• Tidak ada hasil yang ditemukan

[Makalah] Perbedaan Penentuan Awal Bulan Hijriyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "[Makalah] Perbedaan Penentuan Awal Bulan Hijriyah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penentuan awal bulan Hijriah merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji, terutama pada penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Islam. Pada dasar pijakan hukumnya sama, namun dalam implementasinya sering terjadi perbedaan. Walaupun penentuan awal bulan Hijriah ini merupakan persoalan klasik, namun selalu muncul polemik terutama menjelang awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Tidak mengherankan saat menjelang Ramadhan sering terjadi perselisihan di tengah-tengah masyarakat.

Kaum muslim di seluruh dunia tentu akan menjalani salah satu rukun Islam yakni berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, penentuan 1 Ramadhan membutuhkan perhitungan matang dan akurat. Hal itu disebabkan kalender Islam (Qomariyah) merujuk pada perputaran bulan sedangkan perhitungan kalender masehi, kalender yang digunakan di Indonesia merujuk pada perputaran matahari (Syamsiyah). Oleh sebab itu, penentuan 1 Ramadhan harus didahului dengan memastikan apakah bulan baru atau dalam ajaran Islam disebut hilal telah muncul di ufuk timur.

Di Indonesia, terdapat dua metode yang dipergunakan dalam penetapan awal puasa ramadhan. Metode pertama dikenal dengan istilah rukyat. Metode ini menggunakan pandangan mata apakah bulan baru telah muncul saat maghrib atau tidak. Metode kedua dikenal dengan istilah hisab. Metode hisab menentukan 1 Ramadhan dengan perhitungan matematika astronomi.

Sebagian orang mungkin awam dengan penentuan awal bulan hijriah tersebut. Sehingga menurut kami, topik ini penting untuk dikaji agar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak lagi awam dengan hal tersebut. Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan mencoba membahas secara global mengenai polemik perbedaan penentuan awal bulan Hijriah dan bagaimana cara menyikapinya.

(2)

2 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Fakta apa saja yang sering terjadi di Indonesia mengenai penentuan awal bulan Hijriah terkait pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan dan Hari Raya Islam?

2. Apakah perbedaan penentuan awal bulan Hijriah terjadi di negara lain? 3. Mengapa terjadi perbedaan penentuan awal bulan Hijriah?

4. Bagaimana cara menentukan awal bulan Hijriah?

5. Bagaimana solusi untuk mengatasi perbedaan penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan fakta-fakta yang sering terjadi berkaitan dengan penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah baik di Indonesia maupun di negara lain. Kemudian menelaah penyabab terjadinya perbedaan tersebut, serta cara menyikapinya.

D. Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, yaitu Bab 1 Pendahuluan. Bagian ini memaparkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan pembuatan makalah. Bagian kedua, yaitu Bab 2 Isi makalah yang membahas mengenai perbedaan penentun awal bulan Hijriyah. Bagian ini terdiri dari beberapa sub bab, yaitu fakta penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah; dasar-dasar hukum penentuan awal bulan Hijriyah; perbedaan penentuan awal bulan Hijriyah ditinjau dari konsep rukyah; perbedaan dalam ijtima‟; dan solusi mengatasi perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Bagian ketiga, yaitu Bab 3 Kesimpulan dan Saran. Bagian ini berisi kesimpulan yang diberikan oleh penyusun atas apa yang telah dikaji dalam makalah dan saran mengenai

(3)

3 penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia dan kaitannya dengan ibadah yang dilakukan umat muslim.

BAB II

PERBEDAAN PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH (RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH)

Penentuan awal bulan Hijriah (Qomariyah) sangatlah penting terutama bagi kaum muslimin, karena masalah ini menyangkut masalah wajib „ain bagi umat Islam, yaitu kewajiban menjalankan ibadah puasa dan haji. Sebagai contoh apabila ibadah puasa dilaksanakan sebelum waktunya maka ibadah puasa tersebut dinyatakan tidak syah atau batal. Namun sebaliknya, apabila telah dinyatakan masuk waktunya untuk berpuasa, sementara umat Islam belum juga melaksanakannya, maka umat Islam tersebut berarti telah melalaikan ibadah puasa sebagaimana yang telah diwajibkan oleh Allah SWT yang tercantum dalam al-Qur‟an.

Pada dasarnya perbedaan pandangan dalam penentuan awal bulan Qomariah lebih kepada perbedaan dalam menginterpretasikan ayat maupun hadits yang menjadi dasar hukum dalam penentuan awal bulan tersebut. Kemudian ditambah lagi dengan beragamnya sistem perhitungan, metode dan kriteria yang digunakan merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam penentuan awal bulan Qomariah. Berikut ini dipaparkan permasalahan mengenai penentuan awal bulan Hijriah secara global.

