• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi September 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi September 1998"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBENAHI PERATURAN PENDIDIKAN KITA

DARI UU PENDIDIKAN SAMPAI SK MENTERI

Oleh : Ki Supriyoko

Mengapa pendidikan nasional Indonesia berjalan sangat lamban dan terkesan kurang energi? Ya, karena banyak peraturan pendidikan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan alam dan jaman! Itulah salah satu manifestasi dari "Teori Legalistik" yang dapat kita kembangkan untuk membuat klarifikasi atas berbagai permasalahan menyangkut lambannya perjalanan pendidikan nasional kita.

Seperti sudah kita ketahui dan kita sadari bersama bahwa sesung-guhnya perjalanan pendidikan nasional kita relatif lamban, baik kalau dibandingkan dengan perjalanan pendidikan di negara-negara manca pada umumnya maupun kalau dibandingkan dengan tuntutan kemajuan masyarakat.

Secara konkret kita bisa membandingkannya dengan tetangga kita yang paling dekat; Malaysia misalnya. Sekarang penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, sedangkan penduduk Malaysia hanya sepersepuluhnya saja. Meskipun demikian ternyata jumlah mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Amerika Serikat (AS) setara dengan jumlah mahasiswa Malaysia. Padahal, seharusnya jumlah mahasiswa Indonesia mencapai sepuluh kali lipat daripada mahasiswa Malaysia. Sepuluh s/d dua puluh tahun lalu banyak mahasiswa Malaysia yang bersekolah dan menempuh studi lanjut di Indonesia; misalnya UGM Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ITB Bandung, IPB Bandung dan UI Jakarta. Sekarang justru banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh studi lanjut di Malaysia; misalnya di Universiti Malaya (UM) Kuala Lumpur, Universiti Pertanian Malaysia (UPM) Selangor, dsb.

Dari ilustrasi konkret tersebut tergambar jelas betapa lambannya perjalanan pendidikan nasional kita; dan hal itu tidak dapat dilepaskan dari materi peraturan pendidikan yang oleh banyak kalangan dinilai tidak antisipatif dan tidak lagi produktif.

Peraturan Pendidikan

Kalau kita deskripsi sebenarnya banyak komponen yang terdapat dalam peraturan pendidikan nasional kita; yang bersifat nasional saja yaitu meliputi

(2)

Keputusan Bersama Menteri (KBM), dan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kalau kita tidak ingin "mengutak-utik" UUD, dalam hal ini UUD 1945, meskipun sudah ada pihak-pihak tertentu yang mempermasalah-kannya, kita dapat memulai dari tingkat UU yang dalam hal ini adalah UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kiranya kita pun harus menyadari bahwa untuk menyusun UU ini memerlukan enerji yang khusus, dan baru dapat tercapai selama 44 tahun setelah bangsa kita menyatakan kemerdekaannya. Sepertinya Tuhan telah mengatur bahwa UU pendidikan kita baru dapat direalisasi persis satu abad ter-hitung dari hari lahir Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar lahir pada 2 Mei 1889 dan UU pendidikan lahir pada 2 Mei 1989; persis berselisih 100 tahun. Undang-Undang yang dibuat dengan susah payah itu kini mulai nampak kelemahannya; misalnya mengenai konsepsi hubungan antar civitas sekolah yang tidak "mengeluarga". Penyebutan siswa dengan terminologi 'peserta didik' (bukan anak didik) mengesankan hubungan yang formal dan kaku antara guru (pamong) dengan siswa. Formalitas dan kekakuan ini telah melunturkan kekuatan sekolah sebagai lembaga pendidikan untuk menanamkan budi pekerti luhur pada anak didiknya.

UU pendidikan kita juga kurang memuat aturan-aturan yang dapat menumbuhkan semangat kompetitif siswa baik secara individual mau-pun kolegial guna menghadapi pergulatan teknologi dan industrialisasi yang semakin seru.

Pada sisi lainnya UU pendidikan kita kurang mampu mendorong pelaksanaan pendidikan dengan wawasan global. Akibatnya selama ini kita masih bersikutat dengan muatan lokal belum terfikirkan muatan global. Padahal di negara-negara lainnya seperti Philippina, Malaysia, Australia, Jepang dan apalagi negara-negara di AS dan Eropa sudah lama saling mengaplikasi sistem pendidikan global.

