90
ANALISIS KERAGAMAN POLA PITA DNA ANTAR VARIETAS GANYONG (Canna edulis Ker.) DARI DAERAH KARANGANYAR, SOLO DAN BOYOLALI BERDASARKAN
PENANDA RAPD
Susanti Indriya Wati1, Endang Yuniastuti2, Nandariyah3
1 Mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS 2 Dosen Pembimbing I Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS 3 Dosen Pembimbing II Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS
( e-mail: [email protected] )
ABSTRAK - Ganyong (Canna edulis Ker.) merupakan salah satu umbi-umbian yang dapat kita jumpai di Indonesia. Meskipun tidak sepopuler singkong dan ubi jalar, namun ternyata ganyong mempunyai kandungan gizi dan manfaat yang besar. Dalam pengembangan dan pemanfaatan tanaman ganyong diperlukan beberapa informasi genetik. Namun di Indonesia, informasi genetik masih sangat terbatas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui informasi genetik berdasarkan keragaman pola pita DNA dari beberapa daerah antar varietas ganyong putih dan merah dengan metode RAPD. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus 2013 bertempat di Laboratorium Genetika dan Pemulian Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariate Análisis System) versi 2.02i dengan metode Unweight Pair Group Method Arithmetic (UPGMA) fungsi SIMQUAL (Similarity Qualitative). Hasil penelitian menunjukkan bahwa amplifikasi menggunakan primer OPA-07, OPA-09, OPA-13, OPB-08, dan OPB-10 menghasilkan pola pita DNA yang menunjukkan keragaman antar varietas ganyong merah dan ganyong putih dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali.
Kata kunci : Ganyong, RAPD, primer, keragaman pola pita PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satunya yaitu umbi-umbian. Ganyong (Canna edulis Ker.) merupakan salah satu dari berbagai macam umbi-umbian yang dapat kita jumpai di Indonesia. Meskipun tidak sepopuler singkong dan ubi jalar, namun ternyata ganyong mempunyai kandungan gizi dan manfaat yang besar. Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2009) tiap 100 gram terdiri dari energi 77 kkal; air 79,9 g; karbohidrat 18,4 g;
lemak 0,2 g; protein 0,6 g; besi 1,0 mg; tiamin 0,10 mg; serat 0,8 g; abu 0,9 g; fosfor 67 mg; kalsium 15 mg; dan vitamin C 9 mg.
Kandungan karbohidrat ganyong sebesar 22-28% menjadikan ganyong bahan pangan non beras sebagai sumber energi. Dalam pengembangan bahan bakar nabati yaitu bioetanol, diperoleh dari proses fermentasi gula sumber karbohidrat menggunakan bantuan dari mikroorganisme dan dilanjutkan dengan proses destilata.
91 Selama ini hanya dikenal dua varietas ganyong, yaitu verdes dan morados. Varietas verdes memiliki daun dengan warna hijau terang dan umbi berwarna putih atau biasa disebut dengan ganyong putih. Sedangkan varietas morados memiliki warna daun serta batang hijau tua dengan pinggiran ungu kemerahan sehingga disebut ganyong merah.
Dalam pengembangan dan pemanfaatan tanaman ganyong diperlukan beberapa informasi genetik. Informasi genetik dapat diketahui melalui keragaman genotipe dan fenotipenya. Keragaman genotipe misalnya dapat dilakukan dengan analisis DNA. Sedangkan keragaman fenotipe misalnya pengamatan morfologi, isozym, protein, dan lain-lain. Namun di Indonesia, informasi genetik masih sangat terbatas. Data genetik yang lengkap bermanfaat dalam menentukan metode yang tepat dalam pengembangan dan pemanfaatan tanaman ganyong.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui informasi genetik berdasar-kan keragaman pola pita DNA dari beberapa daerah antar varietas ganyong putih dan merah dengan metode RAPD.
Tujuan penelitian adalah: Untuk mendapatkan informasi keragaman pola pita DNA tanaman ganyong (putih dan merah) dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali berdasarkan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan untuk mendapatkan informasi pengelompokkan pola pita DNA tanaman
ganyong (putih dan merah) dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali berdasar-kan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).