A. Fakta Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Beberapa hal terkait penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia seringkali mengalami perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Hampir setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah awal puasa Ramadhan dan berhari raya, baik hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha. Pemerintah dan pengurus lembaga-lembaga Islam seperti ormas disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan Ramadhan dan Syawal tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat sebagai pengikut setia acap

(4)

4 kali dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan ormas serta lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda.

Misalkan pada tahun 1432 Hijriyah atau 2011 Masehi, berdasarkan sidang Itsbat pemerintah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sesuai dengan keputusan Menteri Agama Nomor 148 tahun 2011 tertanggal 29 Agustus 2011, tentang Penetapan 1 Syawal 1432 H. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011.

Beda lagi pada tahun 1433 Hijriah atau 2012 Masehi, potensi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri kembali terjadi. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan bahwa awal Ramadhan jatuh hari Jumat, 20 Juli 2012, berdasarkan hisab hakiki hilal. Sedangkan ormas NU menetapkan pada awal Ramadhan jatuh tanggal 21 Juli 2012 sama dengan hasil sidang itsbat yang dilakukan pemerintah pada Kamis malam, tanggal 19 Juli 2012.

Awal Ramadhan 1434 Hijriah atau 2013 Masehi, kembali memunculkan perbedaan sebagai konsekuensi dari perbedaan metode yang digunakan. Pemerintah menetapakan 1 Ramadhan jatuh pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Sedangkan Muhammadiyah mengumumkan awal Ramadhan jatuh pada hari Selasa, 9 Juli 2013. Meskipun pelaksanaan awal Ramadhan berbeda, penetapan 1 Syawal 1434 H jatuh pada saat yang bersamaan antara pemerintah dan Muhammadiyah yaitu pada tanggal 8 Agustus 2013. Dan mayoritas masyarakat Indonesia merayakan Idul Fitri pada tanggal tersebut. Kecuali kalangan tertentu yang tergolong minoritas, misalnya jamaah Tarekat Naqsyabandiyah (Sumatra Barat) yang ber-Idul Fitri pada Selasa 6 Agustus 2013 ataupun jamaah an-Nadzir (Sulawesi Selatan) yang telah menunaikan shalat hari raya pada Rabu 7 Agustus 2013.

Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa belum ada satu hal yang pasti untuk menyatukan beberapa pendapat yang berbeda tersebut. Secara umum, perbedaan tersebut dapat dikarenakan faktor daerah pengamatan hilal dan cara menentukan hilalnya.

(5)

5 Untuk meminimalisir hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia, sebagai lembaga islam yang mewakili negara telah mengeluarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa tersebut berisi sebagai berikut. 1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan

metode ru‟yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.

4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla‟nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Walau begitu, di Indonesia masih sering terjadi perbedaan penentuan awal bulan Hijriyah, baik awal bulan Ramadhan, awal Syawal maupun Dzulhijjah. Hal ini mencerminkan bahwa dengan adanya kontrol dari negara pun, penentuan awal bulan Hijriyah yang terkait dengan ibadah umat Islam belum terlaksana dengan baik.

B. Dasar-dasar Hukum Penentuan Awal Bulan Hijriah

Dasar-dasar hukum penentuan awal bulan Hijriah diantaranya adalah dari Al-Qur‟an dan Hadits. Tidak sedikit terjadi perbedaan persepsi dalam menafsirkan ayat maupun hadits sehingga memicu perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriyah.

Dasar hukum penetuan awal bulan Hijriyah berdasarkan hadits di antaranya :

(6)

6 Artinya : ”Humaid bin Mas‟adah Al-Bahily bercerita kepadaku : Bisr bin Mufadhal bercerita kepada kami : Salamah bin Al-Qamah bercerita kepada kami, dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar, Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda: “(jumlah bilangan) bulan ada 29 (hari). Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal maka berbukalah. Namun apabila kalian terhalangi (oleh mendung) maka kadarkanlah.” (HR. Muslim)

Artinya : “Yahya bin Yahya bercerita kepada kami, ia berkata : Aku berkata kepada Malik dari Nafi‟, dari Ibnu Umar dari Nabi SAW. Bahwa beliau menyebutkan Ramadhan seraya bersabda : “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal, dan janganlah kalian berhenti puasa hingga melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung) maka tetapkanlah (hingga Sya‟ban) untuknya.”(HR. Muslim)

Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “Faqduru᷈ lahu”. Sebagian ulama termasuk Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa lafadz “Faqduru᷈ lahu” memiliki makna “sempitkanlah dan kira-kirakanlah keberadaan bulan ada di bawah awan.” Ibnu Suraij dan beberapa ulama seperti Muhtraf bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa makna “Faqduru᷈ lahu” adalah “kira-kirakanlah dengan melakukan perhitungan terhadap manazil (posisi atau orbit bulan).” Sedangkan Imam Malik, Syafi‟i, Abu Hanifah, beserta jumhur ulama, berpendapat bahwa lafadz “Faqduru᷈ lahu” mempunyai arti “kira-kirakanlah dengan menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya‟ban menjadi 30 hari.”

