amateur band), karenanya penulis  lakukan beberapa modifikasi untuk  menyesuai-kannya  dengan kondisi rata-rata rekans amatir di  sini:
Gambar 10  –  Satu sayap dari 80/40m LLM Dipole  9-  Di siang hari, kalau hendak bekerja di 40m saja
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperkuat analisis guna menentukan apakah ada pengaruh yang signifikan antara variabel independen (nilai EVA positif dan nilai EVA negatif) terhadap variabel

Aspek-aspek yang diamati pada kegiatan belajar mengajar (siklus II) yang dilaksanakan oleh guru dengan menerapkan strategi pembelajaran demonstrasi mendapatkan

Keseimbangan adalah mempertahankan tubuh dari suatu tekanan atau beban dari badan dalam keadaan diam atau sedang bergerak. Latihan keseimbangan ini dapat dilakukan dengan

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari Alkhatib dan Harshch (2012), yang menemukan bahwa operation efficiency berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja

Skop kajian ini melibatkan tiga aspek iaitu kajian ke atas faktor dalaman iaitu dari segi sikap pelajar, faktor luaran serta sokongan seperti faktor ibu bapa, faktor

Anak tunagrahita ringan dapat menyikat gigi sendiri setelah dilakukan penyuluhan pada perawat tunagrahita, mereka diberikan pembelajaran cara menjaga kesehatan

Berdasarkan hasil observasi pada siklus I, guru dan siswa melakukan kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray, namun