• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan bangsa, yakni dengan melahirkan calon-calon penerus bangsa. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan bangsa, yakni dengan melahirkan calon-calon penerus bangsa. 2"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu perilaku wajar yang diinginkan setiap manusia untuk menghasilkan suatu keturunan yang nantinya dijadikan sebagai penerus garis keturunannya. Dikarenakan setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.1 Sehingga dengan kata lain perkawinan merupakan suatu ikatan yang sengaja dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga baru di dalamnya.

Selain itu perkawinan juga mempunyai peran dalam menunjang kesejahteraan bangsa, yakni dengan melahirkan calon-calon penerus bangsa.2 Perlu diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan bukan hanya didasarkan pada kebutuhan biologis saja.3 Akan tetapi pekawinan juga termasuk salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat menjadi manusia yang sempurna.4

Dalam Islam perkawinan merupakan suatu ibadah yang sangat dianjurkan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan pada hakekatnya manusia telah diciptakan secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah dalam Surat

1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 termuat dalam Pasal 28 ayat (1). 2 Budi Prasetya, Perspektif Undang-Undang Perkawinan Terhadap Perkawinan di Bawah Umur, Jurnal Ilmiah Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Semarang, Volume 6 No. 1, 2017, hal. 135.

3 Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan

Hukum Adat, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan Universitas Islam Sultan Agung

Semarang, Volume 7 No. 2, Desember 2016, hal. 412.

4 Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan

(2)

2 Al-Dzariyat ayat 49 dan Surat An-Nisa ayat 1. Surat Al-Dzariyat ayat 49 menyebutkan bahwa :

َنوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ِنْيَج ْوَز اَنْقَلَخ ٍع ْيَش ِ لُك ْنِم َو

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu

mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Az-Zariyat : 49)5

Kemudian Surat An-Nisa menyebutkan bahwa :

اًلاَج ِر اَمُهْنِم ا ثَب َو اَهَج ْوَز اَهْنِم اَقَلَخ َو ا ةَد ِح ََٰو ا سْف ن انِ م مُكَقَلَخ ىِذ لٱ اُمُك بَر ا اوُق تٱ اُسا نلٱ اَهُّيَأَََٰٰٓي ااًبيِقَر اْمُكْيَلَع اَناَك اَ للّٱ ا نِإ ۚااَماَح ْرَ ْلْٱ َو اۦِهِب اَنوُلَءَٰٓاَسَت ىِذ لٱ اَ للّٱ ا اوُق تٱ َو ۚااًءَٰٓاَسِن َو ااًريِثَك

“Wahai manusia! bertawakalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan Allah menciptakan

pasangannya dari dirinya; dan keduanya Allah

memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang

banyak...” (QS. An-Nisa : 1)6

Berdasarkan beberapa uraian diatas, Islam sudah mengatur bahwa manusia diciptakan dalam hidup yang berpasang-pasangan dengan melanjutkan kejenjang dalam suatu perkawinan. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan diwujudkan dalam aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan.7 Dibuatnya rumusan mengenai hukum perkawinan bertujuan agar dapat mengetahui batasan-batasan apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan mengenai perkawinan serta akibat hukum apa saja yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaannya.

Hukum Nasional yang mengatur mengenai perkawinan terdapat pada Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, merupakan peraturan perkawinan yang berlaku

5 TafsirQ, Surat Al-Dzariyat Ayat 49, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober 2019. 6 TafsirQ, Surat An-Nisa’ Ayat 1, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober 2019.

7 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2003, hal. 13.