Hipotesis penelitian adalah terdapat keragaman pola pita DNA pada varietas ganyong putih dan merah dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali berdasar-kan metode RAPD.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April – Agustus 2013 yang bertempat di Laboratorium Genetika dan Pemulian Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian adalah daun tanaman ganyong putih dan merah yang diperoleh dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain agarose, sodium asetat, buffer loading, TBE, kloroform, primer, ethanol, aquabidest, isopropanol, master mix untuk PCR, NFW, DNA ladder, CTAB, dan mercaptoethanol.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi mesin PCR (GeneAmp PCR System 9600 dan GeneAmp PCR System 9700), pipet, rak, komputer sebagai alat untuk mengambil gambar, mesin sentrifuse, cetakan agarose (tray), Biorad, Gene Quant, microtube (tabung eppendorf) ukuran 0,5 ml, 1,5 ml dan 2 ml, desikator, vortex,
96-92 well reaction plate, mini beadbeater, elektroforesis tank, inkubator, aspirator, dan timbangan analitik.
C. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu: pengambilan sampel, isolasi DNA yang meliputi ekstraksi DNA dan purifikasi (pemurnian) DNA, uji kualitas dan kuantitas DNA, seleksi primer, serta reaksi amplifikasi dan elektroforesis. Tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian yang dilakukan untuk keragaman antar varietas ganyong sama dengan tahapan yang dilakukan untuk keragaman varietas ganyong yang ditanam pada berbagai wilayah, meliputi : Pengambilan sampel, isolasi DNA (ekstraksi DNA), uji kualitas dan kuantitas DNA, seleksi primer, reaksi amplifikasi dan elektroforesis, dan analisis data menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariate Análisis System) versi 2.02i dengan metode Unweight Pair Group Method Arithmetic (UPGMA) fungsi SIMQUAL (Similarity Qualitative) (Rohlf (2000) dalam Mansyah et al., 2003). Matriks kemiripan genetik dihitung berdasarkan koefisien Dice.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Seleksi Primer
Seleksi primer dilakukan untuk mendapatkan hasil primer yang dapat mengamplifikasi pita DNA dengan hasil yang banyak dan polimorfik. Seleksi
primer ini digunakan untuk mencari primer yang dapat mengamplifikasi DNA ganyong. Primer yang dipilih untuk analisis keragaman DNA ini memiliki kriteria khusus, diantaranya pita yng dihasilkan mudah dibaca, keadaan pita jelas, menghasilkan pita yang polimorfik, dan pita DNA yang dihasilkan relatif stabil. Dalam RAPD, primer yang digunakan umumnya mengandung 50%-80% G+C. Penelitian ini menggunakan 5 primer operon dari 15 primer yang diseleksi terdiri dari OPA dan OPB. Primer-primer tersebut yaitu OPA 7, OPA 9, OPA 13, OPB 8 dan OPB 10 (Tabel 1.)
Menurut Azrai (2005), orientasi dan jumlah sekuen komplementer dalam genom tanaman terhadap primer ber-hubungan langsung dengan jumlah produk amplifikasi PCR. Analisis RAPD perlu dilakukan pemilihan primer karena setiap primer memiliki situs penempelan khusus yang berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan yang mana setiap jumlah pita DNA dan ukuran banyaknya pasang basa berbeda. Hartati (2007) juga menyatakan bahwa suatu bentuk variasi genetik yang terjadi dalam rantai DNA disebut polimorfisme. Hasil yang diperoleh dianalisis lebih lanjut dengan data binner. Data binner diperoleh dari pembacaan pita yang ada (1) dan tidak ada (0). Primer yang terpilih didasarkan pada pita DNA yang dihasil-kan banyak dan bersifat polimorfik. Perbedaan jumlah pita yang dihasilkan tiap primer berbeda-beda, hal ini
93 disebabkan karena primer yang digunakan tidak teramplifikasi dengan baik pada pasang basa tertentu mengakibatkan pita-pita DNA tidak nampak sehingga hanya sedikit pita DNA yang dapat diamati (Hartati, 2006). Hal ini dapat menggambarkan bahwa genom tanaman kompleks atau beragam sehingga akan menghasilkan pita yang kompleks pula.
