• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan awal bulan ramadhan menurut Syaikh Burhanuddin (Padang Pariaman, Sumatera Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan awal bulan ramadhan menurut Syaikh Burhanuddin (Padang Pariaman, Sumatera Barat)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

FASLUKI HAMAMI NIM : 106043101293

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

(Padang Pariaman, Sumatera Barat).

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

Fasluki Hamami NIM: 106043101293

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Sirril Wafa, MA Sri Hidayati, M.Ag NIP: 19600318199103 NIP: 197102151997032002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

SYAIKH BURHANUDDIN (Padang Pariaman, Sumatera Barat)”, telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 01 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada prodi perbandingan madzhab dan hukum dengan konsentrasi perbandingan Fiqih.

Jakarta, 01 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : DR.H. Muhammad Taufiki, M.Ag

NIP. 196511191998031002 : (...)

Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si

NIP. 197412132003121002 : (...)

Pembimbing I : Drs. Sirril Wafa, MA

NIP.19600318199103 : (...) Pembimbing II : Sri Hidayati, M.Ag

NIP: 197102151997032002 : (...) Penguji I : Dr. Syahrul A’dam, M.Ag

NIP. 19730504200031002 : (...)

Penguji II : Mu’min Rouf, MA

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Rabi’ul Ula 1432 H 01 Maret 2011 M

(5)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt. Dialah sumber tempat bersandar, dan sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya, sehingga penulis diberikan kekuatan fisik dan psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN(Padang Pariaman, Sumatera Barat).

Salawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebenaran, kearipan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.

Dibalik terselesaikan skripsi ini, tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses pembuatannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat ditengah ekonomi yang begitu kurang. Akan tetapi, dengan penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut.

(6)

persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku sekretaris jurusan yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Drs. Sirril Wafa’ MA dan Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku pembimbing skripsi I dan II yang telah banyak memberikan bantuan baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.

5. Bapak Baharuddin, Alma Fredi, Roni Faslah, yang telah memberikan fasilitas untuk penulis ketika penulis sedang melakukan penelitian di Daerah Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat.

(7)

ini dengan baik.

8. Anak dan Isteriku yang selalu setia menunggu dan mendo’akan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta do’a kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan ke-Islaman. Akhirnya kepada-Nyalah segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.

Jakarta, Jumadil Ula1432 H Februari 2011 M

(8)

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

D. Review Studi Terdahulu ...8

E. Metode penelitian ...10

F. Sistematika Penulisan ...11

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN A. Pengertian dan Landasan Hukum Hisab Rukyat ...13

1. Pengertian Hisab...13

2. Pengertian Rukyat ...15

3. Landasan hukum Hisab Rukyat ...16

B. Sejarah Hisab Rukyat, Aliran-aliran, dan Perkembangannya di Indonesia ...19

1. Sejarah Hisab Rukyat Secara Umum ...19

2. Aliran-aliran Hisab ...28

3. Perkembangan Hisab Rukyat di Indonesia ...38

(9)

B. Pengikut Syaikh Burhanuddin ...46

C. Pemikiran-pemikiran Syaikh Burhanuddin ...47

1. Kalam ...47

2. Fikih ...53

3. Tasawuf ...56

BAB IV KAJIAN PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN A. Penetapan Awal Bulan Ramadhan Menurut Syaikh Burhanuddin ...59

1. Ketentuan-ketentuan Dasar Penentuan Awal Bulan ...60

2. Tatacara Penetapan awal bulan ...61

B. Dasar Hukum Syaikh Burhanuddin dalam menetapkan Awal Bulan Ramadhan ...65

C. Perbandingan Penentuan Awal Bulan Antara Syaikh Burhanuddin Dengan Pemerintah...71

BAB V PENUTUP Kesimpulan ...77

Saran-saran ...77

DAFTAR PUSTAKA ...79

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun Agama, sebagaimana diterangkan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat :183 yang berbunyi :











Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ( Q.S. Al-Baqarah : 183)

Pada ayat diatas, sudah sangat jelas bahwa setiap Muslim wajib melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari Islam, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan dengan keharusan. Dan ketetapan itu diketahui, baik oleh yang bodoh maupun orang yang alim, dewasa maupun anak-anak.

Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun ke-2 Hijriyah. Puasa merupakan fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf, dan tidak seorangpun diperbolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab tertentu.1

1

(11)

Dalam pembahasan ini, penulis tidak akan membahas tentang kewajiban berpuasanya, akan tetapi akan membahas perbedaan penentuan awal bulan mulai diwajibkannya berpuasa. Perbedaan pendapat dalam Islam merupakan suatu Rahmat dari Allah SWT sehingga manusia senantiasa harus menghargai antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain. Sehingga dalam perbedaan pendapat itu terdapat suatu keindahan yang tidak terdapat dalam Agama lain.

Dan dengan perbedaan pendapat itu pula ilmu pengetahuan akan lebih cepat berkembang. Sikap toleransi yang dimiliki oleh umat Islam membuat setiap perbedaan yang terjadi tidak sampai menimbulkan keributan dan pertumpahan darah.

Dalam penentuan awal bulan Ramadhan, diperlukan sebuah kajian ilmu yang dinamakan dengan Ilmu Falak. Ilmu falak secara terminology

adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit yang lain.2

Ilmu falak ada dua macam, yang pertama dikaitkan dengan ramalan tentang kejadian atau keadaan yang belum terjadi. Pengetahuan ini disebut dengan astrologi atau ilmu nujum. Yang kedua tidak dikaitkan dengan

2

(12)

ramalan, tetapi sekedar untuk mengetahui dan mempelajari letak, gerak, ukuran, lingkaran benda-benda langit dengan didasarkan ilmiah, Dengan pengetahuan itu kita dapat menentukan hitungan tahun, bulan dan juga gerhana.3

Dalam pembahasan ilmu falak, terdapat dua metode penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu melalui cara hisab dan rukyat. Hisab sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Hisab Hakiki dan Hisab ‘Urf. 4 Hal ini menjadi suatu perbedaan yang sering kali menuai kontroversi dikalangan umat islam, khususnya di Indonesia.

Perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan sejak dulu sudah menjadi tradisi di kalangan beberapa Ormas yang berbasis keislaman di Indonesia. Bukan hanya penentuan awal Bulan Ramadhan, tetapi juga penentuan awal bulan Syawal. Dalam hal ini, penulis hanya akan memaparkan analisis penentuan awal bulan Ramadhan oleh Syaikh Burhanuddin dan para pengikutnya di daerah Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat, yang disebut dengan Tarekat Syatariyah.5 Walaupun sebetulnya hal tersebut telah terjadi berabad-abad lamanya, tetapi rasa-rasanya sangat mengetuk hati dan fikiran. Apakah pada zaman sekarang ini dimana IPTEK sudah sedemikian

3

Ibid., h. 2.

4

Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: PT. Amythas Publicita, 2007, h.205.