(3)

3 untuk semua masyarakat yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, yakni tidak memandang ras maupun golongan.8 Sedangkan Kompilasi Hukum Islam atau

yang sering disingkat dengan sebutan KHI, merupakan pengaturan perkawinan

yang diwujudkan atas dasar keinginan para ulama-ulama untuk

menyeragamkan hukum Islam yang ada di Indonesia.9 Kemudian yang menjadi dasar legalitas berlakunya KHI di Indonesia yakni adanya Intruksi Presiden tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 yang dimana.10

Akan tetapi kedudukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan lebih tinggi daripada Kompilasi Hukum Islam. Sehingga apabila terdapat ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka peraturan perundang-undangan mengenai perkwinan yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini perdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimana menyatakan “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 Nomor 74). Peraturan Perkawinan campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 Nomor 158),

8 Fuad Buchari, Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume 1

No. 2, Oktober 2014, hal. 1.

9 Masning Fatimatul Azdiyah, Skripsi : Tinjauan Fikih Empat Mazhab Terhadap Li’an Sebagai

Peneguhan Atas Pengingkaran Sahnya Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), UIN Sunan

Ampel, 2016, hal. 63-64.

10 Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal AJUDIKASI, Volume 1 No. 2, Desember 2017, hal. 48.

(4)

4 dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. 11

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.12

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah baik menurut hukum agama maupun hukum negara apabila telah memenuhi segala rukun dan syarat-syarat perkawinan serta tidak melanggar larangan perkawinan.13 Dan apabila salah satu rukun dan syarat perkawinan tidak dapat terpenuhi atau melanggar larangan perkawinan, maka perkawinan yang dilaksanakan dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan.14 Hal tersebut sesuai ketentuan yang telah diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22, yang menyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.15

11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkaiwnan Pasal 66.

12 Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, http://datarental.blogspot.com, diakses pada 15 September 2019.

13 Trust Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian, Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto, Volume 10 No. 3, September 2010, hal. 338.

14 Yudith Ika Pratama, Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Terpenuhinya

Jangka Waktu Tunggu (Masa ‘Iddah) Menurut Kompilasi ukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 41 K/AG/2009), 2014,

hal. 3.

(5)

5 Selain itu yang perlu benar-benar diingat bahwa agar terjaminnya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat, maka perkawinan yang telah dilaksanakan haruslah dicatatkan kepada pegawai yang berwenang.16 Sehingga nantinya tidak menjadi suatu masalah apabila berurusan dengan hukum positif di Indonesia karena telah mempuanyai akibat hukum yang tetap dari pelaksanaan perkawinan tersebut.

Rukun dan syarat sahnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7 serta diatur pula dalam KHI Pasal 14. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa syarat-syarat sahnya perkawinan adalah adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, Usia sudah memenuhi batas pelaksanaan perkawinan, dan Terdapat wali nikah yang sah.17 Dan apabila

salah satu syarat sahnya perkawinan tersebut tidak dapat terpenuhi, maka perkawinan tersebut dalam pelaksanaanya dikatakan tidak sah dan dapat dibatalkan.18 Sedangkan menurut KHI yang termuat dalam Pasal 14, yakni

menyebutkan lima rukun perkawinan yang dijadikan sebagai syarat sahnya perkawinan yaitu adanya calon suami dan calon isteri; adanya wali nikah dan dua orang saksi serta terjadinya Ijab dan Kabul.19

Larangan perkawinan yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya adalah segala sesuatu hal yang menghalangi terlaksananya sebuah perkawinan,20 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan

16 Kompilasi Hukum Islam Pasal 5.

17 Undang-Undang Perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7.

18 Billy Bidara, Kajian Yuridis Tentang Perkawinan Yang Belum Memenuhi Syarat Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Crime, Volume V No. 5, Juli 2016, hal. 22-26.

19 Kompilasi Hukum Islam Pasal 14.

20 Gina Gantika Amelia Asmara, Tinjauan Yuridis Perkawinan Sedarah Antara Bibi dan

Keponakan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasai Hukum Islam. Hal. 1.