Tabel 1. Jenis dan susunan basa dari 17 primer yang diseleksi
No Primer Urutan basa
nukleotida (5’-3’) Kandungan G+C (%) 1 OPA 01 CAGGCCCTTC 70 % 2 OPA 02 TGCCGAGCTG 70 % 3 OPA 06 GGTCCCTGAC 70 % 4 OPA 07* GAAACGGGTG 60 % 5 OPA 09* GGGTAACGCC 70 % 6 OPA 13* CAGCACCCAC 70 % 7 OPA 17 GACCGCTTGT 60 % 8 OPB 03 CATCCCCCTG 70 % 9 OPB 05 TGCGCCCTTC 70 % 10 OPB 06 TGCTCTGCCC 70 % 11 OPB 07 GGTGACGCAG 70 % 12 OPB 08* GTCCACACGG 70 % 13 OPB 09 TGGGGGACTC 70 % 14 OPB 10* CTGCTGGGAC 70 % 15 OPB 13 TTCCCCCGCT 70 % 16 OPB 14 TCCGCTCTGG 70 % 17 OPB 19 ACCCCCGAAG 70 %
* : Primer yang terpilih berdasarkan banyak pita dan polimorfik
Gambar 2. Amplifikasi pada Seleksi Primer OPA-1, OPA-2, OPA-6, OPA-9, OPA-13, 3 dan OPB-5 menggunakan sampel DNA ganyong merah
Boyolali dan ganyong putih Karanganyar
B. Berdasarkan Primer Primer OPA-07
Menurut Powell et al., (1996), untuk membedakan suatu genotipe diantara individu dapat dilakukan menggunakan markah DNA. Total pita DNA yang dihasilkan dari amplifikasi dengan
primer OPA-07 sebanyak 18 pita yang semuanya polimorfik. Dari Jumlah rata-rata pita per sampel antara 1-4 pita DNA. Ganyong putih Boyolali menghasilkan pita DNA paling sedikit, yaitu 1 pita DNA, sedangkan pita DNA paling banyak dihasilkan oleh Ganyong putih Karanganyar dan Ganyong merah Boyolali masing-masing sebanyak 4 pita DNA.
Berdasarkan tebal tipisnya pita DNA dapat diketahui bahwa pada pasang basa 1000 bp dengan sampel ganyong putih Karanganyar, merah Solo dan merah Boyolali serta pada pasang basa 300 pada sampel ganyong merah Boyolali, nampak bahwa pola pita DNA lebih tebal dibanding dengan yang lainnya. Hal ini diduga disebabkan faktor kemurnian DNA. Seperti yang dikatakan oleh Poerba dan Martanti (2008) bahwa kemurnian dan konsentrasi DNA mempengaruhi intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer. Hasil amplifikasi pita DNA yang tipis disebabkan karena adanya kandungan senyawa-senyawa seperti fenolik dan polisakarida pada cetakan DNA. Dilihat dari bentuk pola pita sampel ganyong putih Karanganyar dan sampel ganyong merah Solo memiliki kemiripan, hanya ketebalan pita DNA e pada pasang basa 300 lebih tebal daripada b. Setelah ditelusuri lebih lanjut hal ini dikarenakan benih tanaman ganyong yang di tanam di Karanganyar berasal dari daerah Boyolali. Hal ini diasumsikan kedua sampel ini tahan terhadap kekeringan. Pertumbuhan tinggi
94 tanaman kedua sampel mencapai lebih dari 1 meter meskipun pada musim kemarau dan mampu berbunga meskipun tidak semua bunga yang muncul dapat bertahan hidup lama.
