• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Struktur Sambungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Struktur Sambungan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Struktur Sambungan

Sambungan merupakan suatu yang tidak bisa terelakkan pada saat kita membangun suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Sambungan bisa didefinisikan adalah proses penyatuan dua atau lebih unsur atau material dalam rangka menambah suatu panjang atau bidang. Perkuatan utama suatu konstruksi terletak dari kekuatan sambungan pada simpul strukturnya selain dari bahan penyusun struktur tersebut. Desain sambungan didasarkan pada nilai kekuatan pada sebuah alat penyambung yang telah dimodifikasi dengan geometri sambungan dan kondisi penggunaannya (Soltis et al. 1985). Yap (1964) mengemukakan bahwa konstruksi kayu merupakan ilmu yang berkembang dan telah dikenal sejak permulaan abad ke 20 di Jerman, sampai saat ini perkembangannya masih terus dilakukan melalui transisi kajian dari ilmu pengetahuan kayu trandisional menuju ilmu pengetahuan berdasarkan pendekatan matematis yang sudah lama dikenal pada konstruksi baja dan beton.

Sambungan kayu tanpa alat-alat sambungan merupakan cara menyambungkan kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain (Frick et al. 2003). Pada sistem sambungan dengan perekat mempunyai efisiensi 100% sebagaimana kayu tanpa sambungan (Yap 1964). Penggunaan alat-alat sambung lainnya seperti pasak, paku dan baut mempunyai efisiensi berurutan sebagai berikut, yaitu 60%, 50% dan 30%. Baut dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan meskipun mempunyai effisiensi paling rendah dan deformasi yang besar. Sambungan paku dan pasak tidak mencapai kekakuan setinggi pada sambungan perekat, hal ini adalah suatu keuntungan karena tegangan-tegangan sekunder lebih rendah. Perkembangan alat penyambung sampai saat ini merupakan penyempurnaan kekuatan dari alat-alat penyambung sebelumnya. Seperti yang saat ini telah dikenal dengan pelat paku (gang nail), pelat penyambung yang berfungsi sebagai perkuatan dari penggunaan paku sebagai alat penyambung.

(2)

Pasak mempunyai efisiensi terbesar kedua setelah perekat. Material pasak menurut PKKI (1961) harus menggunakan bahan kayu yang keras, besi atau baja. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan, untuk itu pasak berbahan kayu maupun sejenisnya yang merupakan produk hayati yang terbarukan, pengembangan sampai saat ini masih terus diteliti. Soltis el al. (1987) menuliskan bahwa kekuatan lateral pada suatu sambungan berhubungan erat dengan berat jenis, diameter pasak dan arah pembebanan yang terjadi. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun dikarenakan banyak hal, sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan hayati yang dapat menggantikan kayu tersebut sebagai bahan pasak.

Risalah Bambu

Bambu merupakan sumber hayati yang sangat melimpah, dimana sangat mudah hidup di segala jenis lahan dan mempunyai potensi sebagai pengganti kayu. Bambu tidak dipungkiri mempunyai banyak kelemahan, akan tetapi bambu merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan mempunyai banyak manfaat. Bambu merupakan salah satu anggota suku Poaceae atau rumput-rumputan yang berkayu, karena bambu mempunyai karakteristik batang seperti kayu. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui beberapa jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan, baik komponen struktur maupun non struktur.

Pada saat ini diperkirakan lebih dari 1000 jenis atau spesies bambu yang dimiliki dari kurang lebih 80 genus yang ada di dunia ini, dan sekitar 200 spesies dari 20 genus yang telah ditemukan di Asia Tenggara (Prosea 1995). Bambu terdapat pada daerah tropis, sub-tropik dan daerah yang bersuhu sedang dari semua benua kecuali Eropa dan Asia Barat, mulai dari daerah yang rendah sampai 4000 m diatas permukaan laut. Sekitar separuh jenis bambu berkembang di Asia, utamanya di Indo-Birma. Bambu dapat tumbuh secara berumpun pada daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia, sedangkan pada daerah sub-tropika bambu akan tumbuh secara monopodial. Batangnya yang berlubang mempunyai beberapa ruas dan buku-buku, dimana setiap bukunya tumbuh akar dan cabang baru, sehingga dimungkinkkan pembudidayaan dengan stek batang.