(6)

6 KHI. Undang-Undang Perkawinan Pasal 8 sampai dengan Pasal 11, menerangkan bahwa perkawinan dilarang apabila : 1) Terdapat hubungan garis keturunan keatas ataupun kebawah, menyamping, hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri yang dalam hal ini apabila seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu, dan hubungan yang dilarang oleh agamanya; 2) Masih terikat tali perkawinan, kecuali telah mendapatkan izin dari Pengadilan; 3) Pasangan Suami-Isteri yang sudah melaksanakan cerai kawin sebanyak 2 kali, hal ini bertujuan agar kedua belah pihak lebih menghargai tujuan dari dilangsungkannya perkawinan; dan 4) Bagi wanitayang belum selesai masa tunggunya.21

Sedangkan larangan perkawinan yang diatur dalam KHI terdapat pada Pasal 39 sampai dengan Pasal 44, yaitu : 1) Adanya pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, dan pertalian sesusuan; 2) Bagi wanita yang masih mempunyai ikatan perkawinan; 3) Bagi wanita yang masih dalam masa iddah; 4) Bagi pria memadu isterinya dengan wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab dan pertalian sesusuan dengan isterinya; 5) Bagi pria yang sudah mempunyai 4 isteri; 6) Bagi pria yang ingin menikahi mantan isterinya lagi setelah di talak sebanyak 3 kali, kecuali mantan isterinya telah menikah dengan pria lain; dan 7) Perkawinan yang dilakukan antara seorang yang beragama islam dengan seorang yang beragama non islam.22

Pengaturan dari ketentuan KHI sesuai pula dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 23 yang menyebutkan bahwa :

21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 sampai dengan Pasal 11. 22 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 sampai dengan Pasal 44.

(7)

7 اِتْخُ ْلْٱ اُتاَنَب َو اِخَ ْلْٱ اُتاَنَبَو اْمُكُتاََٰل ََٰخ َو اْمُكُت َٰ مَع َو اْمُكُت ََٰوَخَأ َو اْمُكُتاَنَب َو اْمُكُتََٰه مُأ اْمُكْيَلَع اْتَم ِ رُح ىِف اىِتَٰ لٱ اُمُكُبِئَََٰٰٓبَر َو اْمُكِئَٰٓاَسِن اُت ََٰه مُأ َو اِةَع ََٰض رلٱ اَنِ م امُكُت ََٰوَخَأ َو اْمُكَنْعَض ْرَأ آَٰىِتَٰ لٱ اُمُكُتََٰه مُأَو اْمُكْيَلَع اَحاَنُج اَلَف ا نِهِب مُتْلَخَد ا اوُنوُكَت اْم ل نِإَف ا نِهِب مُتْلَخَد اىِتَٰ لٱ اُمُكِئَٰٓاَسِ ن انِ م مُك ِروُجُح اَ للّٱ ا نِإ ۗااَفَلَس اْدَق اَم ا لِإ اِنْيَتْخُ ْلْٱ اَنْيَب ا اوُعَمْجَت انَأ َو اْمُكِبََٰلْصَأ اْنِم اَنيِذ لٱ اُمُكِئَٰٓاَنْبَأ اُلِئَََٰٰٓلَح َو اًمي ِح ر ااًروُفَغ اَناَك

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa : 23)23

Dari terjemahan Surat An-Nisa ayat 23 dapat disimpulkan bahwa perempuan yang dilarang untuk dinikahi terdapat dua macam. Pertama larangan perkawinan yang bersifat sementara yaitu dapat hilang masanya dalam waktu dan keadaan tertentu. Dan yang kedua larangan perkawinan yang bersifat abadi yaitu sampai kapanpun ketentuan larangan perkawinan tersebut tetap berlaku.

Salah satu contoh larangan perkawinan yang muncul dalam masyarakat saat ini adalah mengenai perkawinan sedarah atau yang dalam hukum lebih dikenal dengan isltilah Incest. Perkawinan sedarah dikategorikan sebagai larangan perkawinan yang bersifat abadi, hal ini dikarenakan sampai kapanpun hubungan nasab tidak dapat terputuskan.