Dalam dendogram, diperoleh dua kelompok pada koefisien kemiripan, yaitu kelompok A yaitu terdiri dari ganyong putih Solo dan ganyong merah Boyolali mengelompok pada koefisien kemiripan 0,50. Hal ini dapat dilihat pada hasil interpretasi pola pita DNA, yang mana dibedakan atas satu pola pita DNA yaitu pada pasang basa 1000 yang tidak dimiliki oleh ganyong putih Solo. Sedangkan kelompok B, ganyong merah Solo mengelompok dengan ganyong merah Boyolali, putih Karangnyar dan Merah Karanganyar pada keofisien kemiripan 0,75. Hal ini terlihat dari hasil interpretasi pola pita DNA pada pasang basa 300 yang tidak dimiliki oleh ganyong putih Solo. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan ganyong putih Boyolali, yang mana sampel tersebut tumbuh di bawah naungan pohon. Hal ini diasumsikan sampel ganyong putih Karanganyar memiliki daun yang lebih lebar dan lebih tipis yang berfungsi untuk menangkap sinar matahari guna proses fotosintesis.
Primer OPA-09
Berdasarkan hasil pola pita DNA menggunakan primer OPA-09 menunjuk-kan bahwa jumlah total pita sebanyak 26
pita terdiri dari polimorfik dan monomorfik. Jumlah rata-rata pita per sampel antara 3-5 pita. Pita paling sedikit terdapat pada sampel ganyong merah Karanganyar dan ganyong putih Solo. Sedangkan yang lainnya menghasilkan masing-masing 5 pita DNA.
Berdasarkan hasil tebal tipisnya pita DNA dapat diketahui bahwa pada pasang basa 700 sampel ganyong putih Karanganyar, ganyong merah Solo, ganyong merah Boyolali dan ganyong putih Boyolali memiliki pita DNA dengan ketebalan yang sama. Hal ini diduga karena kemurnian DNA pada sampel tersebut lebih tinggi dibanding yang lainnya. Hasil fragmen pita tidak terlihat pada visual atau pita yang sangat tipis pada gel disebabkan konsentrasi DNA terlalu rendah (Haris et al., 2003). Dilihat dari bentuk pola pita DNA diketahui bahwa sampel putih Karanganyar, ganyong merah Solo, ganyong merah Boyolali dan ganyong putih Boyolali memiliki bentuk pola pita yang sama sedangkan sampel ganyong merah Karanganyar dan putih Solo memiliki pola pita yang hampir sama. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi kedua sampel tersebut dimana keduanya tumbuh pada lahan dengan tanah yang subur meskipun tanpa pemupukan. Selain itu keduanya tumbuh pada lahan tanpa naungan.
Berdasarkan hasil interpretasi dapat diketahui bahwa pada ganyong putih Solo memiliki pasang basa 650, 900 dan 1150
95 yang tidak dimiliki oleh sampel yang lain. Sedangkan pada sampel ganyong merah Karanganyar tidak memiliki pasang basa pada ukuran 900 dan 1150. Hal ini juga nampak pada dendogram yang menunjukkan bahwa sampel ganyong merah Karanganyar mengelompok dengan ganyong putih Solo pada koefisiens kemiripan 0.71. Hal ini diduga karena kondisi lingkungan yang antara Karanganyar dan Solo tidak jauh berbeda. Seperti yang dikatakan Sitompul dan Guritno (1995) bahwa sifat genetik tanaman berada di bawah pengaruh faktor lingkungan yang mempengaruhi penampilan bentuk tanaman. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perubahan morfologi diantaranya adalah kelembaban, kondisi tanah, suhu, ketinggian tempat, jenis tanah dan iklim. Hal ini diasumsikan kedua sampel tersebut memiliki tinggi tanaman yang hampir sama, rata-rata kurang dari 1 meter. Menurut Sastra (2000) ukuran tanaman lebih tinggi dikarenakan tanaman pada kondisi intensitas cahaya rendah tanaman akan mengalami etiolasi dan memanjang ke arah datangnya cahaya demikian pula sebaliknya. Hal ini nampak pada sampel tanaman ganyong dari daerah Karanganyar dan Solo tinggi tanamannya lebih pendek dibandingkan lokasi lain karena cahaya matahari yang diterima lebih banyak dan langsung mengenai tanaman, sedangkan kalau dibawah naungan tanaman harus mencari karena terhalang oleh penaung. Ganyong
putih Karangnyar, merah Solo, merah Boyolali dan putih Boyolali mengelompok pada koefisien kemiripan 1.
