4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Umum Danau Singkarak 4.1.1. Kondisi umum Danau Singkarak Danau Singkarak merupakan danau vulkanis, yaitu danau yang terbentuk dari bekas letusan gunung berapi. Danau ini terletak pada 100º 28’ 28” BT ‐ 100º 36’ 08” BT dan 0º 32’ 01’ LS ‐ 0º 42’ 03” LS. Danau ini memiliki luas permukaan air sekitar 10.908,2 ha, kedalaman maksimum 271,5 m, kedalaman rata‐rata 178,677 m, panjang maksimum 20,808 km, lebar maksimum 7,175 km, luas daerah aliran 1.076 km2 dan terletak pada ketinggian 369 m dpl. Curah hujan yang masuk ke danau ini berkisar antara 82‐252 mm/bulan (Syandri 2008). Sumber air Danau Singkarak yang relatif besar berasal dari Sungai Sumpur yang masuk dari sebelah utara, Sungai Paninggahan di sebelah barat, dan Sungai Sumani di sebelah selatan. Dari sungai‐sungai tersebut, air Sungai Sumani yang masuk ke Danau Singkarak mempunyai kualitas yang kurang baik, terlihat dari warna air kecoklatan dan banyak limbah rumah tangga yang hanyut ke dalam sungai. Sungai yang mengalirkan air danau keluar (outlet), secara alami satu‐ satunya adalah Sungai Ombilin yang bermuara ke pantai timur (Propinsi Riau) melalui Sungai Indragiri.Muka air Danau Singkarak pada beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan yang diakibatnya sungai‐sungai yang bermuara ke danau mulai mengalami kekeringan. Diduga penyebab keringnya air sungai‐sungai tersebut adalah hutan yang sudah gundul pada daerah catchment area serta terjadinya penurunan elevasi (tinggi muka) air danau akibat beroperasinya PLTA Singkarak. PLTA Singkarak dibangun sejak tahun 1992 sampai 1998 menggunakan tipe terowongan dan terjunan tinggi sehingga mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 175 MW. Setelah PLTA ini beroperasi sejak Januari 1998 hingga Desember 2001 tinggi muka air berfluktuasi antara 360,2 – 363,0 m dpl (rataannya 361,9 m dpl). Purnomo et al. (2006) menyebutkan bahwa data realisasi pengaturan tinggi muka air setiap tahunnya menunjukkan penurunan,
yaitu laju penurunan muka air dari tahun 1998‐2001 adalah sekitar 0,25‐0,42 m/bulan.
Muaro Pingai (Stasiun 1) terletak di bagian barat daya dari Danau Singkarak. Muaro Pingai memiliki lebar sungai sekitar 10 m dan daerah tepian dari muara sungai ini merupakan areal pertanian dan kebun kelapa. Muara sungai ini airnya masih relatif jernih, berarus cukup deras, dan lebih sempit dibandingkan dengan muara Sungai Paninggahan dan Sungai Sumpur. Muaro Pingai mempunyai substrat dasar berupa pasir berbatu, sangat mendukung ikan bilih untuk memijah pada kawasan ini. Di daerah ini ikan bilih ditangkap dengan menggunakan alahan (fish trap), jaring langli (gill net), jala lempar, dan masih ditemukan penggunaan setrum untuk menangkap ikan. Pada umumnya nelayan menangkap ikan di sekitar alahan, tetapi ada juga nelayan yang menangkap ikan ke tengah danau dengan menggunakan perahu dayung atau perahu motor tempel.
Gambar 5. Muaro Pingai (Stasiun 1) Sumber : Dokumentasi Pribadi (2009)
Muara Sungai Paninggahan (Stasiun 2) juga terletak di bagian barat daya dari Danau Singkarak (tepatnya di barat laut Muaro Pingai). Daerah ini tergolong perairan yang landai dengan lebar muara sekitar 12 m dengan substrat dasar berupa pasir berbatu. Perairannya masih tergolong jernih dan berarus tidak terlalu deras. Pada daerah muara sungai ini terdapat beberapa alahan untuk menangkap ikan bilih. Nelayan daerah ini, sama halnya dengan nelayan daerah
Muaro Pingai, menangkap ikan dengan menggunakan alahan (fish trap), jaring langli (gill net), jala lempar, dan juga masih ditemukan penggunaan setrum untuk menangkap ikan. Gambar 6. Muara Sungai Paninggahan (Stasiun 2) Sumber: Dokumentasi pribadi (2009)
Selanjutnya Sungai Sumpur (Stasiun 3), terletak di bagian utara Danau Singkarak. Muara sungai ini cukup luas yaitu memiliki lebar sekitar 15 meter dengan substrat dasar berupa pasir, kerikil, serta lumpur dan kondisi perairan di sekitar muara yang cenderung lebih keruh. Hal ini diduga disebabkan oleh substrat dasar yang mengandung lumpur, sehingga jika terjadi pengadukan atau adanya arus maka air menjadi keruh. Tahun 2004, pada daerah muara Sungai Sumpur dibangun sebuah suaka perikanan bagi ikan bilih dengan menyewa salah satu alahan yang dimiliki penduduk (kaum) yang kemudian direnovasi sedemikian rupa sehingga sangat cocok sebagai tempat memijah bagi ikan bilih, tetapi sangat disayangkan suaka perikanan tersebut pada saat ini tidak lagi berfungsi dikarenakan terjadinya kerusakan akibat banjir bandang tahun 2008. Air tidak dapat mengalir dengan lancar ke dalam bangunan suaka perikanan sehingga ikan bilih tidak dapat masuk ke dalam tanggul suaka ini.