Perkawinan sedarah mulai bermunculan sebagai salah satu akibat dari terjadinya perubahan sosial yang semakin meningkat, yang dimana perkawinan

(8)

8 tersebut dilakukan oleh kakak beradik yang entah dilakukan dengan sengaja atau karena telah hamil diluar nikah yang membuat mereka terpaksa untuk melakukan perkawinan tersebut. Berikut beberapa contoh kasus mengenai

Incest :

Tabel I : Daftar Kasus Hubungan Incest di Indonesia

No. Nomor Perkara Kasus

1 113/Pid.Sus/2013/PN.Skg 1. Penganiayaan terhadap anak

2. Hubungan Incest antara anak dengan ayah kandung

2

268/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Llg :

Penelantaran anak (bayi) hasil hubungan Incest yang dilakukan

oleh Terdakwa dengan ayah

kandung

3 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN. Kot Hubungan sedarah yang dilakukan oleh ayah kandung, kakak kandung, dan adik kandung kepada anak sekaligus saudara perempuan yang mengalami keterbelakangan mental di Lampung

4 - Hubungan sedarah yang dilakukan

oleh kakak dan adik atas dasar suka sama suka dan sudah menghasilkan

2 anak serta adik sedang

mengandung anak ketiga dari hubungan Incest di Luwu Sulawesi Selatan

Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan www.kompas.com Dari beberapa contoh kasus mengenai hubungan Incest diatas terjadi karena paksaan. Selain itu Incest merupakan kekerasan yang sulit diungkapkan yang dimana para korban Incest tidak berani melakukan laporan karena berada

(9)

9 dalam bawah ancaman dan terdapat relasi keluarga yang dimana telah diletakkan kewajiban untuk patuh dan berbakti serta tidak membuka aib keluarga. Sehingga hal tersebut dapat mengacu timbulnya dampak psikis terhadap para korban

.

Kemudian berikut beberapa kasus mengenai perkawinan

Incest yang telah terjadi di Indonesia :

Tabel II : Daftar Kasus Perkawinan Incest di Indonesia

No. Perkara Kasus Posisi

1 216/Pdt.G/1996/PA.Yk Pembatalan perkawinan atas dasar

terdapat unsur halangan

perkawinan dalam pelaksanaanya, yang dimana perkawinan tersebut dilaksanakan antara seorang laki-laki dengan anak dari kakak kandungya, dan dari perkawinan tersebut telah dikaruniai 2 orang anak

2 0554/Pdt.G/2009/PA.TA Pembatalan perkawinan atas dasar

terdapat unsur halangan

perkawinan dalam pelaksanaanya, yang dimana perkawinan tersebut dilaksanakan antara seorang laki-laki dengan adik dari ayah

kandungnya, dan perkawinan

tersebut telah dikaruniai 1 orang anak.

3 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk Perkara gugatan perceraian yang

diajukan oleh Pemohon, namun

setelah menghadirkan saksi,

terungkap fakta hukum bahwa diantara Pemohon dan Termohon

masih memiliki hubungan

kekerabatan yang sangat dekat yakni saudara seibu dan lain ayah.

4 978/Pdt.G/2011/Pa.Sda Pembatalan perkawinan atas dasar

terdapat unsur halangan

perkawinan dalam pelaksanaanya, yang dimana perkawinan tersebut dilaksanakan antara seorang

(10)

laki-10 laki dengan adik yang terdapat hubungan saudara seibu dan

perkawinan tersebut telah

dikaruniai 1 orang anak Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dilansir dari siaran Pers Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 CATAHU telah menerima laporan sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752, kasus bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengadalayanan yang tersebar sepertiga provinsi di Indonesia dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR).24

Kasus yang dominan dilaporkan yakni mengenai Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) melonjak sebanyak 2.341 kasus, dan untuk perkara mengenai Incest yakni meningkat sebanyak 1.417 kasus dari 1017 kasus pada tahun 2018 kemarin.25

Terdapat beberapa hal yang dapat mengacu munculnya Incest, yakni masih kentalnya budaya patriarki, dimana laki-laki lebih dominan dalam segala hal. Kemudian adanya konflik budaya, yakni mudahnya akses masuk budaya luar ke dalam masyarakat tanpa terfilter dari media sosial yang menyebabkan konten-konten yang mempunyai dampak negatif dapat dengan mudah diakses oleh siapapun. kemudian lemahnya faktor ekonomi juga mempengaruhi, hal ini dikarenakan kurangnya kelayakan tempat tinggal yang dimana seharusnya

24 Komnas Perempuan, Siaran Pers dan Lembar Fakta Komnas Perempuan : Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020, https://www.jurnalperempuan.org, diakses pada 20 April 2020.