Primer OPA-13
Hasil amplifikasi yang diperoleh meng-gunakan primer OPA-13 menunjukkan hasil bahwa rata-rata sampel meng-hasilkan 2- 4 pita DNA dengan total pita DNA pada semua sampel adalah 19 pita yang terdiri dari 1 monomorfik dan 18 polimorfik. Sampel yang paling sedikit menghasilkan pita adalah sampel ganyong putih Solo yaitu hanya 1 pita DNA, disusul sampel ganyong putih Boyolali yang hanya menghasilkan 2 pita DNA. sedangkan sampel yang lain menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 4 pita DNA.
Berdasarkan tebal tipisnya pita DNA dapat diketahui bahwa pada 400 bp menunjukkan pita DNA nampak lebih tebal pada sampel ganyong putih Karanganyar, merah Solo, putih Solo dan merah Boyolali. Sedangkan pada 1000 bp nampak pita DNA yang tebal adalah sampel ganyong putih Karanganyar dan merah Boyolali. Ketebalan pita DNA ini diduga berhubungan dengan kemurnian sampel yang tinggi. Seperti halnya yang dikatakan Haris et al., (2003) yang menyatakan bahwa penyebab fragmen terlihat tebal sehingga sulit dibedakan antara pita yang satu dengan pita yang lain karena konsentrasi DNA yang tinggi. Berdasarkan pola pita DNA, dapat diketahui bahwa pola pita sampel
96 ganyong merah dan putih Karanganyar, merah Solo dan merah Boyolali memiliki pola pita DNA yang sama. Hal ini diduga karena sampel-sampel tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan dari segi morfologi baik ganyong merah maupun ganyong putih meliputi warna daun, tinggi tanaman, warna bunga, dan sebagainya. Seperti yang pernyataan Sofro (1994) dalam Wigati (2003) yang menyatakan bahwa semakin jauh kekerabatan ditandai dengan semakin sedikitnya ciri-ciri yang dimiliki, demikian pula sebaliknya. Semakin dekat kekerabatannya maka semakin banyak pula persamaan ciri-ciri yang dimiliki.
Pada sampel ganyong ganyong putih Solo tidak ditemukan pita hasil interpretasi pada 700, 800, dan 1000 pasang basa. Sedangkan pada sampel ganyong putih Boyolali tidak ditemukan pita hasil interpretasi pada 700 dan 800 pasang basa. Dari hasil dendrogram juga dapat dilihat bahwa sampel ganyong putih Boyolali dan putih Solo mengelompok pada koefisien kemiripan 0,75. Sedangkan sampel yang lain yaitu ganyong merah Karangnyar, putih Karanganyar, putih Solo dan merah Boyolali mengelompok pada koefisien kemiripan 1. Hal ini dikarenakan bahwa sampel ganyong yang ditanam di Karanganyar berasal dari Boyolali. Hal ini diasumsikan morfologi tanaman meliputi daun, bunga dan buah ganyong dari kedua daerah tersebut memiliki
persamaan bentuk pada masing-masing ganyong merah dan ganyong putih. Primer OPB-8
Amplifikasi dengan primer OPB-8 hanya mampu menghasilkan total 10 pita DNA yang semuanya polimorfik. Jumlah pita DNA tiap sampel rata-rata 1-3 pita DNA. Pita yang paling banyak diperoleh pada sampel ganyong putih Karanganyar, sedangkan pita paling sedikit ditemukan pada sampel ganyong merah Karanganyar, putih Solo dan putih Boyolali yang hanya menghasilkan 1 pita DNA. Hal ini diduga rata-rata sampel menunjukkan hasil bahwa DNA yang dapat teramplifikasi hanya terdapat pada pasang basa terendah dan tertinggi yang diasumsikan warna daun dan ketahanan sampel tersebut.
