• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

28

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Proses Fermentasi Sabut Kelapa Sawit

Sabut kelapa sawit (SS) yang difermentasi oleh jamur Pleurotus ostreatus pada penelitian ini dijadikan sebagai bahan pakan pengganti rumput gajah (RG). Biomasa SS yang telah mengalami fermentasi selama 60 hari ditunjukkan pada Gambar 6b dan 6c. Biomasa dalam gambar dipanen pada fase vegetatif yaitu pertumbuhan miselium sebelum tumbuh tubuh buah, dimana semua media SS dipenuhi oleh hifa berbentuk benang putih. Bahan organik dalam biomasa SS masih terkumpul dan belum tertranspormasi sehingga masih banyak nutrien yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan untuk ternak (Priono, 2007). Setelah SS difermentasi oleh Pleurotus ostreatus, struktur SS menjadi lebih rapuh dan warnanya menjadi lebih terang.

a) b)

c)

Gambar 6. (a) SS Sebelum Fermentasi (b) SS Setelah Fermentasi (c) Substrat SS yang Dipenuhi Miselium Pleurotus ostreatus

Kandungan nutrien SS dan rumput gajah ditunjukkan dalam Tabel 6. Fermentasi dengan menggunakan Pleurotus ostreatus meningkatkan kandungan bahan kering (BK), protein kasar (PK), bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan

(2)

29 selulosa pada SS. Kandungan protein kasar pada SS (9,50%) hampir setara dengan protein kasar pada rumput gajah (8,56%). Namun, setelah difermentasi protein kasar SS mengalami peningkatan sebesar 49,02% sehingga kadar protein kasar menjadi 14,16%. Peningkatan tersebut lebih besar dibandingkan hasil fermentasi Pleurotus

ostreatus menggunakan kulit kakao (39,90%) pada penelitian Alemawor (2009).

Peningkatan kandungan protein substrat setelah fermentasi disebabkan adanya biokonversi gula menjadi protein miselium (Iyayi, 2004). Pertumbuhan hifa miselium awalnya akan memanfaatkan sumber nutrisi terutama sumber karbon yang terkandung pada bahan – bahan baku pembuatan bag log seperti dedak padi dan kapur. Begitu pula dengan kandungan selulosa, semakin meningkatnya jumlah selulosa pada sabut kelapa sawit fermentasi (SSf) menyebabkan semakin banyak pula jumlah selulosa yang dapat dimanfaatkan oleh domba yang mendapat ransum perlakuan. Peningkatan selulosa ini berkaitan dengan menurunnya kadar lignin SS setelah difermentasi.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Sabut Kelapa Sawit dan Rumput Gajah

Nutrien Bahan (% BK) (%) SS1 SSf1 RG3 BK 88,38 90,09 20,12 Abu 11,95 9,88 15,65 PK 9,50 14,16 8,56 SK 54,75 50,49 32,47 LK 6,76 0,80 2,92 BETN 17,04 24,67 40,40 Selulosa 31,822 54,89 30,79 Lignin 21,922 21,18 15,21

Keterangan : SS = Sabut kelapa sawit; SSf = Sabut kelapa sawit fermentasi. 1Hasil analisis proksimat Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Perternakan IPB, 2012. 2Hasil analisis Irawadi, et al., 1996. 3Hasil analisis Suparjo et al., 2008.

Kandungan serat kasar pada SS lebih tinggi dibanding serat kasar pada rumput gajah (Tabel 6). Fermentasi SS mampu menurunkan kandungan serat kasar menjadi 50,49%. Penurunan kandungan serat kasar diduga disebabkan adanya peran enzim ekstraselular yaitu lakase dan peroksidase yang berasal dari miselium

(3)

30

Pleurotus ostreatus dalam degradasi lignin dan selulosa pada SS (Cahyana, 2009).

Begitu pula dengan kandungan lemak kasar pada SS, setelah dikukus kadar lemak kasar turun menjadi 4,81% dan setelah difermentasi menjadi 0,80%. Selain disebabkan adanya pengukusan sebelum fermentasi, rendahnya kandungan lemak kasar pada SS ini diduga karena kandungan nutrien tersebut luruh selama proses fermentasi. Hal ini ditandai dengan adanya minyak dibagian bawah bag log.