(3)

Genus bambu seperti Dendrocalamus dan Gigantochloa merupakan bambu asli dari Asia (Prosea 1995). Sekitar 29 spesies dari genus Dendrocalamus tumbuh di Asia Tenggara, utamanya terdapat pada dataran rendah dari bagian India sampai Indo-China dan semenanjung Malaysia. D. Asper (Schultes f.) Backer ex Heyne dapat tumbuh disepanjang wilayah, dari dataran yang rendah sampai 1500 m diatas permukaan laut, meskipun asalnya tidak diketahui. Gigantochloa dengan sekitar 24 spesies utamanya mengitari wilayah dari mulai Birma (Myanmar), Indo-China sampai semenanjung Malaysia. Telah dicatat bahwa hanya satu jenis spesies Gigantochloa asli dari Jawa, sedangkan yang lain diyakini telah dikenal di daratan Asia selama migrasi penduduk dari utara.

Bambu merupakan tanaman yang unik. Pada umur kurang lebih empat tahun pertama, bambu belum menampakkan pertumbuhannya yang penting, akan tetapi pada saat itulah akar-akar bambu tumbuh subur. Pada tahun kelima, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul. Tumbuh, menjulang ke atas langit. Bambu adalah satu-satunya tanaman di Asia Pasifik yang fungsinya sangat banyak. Berdasar klasifikasinya, bambu tergolong dalam tanaman rumput, tapi bambu adalah rumput spektakuler karena tingginya dapat mencapai 30 meter. Bambu juga merupakan tanaman yang sangat fleksibel. Kita jarang menyaksikan bambu roboh di tengah tumbangnya pohon-pohon lain akibat serangan angin puting beliung, bambu tetap kokoh tak bergeming. Hal tersebut dikarenakan karena selain akarnya yang kuat, juga batangnya yang ikut bergoyang bersama angin. Sementara itu, pohon-pohon lain dengan batang lebih besar, justru tidak kuat menghadapi ganasnya angin. (http://www.hrexcellency.com/ subweb/articles/ articles02.html diunduh pada tahun 2008).

Selain sebagai unsur keindahan alam, bambu sebagai material mempunyai beberapa karakteristik yang sangat menarik dalam hal effisiensi dan nilai ekonomis. Widianto Utomo dalam situsnya www.widiantoutomo.blogspot.com tahun 2007menuliskan beberapa kelebihan bambu, antara lain yaitu :

a. Merupakan tumbuhan cepat tumbuh (dengan siklus pendek);

b. Dapat digunakan sebagai substitusi/menggantikan kayu dan juga kerusakan yang ditimbulkan pada saat pemanfaataannya lebih rendah dibandingkan pada saat menggunakan kayu;

(4)

c. Mempunyai kekuatan seperti kayu, harga yang lebih murah dibanding kayu tetapi mempunyai kelebihan dapat berbagai aplikasi penggunaannya menarik dalam hal efisiensi;

d. Merupakan sumber alam yang dapat diperbaharui; e. Mempunyai nilai ekonomi yang bagus;

f. Membutuhkan biaya yang rendah untuk pembudidayaan, karena tidak diperlukan penanaman ulang;

g. Dapat tumbuh di beberapa jenis tanah;

h. Biaya rendah dalam hal proses produksi dan dapat digunakan berbagai tujuan; i. Tidak diperlukan paku untuk sambungan;

j. Merupakan material yang komplek, hampir semua bagian bambu dapat digunakan (batang, daun dan rebung);

k. Merupakan material yang mempunyai inner-beauty yang belum tampak semuanya.

Bambu selain mempunyai keunggulan material, terdapat pula kelemahan. Kelemahan bambu antara lain diuraikan sebagai berikut :

a. Lama penggunaan material lebih singkat dibanding kayu; b. Lebih komplek dari kayu dalam hal proses dan perawatan; c. Mudah belah sehinga tidak cocok dipaku;

d. Lebih gampang pecah dibanding kayu selama pemrosesan.

Pemanfaatan bambu dapat juga dilihat dalam aspek ekologi maupun tujuan desain pengunaan pada umumnya. Sebagai material desain ekologi bambu adalah bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat melindungi habitat alam, dapat di daur ulang dan mudah di buang, mempunyai emisi rendah dan memerlukan energi yang sedikit dalam pemrosesan serta bersahabat dan aman bagi lingkungan. Sedangkan ditinjau dari desain yang berkaitan dengan karakteristiknya, bambu mempunyai sifat antara lain equitability, yaitu dapat mudah diperoleh seseorang tanpa melihat status sosial (murah), mempunyai sifat lentur, yaitu dapat digunakan untuk beberapa aplikasi yang berbeda. Bambu juga mempunyai sifat sederhana dan intuisi, yaitu material sederhana dimana keindahan ditampakkan dari tekstur serta karakteristik alam dari setiap bambu.