Berdasarkan tebal tipisnya pita DNA dapat diketahui bahwa pita DNA pada pasang basa 1000 terdapat tiga sampel ganyong yang pita DNA-nya nampak lebih tebal dibanding yang lainnya yaitu ganyong putih Karanganyar, ganyong merah Boyolali dan ganyong putih Boyolali. Hal ini diduga karena kurang tepatnya penggunaan primer seperti pernyataan Poerba dan Martanti (2008) yang menyatakan bahwa kemampuan primer mengenali urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA yang digunakan mempengaruhi intensitas dan jumlah pita DNA mengakibatkan pita DNA pada pasang basa antara 350-750 tidak nampak.
97 Pita DNA pada 750 pasang basa merupakan pita pembeda karena hanya terdapat pada sampel ganyong putih Karanganyar. Pembeda yang lainnya yaitu pita DNA pada pasang basa 350 yang hanya dimiliki oleh sampel ganyong merah Karanganyar dan pita DNA pada pasang basa 950 yang hanya dimiliki oleh sampel ganyong putih Boyolali. Berdasarkan hasil dendogram juga dapat diketahui bahwa sampel ganyong merah Karanganyar, putih Solo, merah Solo dan merah Boyolali mengelompok pada koefisien kemiripan 1. Keempatnya mengelompok dengan sampel ganyong putih Karanganyar pada koefisien kemiripan 0,33. Sedangkan sampel ganyong putih Boyolali mengelompok dengan semua sampel pada koefisien kemiripan 0,33. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan masing-masing sampel tanaman ganyong. Salah satunya adalah ganyong putih Boyolali yang tumbuh di bawah naungan. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa hasil dan informasi yang disandi dalam urutan DNA – genom dan dari interaksi informasi tersebut dengan lingkungannya menentukan bentuk dan fungsi (fenotipe) tumbuhan. Menurut Elfrod dan Stansfield (2007), faktor internal yang mempengaruhinya yaitu enzim dan hormon, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi misalnya kualitas cahaya dan temperatur.
Primer OPB-10
Hasil amplifikasi menggunakan primer OPB-10 rata-rata sampel menghasilkan 2-5 pita DNA. pita DNA terbanyak yaitu 2-5 pita DNA diperoleh pada sampel ganyong merah dan ganyong putih Boyolali, sedangkan pita DNA paling sedikit diperoleh pada sampel putih Solo yang hanya berjumlah 2 pita DNA. Jumlah seluruh pita DNA yang dihasilkan adalah 22 pita DNA yang mana dua diantaranya monomorfik. Berdasarkan hasil amplifikasi ditemukan bahwa pita ukuran 400 bp pada sampel ganyong merah Karanganyar merupakan pembeda dari semua sampel yang ada. Hal ini diduga adanya faktor hama penyakit yang menyerang sampel tersebut.
Berdasarkan tebal tipisnya pita DNA dapat diketahui bahwa dari beberapa sampel yang digunakan beberapa diantaranya menunjukkan ketebalan DNA yaitu pada pasang basa 250 dengan sampel ganyong merah Solo dan ganyong putih Solo serta pada pasang basa 600 dengan sampel ganyong putih Karanganyar, merah Solo, putih Solo, merah Boyolali dan putih Boyolali meskipun ketebalan pita DNA nampak kurang begitu jelas. Hal ini diduga karena pengaruh suhu pada saat annealing. Seperti penyataan Sanjaya (2002) yang menyatakan bahwa rendahnya suhu annealing yaitu dibawah 50-60 0C menyebabkan ketebalan pita DNA yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan produk yang dihasilkan mempunyai
98 spesifitas rendah. Selain itu, apabila dilihat dari pola pita DNA yang dihasilkan menunjukkan bahwa sampel ganyong merah Solo sama dengan pola pita ganyong sampel ganyong merah Boyolali dan putih Boyolali. Hal ini diduga karena faktor lingkungan kedua lokasi pengambilan sampel tersebut sama yaitu berada pada ketinggian diatas 180 mdpl sehingga banyak ditemukan persamaan morfologi seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar daun.