(7)

7 memberi kabar kepada kami: dari Ibnu Syihab, dari Sa‟id bin Musayyab, dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal) maka berbukalah. Namun apabila kalian terhalangi (oleh mendung), maka berpuasalah selama 30 hari.” (HR. Muslim)

Namun ada pula yang berpendapat dalam pemaknaan lafadz “Faqduru᷈ lahu” adalah menggabungkan antara hasil pemikiran Ibnu Suraij dengan hasil pemikiran jumhur ulama, yakni dengan melakukan perhitungan terlebih dahulu terhadap manazil (orbit bulan), tapi jika hasil dari perhitungan tersebut tidak memadai, maka hasil pendapat kedua (jumhur ulama) patut kita gunakan.

C. Perbedaan Penentuan Awal Bulan Hijriah ditinjau dari Konsep Rukyah Untuk menelaah lebih lanjut tentang perbedaan- perbedaan penentuan awal bulan dipandang dari segi mazhab rukyah, maka terlebih dahulu kita mengetahui pengertian rukyah itu sendiri. Menurut bahasa, rukyah berasal dari kata Ra‟a-yaraa-rukyahan. Kata tersebut berarti melihat, mengerti, menyangka, menduga, dan mengira atau perceive (merasa), notice, observe (memperhatikan/melihat) dan discern/to behold (melihat).

Sedangkan rukyah menurut istilah adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam tanggal 29 Qomariyah. Selain itu, hilal dalam konsep penganut rukyah adalah Bulan sabit yang „dilihat pertama kali‟ sesaat setelah terbenamnya matahari paska ijtima‟ (konjungsi). Hilal dianggap dapat terlihat dan malamnya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah, dan berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut :

1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2°, dan

2. Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi/lintang) tidak kurang dari 3°, atau

3. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas ijtima‟ berlaku.

(8)

8 Jadi, jika rukyah berhasil, maka sejak matahari terbenam itu sudah dihitung bulan baru. Tetapi sebaliknya bila belum dapat dilihat, maka sejak matahari terbenam itu sudah dihitung bulan baru, kalau tidak terlihat, maka malam itu dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang berjalan dengan digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.

Secara garis besar Rukyah al-hilal dapat dikategorikan menjadi 2 : 1. Rukyah al-hilal bil Fi’li (secara visual)

Rukyah al-Hilal yaitu usaha melihat hilal dengan mata biasa dan dilakukan secara langsung atau dengan menggunakan alat bantu, yang dilakukan setiap akhir bulan Qomariyah (tanggal 29) di sebelah barat ketika matahari terbenam. Jika hilal berhasil dilihat, maka sejak malam itu sudah dihitung tanggal baru bulan baru. Sebaliknya, jika tidak berhasil, maka malam dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan tersebut digenapkan 30 hari. Tetapi perlu diketahui, bahwa sistem rukyah ini hanya bisa dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan ibadah, dan tidak bisa diaplikasikan untuk menyusun kalender. Sebab penyusunan kalender harus diperhitungkan jauh sebelumnya dan tidak tergantung pada hasil rukyah.

Seperti dalam Q.S. Al-An‟am ayat 76 – 78 :

“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (76)

(9)

9 “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” (77)

“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (78)

Terdapat dua perbedaan pemahaman mengenai rukyah al-hilal yang seringkali terjadi. Perbedaan tersebut yaitu sebagai berikut.

a) Pemahaman mathla’

Mathla adalah tempat terbitnya benda-benda langit (dalam hal ini bulan). Dalam istilah ilmu falak mathla‟ adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal. Dengan kata lain mathla adalah batas geografis keberlakuan rukyah.

Pertama, ada pendapat yang menyatakan bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini memakai argumentasi bahwa kitab dari hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan rukyah, ditujukan kepada seluruh umat Islam di dunia tanpa membedakan letak geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Kelompok ini menggunakan mathla‟ global atau universal.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah, kekuasaan hakim yang menetapkan atau memberi keputusan atas hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan Rukyah fi al-wilayah al-hukmi.

(10)

10 Bahkan, selain itu ada juga pendapat yang hanya memberlakukan rukyah sebatas pada daerah yang dianggap memang memungkinkan adanya rukyah tersebut. Namun pendapat ini jarang sekali diikuti.

