• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. geografisnya. Tradisi lisan yang merupakan kekayaan budaya bangsa tersebut adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. geografisnya. Tradisi lisan yang merupakan kekayaan budaya bangsa tersebut adalah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di seluruh wilayah geografisnya. Tradisi lisan yang merupakan kekayaan budaya bangsa tersebut adalah pewujudan dari bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang sangat berharga bukan hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, melainkan juga bisa menjadi akar budaya dari masyarakat baru. Hal ini berarti tradisi lisan bisa menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru (Esten,1999: 105).

Tradisi lisan yang juga merupakan bagian dari sebuah kebudayaan daerah, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa disebut dengan kebudayaan nasional. Kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.

Upaya pelestarian tradisi lisan sebagai akar budaya nasional perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak

(2)

tradisi lisan yang punah karena tidak mendapatkan atensi dari masyarakat pendukungnya dan terlepas dari upaya pendokumentasian baik secara audio maupun visual. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan di negara maju yang telah mendokumentasikan budayanya dan diterbitkan dalam bentuk buku sehingga banyak tradisi lisan yang masih bertahan (Rosidi, 1995:125-126).

Upaya untuk menggali dan mengkaji isi yang terkandung di dalam sastra lisan sangat diperlukan disamping upaya untuk melestarikan tradisi lisan tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan penelitian dari salah satu bentuk tradisi lisan yaitu sastra lisan (Tuloli,1990:2).

Vansina (1985: 27-28) mengungkapkan bahwa sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan berupa tuturan verbal yang memenuhi ciri-ciri dulce et utile sebagaimana dikemukakan oleh Horatius. Penggunaan bahasa dan struktur pembaitannya indah (dulce) dan bermanfaat (utile) antara lain sebagai sarana pewarisan nilai, legitimasi kedudukan sosial politik, ataupun sekedar melipur lara para pendengarnya. Pesan, cerita, atau kesaksian tersebut disampaikan melalui tuturan atau nyanyian dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk-bentuk seperti dongeng, puisi, balada, atau kidung. Melalui cara ini, masyarakat dapat mewariskan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan, dan pengetahuan-pengetahuan lisan lainnya tanpa sistem tulisan.

Meskipun sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan, akan tetapi penelitian ini akan menggunakan istilah tradisi lisan karena peneliti tidak hanya mengupas ekspresi kesusastraan dari warga suatu kebudayaan yang tersebar dan diturunkan secara lisan, tetapi juga mengupas mengenai beragam hal tentang tradisi pertunjukan, teks sebagai karya sastra, dan audience atau penikmat tradisi lisan.

(3)

Penggunaan istilah tradisi lisan juga lebih cenderung diterapkan oleh Pudentia (2001:1) yang berpendapat bahwa kebijaksanaan yang mengandalkan homogenitas akan mempersempit kemungkinan bertahannya bahasa-bahasa daerah. Akibatnya, terjadi kemiskinan pengetahuan mengenai masyarakat itu sendiri sehingga tidak muncul keinginan untuk memahami lebih jauh tentang masyarakat tersebut. Dengan kata lain, istilah tradisi lisan akan lebih tepat digunakan sebagai alat untuk melihat lebih jauh keunikan dalam masyarakat pemilik tradisi itu.

Masyarakat pemilik tradisi yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini adalah sebuah masyarakat adat di Pulau Bali. Bali telah terkenal tidak hanya di Indonesia tetapi juga di mancanegara akan kekayaan keberagaman tradisi kebudayaan, panorama alam, dan karya sastra klasik yang dimilikinya. Zoetmulder (1983:24) menyampaikan dalam bukunya Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang

Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih

tersimpan di berbagai tempat seperti di Perpustakaan Lontar Universitas Udayana, Museum Bali, Perpustakaan Dwijendra, dan Gedong Kirtya Singaraja, serta di rumah penduduk seperti di puri dan geria. Bagus (1978:1) menyatakan bahwa dalam mempelajari sastra klasik, seperti halnya karya sastra Bali, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai pembagiannya baik dari segi isi maupun dari segi bentuknya.

Ditinjau dari segi penyampaiannya, karya sastra Bali klasik dapat dibagi menjadi dua yaitu sastra tulis dan sastra lisan. Apabila ditinjau dari segi bentuknya, karya sastra Bali klasik juga dibagi menjadi dua, yaitu gancaran (prosa) dan paletan (puisi). Gancaran terikat oleh konvensi sastra gancaran, sedangkan paletan terikat oleh konvensi sastra paletan. Dalam sastra paletan dikenal adanya sastra paletan

(4)

tembang, yaitu karya sastra yang mengutamakan tembang atau lagu seperti kidung, kakawin, dan geguritan (Granoka, 1981: 1-2).

Masyarakat Bali juga dikenal masih mempertahankan dunia tradisional agraris yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka ragam ekspresi budayanya. Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dijalani oleh orang Bali, hampir di setiap waktu, dan sering melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (propan atau bersifat hiburan). Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhurnya adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini, yaitu nenek moyang dari Cina Selatan sekitar 4000 tahun yang lalu dan budaya Hindu-Budha baik langsung dari India maupun melalui Jawa melalui skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-Budha di Jawa menuju Bali sejak awal abad ke 9.

Sistem dan tatanan kehidupan inti seperti desa adat dengan banjar-nya yang diikat oleh konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga (sanggah atau merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini tetap kuat keberadaannya di kota manapun di Bali. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat, banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali (Pitana, 2002:11). Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan spiritual.