(11)

11 hanya cukup ditempati 4 orang ternyata yang tinggal lebih dari angka tersebut, sehingga terdapat ruang multi fungsi ataupun orang tua yang tidak tidur terpisah dengan anak-anaknya. Selain itu hal besar yang menjadi pemicu perbuatan Incest adalah besarnya dorongan seksual tanpa diimbangi oleh iman sebagai kekuatan internal dan peraturan hukum yang ada.26

Sehingga dalam hal ini perlu dipertanyakan bagaimana keabsahan perkawinan sedarah (Incest) tersebut baik dalam hukum nasional maupun hukum Islam, karena pada dasarnya perkawinan Incest merupakan perkawinan yang sangat-sangat dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang ada dan sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Dan apabila dipelajari lebih lanjut, perkawinan sedarah ini mempunyai dampak yang serius bagi keturunannya nanti, baik ditinjau dari segi kesehatan maupun psikologis. Dampak terhadap anak yang lahir dari hubungan Incest dari segi kesehatan dapat mengalami fatal anemia, kebutaan, semakin kuatnya penyakit keturanan hingga dapat menyebabkan kematian pada bayi. Kemudian dampak psikologisnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan jiwa, keterlambatan mental hingga lemahnya perkembangan otak pada anak.27

Berdasarkan peraturan mengenai aborsi yakni Undang-Undang tentang Kesehatan Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang saat ini masih dalam polemik hukum akan tetapi secara yuridis sudah diperbolehkan, menyatakan bahwa aborsi tidak

26 Dewi Masyitoh, Perilaku Incest: Tindakan Kriminal Dan Penyimpangan Perilaku, Jurnal An-Nisa’, Volume 10 No. 1, April 2017, Hal. 33-34

27 Fakutas Kedokteran Universitas Airlangga, Resiko Yang Timbul Dari Perkawinan Sedarah, http://fk.unair.ac.id, diakses pada 9 Oktober 2019.

(12)

12 diizinkan, kecuali dengan alasan kedaruratan medis ibu dan bayi serta bagi korban pemerkosaan.28

Dari uraian kalimat tersebut dapat dipahami bahwa perlakuan aborsi dapat dilakukan untuk kepentingan nyawa ibu dan janinnya dengan alasan terdapat penyakit genetik berat ataupun cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki dan mengakibatkan bayi tersebut tidak dapat hidup diluar kandungan. Selain itu perilaku aborsi diperbolehkan terhadap korban pemerkosaan yang dimana kehamilan tersebut ditakutkan dapat menjadi faktor trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.29

Kemudian bagaimana halnya apabila anak tersebut dari hasil hubungan suka sama suka. Dikarenakan dalam perbuatan Incest sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yakni perbuatan Incest yang dilakukan berdasarkan unsur paksaan dan ancaman yang dapat menjadi suatu tidakan perkosaan. Dan yang kedua merupakan perbuatan Incest karena faktor suka sama suka yang sebenarnya termasuk dalam kejadian yang sangat menyayat norma masyarakat serta norma hukum yang berlaku.

Oleh karena itu perlu untuk lebih dicermati secara mendetail mengenai bagaimana akibat hukum terhadap hak-hak anak yang telah dilahirkan dari perkawinan sedarah baik mengenai keabsahan anak dan hak-haknya. Hal ini dikarenakan menurut Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Islam itu sendiri terdapat beberapa macam mengenai status anak. Menurut Undang-Undang Perkawinan status anak dibagi menjadi 2 macam,

28 Dian Maharani, Begini Aturan Aborsi Di Indonesia, https://lifestyle.kompas.com, diakses pada 10 Oktober 2019.

29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b.