Dari ketiga perbedaan di atas, setidaknya kita dapat mencoba memodifikasikannya dengan memberlakukan mathla‟ wilayah al-hukmi pada suatu tempat dan waktu tertentu, dan sebaliknya, memberlakukan mathla‟ global secara kondisional sesuai tempat-tempat tertentu pula. b) Pemahaman ‘Adil’

Adil dalam hal ini, maksudnya yaitu bahwa seorang ahli yang melakukan rukyatul hilal haruslah dapat bersikap netral, tidak memihak, tidak berat sebelah, serta berpegang pada kebenaran. Penilaian „adil‟ seseorang dalam hal melihat hilal sangat berkaitan dengan perhitungan hisab, di mana rukyah itu dilakukan. Sebagaimana kasus dalam tiga kali berturut-turut yakni : 1 Syawal 1412, 1413, dan 1414 H. yang pada saat itu terjadi laporan kesaksian melihat hilal, padahal hilal masih berada di bawah ufuk, sehingga laporan tersebut tidak diterima. Hal ini menyatakan bahwa rukyah merupakan tindakan pembuktian atas hisab karena pada dasarnya baik hisab maupun rukyah tidak dapat ditinggalkan salah satunya.

Kewajiban rukyah al-hilal secara visual ini dibebankan hanya kepada sebagian muslim. Jika sudah ada orang yang sudah berusaha untuk melihat hilal, maka kewajiban bagi muslim lain secara otomatis telah gugur. Dengan kata lain, hukum melakukan rukyah hilal bi al-fi‟li adalah fardhu kifayah.

Terdapat dua pendapat batas minimal kesaksian dalam rukyah al-hilal. Pertama, ketika rukyah al-hilal digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, maka kesaksian seorang yang adil sudah dapat diterima. Sedangkan kedua, ketika rukyah al-hilal dipakai untuk menentukan awal bulan Syawal (Idul Fitri), maka kesaksian yang hanya berasal dari seorang yang adil belum bisa diterima. Setidaknya dibutuhkan dua orang saksi yang adil dalam masalah ini.

(11)

11 2. Rukyah al-hilal bil Ilmi (menggunakan ilmu pengetahuan)

Rukyah al-hilal bil Ilmi yaitu menggunakan metode hisab. Sebelum kita jauh menelaah tentang metode hisab ini, maka alangkah baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui pengertian hisab tersebut.

Hisab menurut bahasa berarti hitungan, aritmatika atau ilmu hitung, perhitungan, kalkulus, komputasi, estimasi atau penilaian, dan penaksiran. Jadi, ilmu hisab adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Sedangkan hisab menurut istilah adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan.

Metode hisab sendiri dibagi menjadi dua, yaitu : a) Hisab „Urfi

Hisab „urfi adalah sistem perhitungan sederhana dalam penanggalan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak tahun 17 Hijriyah, oleh khalifah Umar sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi. Para ulama di kalangan umat Islam sepakat bahwa hisab „urfi tidak dapat digunakan dalam pentuan awal bulan Qomariyah dan untuk pelaksanaan ibadah, kecuali untuk pembuatan kalender. Dalam satu tahun kalender Hijriyah, umur bulan ada yang berjumlah 29 dan 30 hari. Bulan ganjil berumur 30 hari, sedang bulan genap 29 hari. Tetapi khusus bulan ke 12 (Dzulhijjah) pada tahun kabisat qomariyah berumur 30 hari.

b) Hisab Haqiqi

Hisab haqiqi adalah perhitungan yang sesungguhnya dan seakurat mungkin terhadap peredaran bulan mengelilingi bumi, dengan menggunakan kaidah ilmu ukur segi tiga bola (spherical trigonometry). Perputaran bulan haqiqi selama satu tahun adalah 354,367 hari atau 354 hari 8 jam 44 menit 35 detik. Jumlah hari dalam tiap bulannya tidak tetap dan tidak beraturan, terkadang dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. Terkadang pula bergantian seperti perhitungan hisab „urfi.

(12)

12 Umur bulan yang bervariasi tersebut tidak dapat diterapkan dalam metode ini.

Dari segi akurasinya, sistem hisab haqiqi ini diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut.