(5)

Konsep dasar ajaran Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah memanusiakan alam dan lingkungan. Didalam pelaksanaannya dilakukan melalui aktifitas upacara, karena melalui upacara, orang Hindu diharapkan tidak melupakan lingkungan bahkan harus menyatu dengan lingkungan untuk mewujudkan kebahagiaan hidup (Gunung, 2004:11). Upacara merupakan bagian dari tiga kerangka dasar agama Hindu yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan, kebahagian dan kesejahteraan hidup serta kesucian lahir batin bagi umat Hindu di Bali. Pelaksanaan upacara biasanya bergandengan dengan Yajña seperti Dewa Yajña,

Pitra Yajña, Rsi Yajña, Manusa Yajña dan Bhuta Yajña. Pada beberapa rangkaian

upacara keagamaan yang digelar di Bali biasanya diiringi oleh alunan nyanyian yang merupakan salah satu wujud karya sastra klasik asli Bali yang disebut dengan kidung. Salah satu tradisi yang masih bertahan di Bali sebagai pengejawantahan dari masyarakat tradisional agraris adalah tradisi upacara sakral Tumpek Pengatag atau juga disebut sebagai Tumpek Bubuh di masyarakat Desa Adat Penglipuran, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli. Upacara sakral Tumpek Pengatag jatuh setiap 210 hari sekali atau 25 hari menjelang hari raya Galungan dalam kalender Saka. Pada setiap Saniscara Kliwon Wariga (Sabtu Kliwon dalam penanggalan Hindu wuku Wariga), umat Hindu selalu menghaturkan sesajen kehadapan Sanghyang Sangkara sebagai dewa dari segala tumbuh-tumbuhan yang juga diberi nama lain upacara Tumpek Pengarah, Tumpek Penguduh/uduh. Tumpek Bubuh oleh umat Hindu merupakan cetusan hati manusia yang paling dalam menggambarkan rasa kasih dan sayangnya kepada tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari bahwa dalam menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu

(6)

membutuhkan orang lain sebagai teman untuk mengarungi hidupnya sampai pada tujuannya yang terakhir, maka itu manusia disebut sebagai makhluk sosial (Purnomohadi, 1993:25). Manusia selalu membutuhkan orang lain sebagai teman maka muncullah konsep dalam agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana yang secara leksikal berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.

Peringatan hubungan manusia dengan alam lingkungan menyebabkan timbulnya pemikiran umat Hindu untuk ditetapkan melalui hari raya yang disebut

Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh. Pada upacara Tumpek Penguduh yang dipuja

adalah Sanghyang Siwa sebagai Bhatara Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkembang biak, berdaun, berbunga, dan berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya. Pemujaan yang ditujukan kepada Bhatara Sangkara maka yang dipakai objek dalam upacara adalah tumbuh-tumbuhan yang paling erat kaitannya dengan manusia yang dipakai dalam kebutuhan hidup sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon wani, pohon durian, pohon jambu dan sebagainya. Pada hari upacara ini mengingatkan kepada manusia bahwa hari raya Galungan akan datang 25 hari lagi, maka segala persiapan untuk menyambut dan merayakan hari raya Galungan telah dimulai. Tujuan umat Hindu menghaturkan upacara pada hari ini adalah untuk menghaturkan rasa terima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Sangkara,

(7)

bahwa Tuhan telah menciptakan tumbuhan serta memohon agar tumbuh-tumbuhan itu dapat berkembang biak dengan baik dan berguna bagi manusia. Sekaligus juga memohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah baik dan banyak sehingga ketika menjelang Galungan dapat dipergunakan sebagai sarana upacara persembahan di hari raya Galungan. Pada umumnya upacara ini dilakukan di pekarangan atau perkebunan, tegalan yang banyak dipelihara pepohonan yang berguna bagi kehidupan manusia.

Pada prosesi upacara Tumpek Pengatag, dilantunkan sebuah kidung sebagai nyanyian pengiring sepanjang upacara berlangsung. Kidung yang dinyanyikan disebut sebagai Kidung Dewa Yajña yaitu nyanyian yang dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi dan para dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kidung ini juga merupakan sarana komunikasi hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Kidung Dewa Yajña dalam upacara Tumpek Pengatag ini dituturkan dalam bahasa Jawa Tengahan dan dinyanyikan atau dituturkan oleh para sinden yang mayoritas telah berusia lanjut. Hingga penelitian ini dilaksanankan, kidung dewa Yajña yang terdapat di desa adat Penglipuran belum didokumentasikan dalam bentuk tertulis sehingga muncul kekhawatiran bahwa kidung tersebut akan punah yang berarti hilangnya salah satu simbol budaya desa. Bahasa Jawa tengahan saat ini sudah jarang digunakan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam rutinitas sehari-hari misalnya komunikasi antar warga sehingga berimbas kepada ketidakpahaman masyarakat yang merupakan umat Hindu pelaksana upacara Tumpek Pengatag terhadap teks kidung. Masyarakat hanya menjalani ritual upacara sakral tanpa

(8)

memahami teks kidung yang berisi nilai-nilai religius dan amanat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Sibarani (2004:44) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu: (1) pragmatik (practical use), yaitu fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dan (2) ritual (magical use), yaitu fungsi bahasa yang bersangkutan dengan kegiatan upacara atau keagamaan dalam suatu kebudayaan. Dalam hubungannya dengan fungsi yang kedua, Cassirer (1987:168--169), mengatakan bahwa, bahasa sebagai sebuah kata memiliki kekuatan magis. Kata-kata bukanlah letupan angin semata, namun juga memiliki daya magis atau daya-daya misterius. Sebagai sesuatu yang mengandung kekuatan magis, kata-kata itu tidak bisa diubah, karena berhubungan dengan kualitas magis itu sendiri (Dhavamony, 1995:58--59).