5

(13)

majunya, umat Islam masih kesulitan menentukan tanggal satu bulan Qamariyah.

Letak perbedaan yang terjadi pada para pengikut Syaikh Burhanuddin dengan penentuan awal bulan Ramadhan pada umumnya, bukan hanya pada tataran metode dan analisis penentuannya saja. Sehingga dapat mempengaruhi perbedaan dalam menentukan jatuhnya tanggal satu bulan Ramadhan. Para pengikut Syaikh Burhanuddin sendiri dalam menetapkan awal bulan Ramadhan lebih cenderung menggunakan metode Hisab dan Rukyat yang dilakukan sejumlah Qadi, dan mereka telah melihat bulan terbit barulah mereka mulai mengumumkan kepada para pengikut Thariqat Syathariyyah dengan cara memukul beduk di berbagai Masjid dan Mushalla sehigga dapat dikatakan pengidentifikasian ini tidak lazim bagi masyarakat umum6, walaupun pada dasarnya mereka lebih berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. yang berbunyi :

لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻞﺻ ﻲﺒﻨﻟا نأ ةﺮﯾﺮھ ﻰﺑأ ﻦﻋ

:

اوﺮﻄﻓأو ﮫﺘﯾؤﺮﻟ ﻮﻣﻮﺻ

ﻦﯿﺛﻼﺛ نﺎﺒﻌﺷ ةﺪﻋاﻮﻠﻤﻛﺎﻓ ﻢﻜﯿﻠﻋ ﻲﺒﻏ نﺎﻓ ﮫﺘﯾؤﺮﻟ

.

)

ﻢﻠﺴﻣ و يرﺎﺨﺑ هاور

(

7

Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. Bersabda: “puasalah kalian bila melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian bila melihatnya. Bilamana terhalang dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah

6

Ibid.

7

(14)

hitungan (bulan Sya’ban tiga puluh (hari). (H.R. Bukhary-Muslim)

Adapun kelemahan dari metode penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan Rukyat bil Fi’li adalah ketika cuaca tidak mendukung, seperti tertutupi oleh awan, atau mungkin dalam keadaan mendung. Dan

Rukyat bil Fi’li dalam pandangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi banyak terdapat kelemahan, karena kurang memenuhi syarat yang dapat mendukung kevalidan dalam menentukan awal bulan Hijriyah, terutama dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Adapun kelebihannya, pada jaman sekarang ini metode Rukyat dapat menggunakan ilmu pengetahuan yaitu dengan menggunakan alat teropong bulan .8 Sedangkan kelemahan melalui metode Hisab ‘Urf adalah umur bulan ditentukan secara tradisional dan tidak diketahui alasannya. Bulan gasal ditentukan berumur 30 hari, kecuali bulan Dzulhijjah yang dapat berumur 29 hari dalam tahun Basithah, dan 30 hari dalam tahun Kabisat. Sedangkan dalam Hisab Hakiki, perhitungan lebih terjaga akurasinya, dan dapat dikategorikan lebih valid dibandingkan apabila menggunakan Metode Hisab ‘Urf.

Hisab ini sangat prakis, namun perhitungan ini sama sekali tidak melakukan perhitungan astronomis untuk menggambarkan posisi hilal pada

8

(15)

setiap awal bulannya.9 Sehingga sulit untuk menentukan awal bulan Hijriyah jika hanya dengan mengandalkan metode Hisab saja.

Dengan alasan tersebut diatas maka penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian kepada para pengikut Syaikh Burhanuddin yang mana mereka lebih cenderung mengikuti para Qadi mereka daripada mengikuti keputusan menteri agama di Indonesia dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Penulis berusaha mencari sebab terjadinya perbedaan metode yang dipergunakan antara pemerintah dengan para pengikut Syeikh Burhanuddin. Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN(Padang Pariaman, Sumatera Barat)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan di Daerah Padang Pariaman, Sumatera Barat tempat para pengikut Syaikh Burhanuddin menyebarkan ajarannya.

2. Pembahasan terbatas pada masalah metode dan argumen dari seorang yang dianggap Qadi oleh pengikut Syaikh Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan.

9

(16)

3. Metode yang dimaksud adalah cara penentuan awal bulan ramadhan yang digunakan oleh para Qadi di Daerah Padang Pariaman

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah metode penentuan awal bulan Ramadhan menurut Syaikh Burhanuddin?

2. Apa landasan hukum yang digunakan Syaikh Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan?

3. Bagaimanakah kesesuaiannya dengan metode yang digunakan oleh Badan Hisab Rukyat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui metode yang digunakan Syakih Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan.

2. Mengetahui landasan hukum yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan.

3. Mengetahui kesesuaian metode yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin dengan metde yang digunakan Badan Hisab Rukyat.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :

(17)

2 Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang proses terjadinya argumen dalam penentuan awal bulan Ramadhan yang dilakukan oleh Syaikh Burhanuddin

D. Review Studi Terdahulu

Hisab dan Rukyat merupakan metode penetapan awal bulan Qomariyah. Kedua metode tersebut sering menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan qomariyah. Bahkan, tidak jarang perbedaan terjadi di kalangaqn internal ahli hisab maupun ahli rukyat. Kajian terhadap hisab rukyat dalam bentuk akademik, khususnya di lingkungan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam), hingga penelitian ini disusun paling tidak bernumlah 3 (tiga) karya yang dituangkan dalam skripsi. Untuk lebih jelasnya, data-data karya akademik tersebut penulis paparkan dalam bentuk diagram berikut ini:

No. Judul karya akademik penyusun Tahun

1. Peranan Pemerintah dalam Penetapan awal Bulan Qomariyah(Tinjauan kaidah

Fiqhiyah)10

Hiton Bazawi

2009

2. Penentuan Awal Bualan dalam Perspektif al- Eka Sartika 2006

10

(18)

Marzukiyah(Studi Terhadap Kalangan al-Marzukiyyah di Cipinang)11

3. Analisis Perbedaan Penetapan Idul Adha Antara Indonesia dan Arab Saudi12

Ilmanudin 2005

Berdasrkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap karya akademik diatas, peneliti menyimpulkan bahwa hisab dan rukyat yang dijelaskan oleh Hiton lebih cenderung kepada Kaidah fikihnya, yang dalam hal ini di terapkan oleh pemerintah guna menetapkan awal bulan Qomariyah.

Sedangkan Eka dalam skripsinya menjelaskan metode penetapan awal bulan Qomariyah dalam perspektif golongan al-Marzukiyah. Al-Marzukiyah menggunakan metode Imkanurrukyah dalam penetapan awal bulan Qomariyah. Golongan ini terbagi menjadi tiga wilayah (Rawa Bunga, Cipinang Muara, dan Raya Kemang). Dari ketiga golongan tersebut, hanya golongan yang berada di Cipinang Muara yang masih berpedoman pada Imkanurrukyah, sedangkan yang lain sudah mengikuti keputusan pemerintah.