(1) Hisab Haqiqi Taqribi

Sistem hisab ini bersumber dari data yang telah disusun oleh Ulugh Beik Al-Samarqhandi (wafat: 1420 M.) yang biasa dikenal dengan nama “Zeij Ulugh Beyk”. Adapun pengamatan yang digunakannya berasal dari teori Claudius Ptolomeus (geosentris), yakni teori yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat peredaran benda-benda langit. Salah satu kelebihan teori ini adalah data-data dan tabel-tabelnya dapat digunakan secara terus menerus tanpa harus diubah. menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya “kurang-lebih”, yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari

Beberapa contoh kitab yang masih komitmen menggunakan sistem hisab haqiqi taqribi di antaranya : Sullam al-Nayirain oleh Muhammad Manshur Ibn Abdil Hamid ibn Muhammad ad-Damiri al-Batawi, Tadzkirah al-Ikhwan, Risalah al-Qomarain, dan Qawaid al-Falakiyah.

(2) Hisab Haqiqi Tahqiqi

Sistem perhitungan hisab ini didasarkan pada data astronomi yang telah disusun oleh syeikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir. Pengamatannya didasarkan pada teori Nicolas Copernicus, yakni teori Heliosentris yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat peredaran benda-benda langit. Sistem ini menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtima‟ (konjungsi) dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometri) dengan koreksi data gerakan bulan maupun matahari yang dilakukan dengan

(13)

13 teliti dan membutuhkan bantuan alat hitung elektronik berupa kalkulator, computer, dan daftar logaritma. Kitab-kitab yang menggunakan sistem ini diantaranya : al-Khalashah al-Wafiyah, dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.

(3) Hisab Haqiqi Tathqiqi (Kontemporer)

Dasar perhitungan sistem hisab ini menggunakan data-data astronomi modern dan merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi tahqiqi yang digabungkan dengan ilmu astronomi modern. Sistem ini mengacu pada data astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan terbaru. Perhitungan pada sistem ini dilakukan dengan cara memperluas dan menambahkan koreksi gerak bulan dan matahari dengan spherical trigonometri, sehingga diperoleh data yang sangat teliti dan akurat. Jadi, selain alat hitung elektronik, sistem ini juga menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui koordinat lintang dan bujur. Beberapa buku yang berpedoman pada sistem ini di antaranya : Newcomb, Jean Meuus, Almanak nautika, dan The American Ephemeris.

Hadits Hisab Rukyah Hadits Ibn Umar :

ُيْنَع ُ َّاللَّ َيِضَر َرَمُع ِنْت ِ َّاللَّ ِذْثَع ْنَع ٍعِفاَن ْنَع ٌكِلاَم اَنَثَّذَح َحَمَلْسَم ُنْت ِ َّاللَّ ُذْثَع اَنَثَّد ََ َّلََ ِ َّاللَّ ٌَََُُر ََّّ ََ اَم َّتَح اٌُمٌُصَت َلَ ََاَقَف ََّ اَضَمَر َرَكَر َمَّلًََُ ِوْيَلَع ُ َّاللَّ َل َلَِهْلا اْوَرَت َلًََ َّتَح اًُرِطْفُت هْوَرَت ْمُكْيَلَع َّمُغ َّْ ِإَف ُوَل اًُرُذْقاَف( يراخثلا هاًر) َّنلا ْنَع اَمُيْنَع ُ َّاللَّ َيِضَر َرَمُع ِنْتا ْنَع ٍعِفاَن ْنَع ٍكِلاَم َلَع ُخََْرَق ََاَق َيْحَي ُنْت َيْحَي اَنَثَّذَح ُ َّاللَّ َّلََ صيِث َّنََ َمَّلًََُ ِوْيَلَع َّتَح اٌُمٌُصَت َلَ ََاَقَف ََّ اَضَمَر َرَكَر ُو َل َلَِهْلا اْوَرَت اًُرِطْفُت َلًََ ه ْوَرَت ىَّت َح ْمُكْيَلَع َيِمْغَُ َّْ ِإَف َُ ُوَل اًُرِذْقاَف( ملسم هاًر)

Artinya : “Jangan kalian berpuasa sampai melihat bulan sabit, dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya. Dan jika mendung menghalangi maka kadarkanlah padanya”

(14)

14 Hadits Abu Hurairah :

ََ ْنَع ِةَّيَسُمْلا ِنْت ِذيِعَُ ْنَع ٍباَيِش ِنْتا ْنَع ٍذْعَُ ُنْت ُميِىاَرْتِإ اَنَرَثْخََ َيْحَي ُنْت َيْحَي اَنَثَّذَح َيِضَر َجَرْيَرُى يِت ْنَع ُ َّاللَّ اَرِإ َمَّلًََُ ِوْيَلَع ُ َّاللَّ َّلََ ِ َّاللَّ ٌََُُُر ََاَق ََاَق ُو َل َلَِهْلا ْم تْيَأَر اَرِإًَ اٌُمٌُصَف هى م تْيَأَر َّمُغ َّْ ِإَف اًُرِطْفَأَف َُ اًم ٌَْي َنيِث َلََث اٌُمٌُصَف ْمُكْيَلَع( ملسم هاًر)

Artinya : “Jika kalian melihat bulan, maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah. Tapi jika kalian tertutupi mendung, maka berpuasalah tiga puluh hari.”