(5)

Bambu merupakan bahan baku yang luas dalam penggunaannya, mulai dari mainan sampai dengan alat musik. Penggunaan bambu antara lain sebagai berikut : sebagai alat musik seperti organ bambu, sebagai elemen interior seperti laminasi, vinir, lantai (parquet), dinding, plafon (baik lurus maupun melengkung), furnitur dan lampu. Bambu dapat dikombinasi dengan material lain sebagai produk baru tanpa menghilangkan sifat alaminya, dipergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari (pakaian dan produk kebersihan), produk dekoratif dimana mempunyai nilai jual yang bagus ketika mempunyai nilai keindahan sebagai produk seni. Bambu dapat pula digunakan sebagai mainan utamanya untuk anak cacat, khususnya penggunaan tekstur dan kemungkinan mampu menstimulasi pengguna untuk berinteraksi dengan produk tanpa pemandu.

Bambu mempunyai karakter dimana memerlukan pemahaman yang bagus dan interaksi antar bambu, seperti alat, keahlian manusia dalam proses dan produk akhir yang ingin dibuat. Bambu merupakan bahan yang kuat dan juga material lembut dimana diperlukan kehati-hatian dan perhatian untuk menemukan keindahan dibalik produknya (sebagai bahan baku). Di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin, bangunan bambu dikenal sebagai bangunan yang eksotik, kuat, tahan lama, dan tahan terhadap pengaruh gempa. Kalau masyarakat Indonesia ingin meniru bangunan bambu di negara-negara maju tersebut, maka bambu yang akan digunakan untuk bahan bangunan dan teknologi konstruksinya harus baik pula (Morisco 2005).

Huichi & Kurz dalam Prosea (1995) menyatakan bahwa bambu yang hadir dengan kekuatannya, kelurusannya, keringanannya, ukurannya yang bervariasi, kemudahan dalam pengerjann dan masa tumbuhnya yang pendek sangat ideal untuk berbagai keperluan meskipun setiap tujuan mempunyai persyaratan tertentu. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang dimiliki setiap jenis bambu berbeda sehingga perlu dievaluasi. McClure dalam Nuryatin (2004) mengungkapkan bahwa batang bambu dalam peranannya sebagai bahan konstruksi mempunyai beberapa karakteristik tertentu yang bersifat membatasi/mengurangi kesesuaian pengunaan namun dapat diminimalkan.

Menurut McClaure, sifat-sifat yang menentukan kegunaan terbaik bambu adalah sebagai berikut :

(6)

1. Rata-rata dimensi bambu; 2. Keruncingan batang; 3. Kelurusan batang;

4. Ukuran dan distribusi cabang; 5. Panjang ruas batang;

6. Bentuk dan proporsi ruas; 7. Ketebalan dinding batang;

8. Proporsi jaringan yang relatif berbeda; 9. Kerapatan dan kekuatan kayu;

10.Kemudahan diserang jamur dan serangga.

Sifat fisik bambu meliputi kadar air, berat jenis, penyusutan akan diuraikan sebagai berikut. Kadar air pada batang bambu mempunyai peranan yang penting dan dapat memberikan pengaruh pada sifat mekaniknya. Kadar air batang pada bambu yang sudah dewasa dan masih segar sekitar 50-90% dan yang belum dewasa antara 80 – 150%, sedangkan bambu yang telah dikeringkan berkisar 12-18%. Kadar air dari bagian bawah menuju ke atas dan pada usia 1-3 akan meningkat, sedangkan pada usia lebih dari 3 tahun kadar airnya akan menurun. Tentunya musim penghujan meningkatkan kadar air dibandingkan musim kemarau. Kerapatan dari bambu berkisar 600-900 kg/m3 pada kadar air 12%. Penyusutan yang terjadi pada bambu tidak seperti pada kayu. Penyusutan pada bambu dimulai setelah proses penebangan tetapi penyusutan yang terjadi tidak seragam. Penyusutan yang terjadi pada ketebalan dinding batang dan diameter (Liese 1985, pada Prosea 1995). Pada bambu dewasa dengan pengeringan sampai kadar air 20%, penyusutan mencapai 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameter. Penyusutan arah radial lebih kecil dibanding arah tangensial, tetapi penyusutan bagian dalam dinding bambu lebih besar dibanding bagian luar.