Berbeda dengan yang lain, Ilman mencoba menjelaskan perbandingan antar Negara, yaitu Indonesia dengan Arab Saudi. Dimana keduanya terkadang bahkan sering terjadi perbedaan dalam Hari Raya tersebut.

11

Eka Sartika, Penentuan Awal Bualan dalam Perspektif al-Marzukiyah(Studi Terhadap Kalangan al-Marzukiyyah di Cipinang), Skripsi, 2006.

12

(19)

Dari ketiga skripsi di atas, tidak ada tulisan yang membahas secara jelas mengenai penentuan awal bulan Ramadhan oleh Syaik Burhanuddin. Oleh karena itu, skripsi penulis difokuskan untuk membahas persoalan yang tidak kalah menariknya dengan karya-karya lainyang membahas tentang Hisab dan Rukyat.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan jalan untuk menciptakan suatu kenyataan konseptual pengujian ilmiah dengan proses penelitian.13 Oleh karena itu dalam melakukan penelitian penulis menggunakan beberapa metode diantaranya:

1. Sumber Data

Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data Primer, data yang digunakan adalah wawancara langsung, observasi, dan studi dokumentasi dengan Ulama-ulama Syathariyah pengikut Syaikh Burhanuddin di Daerah Ulakan Tapakis, Pariaman, Sumatera Barat.

b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

13

(20)

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan beberapa metode yaitu :

a). Wawancara langsung, yaitu penulis melakukan wawancara langsung dengan ulama Syathariyah yang berada di daerah Ulakan, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman Sumatera Barat.

b). Observasi, yaitu penulis langsung mendatangi tempat penelitian yang ada di daerah Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat.

c) Studi dokumentasi, yaitu dengan mempelajari kitab karangan Syaikh Burhanuddin khususnya tentang penentuan awal bulan Ramadhan dan buku-buku yang dijadikan sebagai objek penelitian.

3. Teknik Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara sistematis dengan menggunakan metode deskriptif analisis kemudian menganalisanya dengan berpedoman kepada sumber-sumber tertulis.

Jika tidak ditemukan dalam sumber yang tertulis, maka penulis langsung terjun ke lapangan dan mendatangi tempat menyebarnya ajaran Syaikh Burhanuddin di Daerah Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat guna mendapatkan data yang dibutuhkan.

F. Sistematika Penulisan

(21)

Bab pertama berisi Pendahuluan yang mencakup latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi gambaran umum hisab rukyat yang mencakup pengertian dan landasan hukum, sejarah, aliran-aliran, perkembangannya di Indonesia, dan hisab rukyat dalam penentuan awal bulan Ramadhan.

Bab ketiga berisi tentang profil Syaikh Burhanuddin, ajaran-ajarannya baik ilmu kalam, fikih, dan Tasawufnya yang hingga saat ini masih sangat kental pengaruhnya di Daerah Pariaman khususnya, dan di Daerah Sumatera pada umumnya.

Bab keempat berisi tentang metode yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan, dasar hukum, dan pandangan Syakih Burhanuddin terhadap penetapan awal bulan Ramadhan oleh Pemerintah.

(22)

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum Hisab Rukyat 1. Pengertian Hisab

a. Secara Etimologi

Hisab berasal dari tata bahasa Arab yaitu hasaba, yakhsibu, hisaaban

yang memiliki arti “menghitung atau membilang”1. Dengan demikian definisi ilmu hisab jika dikaitkan dengan perhitungan rotasi bulan dalam bahasa yang sederhana merupakan ilmu untuk menghitung kedudukan bulan terhadap bumi.

b. Secara Terminologi

Ilmu hisab dalam kamus-kamus istilah disamakan artinya dengan

aritmatic, yang memiliki pengertian suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang perhitungan dalam menentukan awal bulan Qomariyah yang didasarkan kepada peredaran bulan mengelilingi bumi2. Selain itu dalam kitab Fath al-lathiif Al-Rahiim yang ditulis oleh Abdul Muhaimin bin Abdul Lathiif dikatakan bahwa ilmu hisab memiliki makna yang sama dengan ilmu

1

Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, KamusIndonesia-Arab-Inggris, Jakarta, PT MUTIARA Sumber Widya, 1998, Cet. Ke-11, h. 104.

2

(23)

Irshad (penelitian), ilmu falak, ilmu miiqaat (ilmu untuk mengetahui waktu-waktu), ilmu Hai’ah (ilmu untuk mengetahui tingkah laku seseorang), ilmu astronomi dan perbintangan3. Berkaitan dengan dengan istilah hisab ini, dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan perbintangan saja, melainkan juga terdapat ilmu menghitung lain, yakni dikenal dengan sebutan “ilmu mawaris

atau faraidh”. Ilmu faraidh ini termasuk dalam ilmu hisab dikarenakan adanya persamaan substansi, dimana kedua ilmu tersebut secara prinsip menggunakan perhitungan-perhitungan dan proses perumusan secara pasti4.

Di Indonesia, pada umumnya umat Islam hanya mengenal ilmu falak sebagai ilmu hisab, dalam konteks inipun ilmu hisab yang dimaksud adalah ilmu falak yang digunakan umat Islam untuk melaksanakan praktek-praktek ibadah dengan cara mengetahui dan mempelajari benda-benda langit tentang fisik, gerak, ukuran, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

Benda langit yang dipergunakan oleh umat Islam untuk kepentingan hisab adalah matahari, bulan, dan bumi, itupun terbatas kepada status posisinya saja sebagai akibat oleh adanya pergerakan benda-benda langit

3

Abd. Al-Muhaimin Bin Abd. Lathiif, Fath Al-Lathiif Al-Rahiim Fi Al-Falq Bijadwaali Al-Lughortiimiyyah Libni Lathiif, Cibeber-Banten, Mathbah Tsaniyah, 1986, h. 1.

4

(24)

yang disebut Astromekanika5. Dalam perkembangan ilmu hisab, selanjutnya menggunakan perhitungan modern yang mempunyai tingkat akurasi lebih tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan, ilmu tersebut adalah ilmu ukur segitiga bola Special Trigonometri6. Sebagai pendukung yang lain, ilmu hisab juga menggunakan informasi data yang dikontrol observasi setiap saat.

2. Pengertian Rukyat a. Secara Etimologi

Secara etimologi rukyat berasal dari bahasa Arab ra’aa, yara’a, ru’yatan yang berarti melihat mengerti, menduga, dan mengira7. Dalam khazanah fikih, kata rukyat kata rukyat lazim disertai dengan kata hilal sehingga menjadi “ru’yatul hilal” yang berarti melihat hilal (bulan baru). Rukyat hilal ini berkaitan dengan erat dengan masalah ibadah, terutama ibadah puasa8.

b. Secara Terminologi

Rukyat secara terminologi adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan qomariyah. Jika hilal berhasil dirukyat, maka sejak matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru, jika tidak terlihat

5

Astromekanika adalah bagian dari ilmu astronomi yang mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda langit dengan menggunakan cara dan teori mekanika. Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1990, Cet. Pertama, h. 375.