Rosidi (1995: 126) juga menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang menjadi media pengucapan tradisi lisan itu juga merupakan bagian-bagian dari kebudayaan daerah tradisional, yaitu bahasa yang paling tepat dapat mengekspresikan isi kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Pembahasan kidung sebagai bagian dari sastra lisan tidak dapat dilepaskan dari aspek kelisanan yang terjadi. Hal tersebut juga berlaku pada kidung Dewa Yajña dalam pelaksanaan upacara ritual Tumpek Pengatag di masyarakat Desa adat Penglipuran yang sudah tentu memiliki kelisanannya sendiri. Guna mengetahui aspek kelisanan pada kidung Dewa Yajña dalam pelaksanaan upacara ritual Tumpek Pengatag digunakan teori analisis sastra lisan Albert B Lord. Albert B Lord mengajukan analisis kelisanan dalam sebuah sastra lisan yang meliputi transmisi, komposisi, formula, tema, dan pertunjukan (performance).

(9)

1.2 Rumusan Masalah

Kidung Dewa Yajña yang digunakan dalam tradisi upacara sakral masyarakat Desa adat Penglipuran merupakan sarana komunikasi umat Hindu kepada para Dewata yang merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Widhi).

Kidung Dewa Yajña sebagai sebuah produk kesusastraan lisan memiliki aspek-aspek

kelisanan yang dapat dijadikan pedoman oleh para penuturnya dari satu generasi ke generasi penerusnya. Menilik kepada hal tersebut, peneliti merumuskan dua buah pertanyaan penelitian untuk dikaji secara mendalam yaitu:

1. Bagaimana aspek-aspek kelisanan yang meliputi transmisi, komposisi,

formula, tema, dan pertunjukan (performance) yang terdapat dalam kidung

Dewa Yajña?

2. Apa nilai yang terkandung dalam kidung Dewa Yajña pada pelaksanaan ritual upacara Tumpek Pengatag yang dimiliki oleh masyarakat Desa adat Penglipuran?

1.3 Objek Penelitian

Terdapat dua objek material dalam penelitian ini yaitu kidung Dewa Yajña yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Sakral Tumpek Pengatag di Desa Adat Penglipuran, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli dan pertunjukan upacara Tumpek

Pengatag itu sendiri mengingat peneliti tidak hanya mengkaji aspek kesastraannya

saja tetapi juga perlu mengkaji aspek pertunjukannya karena kidung sebagai sebuah produk karya sastra tidak bisa terlepas dari tradisi masyarakat pendukung yang menyertainya.

(10)

Objek formal dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan judul dan permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan, yaitu mengungkapkan aspek-aspek kelisanan yang ditinjau dari aspek-aspek formula, ekspresi formulaik, transmisi, dan fungsi serta nilai yang terdapat dalam teks kidung Dewa Yajña pada pelaksanaan upacara ritual Tumpek Pengatag.

1.4 Tujuan penelitian

Peneliti menetapkan dua tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yang meliputi tujuan teoritis sebagai tujuan pertama disertai dengan tujuan praktis sebagai tujuan kedua. Tujuan teoritis berupa pengaplikasian konsep-konsep tradisi lisan yang terdapat dalam upacara Tumpek Pengatag. Pembahasan pada hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga hal pokok yang meliputi pendeskripsian upacara

Tumpek Pengatag di dalam masyarakat adat dan konvensi kelisanan dari upacara

tersebut, penyajian teks kidung Dewa Yajña disertai dengan analisis aspek kelisanan dan terjemahannya, serta penyajian fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengatag di kehidupan masyarakat.

Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah mendudukkan kidung Dewa Yajña sebagai dokumen yang sangat penting sebagai pengiring upacara sakral dalam perkembangan kesusastraan secara khusus sehingga dengan keberadaannya diharapkan masyarakat adat masih tetap memberikan apresiasi terhadap tradisi lisan di desa Adat Penglipuran.

(11)

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan peneliti, terdapat beberapa penelitian mengenai tradisi atau sastra lisan dalam berbagai bentuk seperti kidung, mantra, dan cerita rakyat lisan. Salah satu penelitian mengenai kidung antara lain berjudul Variasi Bahasa dalam Kidung Pasamuwan Kristen (Wulandari,2012). Penelitian tersebut berusaha membongkar beberapa variasi bahasa yang digunakan dalam kidung Pasamuwan Kristen yang meliputi variasi dalam bahasa Jawa Ngoko, Jawa Krama, dan Jawa Kuno. Wulandari disamping menganalisis variasi bahasa yang terdapat dalam kidung juga mengkaji fungsi beserta variasi morfologis yang terdapat di dalamnya. Secara lebih mengerucut, Wulandari memfokuskan kajiannya dalam proses afiksasi kata dalam kajian morfologisnya.

Kidung Madya Muter (Wirayuda, 2011) mengemukakan mengenai lambang, bentuk, dan struktur kidung Madya Muter yang berkembang dalam masyarakat Bali. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap lambang, bentuk dan struktur kidung yang pada akhirnya peneliti akan mendapatkan titik terang mengenai makna dari setiap simbol yang terdapat di dalam kidung yang akan membawa pembaca lebih memahami ajaran yang terdapat di dalamnya serta dari hasil analisis tersebut dapat diungkap pula mengenai cara pembacaan terhadap kidung Madya Muter.

Penelitian yang berjudul MaI’o dalam Tradisi Sasadu Masyarakat Sahu Telaah Pendekatan Puitika Sastra Lisan (Djumati, 2011) menitikberatkan kepada pengungkapan puitika sastra lisan Ma I’o yang dilihat dari tukang cerita Ma I’o, pertunjukan, masyarakat, dan teksnya. Djumati mengungkapkan bahwa pertunjukan

(12)

Ma I’o dibawakan oleh tukang Ma I’o, pemain musik, dan para penari Salai. Penelitian ini menyatakan bahwa sebuah tradisi Sasadu yang ditampilkan pada saat upacara panen merupakan hasil dari konvensi para tukang cerita terdahulu dengan komposisi teks yang tidak baku mengingat ditemukan terdapat banyak variasi teks Ma I’o.