MOE berhubungan langsung dengan jumlah sklerenkim/vascular bundle, untuk itu pada batang MOE bambu meningkat dengan semakin menurunnya kadar air dan mempunyai korelasi positif dengan berat jenis. MOE merupakan indikasi rasio perbandingan antara tegangan lentur bahan dan deformasi yang disebabkan tegangan lentur tersebut, hasilnya menggambarkan kekakuan dari material yang diuji. Nilai tinggi yang diperoleh akan semakin menurun dari dinding yang terluar

(7)

menuju ke dalam. Bambu dengan kondisi kering udara rata mempunyai MOE sekitar 17 000 – 20 000 N/mm2 dan pada kondisi segar/basah antara 9 000 – 10 100 N/mm2. MOR mengindikasikan tegangan patah/putus pada serat pada saat beban maksimum. MOR batang bambu tanpa buku yang dihasilkan antara 72 - 94 N/mm2, dengan buku berkisar 84 - 129 N/mm2. MOR mempunyai nilai kira-kira 0.14 x berat jenis (dalam kg/m3) untuk kering (kadar air (KA) 12%), dan 0.11 x BJ untuk bambu yang masih segar (Janssen 1990, pada Prosea 1995).Kuat tekan sejajar serat mengindikasikan tegangan yang dikenakan pada arah sejajar serat sampai contoh uji mengalami kerusakan. Nilai kuat tekan berbeda-beda dari bawah sampai atas. Pada bagian bawah berkisar 216 – 388 kg/cm2, bagian tengah antara 266 – 411 kg/cm2 dan bagian atas 310 - 499 kg/cm2. Kuat tekan sejajar serat mempunyai nilai kira-kira 0.094 x berat jenis untuk kondisi kering (KA 12%) dan 0.074 x berat jenis untuk kondisi basah ( KA 60% atau lebih). Bambu mempunyai bentuk yang mengerucut pada sepanjang batang, melingkar pada bidang transversal, bentuk berlubang pada kebanyakan spesies (dimana mengurangi beratnya), sebagai fungsi gradien kekakuan pada penampang melintang untuk menahan lendutan pada arah radial lainnya (Ghavami et al. 2003).

Hakim (2003) telah melakukan penelitian laminasi bambu Andong dengan taraf perlakuan variabel lasan/penguat (baik tunggal maupun ganda) yang terbukti bahwa tidak mempengaruhi MOE. Hal ini dikarenakan adanya lapisan kulit bambu pada lapisan terluar (lasan ke-1 untuk lasan tunggal, lasan ke-2 untuk lasan ganda). Variabel lasan mempengaruhi MOR dimana kekuatan maksimum pada lasan ganda lebih besar daripada lasan tunggal. Beda halnya dengan Hakim, Subiyanto et al. (2004) telah melakukan penelitian pembuatan pasak dari bambu Betung, Tali dan Gombong dengan menganalisa kekuatan pasak yang dipengaruhi oleh sifat mekanis bambu penyusunnya. Pasak yang terbuat dari bambu Betung mempunyai keteguhan patah tertinggi, kemudian diikuti oleh pasak yang terbuat dari bambu Tali dan Gombong. Dengan bambu penyusun yang sejenis, pasak yang berdiameter lebih kecil mempunyai nilai MOE dan MOR lebih baik dibanding dengan diameter yang lebih besar. Berhubungan dengan hal tersebut, sebagai pengganti alat penyambung yang pada umumnya terbuat bahan besi dan baja telah dilakukan beberapa penelitian tentang pemanfaatan bambu sebagai alat

(8)

penyambung yaitu pasak. Pasak dapat dibuat seperti halnya papan laminasi dari bambu.

1. Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) Bambu Betung mempunyai beberapa sinomim yaitu Bambusa aspera Schultes f. (1830), Dendrocalamus flagelifer Munro (1866), Gigantochloa aspera (Schultes F.) Kurtz (1876), dan Dendrocalamus merrilianus (Elmer) Elmer (1915) (Prosea 1995). Bambu Betung dibeberapa daerah di Indonesia mempunyai nama berbeda, misalnya buluh Batung (Batak), awi Bitung (Sunda), pring Petung, Betho, bulu Jawa (Jawa), awo Petung (Bugis), bambu Swanggi (Papua). Bambu Betung di kawasan Asia disebut buloh Beting, buloh Betong, buloh Panching (Malaysia). Di Philipina disebut Bukawe (Tagalog), Botong (Bikol), Butong (Visaya). Di Negara lainnya disebut rebong China (Singapura), Hok (Laos), Phai-tong (Thailand) dan Manh Tong (Vietnam).