6

Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah Suatu Komparasi, h.11.

7

Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, KAMUSIndonesia-Arab-Inggris, h. 165.

8

(25)

maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang berjalan dengan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari9. Rukyat dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan juga awal bulan Dzulhijjah.

3. Landasan Hukum Hisab Rukyat a. Al-Qur’an

Ayat-ayat dalam Al-Qur’an banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan gerak dan keadaan benda-benda langit, terutama bulan dan matahari yang sangat penting guna menentukan awal bulan, baik awal bulan Masehi maupun Hijriyah10.

Adapun salah satu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hisab rukyat diantaranya surat Yunus ayat : 5 sebagai berikut :



















Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu

9

Departemen Agama, AlmanakHisab Rukyat, h.15.

10

(26)

melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5)

Dari ayat tersebut, kata(

لزﺎﻨﻣ هرﺪﻗو

) disambung dengan kata

اﻮﻤﻠﻌﺘﻟ

)

ﻦﯿﻨﺴﻟا دﺪﻋ

( menunjukkan bahwa bilangan yang dimaksud oleh ayat tersebut

adalah tahun qomariyah (lunar calendar) sebagai rangkaian dari bulan-bulan qomariyah11.

Selain ayat tersebut, dalam surat Yasin ayat 39 juga disebutkan bahwa Allah menjadikan manzilah-manzilah bulan, sehingga setelah bulan menduduki manzilah terakhir, ia kembali kepada bentuk seperti tanda tua (bulan sabit)12.

Sebagaimana diketahui bahwa bentuk bulan yang terlihat di bumi, setiap hari mengalami perubahan. Mula-mula kecil, membesar, dan setengah lingkaran, kemudian Purnama, kemudian mengecil kembali, lalu menghilang dan akhirnya muncul kembali muncul kembali berbentuk seperti tanda tua yang digambarkan dalam surat Yasin ayat 3913. Periode perubahan bentuk bulan tersebut diakibatkan oleh perpindahan penelusuran satu manzilah ke manzilah lainnya dan merupakan periode pergantian waktu bulan qomariyah.

Ayat Al-Qur’an lainnya yang berkaitan dengan benda-benda langit dan penetapan awal bulan qomariyah adalah Al-Baqarah : 189, Al-Isra : 12,

11

Ibid., h. 4.

12 Ibid.

(27)

At-Taubah : 36, An-Nahl : 16, Al-Hijr : 16, Al-Anbiya’ : 33, Al-An’am : 96-97, Yasin : 39-40, Ar-Rahman : 5 dan 33, dan lain-lain.

b. Hadits

ﻊﻓﺎﻧ ﻦﻋ ﻚﻟﺎﻣ ﻰﻠﻋ تاﺮﻗ لﺎﻗ ﻲﺤﯾ ﻦﺑ ﻲﺤﯾ ﺎﻨﺛﺪﺣ

ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﻤﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ

ﻦﻋ

ﻟا

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨ

ا

لﻼﮭﻟااوﺮﺗ ﻰﺘﺣ اﻮﻣﻮﺼﺗﻻ لﺎﻘﻓ نﺎﻀﻣر ﺮﻛذ ﮫﻧ

ﮫﻟاورﺪﻗﺎﻓ ﻢﻜﯿﻠﻋ ﻰﻤﻏا نﺎﻓ هوﺮﺗ ﻰﺘﺣ اوﺮﻄﻔﺗﻻو

.

)

ﻢﻠﺴﻣ و يرﺎﺨﺑ هاور

(

14

Artinya :Telah datang menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya berkata saya telah membacakan kepada Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar semoga Allah midloi keduanya dari Nabi Saw., bahwasannya Nabi Saw. Telah menuturkan Ramadhanmaka Beliau Bersabda : Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlah (HR. Muslim dari Ibnu Umar).

ﻮھو ﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﻢﻠﺴﻣ ﻦﺑا ﻰﻨﻌﯾ ﻊﯿﺑﺮﻟا ﺎﻨﻨﺛﺪﺣ ﻲﺤﻤﺠﻟا مﻼﺳ ﻦﺑ ﻦﻤﺣﺮﻟا ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ

اﻮﻣﻮﺻ لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻰﺒﻨﻟا نا ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ةﺮﯾﺮھ ﻰﺑا ﻦﻋ دﺎﯾز ﻦﺑا

دﺪﻌﻟا اﻮﻠﻤﻛﺎﻓ ﻢﻤﻜﯿﻠﻋ ﻰﻤﻏ نﺎﻓ ﮫﺘﯾؤﺮﻟ اوﺮﻄﻓاو ﮫﺘﯾؤﺮﻟ

) ﻢﻠﺴﻣ هاور ( 15

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bib Sallam al-Jumahiy, telah menceritakan kepada kami al-Rabii’ (Ibn Muslim), dari Muhammad (Ibn Jiyad), dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal.Bila kamu tertutupi oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi tiga puluh hari). (HR. Muslim)

14

Imam Ibn al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusairi al-Nisaburi, Jami’u al-Shahih al-Musamma al-Shahih Muslim Juz II, Semarang, Toha Putera , t.th, h 122.

15

(28)

Berdasarkan hadits-hadits di atas, sebagian Fuqoha menetapkan bahwa melaksanakan ru’yatul hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah fardlu kifayah. Sedangkan sebagian Fuqoha lainnya menetapkan bahwa perihal penetapan awal bulan tidaklah demikian16. Disamping itu, sebagian Fuqoha memandang bahwa rukyah merupakan salah satu cara dalam penetapan awal bulan qomariyah, yang selain itu dapat ditempuh dengan cara hisab17.

Berkaitan dengan landasan hukum hisab rukyat ini, selain riwayat Bukhari dan Muslim, juga terdapat riwayat lainnya, seperti yang terkumpul dalam kitab Kutubu Al-Sittah (Abu Daud, Ibnu Majjah, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i) dan beberapa kitab karangan Ulama lainnya.

B. Sejarah Hisab Rukyat, Aliran-aliran, dan Perkembangannya di Indonesia 1. Sejarah Hisab Rukyat secara Umum

Sebelum Islam datang orang-orang Arab Jahiliyah telah memiliki pengetahuan pengetahuan dasar tentang astronomi. Namun pengetahuan yang mereka miliki belum berbentuk rumusan-rumusan ilmiah sehingga belum pantas untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Umayyah ilmu astronomi telah muncul, namun buku-buku tentang itu belum pernah ditemukan.

16

Departemen Agama RI, Pedoman Tekhnik Rukyat , h. 6.