Tabel 7. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan (100% BK)

Nutrien Perlakuan R0 R1 R2 BK 83,97 84,56 84,85 Abu 9,63 9,14 10,10 PK 19,70 19,04 20,53 SK 27,81 27,25 28,47 LK 2,79 1,71 2,31 BETN 39,37 42,86 38,59 TDN 59,16 57,08 53,82

Keterangan : R0 = 30% RG + 70% Konsentrat ; R1 = 15 % RG + 15 % SSf + 70% Konsentrat ; R2 = 30 % SSf + 70% Konsentrat. Hasil Analisis proksimat Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Perternakan IPB, 2012.

Berat media substrat (bag log) SS yang telah dipenuhi oleh miselium menjadi berkurang rata-rata sebanyak 20 g sehingga terjadi penyusutan sebesar 2,5%. Adanya penurunan berat ini menandakan bahwa terjadi degradasi lignin yang menyebabkan terbentuknya rongga antara ikatan lignoselulosa sehingga kekuatan bahan berkurang sampai level tertentu dan bahan menjadi rapuh. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6, kandungan lignin SS setelah fermentasi mengalami penurunan walaupun hanya sedikit. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata pertumbuhan miselium jamur

Pleurotus ostreatus adalah 0,80 cm per hari.

Proses pertumbuhan dan fermentasi Pleurotus ostreatus sangat bergantung pada faktor lingkugan khususnya suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Semakin rendahnya suhu, meningkatnya kelembaban dan rendahnya intensitas cahaya ruangan akan mempercepat pertumbuhan miselium dalam substrat SS sehingga menyebabkan waktu panen pada masa vegetatif (pertumbuhan miselium) semakin cepat.

(4)

31 Kebersihan dan optimalisasi proses sterilisasi ruangan juga merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan Pleurotus ostreatus.

Grafik 2. Pertumbuhan Miselium Pleurotus ostreatus yang Tumbuh dalam Media Sabut Kelapa Sawit

Kondisi Kandang

Sistem ventilasi kandang yang lebih terbuka yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan sirkulasi udara berlangsung dengan baik sehingga terbentuk suhu dan kelembaban yang nyaman bagi domba. Kondisi ini menyebabkan ternak tidak mengalami stress panas sehingga berpengaruh terhadap performa dan keadaan fisiologis ternak yang semakin baik.

Profil Darah

Darah menggambarkan kondisi fisiologis terutama yang terkait dengan sirkulasi, metabolisme dan kesehatan ternak. Sel - sel darah terdiri atas leukosit, eritrosit, dan trombosit yang sering disebut sebagai benda-benda darah (Ganong, 2002). Darah mengandung faktor - faktor penting untuk pertahanan tubuh. Fungsi utama dari sistem pertahanan tubuh adalah kemampuan benda-benda darah tertentu dalam membedakan antara sel tubuhnya sendiri dengan sel yang berasal dari luar tubuh, yang merupakan hal penting dalam mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing atau mikroorganisme dan sel-sel yang tidak dikehendaki tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Sistem pertahanan tubuh yang baik dan kuat akan menjadikan tubuh dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik pula.

0 2 4 6 8 10 12 H1 H3 H5 H7 H9 H12 R ataan ( cm ) Hari Ke- Pertumbuhan Miselium

(5)

32

Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin

Eritrosit atau butir darah merah (BDM) merupakan bagian dari darah yang berfungsi sebagai pengikat oksigen serta mengedarkannya ke seluruh jaringan tubuh (Ganong, 2002). Jain (2010) menyatakan bahwa pada kondisi normal jumlah eritrosit untuk domba adalah 9–15 juta/mm3. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada domba perlakuan R1 berada dalam kisaran normal (Tabel 8). Jika dilihat dari jumlah eritrosit sebelum perlakuan, R1 mengalami penurunan sehingga berada kondisi normal setelah diberi perlakuan berupa penambahan SSf sebanyak 15% dari total ransum. Pada kontrol dan perlakuan R2 terjadi peningkatan jumlah eritrosit setelah diberi perlakuan sehingga jumlah eritrosit melebihi jumlah normal. Jumlah eritrosit yang melebihi normal diduga karena ternak mengalami dehidrasi sehingga kadar viskositas darah meningkat dan berdampak pada meningkatnya produksi eritrosit di dalam darah (Frandson, 1992).