(13)

13 yakni anak sah dan anak luar kawin. Kemudian menurut Kompilasi Hukum Islam staus anak dibagi menjadi 2 macam, yakni anak sah dan anak luar kawin. Sedangkan menurut hukum islam terdapat 2 macam status anak, yaitu anak sah dan anak zina.30

Baik didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Islam sendiri tidak mengatur secara mendetail mengenai kedudukan dan hak-hak anak yang dilahirkan dari perkawinan Incest. Sehingga akibat hukum terhadap hak anak yang lahir dari perkawinan Incest perlu dipertanyakan. Dan berdasarkan uraian diatas, maka dalam hal ini penulis tertarik untuk mengkaji dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul: “Keabsahan Perkawinan sedarah (Incest) Dan Akibat Hukum Terhadap Hak Anak Yang Dilahirkan Berdasarkan Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Islam.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai :

1. Bagaimana keabsahan perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam ?

2. Bagaimana akibat hukum perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam ?

(14)

14 3. Bagaimana akibat hukum terhadap hak anak yang dilahirkan dari perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis mempunyai beberapa tujuan yaitu :

1. Untuk mengetahui keabsahan perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap hak anak yang dilahirkan dari perkawinan sedarah (Incest) berdasarkan perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis selain untuk memenuhi syarat menyelesaikan Program Studi Strata Satu (S-1) bidang studi ilmu hukum, yaitu untuk memperluas wawasan dan menambah pengetahuan mengenai Keabsahan Perkawinan sedarah (Incest) Dan Akibat Hukum Terhadap Hak Anak Yang Dilahirkan Berdasarkan Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Islam.

(15)

15 2. Bagi kalangan akademis yaitu untuk memberikan gambaran pemikiran terutama yang berkesempatan dan berminat melakukan penelitian tentang Keabsahan Perkawinan sedarah (Incest) Dan Akibat Hukum Terhadap Hak Anak Yang Dilahirkan Berdasarkan Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Islam.

3. Bagi masyarakat pada umumnya yaitu penulis berharap dengan sajian tulisan ini akan lebih ikut mencerdaskan kehidupan hukum masyarakat.

E. Metode Penelitian

Keberhasilan suatu penelitian, selain dalam menjawab permasalahan yang diajukan, tujuan dan manfaat penelitian juga ditentukan oleh metodologi penelitian yang digunakan dalam sebuah penelitian itu. Sebelum menjelaskan engenai metode penelitian apa saja yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian metode penelitian.

Menurut Sunaryati Hartono yang dimaksud dengan metode penelitian adalah cara atau proses pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan cara penalaran dan berpikir yang analogis-analitis berdasarkan dalil-dalil serta teori-teori suatu ilmu untuk menguji kebenaran suatu hipotesis atau toeri tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau hukum tertentu.31 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.32 Metodologis yang dimaksud yakni bahwa penelitian tersebut dilakukan dengan metode ataupun cara tertentu.

31 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 105.

32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan Ke-3, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 3.

(16)

16 Kemudian yang dimaksud sistematis yakni penelitian mengikuti tahapan-tahapan tertentu. Dan yang terakhir yakni konsistensi yang berarti penelitian dilakukan taat dengan asas.33

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka metode penelitian yang digunakan adalah Metode Pendekatan, Jenis Bahan Hukum baik Primer dan Sekunder, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisa Bahan Hukum.

1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis-normatif adalah pendekatan yang bahan hukum utamanya dilakukan berdasarkan dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hokum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan menggunakan teknik kepustakaan yang dimana dalam penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, mulai dari buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berkaitan dengan larangan perkawinan, keabsahan perkawinan, serta akibat hukumnya.34

2. Jenis Data

Pada umumnya dalam penelitian jenis data dibedakan menjadi dua macam, yakni pertama yang diperoleh langsung dari masyarakat yang disebut sebgai data dan yang kedua diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang disebut bahan hukum. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat

33 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal.2.