(29)

Di dalam kitabnya “Taarikhul Hadlaarah al-Islamiyyah fil ‘Ushuuri al-Qushtha”, Abdul Mun’im Majid mengatakan , “prinsip-prinsip ilmu astronomi telah dimiliki oleh orang-orang Arab maju, seperti orang-orang Arab Yaman dan Kaldea. Pada orang-orang Arab Badawi pengembara, ilmu astronomi terbatas pada pengenalan terhadap peristiwa-peristiwa alam yang berpindah antara satu kepada yang lain melalui turun-temurun. Dalam kasidah-kasidah syiir Arab Jahiliyah, kita dapat membaca nama-nama bintang. Namun secara terumuskan, ilmu astronomi Arab baru muncul pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah pada masa pemerintahan Bani Abbas. Hal itu terjadi berkat hubungan mereka dengan berbagai macam kebudayaan dunia yang mereka salin dari kitab-kitab klasik karangan orang-orang India dan Yunani18.

Pada masa Abbasiyah, orang-orang Arab kaum Muslimin menjadi gudang ilmu pengetahuan se-dunia. Abul Abbas As Saffah, Si penumpah darah, memegang tampuk pimpinan hanya dua tahun. Penggantinya Al Mansur yang masih saudaranya, adalah seorang negarawan kelas satu. Ia pula pecinta ilmu yang memberikan kesempatan yang luas bagi para ilmuwan untuk berkembang maju.

Dari pembahasan di atas, meskipun ilmu falak atau hisab baru terlihat setelah Islam ada, namun sebagaimana telah disebutkan dalam setiap

18

(30)

muqaddimah kitab-kitab falak, bahwa penemu pertama ilmu hisab atau astronomi adalah Nabi Idris AS19., hal ini menunjukkan bahwa wacana hisab rukyat sudah ada sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu.

Berkaitan dengan sejarah hisab ini, sejauh pelacakan Ahmad Izzudin didapatkan bahwa sekitar abad ke-28 SM, embrio ilmu falak mulai tampak. Pada waktu itu falak digunakan untuk menentukan waktu saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa negara seperti di Mesir (untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon), di Babilonia dan Mesopotania untuk menyembah Dewa Astoroth dan Baal20.

Meskipun embrio falak tampak pada abad ke-28 SM, namun pengetahuan mengenai nama-nama hari dalam seminggu sudah ada sejak 5.000 tahun sebelum Masehi yang masing-masing diberi nama dengan nama-nama benda langit21. Pada abad XX SM, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak matahari dan benda-benda langit lainnya yang

19

Sebagaimana telah disebutkan oleh Zubair Umar al-Jailani dalam kitab Al-Khulasotul Wafiyyah yang dikuatkan oleh Al-Susy. Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003, Cet. I, h.41.

20

Ibid, h. 42.

21

Rahmat Taufik Hidayat, dkk., Almanak Alam Islami : Sumber Rujukan KeluargaMuslim Milenium Baru, Jakarta, Pustaka Jaya, 2000, Cet. I, h.166.

(31)

sekaligus mereka pulalah yang mula-mula dapat menentukan terjadinya gerhana matahari22.

Setelah berlanjut pada asumsi Pythagoras (580-500 SM), bahwa bumi berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraklius dari Pontus (388-315 SM) mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, merkurius dan venus mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi23. Penemuan ini diperkuat dengan hasil dari Aristarchus dari Samos (310-230 SM) mengenai hasil pengukuran jarak antara bumi dan matahari, dan pernyataanya bumi beredar mengelilingi matahari. Selain itu juga dari Mesir bernama Eratosthenes telah mendapatkan perhitungan keliling bumi.

Dari semua penemuan di atas, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Izzudin bahwa dia menduga persoalan hisab rukyat telah nampak sejak sebelum Masehi, meskipun dalam kemasan yang berbeda.24

Pada masa sesudah Masehi terlihat dengan penemuan Claudius Ptolomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang yang

22

Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab Yogyakarta : Logung Pustaka, 2003, cet.I; h. 42.

23

Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet. Ke-5, h.331.

24

(32)

diberi nama Tabril Magesthi, dan berasumsi bahwa semesta alam ini berbentuk geosentris25.

Kemudian pada masa Islam datang (masa Nabi Muhammad Saw), ilmu hisab memang belum masyhur di kalangan ummat Islam, meskipun sebenarnya ada juga yang mahir dalam perhitungan. Dengan demikian realitas persoalan hisab rukyat pada masa itu tentu saja sudah ada meskipun dari sisi hisabnya belum begitu masyhur. Hal ini ditandai dengan adanya penggunaan perhitungan tahun Hijriyah oleh Nabi sendiri ketika Beliau menulis surat pada kaum Nasrani Bani Najran, tertulis ke V Hijriyah, namun di dunia Arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi dijadikan sebagai nama tahun atau tanggalan, seperti tahun Gajah, tahun Izin, tahun Amar, tahun Zilzal dan sebagainya26.

Secara formal, pada masa itu wacana hisab rukyat baru tampak dengan adanya penetapan hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah, yang dijadikan sebagai fondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, yakni tepatnya pada tahun ketujuh belas Hijriyah. Dan dengan

25

Ibid.

26

(33)

berbagai pertimbangan yang matang bulan Muharram sebagai awal bulan Hijriyah27.

Persoalan hisab rukyat ini, mulai mendapatkan masa keemasannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal ini terlihat pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian khusus, salah satunya adanya upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India28.

Kemudian pada masa Khalifah al-Makmun, naskah Tabril Magesthi

diterjemahkan dalam bahasa Arab. Dan dari sinilah lahir istilah ilmu hisab sebagai salah satu dari cabang ilmu ke-Islaman dan tumbuhnya ilmu hisab mengenai penetapan awal waktu shalat. Penentuan gerhana, awal bulan Qamariyah dan penentuan arah kiblat29. Selain itu pada masa Khalifah ini, observatorium telah didirikan di Sinyart dan Junde Shahfur Bagdad.

Masa kejayaan hisab rukyat ditandai oleh lahirnya beberapa tokoh yaitu Al-Farghani seorang ahli falak, yang oleh barat dipanggil Farganus. Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah mengubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah. Disamping itu ada juga pakar ilmu falak kenamaan lainnya seperti; Mirza Ulugh bin Timur Lank yang terkenal dengan

27

Ibid, h. 184.

28

Izzudin, Fiqh Hisab; h. 44.

(34)

Ephemerisnya, Ibnu Yunus (9500-1000 M), Nasruddin (1201-1274 M), dan Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan ijtima’ dalam penentuan awal bulan Qamariyah.30

Di Bashrah, Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M) seorang pakar falak yang terkenal dengan bukunya Kitabul Manadhir dan tahun 1572 diterjemahkan dengan nama Optics yang merupakan penemuan baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi ilmu falak di dunia Islam pada masanya masing-masing. Meskipun masih terkesan bernuansa Ptomoleus31.