Kidung Tantri Pisacarana: Suntingan teks, Terjemahan, dan Pendekatan Semiotik (Nyoman, 2007) membahas empat permasalahan pokok yang meliputi transformasi teks Tantri Kamandaka Jawa Kuna ke dalam pernaskahan Bali, sastra kidung dalam tradisi Bali, suntingan dan terjemahan teks Kidung Tantri Pisacarana, serta Kidung Tantri Pisacarana dilihat sebagai sistem tanda dalam proses komunikasi dan signifikansi pengarang dan pembaca. Melalui penelitian ini Nyoman menyatakan bahwa kidung dalam tradisi Bali dipahami sebagai sekar dan merupakan sarana persembahan, ibadat keindahan, serta bagian integral dalam upacara keagamaan di Bali.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini akan mengunakan teori yang dapat mengupas masalah di atas secara mendalam. Untuk itu digunakan teori tentang sastra tradisional yang dikemukakan oleh Lord. Lord menyatakan dalam bukunya The Singer of Tales (1981) bahwa terdapat tiga hal pokok yang berhubungan dengan kelisanan yaitu komposisi, formula, dan performance. Konsep fungsi dalam tradisi lisan sebagaimana yang dikemukakan oleh Teeuw digunakan untuk membedah fungsi dan nilai yang terkandung dalam kidung dan ritual Tumpek Pengatag.

(13)

1.6.1 Formula

Menurut Lord dalam bukunya The Singer of Tales (1981:30 dan 43), formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide yang esensial atau pokok. Formula itu muncul berkali-kali dalam cerita, yang mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau larik. Untuk menghasilkan perulangan itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yaitu mengingat perulangan dan menciptakan melalui analogi dengan perulangan kata, frasa, klausa, dan larik yang telah ada.

Lord (1981:34) menyatakan bahwa penyair-penyair itu tidak menghafalkan puisinya lewat naskah atau tulisan. Setiap penyair tradisional membawakan ceritanya dengan menciptakan kembali secara spontan dan memakai sejumlah unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa) yang tersedia baginya (stock-in-trade) yang siap pakai. Unsur-unsur yang dipakai memperlihatkan bentuk yang identik atau variasi sesuai dengan tuntutan tata bahasa, matra, dan irama puisi yang dipakai.

Dalam setiap pertunjukan tidak ada bentuk penciptaan yang spontan seratus persen, tetapi pencerita memakai sejumlah formula yang merupakan stereotipe yang siap pakai dengan kemungkinan variasi menurut tata bahasa. Persediaan formula disebut stock-in-trade si penyair, pencerita, atau tukang pidato. Setiap kali seorang tukang cerita atau pembawa puisi naratif lisan berpentas, dia mengucapkan kembali secara baru dan spontan gubahannya. Hal itu terbukti bahwa jarang terdapat penghafalan dan tidak ada dua pementasan yang sama, bahkan seorang pencerita yang sama, yang identik penampilannya (Teeuw, 1988:298). Pencerita mempunyai

(14)

kebebasan memilih dan memasangkan formula itu pada saat pertunjukan. Teknik formula dikembangkan untuk melayani dirinya sebagai seorang ahli seniman (Lord, 1981:54)

Konsep kelisanan tidak hanya dimaknai secara presentasi lisan, tetapi juga dimaknai sebagai komposisi selama terjadinya penampilan secara lisan. Upaya untuk mempelajari, menyusun, dan menampilkan suatu karya secara lisan merupakan bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai kelisanan dalam arti teknis atau harfiah (Lord, 1981:5). Penganalisisan terhadap teks harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan. Hal ini dilakukan untuk menentukan formula dengan berbagai variasi polanya (Lord, 1981:45).

Dengan pola formula sebagai dasar, pencerita dapat menyusun larik-larik dengan rapi dan cepat pada posisi tertentu. Dalam penyusunan baris dengan pola formula itu terjadi proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan kebutuhan penceritaan atau penggubahan. Pencerita dapat membangun larik terus-menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Ekspresi formulaik dapat juga membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan (Lord, 1981:30).

(15)

Sweeney (1999:68) menyebutkan bahwa formula adalah larik atau paruh larik yang digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi formulaik adalah ungkapan yang dibentuk menurut pola irama dan sintaksis yang sama serta mengandung sekurang-kurangnya satu kata yang sama, baik dalam bentuk perulangan maupun sinonim. Konsep pola formula dan ekspresi formulaik sebagaimana yang diungkapkan oleh Lord digunakan dalam menganalisis teks kidung

Dewa Yajña. Isi teks yang ditampilkan dalam kidung juga menyampaikan perihal

tema atau ide. Formula dan ekspresi formulaik bertujuan untuk menceritakan kisah-kisah dalam nyanyian dan sajak. Formula merupakan alat untuk menuangkan tema atau ide-ide yang disampaikan kepada audience. Pencerita berpikir dan mempertimbangkan berdasarkan pola formula untuk menyajikan cerita. Penguasaan formula dan tema merupakan syarat utama dalam menggubah cerita secara mudah dan lancar.

1.6.2 Komposisi Sebagai Pengungkap Tema

Lord (1981: 4 dan 68) menyatakan bahwa kelompok-kelompok ide yang secara reguler digunakan dalam menceritakan kisah merupakan tema-tema cerita. Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam cerita. Tema adalah kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema disusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu. Dalam pikiran pencerita yang telah mapan, tema mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh sifat lentur formula dan pencerita tidak memakai formula yang sama pada setiap saat

(16)

penceritaan. Tema bukanlah kreasi seni yang sungguh-sungguh statis, melainkan kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981:94). Tema dapat diekspresikan dengan sekumpulan kata-kata. Pencerita tidak pernah memproduksi tema dengan kata-kata yang persis sama. Ini merupakan suatu keharusan dan bersifat normal. Tema bukan sekumpulan kata yang tetap, melainkan merupakan pengelompokan ide-ide (Lord, 1981:61).