Hadits-hadits hisab rukyah mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, yang semuanya merupakan akar dari lahirnya aliran dan mazhab dalam penetapan awal bulan Qomariyah, di antaranya sebagai berikut.

1. Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas orang yang tidak melihatnya.

2. Melihat di sini melalui mata. Karenanya ia tidak berlaku atas orang buta (matanya tidak berfungsi).

3. Melihat (rukyah) secara ilmu bernilai mutawatir (berurutan atau kontinu) dan merupakan berita dari orang yang adil.

4. Nash tersebut mengandung juga makna zhan sehingga mencakup ramalan dalam nujum (astronomi).

5. Ada tuntutan puasa secara kontinu jika terhalang pandangan atas hilal manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.

6. Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.

7. Perintah hadits tersebut ditujukan kepada kaum muslimin secara menyeluruh. Namun pelaksanaan rukyah tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.

8. Hadits ini mengandung makna berbuka puasa.

9. Rukyah itu berlaku pada hilal bulan Ramadlan dalam kewajiban berpuasa, tidak untuk ifthornya (berbuka).

(15)

15 D. Perbedaan dalam Ijtima’

Ijtima‟ kumpul atau bersama, yaitu posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur yang sama (conjuntion) bila dilihat dari arah timur maupun barat. Para astronom murni menggunakan ijtima‟ ini sebagai pergantian bulan Qomariyah, sehingga ia juga biasa disebut dengan istilah new moon. Adapun ijtima‟ ini terdiri menjadi 2 antara lain :

1. Ijtima’ semata

Paham ini menetapkan bahwa awal bulan Qomariyah mulai masuk ketika terjadinya ijtima‟. Bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan planet) merupakan pemisah diantara dua bulan. Kriteria awal bulan yang ditetapkan oleh aliran ijtima‟ semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyat. Dengan artian tidak mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak, karena aliran ini semata-mata hanya berpegang pada astronomi murni.

Ketika menentukan awal bulan Qomariyah, aliran ini biasanya memadukan saat-saat ijtima‟ tersebut dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut menjadi berkembang dan akomodatif. Fenomena alam yang dihubungkan dengan saat ijtima‟ tersebut tidak hanya satu, sehingga aliran ijtima‟ ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil, yaitu Ijtima‟ qabla al-ghurub, Ijtima‟ qabla al-fajar, Ijtima‟ dan terbit matahari, Ijtima‟ dan tengah hari, Ijtima‟dan tengah malam.

2. Ijtima’ dan posisi hilal di atas Ufuk

Aliran ini mengatakan bahwa, awal bulan Qomariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima‟ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Jadi, kriteria umum aliran ini adalah awal bulan Qomariah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terbenam matahari setelah terjadi ijtima‟, dan hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.

Aliran ini hampir mirip dengan aliran ijtima‟ qabla al-ghurub namun perbedaanya, aliran ijtima‟ qabla al-ghurub tidak memperhatikan posisi hilal

(16)

16 di atas ufuk pada saat terbenam matahari. Sedangkan aliran ini selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk.

Dengan kata lain, walaupun ijtima‟ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat dikatakan awal bulan Qamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari. Aliran ini terbagi menjadi tiga cabang, antara lain Ijtima‟ dan ufuk haqiqi, Ijtima‟ dan ufuk hissi, Ijtima‟ dan imkan al-Rukyat.

E. Solusi Mengatasi Perbedaan Penentuan Awal Bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan mengapa terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah, terutama pada awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang seringkali memicu perselisihan di tengah-tengah masyarakat. Perselisihan (khilafiyah) dalam masalah agama itu banyak, tidak hanya masalah penentuan awal Ramadhan saja. Dari segi siapa yang berselisih, khilafiyah dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu khilafiyah diantara ulama dan khilafiyah diantara orang awwam (umat secara umum)

Sehingga kita sering dapati masalah-masalah yang para ulama tidak berselisih tentangnya, namun orang-orang awam memperselisihkannya. Demikian juga masalah-masalah yang sudah terdapat dalil yang terang benderang, namun ternyata di tengah masyarakat menjadi perselisihan juga.