Pada pertengahan abad XIII M, setelah umat Islam menampakkan kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka ummat Islam mengadakan ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Pada waktu itu Eropa sedang dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme, Rasionalisme dan Renaisans yang merupakan reaksi dari filasafat Skolastik di masa itu, dimana adanya larangan penggunaan rasio atau berpaham kontradiksi dengan paham gereja. Kemudian muncul Nicolass Copernicus (1473-1543 M) yang berupaya membongkar Teori Geosentris yang dikembangkan oleh Claudius Ptolomeus. Teori yang dikembangkannya adalah bukan bumi yang dikelilingi matahari, tetapi sebaliknya, serta

30 Ibid.

31

(35)

planet beserta satelit-satelit yang mengelilingi matahari. Teori ini kemudian dinamakan Teori Heliosentris32.

Perdebatan mengenai teori tersebut berkembang sampai pada abad XVIII, dinamakan penyelidikan Galilleo Galilei dan John Keppler menyatakan pembenaran Teori Heliosentris. Mekipun antara John Keppler dan Copernicus berbeda dalam hal lintasan planet mengelilingi matahari , dimana menurut Copernicus berbentuk bulat, sedangkan menurut John Keppler berbentuk elips (bulat telur). Hal ini pada masa sesudahnya banyak ditemukan penemuan-penemuan yang berkaitan dengan kosmografi33.

Berkaitan dengan kedua teori di atas, dalam wawancara historitas hisab rukyat Islam, bahwa tokoh yang pertama kali melakukan kritik tajam terhadap teori Geosentris adalah al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal bila langit yang besar dan luas dengan bintang-bintangnya dinyatakan mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya34. Dari penemuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Biruni lah peletak dasar Teori Heliosentris.

Fenomena di atas menjadi pernyataan para peneliti modern, mereka berselisih pendapat mengenai orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya,

32

Ensiklopedi Islam, h. 331.

33

Izzudin, Fiqh Hisab; h. 46.

(36)

cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filasafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang matematika, termasuk di dalamnya astronomi35.

Kembali kepada penemuan Ulughul Beik (1344-1449) berupa jadwal Ulughul Beik. Jadwal ini pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa Perancis. Kemudian sekitar tahun 1857-1861 di Nautical Al-Manac Amerika, Simon New Comb (1835-1909 M) berhasil membuat jadwal astronomi. Jadwal itu terkenal dengan nama Almanac Nautica36.

Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi metode hisab di Indonesia. Dimana tipologi hisab klasik dengan diwakili oleh kitab

“Sullamun Nayyirain” sebagaimana telah diakui sendiri oleh Mansur al-Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang digunakan adalah bersumber kepada Ulughul Beik. Sedangkan tipologi hisab modern sebagai mana telah berkembang dalam wacana hisab rukyat dan tekhnik hisab, bahwa Almanac Nautica diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki) kontemporer37. Dengan demikian di Indonesia memiliki dua metode hisab rukyat yakni metode klasik dan metode modern.

35

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, Cet. I, h.135-136.

36

Izzudin, Fiqh Hisab; h. 47.

(37)

2. Aliran-aliran Hisab

Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya adalah sejarah aliran, mazhab atau firqah. Dengan demikian, sejarah pemikiran hisab tidak bisa lepas pula dari persoalan aliran dan mazhab.

Pada zaman modern, ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan modernitas dalam segala aspek dan seginya, persoalan hisab menjadi semakin penting untuk dikaji dan ditelaah ulang.

Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran atau pola pemikiran (paradigma), terlebih dahulu perlu ditinjau aliran-aliran hisab yang ada. Sehubungan dengan hal itu, ada dua masalah besar. Pertama, nama aliran yang digunakan oleh para pengkaji cukup beragam. Pada umumnya, nama aliran yang sering digunakan ialah hisab urfi, hakiki, imkanur rukyat

dan hisab astronomi38. Perbedaan aliran ini menimbulkan masalah kedua, yaitu perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul perbedaan penilaian terhadap masing-masimg aliran.

Untuk mengatasi dua pokok masalah tersebut, maka kajian ini membatasi pada aliran yang mewakili pemikiran hisab di Indonesia, yakni hisab Urfi dan hisab Hakiki.

a. Hisab Urfi

Hisab urfi merupakan sistem perhitungan dalam penanggalan yang didasarkan pada perhitungan rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan

38

(38)

secara konvensional, dimana ditentukan dengan aturannya yang tetap dan berurutan yakni dimulai dari Muharram yang mempunyai jumlah hari 30, Safar 29 dan begitu seterusnya kecuali tahun kabisat yang terjadi 11 kali dalam satu daur yakni 30 tahun, maka khusus untuk bulan Dzulhijjah 30 hari, yang seharusnya 29 hari berdasarkan perhitungan secara Urfi. Dengan demikian untuk hisab Urfi ini merupakan sistem selang seling antara 30 dan 29 hari mulai dari bulan Muharram hingga seterusnya (untuk bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari), kecuali Dzulhijjah pada tahun kabisat.

Hisab Urfi dalam perhitungannya masih bersifat tradisional yakni hanya dengan membuat anggapan-anggapan dalam menentukan perhitungan, tentunya dengan mendasarkan pada beberapa prinsip39. Yaitu :

1) Ditetapkan awal bulan Hijriyah baik tanggal, bulan, tahun, dan persesuaiannya dengan tanggal Masehi, dalam hal ini ditentukan bahwa tanggal satu Muharrram merupakan satu Hijriyah, bertepatan dengan hari kamis tanggal 15 juli 622 M atau hari Jum’at tanggal 16 juli 622 M.

2) Ditetapkan pula bahwa satu tahun itu umumnya 354 hari sehingga dalam 30 tahun atau daur terdapat 11 tahun, panjang dan 19 tahun pendek.

39

(39)

3) Tahun panjang ditetapkan umurnya 355 hari sedangkan tahun pendek ditetapkan 354 hari.

4) Tahun panjang terletak pada deretan tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15 (namun sebagian ulama menyatakan 16), 18, 21, 24, 26 dan ke-29. Sedangkan deretan lainnya sebagai lainnya sebagai tahun pendek. Hal ini terkumpul dalam kalimat :

ﻞﻛ ﻦﻋ ﮫﻧﺎﯾد ﮫﻔﻛ ﻞﯿﻠﺨﻟا ﻒﻛ

ﮫﻧﺎﺼﻓ ﮫﺒﺣ ﻞﺧ

Keterangan : Dari kalimat diatas, huruf Hijaiyyah yang ada titiknya merupakan penunjukan jatuhnya urutan dari tahun panjang, sedangkan huruf Hijaiyyah yang tidak ada titiknya merupakan jatuhnya urutan tahun pendek.

5) Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari sedangkan bulan-bulan genap umumnya 29 hari dengan keterangan untuk tahun-tahun panjang bulan yang ke-12 (Dzulhijjah) ditetapkan 30 hari. b. Hisab Haqiqi

(40)

haqiqi masuk pada kategori hisab modern, karena sudah menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur bola sperical trigonometri40. Sebagai mana hisab

urfi, hisab haqiqi juga menggunakan beberapa cara atau metode yang dijadikan sebagai prinsip penerapannya, yaitu :

1) Menentukan terjadinya ghurub41 matahari untuk suatu tempat.