Kalau di Philippina sudah dibentuk lembaga yang disebut Peacefull Council and

Global Education Movement (PCGEM) dan ber-aktivitas secara konkret dan

konstruktif untuk membangun wawasan global anak didik (dan guru) hal itu menunjukkan adanya kesungguhan untuk mengaplikasi sistem pendidikan yang berwawasan global. Kalau sekolah-sekolah di Australia dan Taiwan telah dibuka jaringan sekolah secara internasional (international school network) ke berbagai ne-gara hal itu juga menunjukkan kesungguhan yang sama. Harus diakui bahwa sekolah-sekolah kita belum sampai pada tahapan itu.

Dengan demikian apakah itu berarti bahwa UU pendidikan kita mengandung kelemahan? Tentu saja memang demikian adanya! Lalu, apakah hal itu berarti UU pendidikan harus segera dibenahi? Secara esensial memang demikianlah adanya; namun demikian secara empi-rik masih banyak hal yang harus didiskusikan untuk mengganti suatu undang-undang, termasuk UU pendidikan kita tersebut. Mungkin saja kesimpulan diskusinya adalah (sekedar) menyempurnakan UU, belum sampai mengganti UU.

(3)

Aktivitas yang lebih strategis untuk kondisi ekonomi dan situasi politik kita sekarang ini kiranya lebih tepat difokuskan pada PP, lebih khusus lagi PP No.28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No.29/1990 tentang Pendidikan Menengah dan PP No.30/1990 tentang Pendidikan Tinggi.

Mengapa demikian? Karena ketentuan dan aturan main dalam PP itulah yang langsung dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan. Dengan demikian kalau di lapangan sering dijumpai berbagai kasus kebijakan pendidikan yang "janggal" hal itu dikarenakan (diantaranya) peraturan pelaksanaan yang janggal pula; dan itu semua bersumber pada kejanggalan dalam PP. Dapatlah dikonklusi bahwa terdapatnya kejanggalan dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan sedikit banyak PP pendi-dikan itulah yang menjadi "biang keladi".

Kalau kita telaah lebih tajam sebenarnya banyak ketentuan dalam PP yang tidak lagi efektif dan produktif; baik yang menyangkut materi, metoda maupun teknis. Ketidakefektifan dan ketidakproduktifan PP tentu berdampak nyata pada pelaksanaan pendidikan.

Kelemahan Dasar

Kelemahan PP juga terjadi dari hal-hal yang paling dasar sampai yang prinsipial. Mengenai penamaan satuan pendidikan misalnya; hal ini sangatlah mendasar namun pemerintah belum mampu (mau?) untuk memperbaikinya. Konkretnya pada jenjang pendidikan dasar kita ini memiliki satuan pendidikan yang disebut Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Logika akademik mana yang membenarkan adanya sekolah lanjutan pada jenjang pendidikan dasar?

Kalau kita punya sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) kenapa kita tidak memiliki sekolah lajutan tingkat kedua, ketiga, dan seterus-nya. Mengapa dari SLTP lalu ke sekolah menengah? Kalau kita punya sekolah menengah mengapa tidak memiliki sekolah bawah? Kalau kita memiliki Sekolah Menengah Umum (SMU) mengapa kita tidak memi-liki Sekolah Menengah Khusus. Belum lagi kalau kita lakukan analisis lebih kritis lagi bahwa penamaan "sekolah umum" sama sekali tidak mengandung nilai-nilai akademis yang layak.

Bagaimana dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)? Pengka-tegorian SMK menjadi enam kelompok,yaitu Kelompok Pertanian dan Kehutanan (PK), Teknologi dan Industri (TI), Bisnis dan Manajemen (BM), Kesejahteraan Masyarakat (KM), Pariwisata (PR), serta Seni dan Kerajinan (SK) telah menyulitkan pengembangan SMK sebagai lembaga pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan secara interdisipliner.