Berdasarkan hasil dendogram juga dapat diketahui bahwa sampel ganyong merah Karanganyar mengelompok dengan ganyong putih Solo pada koefisien kemiripan 0,83, sama halnya dengan sampel ganyong putih Karanganyar dan ganyong merah Solo akan tetapi keduanya mengelompok dengan ganyong merah Boyolali dan putih Boyolali pada koefisien 0,67. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang digunakan di Karanganyar berasal dari Boyolali sehingga keduanya membentuk kelompok.
Hal ini diasumsikan warna daun ganyong. Perbedaan warna daun karena keragaman fenotip tanaman selain itu juga karena faktor lingkungan, tingkat kesuburan tanah yang berbeda (pemupukan) dan umur tanaman (fase pertumbuhan) tanaman. Seperti yang dikemukakan Djukri (2006) pengaruh naungan meningkatkan kadar klorofil a dan kadar klorofil b. Lingkungan yang
berbeda yang dimaksud adalah cahaya matahari yang menyebabkan daun menjadi kuning karena terlalu banyak cahaya yang diterima, sebaliknya Tanaman yang ternaungi lebih hijau dibandingkan tanaman ganyong yang ditanam tanpa naungan yang warna daunya berubah menjadi hijau pucat atau hijau agak kuning. Perubahan ini menyesuaikan dengan kondisi kekurangan cahaya sehingga lebih efisien dalam menangkap energi cahaya untuk pertumbuhannya (Sopandie et al.,2003).
Gambar 11. Pola pita DNA Enam Sampel Ganyong dengan primer OPA-07 (a), OPA-09 (b),
OPA-13 (c), OPB-08 (d) dan OPB-10 (e) M : marker, 1.Ganyong merah Karanganyar, 2.Ganyong putih Karanganyar, 3. Ganyong merah Solo, 4. Ganyong putih Solo, 5. Ganyong
merah Boyolali, 6. Ganyong putih Boyolali
Keterangan :
MK: Merah Karanganyar, PK: Putih Karanganyar, MB: Merah Boyolali , PB: Putih Boyolali, MS: Merah Solo, PS: Putih Solo
Gambar 12. Dendrogram pengelompokkan enam varietas ganyong berdasarkan pola pita DNA
99 C. Berdasarkan Gabungan Primer
dengan Sampel dari Seluruh Daerah Pengelompokan spesies ke dalam beberapa kelompok tertentu atau mengklasifikasi tanaman berdasarkan data yang diidentifikasi secara morfologi dapat dilakukan menggunakan analisis cluster. Selain itu, dengan menggunakan analisis cluster dapat pula dilihat kedekatan hubungan kekerabatan antar spesies. Analisis ini banyak digunakan untuk mengklasifikasikan tanaman berdasarkan hasil survei untuk mendapatkan data keragaman tanaman pada suatu tempat untuk menyusun pohon dendrogram (Plotkin et al., 2002).
Berdasarkan hasil dendogram dapat diketahui bahwa dendogram membentuk dua kelompok. Kelompok A terdiri dari sampel ganyong merah Solo dan ganyong merah Boyolali yang mengelompok pada koefisien 0,88. Kedua sampel ganyong tersebut mengelompok kembali dengan sampel ganyong putih Karanganyar pada koefisien kemiripan 0,85. Tidak hanya sampai disitu, ketiga sampel ini kemudian memgelompok kembali dengan sampel ganyong putih Boyolali pada koefisien kemiripan 0,58. Yang terakhir, sampel-sampel ganyong tersebut mengelompok dengan sampel ganyong putih Solo pada koefisien kemiripan 0,52. Hal ini diduga sampel tersebut memiliki kemiripan pada variabel tinggi tanaman, bentuk daun, warna daun dan besar batang. Tanaman yang ditanaman merupakan dua varietas ganyong yang
berbeda jadi keragaman divariabel warna sudah jelas semuanya berbeda, karena faktor pembeda yang sangat jelas antar varietas ganyong adalah warna. Kemiripan yang terjadi diduga karena perlakuan yang sama, umur tanaman dan kondisi lingkungan yang sama.