Komposisi skematik merupakan skemata atau formula yang digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan. Skemata atau formula itu diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan dan penggambaran objek yang diceritakan. Dalam sastra Melayu tradisional, skemata merupakan hal yang penting, terutama dalam penceritaan dramatis secara lisan (Sweeney, 1981:40).

Komposisi skematik merupakan cara-cara konvensional dalam menghubungkan peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi cadangan dalam sastra Melayu tradisional. Penyajian lisan dihasilkan dari pengunaan pola-pola, ide-ide, atau tema-tema yang merupakan bentuk komposisi skematis. Dalam penceritaan lisan, seorang performer menggunakan tema-tema yang sama, apapun cerita yang ditampilkan (Sweeney, 1981:64-65).

Lord juga menyatakan aspek kelisanan berupa komposisi tema atau ide gagasan, performance, dan transmisi. Menurut Lord, pembuatan komposisi bagi penyair lisan dilakukan pada saat pencerita melaksanakan performance sehingga komposisi dan performance merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan.

(17)

Performer adalah orang yang memproduksi sastra lisan pada saat performance dan

sekaligus juga sebagai komposer. Penyanyi, performer, komposer, dan penyair adalah orang dengan aspek yang berbeda, tetapi dalam sastra lisan, semuanya itu dapat dilakukan oleh satu orang dalam waktu yang bersamaan. Performance adalah saat berkreasi bagi penyair lisan. Suasana, tempat, dan audience akan mempengaruhi

performance. Audience dapat datang, pergi, dan berbicara dengan sesama penonton

yang lain. Hal ini akan mempengaruhi performance atau mungkin juga performance dapat terputus sejenak (Lord, 1981:13—17).

Keberadaan kidung Dewa Yajña dalam budaya masyarakat Desa adat Penglipuran sebagai produk masa lalu terkait erat dengan tendensi kehidupan kolektifnya. Kidung Dewa Yajña tentu lahir dengan dasar fungsi yang ada di dalamnya. Fungsi inilah yang membuatnya lahir, berkembang, dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Hal ini mengacu kepada Fananie (2002:2) yang menyatakan bahwa karya sastra yang merupakan refleksi kehidupan masyarakat biasanya mengandung persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Oleh karena itu, memahami sastra berarti memahami seluruh proses di mana sastra itu merupakan bagiannya (Eagleton, 2007:6).

1.6.3 Pertunjukan (performance) dan Proses Penurunan Kelisanan

Konsep transmisi dapat dikatakan paralel dengan konsep memori dalam kaitannya sebagai sebuah upaya untuk penurunan tradisi lisan. Memori atau repertoar memiliki dua buah unsur yaitu unsur aktif dan unsur pasif. Proses penurunan sastra

(18)

lisan diawali dengan pertunjukan (performance). Unsur aktif lebih terfokus pada proses memori, yang dengan bekal kreativitas memungkinkan seseorang untuk merekonstruksi atau mereorganisasi terhadap pengetahuan sebelumnya. Sementara itu, unsur pasif berkaitan dengan penyimpanan memori kata per kata yang berarti lebih terfokus pada isi memori (Finnegan, 1992: 114-115). Hal ini juga berkaitan dengan transmisi. Transmisi yang bersifat aktif akan terfokus pada proses transmisi yang berarti melibatkan kreativitas untuk merekonstruksi kidung yang telah diketahui sebelumnya. Transmisi yang bersifat pasif akan terfokus pada isi transmisi dengan cara menyimpannya sesuai dengan apa adanya (kata per kata), sebagimana sesuatu yang bersifat given. Cara penurunan atau transmisi yang bersifat pasif inilah yang digunakan pada kidung Dewa Yajña yang berarti kidung tersebut diturunkan dari seorang guru kepada muridnya dengan menitikberatkan pada isi kidung dengan cara menghafal kata demi kata. Pada tahap ini performance dilakukan oleh penyair pertama yang disebut sebagai guru. Proses penurunan sastra lisan berkaitan dengan komposisi lisan dan transmisi lisan. Tidak dapat dihindari bahwa penyair lisan adalah orang yang mereproduksi apa yang didengar dan dilihatnya. Namun, penyair lisan adalah seorang komposer yang tidak hanya menyajikan sebuah tradisi, namun juga merupakan seniman kreatif pembuat tradisi. Performance atau proses pertunjukan adalah saat penciptaan sastra lisan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan dalam proses pertunjukan tersebut terdapat bagaimana seorang penyanyi atau penyampai atau penutur sastra lisan terpengaruh dengan keadaan di sekitar mereka, terutama penonton (Lord, 1981: 13-14).

(19)

Dua hal yang dimiliki oleh penyair sastra lisan adalah adanya faktor buta huruf dan keinginan untuk mencapai kemahiran dalam membawakan sastra lisannya. Buta huruf yang dimaksud dalam konteks ini adalah sastra lisan berkembang dan lahir ketika masyarakat belum mengenal adanya tulisan. Sastra diturunkan secara turun temurun dari mulut ke mulut dan tidak diketahui siapa penciptanya. Ketika masyarakat pendukung sastra lisan tersebut telah mengenal adanya tulisan, mereka tetap memilih seolah-olah tidak mengenal tulisan, karena sastra lisan yang dibawakan tidak dituangkan ke dalam bentuk tertulis atau dalam bentuk naskah. Seorang penyair lisan dalam proses penurunan pertama secara tidak sadar telah mempelajari tema yang terkandung dalam sastra lisan tersebut melalui apa yang dikatakan oleh pengajar terdahulu atau guru. Tema puisi lisan tersebut kemudian melekat dengannya dan daya tarik puisi lisan tersebut dipertajam lagi dengan adanya pembahasan mengenai tema-tema puisi lisan dengan menggunakan frase-frase yang diulang-ulang yang sering disebut dengan formula (Lord, 1981: 20-21).