(17)

17 dinamakan data primer atau data dasar. Sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan data sekunder.35

Jenis data yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah data sekunder, yang dimana terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berisi mengenai bahan-bahan hukum yang digunakan untuk menganalisa permasalahan yang terkait dengan penulisan.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat. Baham hukum yang digunakan dalam penelitian ini yakni berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, diantaranya adalah :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050.

3) Kompilasi Hukum Islam, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Lembaran Lepas Sekretariatan Negara Tahun 1991.

35 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Hormatif, Bayumedia Publishing, 2006, hal. 295.

(18)

18 4) Al Qur’an Surat An-Nisa Ayat 22 dan 23

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sehingga bahan hukum sekunder berupa penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bahan hukum primer yang diperoleh dari kepustakaan, penelitian terdahulu, media masa maupun media elektronik, serta literatur-literatur lainya yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang mendukung dengan meberikan pemahaman ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, pada penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan yakni berupa Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum bertujuan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan kajian pustaka yang diperoleh dari penelitian terdahulu, media masa maupun media elektronik, Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serta literatur-literatur lainya yang berkaitan dengan penelitian.

(19)

19

4. Metode Analisa Bahan Hukum

Teknik analisa yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisa Deskriptif Kualitatif. Deskriptif adalah penelitian yang tidak perlu merumuskan hipotesis. Sedangkan kualitatif adalah menggamberkan suatu data dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan berdasarkan kategori-kategorinya untuk dapat memperoleh kesimpulan.36

Kemudian Menurut Sunarto, Deskriptif Kualitatif adalah penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecendrungan yang sedang berkembang.37

Seingga teknik yang digunakan yakni dengan cara menjelaskan data dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun dengan pokok bahasan secara sistematis yang didapatkan dari kepustakaan, yang kemudian digunakan untuk menganalisa guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang dibahas.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pemahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penulisan yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, naka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) BAB yang menjabarkan tiap-tiap bab yang terbagi dalam sub-sub bagian yang

36 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1991, hal. 236.

(20)

20 dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penulisan hukum sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan landasan atau kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan tentang Perkawinan, Tinjauan tentang Perkawinan Incest, dan Tinjauan tentang Status Anak.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang Keabsahan Perkawinan sedarah (Incest) Dan Akibat Hukum Terhadap Hak Anak Yang Dilahirkan Berdasarkan Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Islam.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan simpulan dari hasil pembahasan mengenai permasalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Gambar

Tabel I : Daftar Kasus Hubungan Incest di Indonesia
Tabel II : Daftar Kasus Perkawinan Incest di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan sebuah penelitian terhadap proses pembuatan agar dari rumput laut Gracilaria verrucosa dengan konsentrasi perlakuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara nilai AgNOR sebagai biomarker sensitifitas sel tumor terhadap radiasi sebelum menjalani kemoradioterapi dengan, sub

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu observasi ke observasi yang lain, apabila kesalahan

Peluang ini juga didukung oleh produk suku cadang kendaraan bermotor Indonesia yang mampu bersaing dengan produk dari negara berkembang lainnya serta daya beli pasar

Data dikumpulkan melalui wawancara kepada responden menggunakan kuesioner yang kemudian di analisis dengan uji statistik chi-square dengan derajat kepercayaan 95%

Tim penyusun mengadakan pertemuan dengan seluruh civitas akademik dan pihak eksternal untuk mensosialisasikan draf penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan

Sebagaimana disebutkan dalam PP.72 Tahun 2005 (pasal 65), bahwa perencanaan pembangunan desa harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat

Tolak ukur untuk menilai mutu suatu SMTA antara lain ialah berapa persen dari lulusan yang dapat diterima diperguruan tinggi yang baik, berapa persen peserta