Ransum perlakuan tidak mempengaruhi nilai hematokrit dan kadar hemoglobin pada domba percobaan. Nilai hematokrit pada setiap perlakuan berada dalam kisaran normal yaitu antara 27%–45% (Jain, 2010). Begitu pula dengan kadar hemoglobin darah juga berada dalam rataan kisaran normal (Tabel 8). Data tersebut mengindikasikan domba tidak mengalami anemia. Jain (2010) menyatakan bahwa kondisi normal kadar hemoglobin dalam darah domba adalah 9–15 g/%. SSf memiliki kemampuan yang setara dengan rumput gajah dalam mempertahankan nilai hematokrit dan hemoglobin pada domba lokal. Jumlah eritrosit, hematokrit dan kadar hemoglobin memiliki korelasi yang erat. Hemoglobin memberikan kemampuan eritrosit untuk mengangkut oksigen serta menyebabkan warna merah pada darah. Ransum perlakuan R1 dan R2 yang terdiri dari SSf oleh Pleurotus ostreatus memiliki kandungan zat besi (Fe) dan niasin (Widyastuti dan Koesnandar, 2005). Kedua komponen ini merupakan zat-zat yang penting dalam penyusunan Heme dan globin dalam pembentukan hemoglobin. Sedangkan Hematokrit atau packed cell

volume (PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam 100 ml darah.

Hematokrit memiliki nilai yang berbanding lurus dengan nilai viskositas darah. Semakin meningkatnya nilai viskositas darah, maka nilai hematokrit akan semakin meningkat pula. Gambaran hematokrit dan hemoglobin darah menunjukkan bahwa

(6)

33 penggunaan SSf sebagai pengganti rumput gajah tidak mengganggu viskositas darah dan fungsi hemoglobin.

Leukosit dan Diferensiasi

Leukosit atau sel darah putih merupakan bagian dari darah yang paling aktif dalam sistem kekebalan tubuh. Pemberian ransum mengubah jumlah leukosit pada domba percobaan (P<0,05). Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah leukosit bersifat linear dengan persamaan y = -0,235x + 16,20 dan R2 = 0,964. Semakin tingginya persentase penggunaan SSf dalam ransum menyebabkan jumlah leukosit domba semakin menurun dan lebih mendekati kisaran normal yaitu 4-8 ribu/mm3 (Jain, 2010). Jumlah yang mendekati normal menunjukkan bahwa proses produksi leukosit di dalam sumsum tulang belakang juga berjalan dengan baik. Penurunan jumlah leukosit ini diduga karena adanya kandungan senyawa aktif pleuran di dalam ransum R1 dan R2 yang tersusun dari SSf. Pleurotus ostreatus memiliki senyawa yang bersifat antimikroba dan cukup besar efeknya terhadap peningkatan kekebalan tubuh (Daneshmand et al., 2011). Senyawa ini mengikat permukaan sel makrofag dan sel Natural Killer (NK) di dalam darah sehingga mengaktivasi makrofag untuk mencari dan membunuh benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Jumlah makrofag pun semakin banyak sehingga sistem pertahanan tubuh domba semakin meningkatkan.

Grafik 3. Hubungan antara Ransum Perlakuan dan Jumlah Leukosit pada Domba y = -0.235x + 16.208 R² = 0.9643 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 10 20 30 40 R ataan Jum lah Le u ko si t (r ib u /m m 3) Taraf Penggunaan SSf (%) R2 R1 R0

(7)