Terdapat dua faktor komposisi oral yang tidak hadir dalam tradisi tulis yaitu, ketidaktetapan dan faktor waktu. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:

We must remember that the oral poet has no idea of a fixed model text to serve as his guide. He has models ebough, but they are not fixed and he has no idea of memorizing them in a fixed form. Every time he hears a song sung, it is different. Secondly, there is a factor of time. The literate poet has leisure to compose at any rate he pleases. The oral poet must keep singing. His composition, by its very nature, must be rapid. Individual singers may and do vary in their rate of composition, of course, but it has limits because there is an audience waiting to hear the story.

(20)

Kedua faktor tersebut yang mempengaruhi sebuah komposisi oral. Ketidak tetapan yang dimaksud adalah dalam penyampaian sastra lisan yang dia bawakan, penyair lisan menyuguhkan sesuatu yang tidak tetap kepada penontonnya. Penyair lisan menghafalkan sastra lisan yang dia miliki dengan tidak tetap. Hal ini terjadi bukan karena penyair lisan tidak memiliki pola tertentu dalam proses menghafal, namun dipengaruhi oleh waktu ketika dia melakukan pertunjukan. Waktu dalam pertunjukan tersebut cepat atau lambat tergantung kepada audience dan situasi yang terjadi pada saat pertunjukan dilaksanakan. Penyair lisan melakukan komposisi dengan cepat ketika dia menemukan audience yang masih menunggu untuk mendengarkan cerita. Beberapa penyair menyampaikan cerita cukup lambat dengan jeda yang disisipi musik untuk memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Penyair juga memiliki formula yang ditunjukkan kepada penonton yang dapat menunjukkan waktu. (Lord, 1981:22).

Penyair lisan menggunakan formula, yaitu sebuah sistem frase yang disusun dalam pola ritmis sebagai alat untuk menyelamatkannya dari proses menghafal yang tidak tetap dan sebuah proses komposisi yang cepat. Proses komposisi memiliki tiga tahapan, pertama penyair lisan memilih seseorang untuk dijadikan sebagai panutan dalam menyampaikan sastra lisan. Panutan tersebut yang disebutnya sebagai guru. Guru sangat berperan dalam proses ini, karena penyair lisan mempelajari sebuah bahasa khusus yang tidak didapatkannya dari sekolah. Bahasa inilah yang disebut dengan bahasa puisi, di mana dia mempelajari bahasa dalam pertunjukan yang dilakukan oleh gurunya. Proses kedua adalah yang disebut dengan proses imitasi,

(21)

baik dalam mempelajari instrument ataupun formula dan tema yang disampaikan oleh guru. Proses imitasi sekaligus asimilasi dilakukan melalui pendengaran. Tahap ini berakhir ketika penyair lisan siap untuk melaksanakan pertunjukannya dengan menggunakan bahasa dan formula yang dipelajari dari gurunya. Pertunjukan tersebut, tidak mungkin sama persis dengan pertunjukan yang disuguhkan oleh gurunya, hal ini terjadi karena penyair tidak bisa menyajikan ornament serta komposisi yang sama persis dengan sang guru dengan alasan penyair lisan tidak mengenal tulisan atau dalam kondisi buta huruf. Tahap ketiga penyair lisan tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan, mengkombinasi, dan merenovasi formula. Dengan demikian komposisi dianggap sebagai sarana untuk memperkaya seni (Lord, 1981: 22-25).

1.6.4 Konsep Fungsi

Konsep fungsi dalam kaitannya dengan seni pertunjukan terdiri atas dua buah fungsi, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer berkaitan dengan seni pertunjukan yang disajikan untuk dinikmati, sedangkan fungsi sekunder menempatkan seni pertunjukan bukan sekadar dinikmati, tetapi digunakan juga untuk kepentingan lain, yakni sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat, sebagai media komunikasi massa, sebagai media propaganda politik, sebagai propaganda program-program pemerintah, dan sebagainya (Soedarsono, 2001:170).

Teeuw berpendapat bahwa fungsi sastra apabila didasarkan pada konsep Horace, yakni dulce dan utile, indah dan berguna (1984:184). Fungsi karya sastra disesuaikan dengan sifatnya, yaitu kesenangan yang memberikan kontemplasi dan

(22)

manfaat yang bersifat didaktis. Fungsi sastra dalam masyarakat memiliki tiga fungsi, yaitu sarana menyampaikan ajaran moral atau agama, untuk kepentingan politik pemerintah, dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan (Chamamah-Soeratno, 1994:12).

Tradisi1 lisan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi sarat dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Ia merupakan pembentuk kepribadian, intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat penting dalam pengembangan hidup seseorang (Tilaar, 1999:15). Fungsi sastra sebagai sarana komunikasi menjadi perhatian utama dari masyarakat pecinta sastra Indonesia. Hal tersebut dikaitkan dengan aspek pragmatis karya sastra, baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat masa kini. Jadi, dalam hal ini karya sastra ditempatkan pada konsep bahwa karya sastra hadir dalam rangka fungsi sebagai sarana komunikasi, yakni untuk menyampaikan informasi (Chamamah-Soeratno, 2001:10).