Di Taiwan ada sekolah kejuruan yang sangat terkenal, namanya adalah Taipei

Industrial and Manajerial School (meski saya pernah berkunjung tetapi lupa

persisnya). Di sekolah tersebut dikembangkan jurusan-jurusan yang saling berkorelasi; misalnya ada Jurusan Teknik Elektro dan ada Jurusan Manajemen

(4)

(teknik) sekaligus dapat memasarkannya sendiri (manajemen). Keterampilan ini dapat diperoleh dalam satu sekolah. Di Indonesia hal ini tidak mungkin ter-jadi karena menurut ketentuan untuk membuat barang harus dilakukan sekolah kelompok TI, misalnya Sekolah Teknologi Menengah (STM), sedangkan untuk memasarkannya dilakukan sekolah kelompok BM, misalnya Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA).

Kekeliruan Konsepsional

Masih soal PP, sebenarnya ada pula kekeliruan mendasar dalam ketentuan yang dimuat dalam beberapa pasal. Misalnya soal akreditasi yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 121 PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi.

Apabila kita cermati, secara eksplisit Pasal 121 PP menyebutkan bahwa Mendikbud menetapkan tata cara pengawasan mutu dan efisi-ensi perguruan tinggi

(ayat 1). Tata cara pengawasan yang dimaksud dilakukan dengan penilaian berkala

meliputi kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan, keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik, kepe-gawaian, keuangan dan kerumahtanggaan (ayat 2). Adapun teknis penilaian sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 tersebut dilaksanakan badan akreditasi yang diangkat langsung oleh Mendikbud (ayat 3).

Dari referensi legalistik tersebut di atas terlihat adanya beberapa kekeliruan yang sangat mendasar sbb: (1) penilaian mutu dan efisiensi perguruan tinggi dilakukan dengan mengaplikasi kriteria administratif, bukan kriteria akademik; (2) badan akreditasi tidak independen karena hanya merupakan "alat" menteri pendidikan; dan (3) penentuan hasil akreditasi akademik terdapat pada menteri pendidikan yang nota bene sebagai lembaga "penguasa", bukan lembaga profesional.

Mengenai penilaian mutu dan efisiensi perguruan tinggi yang di-lakukan dengan mengaplikasi kriteria administratif dapat dilihat bahwa konstruksi BAN sebagai badan akreditasi tidak dilengkapi dengan para pakar keilmuan, tetapi cenderung pada orang yang dapat menjalankan peran administratif secara baik.

Dalam mekanisme kerja BAN terjadi seseorang yang telah ditugasi untuk mengakreditasi bidang A pada kesempatan yang berikutnya juga ditugasi mengakreditasi bidang B, padahal di antara A dengan B sama sekali berbeda disiplin keilmuannya. Pada sisi yang lainnya juga terjadi suatu perguruan tinggi yang umumnya mengembangkan banyak program studi (baca: disiplin keilmuan) akan tetapi harus diakreditasi oleh lembaga akreditasi yang sama untuk tiap program studinya, yang dalam hal ini lagi-lagi oleh BAN itu sendiri.

Aneh tetapi nyata! Hal itu ternyata dapat dilaksanakan oleh BAN karena dalam menilai mutu perguruan tinggi lembaga ini lebih diaplikasi kriteria administratif, padahal kriteria akademik seharusnya lebih dominan.

(5)

Dalam soal akreditasi tersebut barangkali kita masih perlu banyak belajar dari Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang termasuk awal dalam mengembangkan konsep akreditasi. Setiap perguruan tinggi AS yang mengembangkan banyak program studi umumnya diakreditasi oleh banyak lembaga akreditasi sekaligus karena kriteria kualitas yang diaplikasi ialah kriteria akademik/keilmuan. Di AS tidak mungkin satu perguruan tinggi hanya diakreditasi oleh satu lembaga akreditasi.