34 Tabel 8. Rataan Komponen Darah pada Domba yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan SSf

Komponen Darah Perlakuan Nilai Normal R0 R1 R2 P0 P1 P0 P1 P0 P1 Eritrosit (juta/mm3) 13,32 ± 4,51 16,14 ±3,96 15,20 ± 6,19 13,76 ± 3,57 14,95 ± 3,69 16,60 ± 4,54 9 – 15 Hematokrit (%) 33,38 ± 5,30 31,81 ± 3,04 37,06 ± 2,97 26,94 ± 7,42 36.,35 ± 3,32 29,31 ± 3,96 27 – 45 Hemoglobin (g/%) 12,31 ± 2,01 11,57 ± 1,32 13,09 ± 2,66 11,31 ± 1,69 13,43 ± 1,09 10,90 ± 2,57 9 – 15 Leukosit (ribu/mm3) 12,48 ± 3,16 16,60 ± 1,47a 12,61 ± 3,75 11,90 ± 4,02b 9,43 ± 2,98 9,55 ± 2,14b 4 - 8 Limfosit (%) 42,25 ± 19,52 48,00 ± 12,83 29,75 ± 14,36 51,25 ± 8,42 23,00 ± 5,23 45,00 ± 18,09 40 - 55 Neutrofil (%) 50,50 ± 22,17 46,25 ± 10,59 63,50 ± 15,11 44,25 ± 6,65 68,75 ± 10,40 50,00 ± 17,94 10 - 50 Monosit (%) 2,50 ± 0,58 2,25 ± 1,50 3,50 ± 1,29 2,00 ± 1,41 2,00 ± 1,41 2,25 ± 0,50 0 - 6 Eosinofil (%) 4,75 ± 4,86 3,50 ± 1,00 3,25 ± 2,06 2,50 ± 1,29 6,25 ± 6,65 2,75 ± 1,26 0 - 10 Selisih (∆) Leukosit (ribu/mm3) +4,12 -0,71 +0,13 Limfosit (%) +5,75 +21,50 +22,00 Neutrofil (%) -4,25 -19,25 -18,75

Keterangan : P0 = Gambaran Darah Sebelum Perlakuan; P1 = Gambaran Darah Setelah Perlakuan; Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Nilai normal berdasarkan Jain (2010).

(8)

35 Terjadi peningkatan jumlah leukosit yang relatif tinggi pada domba yang diberi ransum kontrol. Tingginya peningkatan jumlah leukosit domba pada kontrol yang melebihi batasan normal mengindikasikan adanya mikroorganisme asing yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang membentuk dan melepaskan lebih banyak sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi (Radji dan Biomed, 2010). Menurut Jain (1993), kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau adanya penyakit atau infeksi menyebabkan peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah leukosit.

Limfosit merupakan antigen khusus dalam leukosit yang bersifat nonfagosit, terdiri dari limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawas kekebalan tubuh yang dapat mengenal dan membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Sedangkan limfosit B bertanggung jawab atas pembentukan antibodi dan berjumlah 5%-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno, 2001). Ransum perlakuan yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap pembentukan limfosit pada domba. Jumlah limfosit domba pada penelitian ini berada dalam kisaran normal yaitu 45,00%–51,25%. Jain (2010) menyatakan bahwa pada kondisi normal jumlah limfosit untuk domba adalah 40%-55%.

Jika dibandingkan dengan rataan jumlah limfosit domba sebelum perlakuan, perlakuan R1 dan R2 meningkat drastis untuk mencapai kisaran normal dengan persentase kenaikan sebesar R1 21,50% dan R2 22,00% dibanding kontrol yang hanya naik 5,75%. Peningkatan jumlah limfosit pada domba yang mendapat ransum perlakuan R1 dan R2 ini selaras dengan perubahan jumlah leukosit yang semakin mendekati kondisi normal. Meningkatnya jumlah limfosit berarti meningkat pula jumlah antibodi dan sel - sel pertahanan dalam tubuh domba terhadap mikroorganisme. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan R1 dan R2 memiliki manfaat yang lebih tinggi dibanding kontrol dalam memperbaiki kondisi limfosit agar mencapai kisaran normal. Peningkatan jumlah limfosit ini diduga karena adanya kandungan senyawa aktif pleuran di dalam ransum R1 dan R2 yang tersusun dari SSf. Synytsya et al. (2009) menyatakan bahwa bagian dari jamur ini termasuk miseliumnya mengandung senyawa serat larut terutama β-D glukan (442-901 g/kg)

(9)

36 dan sejumlah kecil glukan lain seperti kitin dan galaktomannan yang mempunyai efek positif sebagai anti virus, anti bakteri, anti jamur dan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jumlah konsumsi protein juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan antibodi pada tubuh domba. Protein merupakan bahan utama dalam memproduksi antibodi di dalam tubuh, dimana struktur dasar antibodi memiliki 4 rantai protein yaitu dua rantai ringan (light chain) dan dua rantai berat (heavy chain) yang identik (Radji dan Biomed, 2010).

Pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah neutrofil domba. Data pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar neutrofil domba (44,25%-50,00%) pada penelitian berada dalam kisaran normal yaitu 10%–50% (Jain, 2010). Hal ini berarti bahwa domba tidak berada dalam kondisi stress sehingga produksi neutrofil berlangsung dengan normal. Jumlah neutrofil pada domba yang mendapat ransum perlakuan R1 dan R2 mengalami penurunan yang tinggi (R1 19,25% dan R2 18,75%) dibanding kontrol (4,25%) dalam upaya memperbaiki kondisi neutrofil menuju kisaran normal. Ini menandakan ransum yang mengandung SSf memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding kontrol dalam memperbaiki sistem pertahanan tubuh domba.

Monosit juga merupakan bagian dari leukosit yang memiliki fungsi utama merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat menuju tempat terinfeksi. Monosit akan menjadi makrofag yang bersifat fagositik, memiliki ukuran besar dan terikat pada jaringan tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Ransum perlakuan tidak mempengaruhi jumlah monosit domba. Penggunaan 30% SSf dalam ransum memiliki kemampuan yang setara dalam penyediaan nutrien untuk pembentukan monosit. Jumlah monosit domba pada keadaan normal 0%-6% (Jain, 2010) yang menandakan bahwa jumlah monosit domba percobaan berada dalam kisaran normal yaitu 2,00%-2,25%.

Begitu pula dengan jumlah eosinofil pada penelitian ini juga berada dalam kisaran normal yaitu 2,5%–3,5%. Menurut Jain (2010), kondisi normal jumlah eosinofil pada domba adalah 0%–10%. Eosinofil merupakan bagian dari sel darah putih yang berperan sangat efektif dalam membunuh jenis parasit tertentu. Zat-zat kimia yang dikeluarkan oleh eosinofil berfungsi menghancurkan cacing, parasit dan berperan penting dalam manifestasi reaksi alergi (Radji dan Biomed, 2010).

(10)

37

Total Kolesterol Darah

Kolesterol merupakan substansi berwarna putih dan memiliki bentuk seperti lilin yang mempunyai fungsi sangat penting bagi tubuh (Arora, 2007). Kolesterol merupakan komponen utama sel otak dan saraf, serta sebagai bahan antara pembentukan sejumlah steroid penting, seperti asam empedu, asam folat, hormon - hormon adrenal korteks, estrogen, androgen, dan progesterone. Namun, kolesterol juga dapat membahayakan tubuh jika keberadaannya melebihi kapasitas normal dan terdapat dibagian tertentu (Almatsier, 2006).

Tabel 9. Kadar Kolesterol Serum Darah pada Domba yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan SSf Perlakuan Kolesterol Darah (mg/dl) Persentase Penurunan Nilai Normal P0 P1 (%) R0 67,13 ± 17,93 55,15 ± 7,57 13,51 50 - 140 R1 76,99 ± 20,92 54,96 ± 12,13 27,04 R2 70,94 ± 16,11 63,55 ± 12,92 7,7

Keterangan : Hasil Analisis Kolesterol Serum di Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, IPB. Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkoewidjojo (1988).

Penggunaan SSf (Tabel 9) dalam ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol darah domba. Kadar kolesterol darah pada semua perlakuan berada dalam kisaran normal yaitu 54,96-63,55 mg/dl. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa kondisi normal kolesterol darah pada domba adalah 50–140 mg/dl. Kondisi kolesterol darah sebelum perlakuan yang lebih tinggi dibanding setelah perlakuan (Tabel 9) menunjukkan adanya peran ransum terhadap penurunan kadar kolesterol darah. Perlakuan R1 menunjukkan penurunan yang paling tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan R2. Penurunan kadar kolesterol darah diduga memiliki hubungan yang erat dengan konsumsi karbohidrat, protein dan lemak pada makanan. Hal ini disebabkan ketiga komponen tersebut merupakan bahan baku untuk mensintesis kolesterol di dalam hati (Almatsier, 2006).