Pencerita dan cerita dalam tradisi lisan memiliki peran dan fungsi yang sangat penting. Teeuw (1994:220) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan, tersimpan informasi dan sistem nilai yang relevan dengan masyarakat yang bersangkutan. Tradisi lisan mempunyai kegunaan (function) di dalam kehidupan bersama suatu kolektif (Danandjaja, 2007:4) karena dalam tradisi lisan terdapat fakta-fakta budaya berupa aspek-aspek yang berkenaan dengan isi yang terkandung di dalamnya serta

1

Tradisi dalam istilah ini dimaksudkan sebagai buah pikiran, kepercayaan, adat-istiadat, pandangan hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi (Baroroh-Baried, 1977:89).

(23)

kaidah-kaidah penyelenggaraannya (Sedyawati, 1995:3-7). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra lisan memiliki fungsi utama sebagai sarana pendidikan, undang-undang, adat-istiadat, nilai, dan norma yang berlaku yang diteruskan dan diamankan secara turun temurun oleh pemiliknya (Teeuw, 1994:22-23).

Sastra lisan mempunyai fungsi sebagai penyimpan berbagai informasi masa lampau, penguat pandangan masyarakat, dan pemberi arah terhadap norma-norma pergaulan di dalam masyarakat (Tuloli, 1990:308). Jika dihubungkan antara sastra dan sosio-budaya masyarakat, dapat ditemukan fungsi sebagai berikut, yakni, afirmasi, yaitu menetapkan norma-norma sosio-budaya yang berada pada waktu tertentu, restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan terhadap norma-norma yang telah hilang, dan negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku (Teeuw, 1982:20).

Teori fungsi tersebut akan dimanfaatkan untuk melihat fungsi kidung Dewa

Yajña di dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra lisan ritual

Tumpek Pengatag memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Desa adat Penglipuran.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi pustaka dan studi lapangan yang mengacu pada pendekatan etnografi. Etnometodologi (Danandjaya, 1998: 36) diartikan sebagai suatu pendekatan yang menekankan dan tertaut dengan peristiwa budaya komunitas tertentu. Oleh karena itu, etnometodologi merupakan

(24)

sesuatu atau apa yang tampak, apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang menampakkan diri sebagai apa adanya, dan apa yang tampak di hadapan kita. Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan dasar teori dan referensi-referensi yang diperlukan. Studi lapangan perlu dilakukan untuk mengamati, mempelajari, dan memperoleh data-data, baik berupa teks cerita yang dibutuhkan maupun pandangan-pandangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.1 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan

Dalam rangka pengumpulan data di lapangan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus dari peneliti, yaitu sebagai berikut:

a. Informan

Informan yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini adalah informan yang berfungsi sebagai pelantun kidung dan pencerita dari upacara Tumpek Pengatag. Spradley (1997: 35) menyatakan bahwa informan hendaknya merupakan seorang pembicara asli atau penutur asli yang merupakan sumber informasi, secara harfiah, mereka menjadi guru bagi peneliti. Dalam konteks penelitian ini, mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan tradisi lisan upacara Tumpek Pengatag yang masih berlangsung di Desa adat Penglipuran.

Informan yang menjadi sasaran dalam penelitian ini ditentukan secara purposif dengan kriteria. Peneliti menerapkan lima kriteria yang harus terpenuhi sebagai standardisasi seorang informan guna mendapatkan informasi yang valid. Kriteria tersebut yaitu yang pertama bersedia menjadi informan, kedua sehat secara jasmaniah dan rohaniah, ketiga memiliki keterbukaan dalam berbagai akses informasi

(25)

yang berhubungan dengan objek kajian tradisi lisan, keempat merupakan warga asli dari Desa adat Penglipuran, dan kelima merupakan penutur asli bahasa daerah setempat dengan baik.

b. Wawancara

Peneliti menerapkan metode wawancara terpimpin atau yang disebut juga interview guide dimana sebelum bertemu dengan informan, peneliti akan mempersiapkan berbagai hal yang akan ditanyakan sehingga berbagai hal yang ingin diketahui dapat lebih terfokus, yaitu peneliti sebagai pewawancara terikat oleh suatu fungsi, bukan saja sebagai pengumpul data tetapi relevan dengan maksud penelitian yang telah dipersiapkan, serta data pedoman yang memimpin jalannya tanya jawab (Supardi, 2006: 100).

c. Perekaman dan Pencatatan

Perekaman data penelitian di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan perangkat handycam, pencatatan, dan wawancara langsung dengan narasumber. Proses perekaman dilakukan dengan alamiah, hal ini dimaksudkan guna mendapatkan data-data penelitian yang benar-benar akurat dan sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Proses perekaman ini juga berfungsi sebagai sarana pendokumentasian dari tradisi upacara Tumpek Pengatag sehingga memungkinkan generasi yang akan datang melisankan kembali tradisi tersebut dengan sumber dokumentasi yang ada. Dokumentasi hasil perekaman ditransfer dalam bentuk CD.

Teknik pencatatan digunakan untuk media pentranskripsian teks dan mencatat berbagai aspek yang berkaitan dengan suasana penceritaan dan informasi-informasi lain yang dipandang perlu selama melakukan proses wawancara.