Berdasarkan taxonomi bambu Betung dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) :

Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub-kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Familia : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Dendrocalamus

Spesies : Dendrocalamus asper Backer

Kerabat dekat: bambu Sembilang, bambu Batu, bambu Taiwan Tinggi bambu Betung dapat mencapai 20-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang 11-36 mm); jarak buku 8-20 cm (10-20 cm di bagian bawah dan 30-50 cm di bagian atas); coklat tua. Pemanenan dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, puncak produksi mulai umur 5-6 tahun. Batangnya digunakan untuk bahan bangunan (perumahan dan jembatan), peralatan memasak, bahkan juga untuk penampung air. Banyak digunakan untuk konstruksi rumah,

(9)

atap dengan disusun tumpang-tindih, dan dinding dengan cara dipecah dibuat pelupuh. Gambaran dari bambu Betung dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.

Bambu Betung mempunyai dimensi serat pada batangnya rata-rata dengan panjang 3.78 mm, diameter 19 µm, lebar lumen 7 µm, tebal dinding 6 µm. Kadar air batang pada kondisi segar rata-rata 55% (76% pada bawah dan 36% bagian atas). Batang pada kondisi kering udara mempunyai KA rata-rata 15% (15-17% pada bagian bawah-tengah, dan 13-14% bagian atas). Berat jenis sekitar 0.7. Pada kondisi kering udara, penyusutan arah radial sekitar 5 - 7%, arah tangensial 3.5 - 5%. Pada saat kondisi segar (KA 50%) dan kering udara (KA 12%) bambu

Gambar 2 Tunas/rebung dari bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.)) Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda (kanan). Sumber : http:// www.hrexcellency.com /subweb/articles/articles02.html

Gambar 3 Satu rumpun bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) dengan usia lebih dari 10 tahun.

(10)

Betung mempunyai MOR 816 kg/cm2 dan MOE 1 034 kg/cm2, sedangkan kuat tekan sejajar serat adalah 228 kg/cm2 dan 314 kg/cm2 (Prosea 1995).

Pada penelitian Nuriyatin (2000) penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi menunjukkan bahwa bambu Betung, Temen, dan Andong telah memenuhi persyaratan fisik dalam penggunaannya dalam bentuk buluh, namun bambu Tali dan Hitam pada bagian pangkal dapat dipergunakan dalam bentuk buluh sedangkan bagian ujung dalam bentuk bilah.

Kelemahan dari penggunaan bambu sebagai komponen bahan bangunan adalah adanya buku pada buluh bambu, dimana merupakan perlemahan khususnya MOR. Noermalicha (2001) menuliskan bahwa pada bambu Tali dan Betung hasil pengujian MOE tidak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya buku pada bilah laminasi, sedangkan MOR dipengaruhi oleh keberadaan buku pada bilah laminasi dan menurunkan MOR hingga 50%.

2. Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro)

Bambu Sembilang mempunyai sinonim yaitu Bambusa gigantea Wallich (1814). Dibeberapa daerah, bambu Sembilang mempunyai nama lokal, antara lain seperti buloh Betong (Malaysia), bambu Sembilang (Semenanjung), Wabo, Ban, Birma (Myanmar) , Russey prey (Kamboja), Po’ (Laos), po (Thailand), Phai-pok (Thailand bagian utara), m[aj]nh t[oo]ng to (Vietnam) (Prosea, 1995). Adapun dari taxonomi bambu Sembilang dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) :

Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub-kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Familia : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Dendrocalamus

Spesies : Dendrocalamus giganteus

(11)