Kelompok B hanya ditemukan sampel ganyong merah Karanganyar yang membentuk kelompok dengan sampel ganyon yang lainnya pada koefisien kemiripan 0,38. Hal ini membuktikan bahwa beberapa sampel ganyong yang digunakan pada dasarnya memiliki persamaan. Apabila ada terdapat perbedaan maka hal itu disebabkan oleh adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi. Seperti yang dikatakan oleh Suryanto (2008), menyatakan bahwa perubahan nukleotida penyusun DNA mengakibatkan keragaman genetik, perubahan ini dapat mempengaruhi mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu atau fenotipe organisme yang dapat dipantau dengan mata telanjang. Pada sampel ganyong merah Karanganyar ini diduga karena adanya faktor hama penyakit yang mengakibatkan beberapa kerusakan pada daun sampel yang digunakan.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Amplifikasi menggunakan primer OPA-07, OPA-09, OPA-13, OPB-08, dan OPB-10 menghasilkan pola pita DNA yang menunjukkan
100 keragaman antar varietas ganyong merah dan ganyong putih dari daerah Karanganyar, Solo dan Boyolali.
2. Pengelompokkan dengan metode UPGMA pada enam sampel ganyong yang cenderung memisah adalah ganyong putih Solo dan ganyong putih Boyolali
B. Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu penambahan primer lainnya agar data yang diperoleh semakin banyak dan semakin valid.
DAFTAR PUSTAKA
Azrai, M. 2005. Pemanfaatan Markah Molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Jurnal AgroBiogen. 1 (1) : 26-37.
Djukri. 2006. Karakter Tanaman dan Produksi Umbi Talas Sebagai Tanaman Sela di Bawah Tegakan Karet. Biodiversitas. Vol.7, No 3
Elfrod, S. dan Stansfield, W. 2007. Genetika. Edisi Keempat. Penerjemah: Damaring, T. W. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Haris, N., H. Aswidinoor, N.T. Mathius, A. Purwantara. 2003. Kemiripan Genetik Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Berdasarkan Metode Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP). Menara Perkebunan. 71 (1) : 1-15.
Hartati, D. 2006. Keragaman Genetik Sengon (Albazia falcataria L. Fosberg) Melalui DNA Marker di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (P3HT).Yogyakarta. Laporan Kerja Lapang.
---, D. 2007. Pendugaan Keragaman Genetik Dalam Dan Antar Provenan Pulai (Alastonia scholaris (L.) R. Br.) Menggunakan Penanda RAPD. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Elex Media Komputindo, Jakarta. Plotkin JB, Chave J, Ashton PS 2002.
Cluster Analysis of Spatial Patterns in Malaysian Tree Species. The American Naturalist. 16(5) : 629-644. Poerba, Y. S. dan Martanti, D. 2008.
Keragaman Genetik Berdasarkan Marka Random Amplified
Polymorphic DNA pada
Amorphopallus muelleri Blume di Jawa. Jurnal Biodiversitas 9 (4) : 245 – 249.
Powell, W., M. Margonte, C. Andre, M. Hanafey, J. Vogel, S. Tingey and A. Rafalski. 1996. The Comparison Of RFLP, RAPD, AFLP And SSR Markers Of Germplasm Analysis. Molecular Breeding. 2 : 225-238.
Salisbury, F.B dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Penerjemah : Diah R Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. Sanjaya, L., G.A. Wattimena, E. Guharja,
M. Yusuf, H. Aswidinoor, dan P. Stam. 2002. Keragaman Ketahanan Aksesi Capsicum Terhadap Antraknose (Colletotricum capsici) Berdasarkan Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (2) : 37-42.
Sastra, D. R. 2000. Identifikasi Keragaman Genetik Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) Berdasarkan Marka Morfologi. Direktorat Teknologi Budidaya Pertanian. Jakarta
Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti, dan Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati. 10(2): 71-75.
101 Suryanto, D. 2008. Melihat
Keanekaragaman Organisme Melalui BeberapaTeknik Genetika Molekuler. Digital Library. PS Bioteknologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara.
Wigati, E. 2003. Variasi Genetik Ikan Anggoli (Pristipomoides multidens) Berdasarkan Pola Pita Allozyme. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.