Mari kita angkat ilustrasi konkret pada Arkansas Tech University (ATU) di Russellville, Arkansas. Universitas yang mempunyai ribuan mahasiswa dengan ratio profesor-mahasiswa sebesar 1:18 ini telah mengembangkan lebih dari 60 program studi. Ada belasan lembaga yang mengakreditasi perguruan tinggi ini berdasar program studinya masing-masing; yaitu National Council for Accreditation of

Teacher Education, National Association of Schools of Music, National League for Nursing, National Recreation and Park Association, Committee on Allied Health Education and Accreditation of The American Medical Association, Medical Assistant and Medical Record Administrator, Engineering Accreditation Commission of The Accreditation Board for Engineering and Technology, American Chemical Society, dan sebagainya.

Lebih dari itu bahkan sudah menjadi kebiasaan dan kebanggaan kalau ada satu program studi yang diakreditasi oleh banyak lembaga akreditasi sekaligus.

Di San Francisco, California (AS) ada akademi seni yang disebut Academy of Art College (AAC). Banyak program studi di akademi ini yang diakreditasi oleh banyak lembaga sekaligus; seperti Commission of Career Schools and Colleges of

Technology, National Association of Schools of Art and Design, Foundation for Interior Design Education and Research, Career College Association, Internatio-nal Council of Design Schools dan College Art Association.

Dari ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa kriteria yang diaplikasi untuk menilai kualitas perguruan tinggi adalah kriteria akademik/keil-muan; dan sebagai konsekuensinya yang menjalankan akreditasi ialah badan atau lembaga akreditasi yang profesional akademik. Sedangkan di Indonesia yang diaplikasi adalah kriteria administratif untuk menilai kualitas akademik. Di sinilah letak kekeliruan konsepsionalnya.

Soal Independentitas

Lembaga BAN yang dibentuk menteri pendidikan menempatkan badan tersebut sebagai lembaga yang tidak independen. Padahal bukan menjadi rahasia umum lagi kalau ada lembaga yang tidak independen maka akan mudah diintervensi pihak sponsor; dalam hal ini menteri pendidikan yang nota bene sebagai pihak penguasa. Jadi kalau menteri pendidikan menginginkan A maka BAN haruslah mengkondisikannya, demikian pula kalau pemerintah menginginkan B, C, dst.

Keadaan itu tidak bernuansa akademik karena menempatkan pihak penguasa yaitu menteri pendidikan untuk mengambil keputusan akre-ditasi akademik; pada hal

(6)

yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Ini kekeliruan lagi!

Dengan tanpa maksud mengkultuskan, lagi-lagi kita bisa melihat lembaga akreditasi di AS. Lembaga akreditasi di AS umumnya tidak dibentuk oleh pemerintah akan tetapi oleh kaum profesional akademik dan/atau lembaga akademik yang kredibilitasnya tidak perlu disangsikan. American Chemical Society (ACS) dan

American Educational Research Association (AERA) itu masing-masing dibentuk

oleh para ahli kimia dan pakar pendidikan beserta praktisinya (individu); sedang untuk Commission of Career Schools and Colleges of Technology (CCSCT) dibentuk oleh program studi teknologi yang ada di sekolah, kolej dan universitas (lembaga).

Dari ilustrasi di atas ada perbedaan latar belakang eksistensional. Eksistensi badan akreditasi di Indonesia dibentuk oleh "penguasa" se-hingga tidak independen, sedangkan di AS dibentuk oleh masyarakat sehingga independentitasnya bisa dijamin.

Tentang Ebtanas

Di samping tingkat PP ada pula kelemahan peraturan pendidikan kita di tingkat kebijakan dan/atau keputusan menteri; sebagai misal kebijakan mengenai diselenggarakannya Evaluasi Belajar Tahap Akhir tingkat Nasional atau yang dikenal dengan Ebtanas. Seperti diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah kita mengaplikasi sistem Ebtanas untuk menyelenggarakan evaluasi belajar terhadap siswa SD, SLTP, SMU dan SMK.

Bahwa konsepsi Ebtanas itu sangat konstruktif, yaitu menyamakan dan meningkatkan kualitas sekolah yang sederajat dan sejenis, kiranya memang tidak dapat dipungkiri; namun demikian di tingkat operasional ternyata pelaksanaannya amat destruktif. Dampak negatif yang timbul atas penyelenggaraan Ebtanas sudah melampaui batas-batas toleransi edukatif.