Pleurotus ostreatus mengandung 2,8% lovastatin (C24H36O5) yang termasuk dalam kelompok statin. Zat ini merupakan agen hipolipidemik yang dapat menghambat metabolisme kolesterol di dalam tubuh sehingga dapat menurunkan

(11)

38 kadar kolesterol darah (Gunde dan Cimerman, 1995). Obat sintesis ini bekerja sebagai inhibitor hydroxymethyl-glutaryl-CoA redutase (Vrecer et al., 2003). Namun, pada penelitian ini efek penurunan kolesterol yang disebabkan pemberian ransum belum terlihat jelas. Ini diduga karena masa perlakuan terhadap ternak hanya dilakukan selama 1 bulan. Menurut Parakkasi (1999), kolesterol pada ruminan merupakan kolesterol endogenus yang sedikit sekali dipengaruhi oleh kolesterol pakan (eksogenus).

Manfaat Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dalam Ransum Domba

Menurut Aregheore (2001), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktifitas ruminansia. Konsumsi pakan dapat diekspresikan dengan satuan g/ekor/hari (van Hao dan Liden, 2001), g/kg BB/hari (Van et al., 2005) atau g/kg BB0.75/hari (Mandal et al., 2005). Pada penelitian ini, konsumsi yang diamati berdasarkan bobot badan metabolis (BB0.75). Pengukuran konsumsi berdasarkan bobot metabolis digunakan untuk mengetahui kebutuhan energi sesuai dengan berat badan 0,75. Selain itu, pengukuran tersebut juga dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya perbaikan kecernaan zat makanan (Parakkasi, 1999).

Tabel 10. Rataan Konsumsi dan Nutrien Tercerna berdasarkan Bobot Badan Metabolis pada Domba yang Mendapat Ransum Percobaan (100% BK)

Parameter Perlakuan Rataan Standar

R0 R1 R2 Error Konsumsi (g/kg BB0.75 /hari) BK metabolis 80,05 77,81 86,10 81,32 2,20 BO metabolis 60,46 60,36 69,44 63,42 2,11 Nutrien tercerna (g/kg BB0.75 /hari) BK tercerna metabolis 26,92 27,91 26,98 27,27 0,82 BO tercerna metabolis 36,69 36,68 38,85 37,40 1,01 Keterangan : R0 = 30% RG + 70% Konsentrat ; R1 = 15 % RG + 15 % SSf + 70% Konsentrat ; R2 = 30 % SSf + 70% Konsentrat.

Ransum perlakuan yang diberikan tidak mempengaruhi jumlah konsumsi bahan kering (BK) berdasarkan bobot metabolis pada domba perlakuan. Konsumsi BK pada domba berkisar antara 77,81-86,10 g/kg BB0.75/hari. Nilai ini hampir sama

(12)

39 dengan hasil penelitian Setyowati (2005) yang menggunakan ransum substrat serbuk gergaji yang difermentasi dengan jamur isolate HS yaitu 78,38-94,32 g/kg BB0.75/hari. Konsumsi bahan organik (BO) berdasarkan bobot badan metabolis menunjukkan hasil yang selaras dengan konsumsi BK berdasarkan bobot badan metabolis. Hal ini menunjukkan bahwa SSf dapat menggantikan peran rumput gajah sebagai hijauan pakan domba yang berkualitas. Rataan konsumsi BO selama penelitian adalah 60,36–69,44 g/kg BB0.75/hari. Perbedaan konsumsi BO dan BK diduga dipengaruhi oleh palatabilitas ransum dan kesehatan ternak. Pengaruh lingkungan seperti suhu dan kelembaban juga berperan dalam menentukan tingkat konsumsi.

Jumlah konsumsi yang tinggi juga tidak berarti tanpa proses pencernaan yang baik di dalam tubuh. Nutrien tercerna merupakan bagian zat makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan diserap oleh tubuh serta tidak dibuang melalui feses (McDonald et al., 2002). Nutrien tercerna mencerminkan besarnya sumbangan nutrien dalam tubuh ternak yang menunjukkan kemampuan nutrien tersebut dalam memenuhi hidup pokok maupun produksi ternak (Yusmadi, 2008). Ransum perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) tercerna berdasarkan bobot badan metabolis. Nilai BK tercerna berdasarkan bobot badan metabolis pada penelitian ini adalah R0 = 26,92%; R1= 27,91%; R2 = 26,98%. Sedangkan hasil perhitungan BO tercerna berdasarkan bobot badan metabolis masing-masing perlakuan menunjukkan hasil R0 = 36,69%; R1 = 36,68%; R2 = 38,85%. Komposisi dan rasio bahan pakan yang hampir sama diduga menjadi penyebab tidak berbedanya pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap BK dan BO tercerna metabolis pada domba. Menurut McDonald et al., (2002) bahwa kecernaan ransum dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, rasio konsentrat, penyiapan ransum, faktor hewan dan juga level pemberian pakan.