Dengan demikian masalah khilafiyah itu menjadi sangat banyak, karena bagi orang awam hampir tidak ada masalah yang lepas dari perselisihan. Bahkan perkara-perkara yang sudah diterima secara luas kebenarannya pun masih ada saja segelintir orang yang memperselisihkan. Contohnya mengenai wajibnya shalat dan wajibnya memakai jilbab, ada saja sebagian orang awam yang memperselisihkannya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‟alaihi wa sallam bersabda,

(17)

17 ْدع ب مك ى م شع ٔ هم ً وإ ف ، إ ش ب ح ادب ع نإَ ةعاط لاَ عمس لاَ الله ُِق ت ب مك ٕ ص َأ ةى س َ ٓت ى س ب مك ٕ ل ع ف ، ارٕ ث ك ا فلا ت خا ِرٕ س ف اٍب اُكسم هٔد ارلا هٕٔدٍملا ا ل لا ، ُع َا علٌٕا لاوَا ، َإٔاكم ُمحد ا مَ إو ل محد دع ، ُكل دع ل

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, juga agar mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia budak Habasyah. Karena barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Peganglah dengan erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham. Dan hendaknya kalian menjauhi perkara yang diada-adakan, karena yang diada-adakan dalam agama itu bid‟ah dan semua bid‟ah itu sesat” (HR. Abu Daud, 4607, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2735)

Ternyata perselisihan yang banyak ini sudah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‟alaihi wa sallam, dan beliau sudah memberikan solusinya. Allah Ta‟ala juga berfiman:

ر خ ٖا ُ ٕ لا َ ا ب نُ ى م م ت ى ك ن إ ُ س رلا َ الله ّ ل إ يَ ر ف ٓ ٓ ف م ت ع ا ى ن إ ف ل لأ َ ه س ح أ َ ر ٕ خ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Jika demikian solusi yang ditawarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan yaitu :

1. Kembali kepada Al Qur‟an

2. Kembali kepada sunnah Nabi melalui hadits-haditsnya,

3. Kembali kepada pemahaman para Khulafa Ar Rasyidin dan juga para sahabat Nabi

4. Meninggalkan perkara bid‟ah

Maka, terkait perselisihan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan maupun bulan Haji, solusinya adalah kembali

(18)

18 kepada dalil-dalil syar‟i sesuai apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan disepakati oleh para ulama Islam yang memerintahkan untuk menggunakan ru‟yatul hilal dalam penentuan awal bulan Hijriah. Jadi, bukan kembali kepada keyakinan masing-masing, bukan kembali pada pendapat ormas, pendapat partai atau pendapat tokoh agama. Setiap mukmin hendaknya tasliim, menerima dengan lapang dada dalil-dalil yang telah ditetapkan syariat dalam masalah ini serta menerima dengan lapang dada ijma-nya para ulama Islam.

Telah kita ketahui bahwa masing-masing metode penentuan awal bulan Hijriah memiliki pijakan kuat berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits. Masing-masing metode memiliki hujjah-nya sendiri. Ustadz Sarwat, pengasuh rubrik “Ustadz Menjawab” di eramuslim.com menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dalam banyak masalah cabang syariah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin ditampik dan mustahil dihilangkan. Demikian secara umum yang berlaku untuk setiap masalah furu‟iyah dalam masalah kajian fiqih. “Namun khusus untuk penetapan tanggal 1 Syawwal, 1 Ramadhan atau pun 1 Dzulhijjah, seharusnya ada kesepakatan di antara para mujtahid. Tidak diserahkan kepada masing-masing orang untuk menetapkan sendiri-sendiri”.

Di masa kita sekarang ini di mana khilafah sudah tidak ada lagi, tradisi menyerahkan urusan jadwal Ramadhan dan Syawwal kepada otoritas penguasa tertinggi yang ada di tengah umat Islam tetap berlangsung.

Rakyat Mesir yang merupakan gudang ulama dan ilmuwan, tetap saja menyerahkan masalah ini kepada satu pihak. Bersama dengan pemerintah yang resmi mereka sepakat menyerahkan masalah ini kepada Grand Master Al-Azhar (Syaikhul Al-Azhar). Dan yang menarik, begitu Syaikhul Al-Azhar menetapkan keputusannya, semua jamaah di Mesir baik Ikhwanul Muslimin, Ansharussunnah, Takfir wal jihad, Salafi sampai kepada kelompok-kelompok sekuler sepakat untuk taat, tunduk dan patuh kepada satu pihak.

Hal yang sama juga kita saksikan di Saudi Arabia. Meski di sana ada banyak jamaah, kelompok, dan aktifis yang sering kali saling menyalahkan dan

(19)

19 berbeda pendapat, tetapi khusus untuk jadwal Ramadhan dan Syawwal, mereka bisa akur dan patuh kepada keputusan mufti Kerajaan.

Dan hal yang sama terjadi di semua negeri Islam, mereka semua kompak untuk menyerahkan urusan ini kepada satu pihak, yaitu pemerintah muslim.