Ebtanas kita diselenggarakan berdasarkan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 43 menyebutkan bahwa terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilaksanakan penilaian; sementara itu Pasal 44 menyebutkan bahwa pemerintah dapat menye-lenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.

Secara lebih terinci penyelenggaraan Ebtanas SD dan SLTP diatur di dalam PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar. Pasal 19 PP ini menyebutkan penilaian kegiatan dan kemajuan belajar siswa dilakukan untuk mengetahui perkembangan dan hasil belajar siswa (ayat 1); adapun penilaian hasil belajar siswa pada akhir pendidikan dasar dilakukan untuk memberi Surat Tanda Tamat Belajar (ayat 2); dan penilaian ini dimaksudkan untuk membantu perkembangan siswa dan memperoleh keterangan tentang mutu pendidikan dasar secara nasio-nal (ayat 3).

(7)

Sementara penyelenggaraan Ebtanas SMU dan SMK diatur lebih terinci dalam PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah. Pasal 20 PP No. 29/1990 memiliki esensi yang sama dengan Pasal 19 PP No. 28/1990; hanya konteksnya saja yang satu sisi untuk SD dan SLTP sedangkan sisi lainnya untuk SMU dan SMK.

Berdasarkan amanat UU dan PP tersebut selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri, dalam hal ini ialah Mendikbud tentang bentuk evaluasi nasional dan pelaksanaannya. Dan, ternyata yang dipi-lih pemerintah bentuk evaluasinya adalah Ebtanas.

Pada dasarnya konsepsi Ebtanas itu sendiri sangatlah positif dan konstruktif; hanya saja nampaknya Ebtanas tidak bisa menghindarkan diri dari "syndroma

ketuaan". Sistem yang sudah tua (berumur) pada umumnya memunculkan

kelemahan, baik di dalam konsep ataupun di dalam operasionalnya.Ebtanas yang sudah diaplikasi sejak tahun 1984, sehingga sekarang ini umurnya sudah 15 tahun, makin terlihat kelemahan atau kecacatannya.

Dari sisi konsep kecacatannya sbb: mestinya materi dan metode Ebtanas berlaku sama untuk seluruh siswa di Indonesia (termasuk se-kolah Indonesia di luar negeri), akan tetapi realitasnya materi Ebtanas tidak lagi sama. Dalam realitasnya materi Ebtanas untuk sekolah-se-kolah di Jawa dengan di luar Jawa tidak sama; bahkan antara sekolah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta yang sama-sama di Pulau Jawa sudah berbeda-beda.

Secara metodologis perbedaan materi Ebtanas dapat saja dilakukan sepanjang ada jaminan kesamaan tentang "inter-rater validity"; namun pemerintah tidak pernah berani memberikan jaminan. Adanya perbedaan ini menyebabkan timbulnya perbedaan kemampuan nyata (riil) lulusan sekolah; dengan demikian hal ini memunculkan masalah diskriminasi pada sistem penerimaan siswa baru di SLTP dan SMU (juga SMK) yang mendasarkan penerimaan pada nilai Ebtanas.

Pada sisi yang lain semenjak Ebtanas diaplikasi muncul banyak keluhan di lapangan mengenai sulitnya soal-soal Ebtanas untuk bidang studi tertentu di SD, SLTP, SMU maupun SMK. Mengenai hal ini sebaiknya pemerintah segera melaksanakan perhitungan "Index of Defficulty" (ID) dan mengumumkannya kepada kalangan terbatas. Tetapi rupanya hal ini tidak pernah dilaksanakan secara profesional dan transparan oleh pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan. Kalau di dalam struktur Depdikbud terdapat lembaga Balitbang maka lembaga itulah yang paling tepat melakukan tugas ini.

Di lapangan banyak guru, yang mestinya "digugu lan ditiru" (dipatuhi dan diteladani), melakukan tindakan yang sangat tidak ter-puji; yaitu memanipulasi nilai. Karena angka kelulusan (X) sangat tergantung dari faktor nilai sekolah (P dan Q) serta Nilai Ebtanas (R), pada hal umumnya nilai Ebtanasnya rendah, maka para guru pun dia-jari untuk "menyulap" nilai sekolah. Aneh bin ajaib, semakin bodoh siswa justru makin tinggi nilai sekolahnya agar supaya nilai kelulusan-nya tercapai pada kriteria yang layak.