Keberadaan awal/asal usul dari bambu Sembilang tidak diketahui secara persis. Akan tetapi dapat dimungkinkan di bagian selatan Birma (Myanmar) (Tenasserim) dan barat laut Thailand, serta tanam di daerah Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, Nagaland and Bengal Barat, dan ada beberapa bagian di Negara tersebut. Penanaman bambu Sembilang meningkat di Devisi Kurseong pada tahun 1880-1888, dan diperkenalkan pada Coorg antara tahun 1913-1924. Bambu ini umumnya telah dibudidayakan di Srilanka, India, Bangladesh dan bagian selatan China. Di semenanjung Malaysia telah dijumpai beberapa rumpun tua bambu Sembilang yang menyebar di Penang Hills, tetapi tidak diketahui apakah populasi ini merupakan alami atau pembudidayaan. Bambu Sembilang telah dikenalkan dan ditanam pada beberapa kebun konservasi, seperti di Indonesia (1910), Philipina (1990), Indo-China dan Madagaskar (juga diluar kebun konservasi) (Prosea 1995). Bambu sembilang dapat tumbuh baik pada perbukitan maupun dataran yang banyak mengandung tanah liat, serta dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1 200 m diatas permukaan air laut (http://www. inbar. int/publication/txt/tr17/Dendrocalamus/giganteus.htm diunduh pada tahun 2008). Ketinggian bambu Sembilang mencapai 24-30 m dengan diameter antara 20-30 cm, dan rata-rata tebal dinding batangnya antara 2-2.5 cm. Pada saat muda berwarna hijau pudar, yang dilindungi dengan kulit dengan lilin putih pada saat muda. Jarak antar buku sekitar 30-50 cm dan lebih pendek pada daerah dekat akar atau bagian bawah.

Batang bambu Sembilang banyak digunakan dalam berbagai tujuan, seperti konstruksi, perancah dan rumah di daerah perdesaan, pipa pengairan, keranjang, tiang kapal, tikar, kerai, vas bunga serta ornamen dekoratif lainnya dan industri kertas. Di daerah Siang District of Arunachal Pradesh, Abors dan Mishmis utamanya bambu ini digunakan untuk tempat air (kendi). Kulit batang bambu bagus dibuat sebagai papan bambu, dimana ideal sebagai material dekoratif ruangan dan penggunaan lainnya seperti dinding, plafon, lantai, pintu dan lain-lain. Tunas yang masih muda (rebung) dapat dimakan (lembut dan empuk saat dimasak). Guha et al. (1975) dalam http://www.inbar.int/publication/txt/tr17 /Dendrocalamus/giganteus.htm menuliskan bahwa setelah melaksanakan penelitian tentang pulp menyimpulkan bahwa bahan baku dari bambu Sembilang

(12)

lebih bagus dari pulp kertas dengan bahan baku D. strictus. Penanaman bambu Sembilang dapat sebagai pelindung tanah dalam menahan erosi. Sebagai salah satu spesies bambu yang paling besar mempunyai nilai eksetika yang tinggi sebagai tanaman hias.

Bambu Sembilang mempunyai panjang serat pada batangnya sangat bervariasi yaitu antara 1.4 – 4.6 mm (rata-rata sekitar 2.7 mm), diameter 26 µm, diameter lumen 19 µm, tebal dinding seratnya 3.9 µm. Data ini mengindikasikan bahwa bambu Sembilang berkualitas sebagai bahan kertas. Kadar air (KA) berkisar 19% dengan kerapatan sekitar 900 kg/m3, dan berat jenis (BJ) 0.17. Sifat mekanik bambu Sembilang adalah nilai MOE kurang lebih 140 440 kg/cm2 (Indonesia) dan MOR 1 790 kg/cm2 (Indonesia), 930 kg/cm2 (dengan buku, Brazil) dan 1 240 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil). Nilai kuat tekan sejajar serat rata-rata 615 kg/cm2 (Indonesia), 390 kg/cm2 (dengan buku, Brazil), 460 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil) (Prosea 1995).

Laminated Veneer Lumber (LVL)

Pada suatu konstruksi hal yang perlu diperhatikan selain alat penyambung tentunya material struktur yang disambung, dimana merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Potensi kayu bermutu tinggi terus Gambar 4 Pertunasan Bambu Sembilang(Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro)

(kiri) dan rumpun yang sudah dewasa (kanan).

(13)

mengalami penurunan, berhubungan dengan hal tersebut teknologi kayu terus dikembangkan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi dikenal dengan Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL pertama kali digunakan pada baling-baling pesawat udara dan bagian lain dari pesawat yang mempunyai tegangan yang tinggi, pada masa perang dunia kedua.