Entah bagaimana ceritanya, di negeri kita yang konon negeri terbesar dengan jumlah penduduk muslim di dunia, justru setiap pihak tidak bisa berbesar hati untuk menyerahkan masalah ini ke satu tangan saja. Setiap ormas merasa punya hak 100% untuk menetapkan jatuhnya jadwal ibadah itu.

Bahkan tanpa malu-malu melarang otoritas tertinggi yaitu pemerintah untuk bersikap dan menjalankan tugasnya. Padahal yang diperselisihkan hanya urusan ijtihad yang mungkin benar dan mungkin salah. Nyaris tidak ada kebenaran mutlak dalam masalah ini. Sebab sesama yang rukyat sudah pasti berbeda. Dan sesama yang berhisab juga berbeda. Dan perbedaan itu akan selalu ada.

Padahal masalah ini adalah masalah nasional dan menyangkut kepentingan orang banyak. Seharusnya 200 juta umat Islam menyerahkan masalah ini kepada satu pihak yang dipercaya dan konsekuen untuk patuh dan tunduk.

Satu pihak itu seharusnya adalah pihak yang netral, tidak punya kepentingan kelompok, ahli di bidang rukyat dan hisab serta punya legitimasi. Dan pihak itu adalah pemerintah sah negeri ini. Karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang merupakan otoritas tertinggi umat Islam. Dan direpresentasikan sebagai Menteri Agama RI.

(20)

20 BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila sudah terlihat adanya bulan baru. untuk kepastiannya, yaitu dengan menggunakan dasar yang telah ditetapkan nabi dan juga para ulama‟ baik ulama‟ pada zaman dahulu maupun ulama‟ sekarang yang juga harus disepakati dengan ketetapan dari pemerintah. Adapun dasar yang dijadikan pedoman untuk menentukan awal ramadhan yaitu berdasarkan hadits nabi yang artinya "Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim).

Dari hadits tersebut diperoleh dua metode dalam penetapan awal ramadhan dan satu syawal yaitu dengan itsbat rukyah dan itsbat hisab. Itsbat rukyat Artinya menetapkan bahwa bulan sabit sudah kelihatan. Sedangkan itsbat hisab artinya menentukan awal ramadhan dengan cara menghitung menggunakan ilmu falak.

B. Saran

Sebagain besar umat Islam tentu menginginkan kebersamaan dalam melaksanakan awal puasa dan akhir puasa Ramadhan, demikian pula

(21)

21 Pemerintah menghimbau kepada seluruh umat Islam untuk mentaati hasil sidang isbat berdasarkan Badan Hisab dan Rukyah Kementerian Agama, sehingga tidak ada perbedaan awal dan akhir Ramadhan. Hal ini juga berlaku pada negara lain seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan negara-negara Islam lainnya.

Mengapa di Indonesia tidak bisa disamakan seperti negara lain? Mungkin diperlukan perangkat hukum seperti peraturan pemerintah tentang awal dan akhir Ramadhan, sehingga apabila ada yang melanggar perlu diberi sangsi. Dan kita sebagai masyarakat hendaknya tasliim (berlapang dada) dengan ijma‟ para ulama dan orang-orang yang lebih ahli di bidangnya tentu saja dengan berpegang teguh pada Al-Qur‟an dan Hadits.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pembahasan ilmu falak, terdapat dua metode penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu melalui cara hisab dan rukyat. Hisab sendiri terbagi menjadi dua, yaitu

Apabila menurut hisab yang akurat bahwa tinggi hilal di atas ufuk > KPB atau pada ketinggian tertentu yang umumnya hilal dapat dirukyat, namun kenyataan

al-Falaky, Sriyatin Shadiq, Perhitungan Awal Bulan Sistem Ephemeris al- Falakiyah, makalah dalam Pelatihan dan Pendalaman Ilmu Falak dan Hisab Rukyat di

Hilal mempunyai posisi penting dalam sistem penanggalan Hijriyah. Sistem penanggalan Hijriyah didasarkan pada siklus penampakan Bulan yang lamanya sekitar 29. Rasululah SAW

Menurut golongan ini masuknya tanggal satu bulan Kamariah, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk hakiki. Sistem ini berpendapat setelah terjadi ijtima hilal sudah

44 Sedangkan rukyat hilal dalam konteks penentuan awal bulan Kamariah adalah melihat hilal dengan mata telanjang atau dengan alat yang dilakukan setiap akhir bulan atau

CONTOH PERHITUNGAN AWAL BULAN RABI’UL AKHIR Disusun Guna Memenuhi Tugas.. Mata Kuliah Ilmu Falak Dosen Pengampu:

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah dengan metode rukyat al hilal, perukyah tidak akan terlepas dari hisab (perhitungan) untuk menentukan di mana posisi hilal, baik