(8)

Keadaan tersebut tidak saja telah menimbulkan kecemburuan di kalangan siswa akan tetapi juga telah menjatuhkan wibawa guru serta wibawa sekolah dimata siswa dan masyarakat pada umumnya. Banyak guru yang bekerja tidak sesuai dengan kata hatinya. Akhirnya dapat dimaklumi kalau banyak guru yang menderita tekanan batin; meskipun mereka menyadari sebagai korban sistem tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Di Indonesia ini guru tidak memiliki "bargaining power" yang kuat. Meskipun sadar menjadi korban sistem akan tetapi mereka sadar pula tidak dapat berbuat banyak. Sungguh kasihan nasibnya.

Ketuaan sistem Ebtanas tersebut juga menyebabkan kemudahan bagi oknum tertentu untuk menyiasati sistem; akhirnya nilai murni dapat dipalsukan, koreksi dapat diplesetkan, bahkan nilai dapat diperjual-belikan. Apabila di Bandung pernah terjadi "gegeran" gara-gara ada kasus pemanipulasian nilai Ebtanas, apabila di Surakarta pernah agak "panas" karena ada kasus kebocoran Ebtanas, apabila di Jakarta ada keramaian karena kasus "pemusnahan" berkas jawaban Ebtanas, dan apabila di kota-kota lain juga muncul banyak kasus serupa hal itu membuktikan bahwa sistem Ebtanas sudah tidak efektif lagi dilaksanakan di sekolah-sekolah. Yang menjengkelkan pengelola sekolah swasta adalah ada kesan bahwa Ebtanas telah "diproyekkan" oleh oknum Depdikbud. Siswa sekolah swasta ditarik beaya yang tinggi dan disetor ke Depdikbud hanya untuk mengikuti Ebtanas yang menjadi haknya; sementara itu siswa sekolah negeri tidak demikian halnya. Hal ini benar-benar tidak bijaksana karena sangat diskriminatif.

Padahal apapun yang berbau proyek itu sekarang ini sangat rawan terhadap penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Itu berarti kalau Ebtanas sampai diproyekkan maka menularnya penyakit KKN di dalam tubuh Depdikbud sebagai pihak pelaksana Ebtanas sangat sulit untuk dihindarkan.

Kesimpulannya: peraturan pendidikan kita sekarang ini telah ba-nyak menimbulkan ekses yang negatif, oleh karena itu tiba waktunya untuk membenahi peraturan pendidikan kita !!!*****

---

BIODATA SINGKAT;

*: DR. Ki Supriyoko, M.Pd

*: Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; serta Ketua Umum Wahana Konsultasi Pendidikan (WKP) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

*: Doktor di bidang penelitian dan evaluasi pendidikan

 

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pengaruh dan kadar optimum pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lusi) sebagai substitusi agregat halus dengan pemnfaatan batu apung

Gambar 10 Anyaman Rotan Jruna Kembar Besar, Jruno Kembar Kecil, dan Silang Ghedek. Finishing dari rotan dapat modern nilai estetika pula. Pada tahun 1970-an, kursi rotan

Departemen Pemasaran dan Kepesertaan Kepala Divisi Regional Melakukan analisa data Menyusun konsep laporan Menyetujui konsep laporan Menerima laporan Setuju Memberikan

Nilai korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter cukup bervariasi antar sub galur dan memberikan indikasi bahwa tanaman nyawai memiliki variasi yang besar antar sub

Skripsi ini berjudul Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) merupakan karya ilmiah yang disusun

Menurut data FAOSTAT (2010) produksi kelapa Indonesia menduduki ranking pertama kemudian disusul Philipina, India, Srilanka, dan Brazil. Namun demikian produktifitas

Hubungan antara jurnal dan penelitian ini adalah Korelasi yang positif antara kompleksitas organisasi, dalam hal ini public relations sebagai perencana strategi

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)