Pembahasan Umum

Kondisi profil dan kolesterol darah domba perlakuan dalam penelitian ini sangat berhubungan erat dengan kualitas dan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh domba. Semakin tingginya kualitas jumlah konsumsi maka semakin banyak pula nutrien yang tersedia untuk kebutuhan hidup pokok, fungsi fisiologis dan produksi

(13)

40 ternak. Salah satunya adalah untuk pembentukan sistem pertahanan tubuh yang kuat sehingga menghasilkan suatu individu ternak yang sehat. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara jumlah butir darah merah (BDM) dengan jumlah bahan organik (BO) yang dikonsumsi oleh ternak dengan persamaan BDM = - 18,32 + 0,045 konsumsi BO dan R2 = 0,586. Hasil ini selaras dengan penelitian Sutiarna (2010) yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah berkaitan erat dengan konsumsi BO. Kandungan nutrien yang terkandung di dalam ransum seperti protein dan beberapa mineral merupakan bahan dasar untuk memproduksi sel darah merah. Semakin banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi maka semakin banyak bahan nutrien yang ada di dalam tubuh untuk memproduksi sel darah merah sehingga jumlah sel darah merah semakin meningkat.

Dalam penelitian ini terlihat pula nilai profil darah terutama leukosit, limfosit, dan neutrofil (Tabel 8) pada domba yang mendapat ransum SSf (R1 dan R2) mendekati nilai normal dibandingkan dengan domba yang mengkonsumsi ransum ideal R0. Jika diamati dari selisih leukosit, limfosit dan neutrofil darah pada ternak antara sebelum dan sesudah perlakuan, domba yang mengkonsumsi ransum mengandung SSf selama 1 bulan mengalami peningkatan kekebalan tubuh yang cukup tinggi. Kondisi ini tergambar dari meningkatnya jumlah limfosit sampai 22% sebagai indikator imunitas. Hal ini menunjukkan bahwa peran senyawa aktif dalam ransum tersebut mampu meningkatkan kesehatan domba.

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pengaruh pada penurunan kolesterol yang sangat nyata pada domba sebelum dan sesudah mendapat ransum perlakuan. Penggunaan 15% SSf di dalam ransum R1 yang dikombinasikan dengan 15% rumput gajah menurunkan kolesterol darah dua kali lipat dari penurunan R0, namun peningkatan penggunaan SSf sampai 30% tanpa rumput gajah hanya sedikit menurunkan kolesterol darah. Sedikitnya penurunan kolesterol darah ini diduga karena mekanisme kerja lovastatin yang belum berperan nyata dalam menurunkan kolesterol. Kemungkinan kendalanya adalah proses fermentasi sabut kelapa sawit dengan Pleurotus ostreatus yang dilakukan secara belum ideal, sehingga SSf yang dihasilkan belum optimal yang dapat terlihat pada Tabel 6, dimana kadar lignin masih sangat tinggi dibandingkan dengan rumput gajah.

Gambar

Gambar 6. (a) SS Sebelum Fermentasi (b) SS Setelah Fermentasi (c) Substrat                        SS yang Dipenuhi Miselium Pleurotus ostreatus
Tabel 6. Kandungan Nutrien Sabut Kelapa Sawit dan Rumput Gajah
Tabel 7. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan (100% BK)
Grafik 2. Pertumbuhan Miselium Pleurotus ostreatus yang Tumbuh   dalam Media Sabut Kelapa Sawit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan perlindungan hukum klub PSIS Semarang kepada pemain sepak bola yang didasarkan atas perjanjian kontrak pemain.. Dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian fraksi n-heksan dan PE terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus jantan yang diinduksi aloksan

[r]

Penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan

mengekangnya. Istri Ueno meminta maaf dan menitipkan Hachi sekali lagi. Tapi tak lama kemudian Hachi berhasil kabur lagi dan kembali ke rumah Ueno. Ume yang

[r]

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan penyusunan Tugas