2) Dengan berdasarkan ghurub matahari tadi hisab haqiqi menghitung longitude matahari dan bulan serta data lain dengan koordinat ekleptika. 3) Selanjutnya atas dasar longitude ini mereka menghitung terjadinya

ijtima’42.

4) Kedudukan matahari dan bulan yang ditentukan dengan sistem koordinat ekleptika diproyeksikan ke equator dengan koordinat equator. Dengan ini dapat diketahui mukuts (jarak sudut lintasan matahari dan bulan pada saat matahari terbenam).

5) Kedudukan matahari dengan sistem koordinat equator itu diproyeksikan lagi ke vertikal sehingga menjadi koordinat horizon, dengan demikian dapat ditentukan berapa tinggi bulan pada saat matahari terbenam dan berapa azimutnya.

40

Spherical Trigonometri adalah segitiga yang digambarkan pada kulit bola dengan pegertian yang khusus. Rumusan ini digunakan untuk melakukan transformasi dari sistem koordinat equator ke sistem koordinat azimutal (menghitung jarak sudut antara dua tempat dan menghitung arah suatu tempat), Ibid, h.8.

41

Apabila matahari dan bulan bersinggungan pada piringan atasnya (uper limb) dengan kaki langit, dalam pengertian astronomi dikatakan terbenam jika jarak zenitnya sama dengan 90 derajat lebih semidiameter ditambah refraksi dikurangi paralaks. Ibid.

42

(41)

Pandangan ahli hisab dalam menentukan awal bulan baru beda yang pada intinya menyebabkan hasil perhitungan hisab yang berbeda- berbeda-beda pula. Dari beberapa perberbeda-bedaan ini melahirkan beberapa aliran pemahaman dalam menentukan masuknya bulan baru mempergunakan sistem hisab haqiqi ini. Misalnya, Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, pada dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpedoman kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Kedua golongan tersebut terpecah lagi menjadi beberapa golongan, bagi golongan yang berpedoman ijtimak semata terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang meyakini ijtimakqabla al-ghurub

dan ijtimak qabla al-fajri43.

1) Ijtimak qabla al-ghurub

Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qabla al-ghurub

berpendapat, bahwa jika ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru. Sedangkan, jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini sama sekali tidak memperhitungkan rukyat, juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk, asalkan sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtimak. Golongan yang berpedoman pada ijtima qabla al-ghurub walaupun hilal berada di bawah ufuk, malam hari itu juga sudah masuk bulan baru.

43

(42)

Sistem ini lebih menitik beratkan pada penggunaan astronomi murni yang dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan ijtimak(konjungsi)44. Sistem ini menghubungkan ijtimak dengan saat matahari terbenam, sebab sistem ini mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbit pada keesokan harinya hingga matahari terbenam kembali. Konsep yang dipegang di sini adalah malam mendahului siang.

Menurut sistem ini, dapat dikatakan bahwa ijtimak adalah pemisah diantara dua bulan Qomariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka ketika ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru. Jika ijtimak terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung.

2) Ijtimak qabla al-fajri

Golongan yang berpedoman pada ijtimak qabla al-fajri berpendapat bahwa permulaan bulan Qomariyah ditentukan oleh ijtimak sebelum fajar.45.

Menurut sistem ini, jika ijtimak terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah termasuk bulan baru walaupun pada saat matahari terbenam

44

Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan, h. 9. 45

(43)

pada malam itu belum terjadi ijtimak. Pendapat ini berdasarkan arti dari perintah dimulainya puasa secara harian46, sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 187:







































Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 187)

46

(44)

Di Indonesia belum diketahui secara pasti adanya para ahli yang berpegang kepada ijtimak qabla al-fajri ini. Hanya saja pendapat ini ditemukan digunakan oleh pemerintah Saudi Arabia. Hal ini terlihat pada penentuan hari raya ‘Idul Adha di tahun 1395 H atau 1975 M47.

Dari beberapa keterangan diatas, semuanya itu merupakan golongan yang memegang ijtimak semata. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, pada dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpegang kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Adapun golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk terbagi pada golongan posisi bulan di atas ufuk haqiqi, ufuk Hissi, ufuk mar’i, dan golongan Imkan ar-rukyat.

1) Ufuk haqiqi

Golongan ini berpendapat bahwa ketentuan bulan baru haruslah didasarkan kepada penampakan hilal yang benar yakni hilal harus berada diatas ufuk haqiqi48. Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau, dengan demikian jari-jari bulan, parralaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan bulan bukan untuk dilihat. Berbeda dengan perhitungan matahari terbenam, golongan

47

Ibid.

48

(45)

ini memperhitungkan unsure-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat.

Dengan demikian menurut sistem ini setelah terjadi ijtimak dan hilal sudah berada di atas ufuk haqiqi pada saat matahari terbenam, maka malam itu juga sudah dianggap bulan baru49.

2) Ufuk Hissi

Golongan ini berpedoman kepada posisi hilal berada di atas ufuk

Hissi50, berpendapat bahwa jika pada saat matahari terbenam telah terjadi ijtimak dan hilal sudah berada di atas ufuk Hissi, maka sudah dianggap bulan baru.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa letak perbedaan diantara keduanya adalah titik pengukuran yang dilihat si peninjau. Jika pada ufuk

haqiqi si peninjau melihatnya dari titik pusat bumi, sedangkan pada ufuk

hissi dilihat dari atas permukaan bumi.

Golongan yang berpegang kepada ufuk hissi memang kurang popular, sehingga banyak para ahli yang kurang mementingkan sistem ini. Namun system ini cukup diakui di Indonesia, meskipun penganutnya tidak terlihat banyak dan kurang terkenal.51

49

Ibid.

50

Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk haqiqi. Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariah, h. 11.

(46)

3) Ufuk Mar’i

Selain berpegang kepada ufuk haqiqi dan ufuk hissi, juga juga terdapat golongan yang berpegang kepada ufuk Mar’i. Ufuk mar’i ini masih tergantung kepada ketinggian mata pengamat dari permukaan air laut. Dimana jika ketinggian berubah, maka berubah pula horizon yang dilihatnya. Dan jika mata peninjau dari permukaan air laut, maka letak horizon yang sebenarnya merupakan ufuk haqiqi52.

Pada sistem ini bukan hanya berpedoman kepada ufuk mar,i yang memperhatikan kerendahan ufuk saja, tetapi juga memperhatikan semidiameter, parralaks, dan refraksi. Dengan perkataan lain, sistem ini memperhitungkan posisi hilal untuk dapat dirukyat (hilal mar’i), bukan memperhitungkan posisi hilal yang sesungguhnya (hilal haqiqi).