Neuvonen et al. (1998) menuliskan bahwa pada periode sebelum tahun 1970-an istilah vinir sedikit banyak mempunyai sinonim dengan plywood. Hal tersebut berubah ketika Troutner dan Herold (di United State of America (USA)) menggunakan laminasi vinir sejajar serta tanpa ada yang melintang dari bagian lapisan teratas dan yang terbawah pada balok I untuk struktur dan memperkenalkan produksinya yang dikenal dengan TJ International (USA) pada awal 1960. LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant 1979).

LVL Pada produksinya dikhususkan untuk bahan baku konstruksi yang menerima beban struktur dengan pola penyusunan diantara vinir adalah arah serat sejajar. Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “end-less”, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi. Sebagai perencana suatu struktur bangunan dengan melihat keunggulan LVL dapat menggunakan LVL ini dengan sangat fleksibel dalam berbagai bentuk desain. Oleh sebab itu banyak penelitian yang mendukung terhadap perkembangan LVL.

Pengembangan dan penggunaan LVL mempunyai prospek yang sangat baik dilatarbelakangi oleh menipisnya persediaan kayu berkualitas tinggi untuk penggunaan struktural telah mendorong dimulainya usaha pengambangan LVL

(14)

sebagai produk struktural (Iman 2001). Pada pengujian mekanik dari LVL Muhadi (2005) melakukan penelitian pengujian LVL yang menunjukkan hasil bahwa MOEtrue posisi tegak mempunyai nilai lebih besar dari MOEtrue posisi

baring. Sebaliknya untuk modulus geser posisi baring lebih besar dibanding dengan posisi tegak. Tetapi untuk MOR posisi tegak mempunyai nilai lebih besar daripada posisi baring.

Dalam suatu konstruksi interaksi antara jenis alat sambung dan bentuk sambungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai rata-rata kekakuan lentur atau MOE dan keteguhan patah atau MOR sambungan balok LVL. Pranata (2004) memberikan hasil penelitian sambungan miring dengan menggunakan alat penyambung kayu lapis dan perekat pada posisi pengujian vertikal memiliki kekakuan dan keteguhan yang tertinggi. Sambungan dengan menggunakan alat sambung kayu lapis dan paku memiliki nilai kekakuan dan kekuatan yang paling rendah. Terdapat kecenderungan bahwa keberadaan sambungan akan menurunkan kekakuan dan kekuatan lentur balok LVL.

Potensi LVL yang telah disampaikan diatas perencanaan sambungan dengan menggunakan pasak dari bambu yang mempunyai kekuatan yang dapat disandingkan dengan baja dan potensi LVL yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu utuh, perlu dilakukan penelitian optimal dari sambungan dengan menggunakan pasak bambu dengan komponen struktur yang disambung adalah LVL. Hal ini dapat diyakini dengan melihat penelitian yang telah dilakukan Irmon (2005) dimana balok laminasi kayu Sengon berpasak dan dilapisi bambu memiliki nilai kekakuan lebih tinggi daripada balok laminasi bambu saja, tetapi lebih rendah dari nilai kekakuan balok laminasi kayu Sengon tanpa pasak dan dilapisi bambu. Dengan mendapatkan optimasi hasil kekuatan sambungan menggunakan pasak pada struktur LVL tersebut dapat memberingan angin segar dalam bidang pemanfaatan sumber hayati yang telah mengalami krisis.

Gambar

Gambar  2    Tunas/rebung  dari  bambu  Betung  ((Dendrocalamus  asper  (Schultes  f.))  Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda (kanan)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri dari 3 bagian: (1) Menilai tingkat pengetahuan guru-guru sekolah dasar mengenai asma dan perawatannya sebelum diberikan edukasi, (2) Memberikan bahan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul Pemeliharaan dan

Penelitian ini dilaksanakan secara survey dengan menggunakan data primer dari responden yang menjadi obyek penelitian, data yang diperoleh dari instrumen penelitian tersebut

Memproduksi citra yang lebih solid dari model yang telah dibentuk, disebut dengan

Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017

Tidak ada pernyataan dalam kebijakan ini yang dimaksudkan atau akan ditafsirkan untuk mencegah karyawan memberikan informasi kepada badan pemerintah, lembaga pengatur, atau

kereta di perlintasan sebidang adalah dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah agar melengkapi fasilitas penunjang pada perlintasan sebidang resmi tidak dijaga

Dan kemampuan membaca anak dalam memahami arti kata dalam cerita sebelum diberi perlakuan (media mind mapping) dikategorikan rendah yaitu 39,58% dan sesudah penggunaan