(26)

d. Penurunan Teks

Proses penurunan teks dilakukan setelah proses perekaman pelaksanaan upacara Tumpek Pengatag selesai dilaksanakan. Pada proses ini peneliti mengubah bentuk teks kidung dari yang semula dalam bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis atau yang disebut juga dengan proses transkripsi teks, karena istilah transkripsi juga cocok untuk penerjemahan materi lisan ke dalam bentuk tertulis, misalnya dari bentuk rekaman ke dalam bentuk halaman (Robson, 1994:66). Data ditranskripsikan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan kemudian disesuaikan dengan masyarakat pendukungnya.

e. Penterjemahan teks

Setelah proses transkripsi selesai dilaksanakan, dilakukan proses penterjemahan pada kidung Dewa Yajña di Desa Penglipuran. Penterjemahan adalah pengalihan amanat antara budaya dan atau antara bahasa dalam tuturan gramatikal dan leksikal dengan efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan (Kridalaksana, 1982:128). Tugas penterjemah adalah menyimak makna yang ada di balik setiap bentuk kata bahasa sumber dengan memperhitungkan konteks (makna kata-kata lain di dalam kalimat) dan konteks (situasi serta faktor lingkungan budaya tempat berlakunya tuturan), mencari padanannya dalam bahasa sasaran, dan selanjutnya mengungkapkan wacana yang secara utuh menggambarkan informasi serta kesan estetis (untuk karya sastra) sebagaimana informasi dan kesan yang diperoleh pembaca karya aslinya (Tandjuddin, 2001: 187). Pada tahapan ini peneliti dengan bantuan warga asli yang juga merupakan penutur asli bahasa Bali

(27)

menterjemahkan hasil transkripsi dengan menyesuaikan konteks dan makna dari kidung Dewa Yajña yang digunakan pada upacara sakral di Desa adat Penglipuran. 1.7.2 Metode Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dilaksanakan Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis atau pengolahan data lapangan. Analisis data dilakukan dengan menerapkan teori sastra lisan Albert B Lord. Guna menganalisis transmisi, komposisi, formula, tema, pertunjukan (performance), peneliti menerapkan langkah kerja penelitian sebagai berikut:

a. Membaca seluruh kidung dari hasil transkripsi dan terjemahan

b. Menganalisis proses transmisi, komposisi, dan performance dalam kidung

Dewa Yajña. Analisis penurunan kelisanan dilakukan dengan cara mengamati

penceritaan serta pengumpulan informasi dari informan yang terfokus pada proses transmisi, komposisi serta pertunjukannya pada tahap pertama.

c. Menggarisbawahi baris, frasa atau kata yang diulang beberapa kali dalam kidung

d. Menganalisis pengulangan-pengulangan kata atau frasa menggunakan teori

formula Albert B Lord. Analisis dikaitkan dengan alasan mengapa pengulangan-pengulangan tersebut digunakan oleh pembaca kidung Dewa

Yajña.

e. Menganalisis tema-tema pokok yang terdapat dalam kidung Dewa Yajña. Tema-tema tersebut kemudian dikaitkan dengan tema inti dari kidung tersebut.

(28)

f. Mendeskripsikan pertunjukan (performance) sesuai dengan pengamatan yang dilaksanakan sejak tahap persiapan upacara yang dimulai pada tanggal 1 Agustus 2012, pelaksanaan upacara adat Tumpek Pengatag yang dilangsungkan pada tanggal 4 Agustus 2012, hingga upacara ritual selesai dilaksanakan pada hari yang sama.

g. Menarik kesimpulan dari semua proses kerja penelitian. h. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan pengantar yang diawali dengan menampilkan pembahasan mengenai latar belakang permasalahan yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Pemaparan selanjutnya adalah dengan merumuskan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini dengan diikuti oleh objek penelitian dan tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti. Tinjauan pustaka selanjutnya dipaparkan dengan tujuan untuk menilik penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan memastikan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu sehingga menjadikan penelitian ini sebagai fresh research yang dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang baru. Teori sastra lisan yang dikemukakan oleh Albert B Lord selanjutnya dipaparkan sebagai alat untuk membedah permasalahan yang ada dengan diikuti oleh metode penelitian sastra lisan. Bab ini ditutup dengan penyampaian sistematika penyajian penelitian. Bab II memberikan pembahasan mengenai kondisi sosial budaya dan tradisi lisan di Desa adat Penglipuran yang meliputi sejarah asal-usul desa, karakter keagamaan, lokasi desa, mata pencaharian penduduk desa, kondisi fisik desa yang

(29)

menganut konsep Tri Mandala, tradisi mangidung dalam masyarakat Bali, tembang dan jenis sastra kidung serta fungsi yang mengikutinya. Bab III berisi mengenai penurunan tradisi lisan dan unsur-unsur kelisanan kidung Dewa Yajña yang diawali dengan analisis proses transmisi. Analisis formula kemudian dijabarkan yang terdiri dari formula kawitan kidung, formula pangawak yang meliputi formula nama tempat persemayaman dewa, formula bebanten sebagai sarana persembahyangan, formula penyebutan nama dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, formula tujuan dan harapan dari pelaksanaan upacara ritual tumpek Pengatag, dan dilanjutkan dengan formula penutup kidung. Analisis mengenai tema dalam kidung selanjutnya dipaparkan dengan diikuti oleh analisis pelaksanaan upacara ritual yang terdiri dari tahap persiapan, prosesi pelantunan kidung, dan prosesi pasca pelaksanaan upacara ritual. Penelitian ini ditutup pada bab IV dengan penyampaian kesimpulan dari penelitian dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan, objek formal penelitian ini adalah semua aspek-aspek yang berkaitan dengan objek material di atas yaitu kondisi fisik koleksi buku langka dengan lingkungan

Penulisan ini bersifat deskriptif, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. 27

Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi

Menengah Pertama (SMP) di Kota Malang. Jika dibangun dalam sebuah model pembelajaran, maka model tersebut adalah model pembelajaran membaca puisi secara lisan

Penelitian Deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mencandra atau mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

Hasil penelitian mengungkap bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kebutuhan jenis informasi ditinjau dari latar belakang pendidikan dan tugas mengajar dosen

Dari permasalahan diatas berkaitan dengan aspek perkembangan anak, sehingga penelitiakan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Metode Bercerita Dengan Boneka

Dari permasalahan yang diuraikan sebelumnya berkaitan dengan penerima beasiswa, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Naïve Bayes untuk Memprediksi