4) Imkan ar-rukyat

Golongan ini berpendapat bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak, hilal harus memiliki posisi yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk dalam golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dirukyat. Dalam hal ini ada yang berpendapat 8o, 7o, 6o, 5o, dan lain sebagainya53.

52

Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, h. 20.

53

(47)

Berkaitan dengan hal ini, pada tahun 1978 telah diadakan konferensi Internasional di Turki yang telah menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5o derajat dan sudut pandang Angular Distance antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8o54.

3. Perkembangan Hisab Di Indonesia

Dalam perjalanan sejarah hisab rukyat di Indonesia sudah barang tentu tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri di Indonesia. Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa sebelum kedatangan agama Islam, di Indonesia telah terdapat suatu perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Soko55. Tahun Soko ini didasarkan kepada peredaran matahari, dimulai pada saat penobatan Prabu Syali Wahono (Adji Soko) pada hari sabtu tanggal 14 Maret 78 M, tetapi tahun ke-I dimulai setelah satu tahun kemudian.

Tahun Soko tersebut pada tahun 1633 M digabungkan dengan tahun Hijriyah (yang didasarkan pada peredaran bulan) oleh Sultan Agung Prabu Anyokro Kusumo, tetapi tahunnya tetap tahun 1555 dengan daur atau windunya berumur 8 tahun bukan 30 tahun seperti tahun Hijriyah56.

54

Ibid.

55

Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri : Suatu perbandingan, makalah yang disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember 2004 di gedung theater lantai II., h.73.

(48)

Ketetapan itu merupakan gabungan dari penanggalan Hindu Jawa dengan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, sejak saat itu tahun Jawa yang berlaku adalah Jawa Islam57.

Dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi pada zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, maka sudah sangat jelas bahwa hal itu sebagai tanda umat Islam di Indonesia telah terlibat dalam pemikiran hisab rukyat dan sekaligus sebagai tanda adanya perubahan kemasyarakatan dari kehinduan menjadi masyarakat yang keislaman.

Pada perkembangan selanjutnya penggunaan kalender Hijriyah ini diubah menjadi kalender Masehi oleh penjajah Belanda sebagai kalender resmi pemerintahan. Namun meski demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, khususnya segala penetapan yang berkaitan dengan persoalan ibadah diserahkan kepada kerajaan-kerajaan Islam, seperti penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah58.

Setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur mulai terjadi perubahan. Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 194659, persoalan-persoalan hari libur yang berkaitan dengan ibadah diserahkan kepada Departemen ini sesuai dengan PP tahun 1946 No.

57

Satu tahun ditetapkan sama yaitu 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal, Dulkongidah, dan Besar.

58

Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003, cet.I, h. 49.

59

(49)

1/Um.7/Um.9/um jo keputusan Presiden No. 25 tahun 1967 No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.

Meskipun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama, namun secara praktis sampai saat ini terkadang masih belum seragam. Hal ini sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyat.

Dengan adanya fenomena tersebut Departemen Agama berinisiatif membentuk Badan Hisab Rukyat Departemen Agama guna mempertemukan perbedaan-perbedaan tersebut, meskipun dalam kenyataannya masih belum terwujud. Hal ini dapat terlihat seringkali terjadi perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idhul Adha.

Melihat fenomena tersebut Ahmad Izzudin mengemukakan bahwa, persoalan hisab rukyat ini masih terkesan formalitas, belum membumi dan belum menyeluruh pada akar penyatuan yang baik. Sehingga wajar kiranya di masa pemerintahan Gus Dur, sebagaimana disampaikan Wahyu Widiana ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Work Shop Nasional mengkaji ulang metode penetapan awal shalat yang diselenggarakan UII Yogyakarta, pada tanggal 7 April 2001 bahwa badan hisab rukyat ini akan dikembalikan pada masyarakat (Umat Islam Indonesia)60. Namum meski demikian eksistensi badan hisab rukyat di Indonesia ini telah memberikan warna

60

(50)

tersendiri dalam dinamika penetaapan awal bulan Qomariyah khususnya awal bulan Ramadhan di Indonesia.

C. Hisab Rukyat Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan

Dalam Islam, banyak sekali ibadah-ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, sehingga suatu ibadah tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa mengetahui waktu-waktu syari’at terlebih dahulu. Salah satunya adalah ibadah Puasa Ramadhan, untuk melaksanakan ibadah tersebut sangat diperlukan adanya suatu penetapan bagi pelaksanaannya. Dengan demikian guna mendapatkan ketetapan tersebut perlu kiranya suatu perhitungan atau hisab bagi permulaan dan akhir bulan khususnya bulan Ramadhan, yang mana hal ini akan menjadi fondasi awal dalam pelaksanaan ibadah Puasa.

Perhitungan atau hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan ini akan memungkinkan ahli hisab dalam mengetahui posisi bulan dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan jauh sebelum waktunya. Hal ini akan sangat berguna bagi masyarakat Islam untuk lebih meyakinkan diri mereka dalam melaksanakan ibadah puasa.

Penentuan awal bulan kalender Islam, khususnya awal bulan Ramadhan dan Syawal sering menimbulkan problematika yang kompleks bagi ummat Islam. Problematika ini muncul akibat dari adanya beberapa faktor61 , diantaranya :

61

(51)

1. Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya menentukan awal bulan Hijriyah, khususnya awal bulan Ramadhan.

2. Perbedaan antara hasil-hasil pengamatan lapangan. 3. Perbedaan antara berbagai macam metode perhitungan. 4. Perbedaan antara pengamatan dan perhitungan.

Dari beberapa faktor

Referensi

Dokumen terkait

Sistem hisab yaitu usaha menentukan awal bulan Qamariyah yang menjadikan perhitungan peredaran bulan mengelilingi matahari sebagai dasarnya. Pengertian lain

1. Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada imkan rukyat, sekalipun tidak ada laporan rukyatul hilal. Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab

Hisab awal bulan Kamariah Qathr al-Falak merupakan metode hisab awal bulan kamariah yang dibuat oleh Qatrun Nada yang unik dan berbeda dengan metode hisab awal bulan

Dalam hal ini di Indonesia mempunyai kebijakan dengan menggunakan dua metode khususnya dalam penentuan awal bulan Ramadhan yaitu Hisab dan rukyat, Hilal

Berdasarkan pembahasan dan uraian mulai dari Bab I hingga Bab IV diperoleh kesimpulan bahwa penyusunan Takwim Awal Bulan Hijriyah Prodi Ilmu Falak UINSA

Hisab dan rukyat adalah dua metode penetapan awal bulan dalam Islam.. yang hasil penetapannya kemudian dikenal dengan sebutan Kalender

Dalam perhitungan hisab, terdapat perbedaan pandangan tentang konsep penentuan awal bulan qamariah, yaitu : Perbedaan pandangan kelompok yang berpegang pada ijtimak

Mursyid tarekat Naqsabandiyah, Syafri Malin Mudo juga tidak menutup diri untuk mempelajari metode hisab rukyah yang lain dalam penentuan awal bulan kamariah,