Nelayan di daerah muara Sungai Sumpur tidak lagi menggunakan alat dan bahan berbahaya untuk menangkap ikan karena adanya peraturan nagari yang melarang dan memberikan sangsi tegas terhadap nelayan yang melanggar, sehingga nelayan hanya menggunakan alahan, jaring langli, pancing, dan jala
lempar untuk menangkap ikan. Di Sumpur, waktu untuk menangkap ikan pada daerah muara sungai diatur setiap setengah jam sekali dan nelayan yang menangkap juga harus bergantian, masing‐masing nelayan mempunyai waktu untuk menangkap ikan. Hal ini diduga dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi sebagian ikan bilih untuk memijah terlebih dahulu sebelum akhirnya tertangkap. Nelayan setempat cukup mengerti dan mematuhi kebijakan yang dibuat oleh nagari, karena telah menyadari pentingnya melestarikan ikan bilih agar stoknya di alam tetap terjaga dan lestari.
Gambar 7. Muara Sungai Sumpur (Stasiun 3) Sumber : Dokumentasi pribadi (2009) 4.1.2. Kondisi fisika dan kimia perairan Danau Singkarak
Pemanfaatan Danau Singkarak oleh masyarakat untuk kegiatan sehari‐ hari (seperti mandi, mencuci pakaian, menangkap ikan, sumber air, irigasi areal sawah, dan lain sebagainya) serta pemanfaatan oleh pihak pemerintah (PLN melalui PLTA Singkarak) menyebabkan kondisi perairan Danau Singkarak mengalami penurunan dari tahun ke tahun pada beberapa parameter kualitas air fisika dan kimia (Tabel 11).
Tabel 11. Kondisi kualitas air perairan Danau Singkarak
Parameter Satuan BMKA Tahun pengambilan contoh air
Kelas II 1984 1993 1997 2006 2007 2008 2009 Fisika Temperatur ºC Dev. 3 27 26 27,6 29 30 28 23‐31,8 TDS mg/l 1000 ‐ ‐ ‐ 91,8 93,6 5,4 ‐ TSS mg/l 50 ‐ ‐ ‐ 2,0 17 2,0 ‐ Kecerahan m 5,5 0,3 3,1 ‐ ‐ 3,6 5 Kimia pH unit 6‐9 8,4 7,5 8,4 6,5 6,5 5,8 7,2‐8,8 BOD mg/l 3 ‐ ‐ ‐ 4,58 6,8 12,56 ‐ COD mg/l 25 ‐ ‐ ‐ 18,7 39 31,68 ‐ DO mg/l 4 6,6 8,3 ‐ 6,34 4,3 6,3 4,5‐8,05 Total Fosfat sebagai P mg/l 0,2 0,19 0,02 0,36 0,43 0,46 0,59 ‐ Amonia bebas (NH3‐N) mg/l 1‐5 0,19 ‐ 0,540 ‐ ‐ ‐ ‐ Nitrat sebagai N mg/l 10 0,14 ‐ 0,172 1,03 <0,1 <0,1 ‐ Nitrit sebagai N mg/l 0,06 ‐ 0,030 ‐ 0,00 1 0,002 ‐ Sumber : Data 1984 bersumber dari PSLH Unand dalam Syandri (2008) Data 1993 bersumber dari Syandri (1996) dalam Syandri (2008) Data 1997 bersumber dari Simon et al. (2000) dalam Syandri (2008) Data 2006, 2007, dan 2008 bersumber dari Syandri 2008 dalam Syandri (2008) Data 2009 merupakan data primer April 2009 4.1.2.1.Parameter fisika
Suhu adalah pengatur utama dalam proses‐proses alami yang terjadi dalam lingkungan perairan. Parameter suhu tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan organisme akuatik tetapi juga berpengaruh terhadap parameter fisika dan kimia perairan. Hasil analisis suhu perairan di setiap stasiun Danau Singkarak adalah pada stasiun Muaro Pingai berkisar pada 23‐29,5 °C, stasiun Paninggahan berkisar pada 23‐26,5 °C dan stasiun Sumpur berkisar antara 26,3‐31,8°C. Hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun pengamatan berbeda dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi perairan pada saat dilakukan pengamatan.
Kondisi kecerahan perairan di Muaro Pingai dan Paninggahan sangat baik, ditunjukkan dengan nilai kecerahan yang mencapai 100% karena kondisi air yang jernih. Pada stasiun Sumpur terdapat substasiun dengan nilai kecerahan sebesar 89%, hal ini disebabkan kandungan lumpur yang terdapat pada
substratnya. Artinya, apabila nilai kecerahannya 100% maka penetrasi cahaya dapat mencapai hingga ke dasar perairan sehingga menguntungkan biota‐biota yang hidup di dalam perairan. Kecerahan yang dimiliki setiap stasiun pengamatan cukup baik untuk mendukung proses fotosintesis di dalam perairan.
Nilai kedalaman pada setiap stasiun pengamatan berbeda‐beda, pada stasiun Muaro Pingai kedalaman berkisar antara 0,17 ‐ 5 m, stasiun Paninggahan antara 0,21 ‐ 0,34 m, dan stasiun Sumpur berkisar antara 0,21 ‐ 0,77 m. Setiap stasiun umumnya memiliki kedalaman yang tidak terlalu dalam, karena stasiun‐ stasiun pengamatan berada pada bagian pinggir danau, muara sungai, dan alahan. Daerah yang paling dalam dari antara ketiga stasiun adalah stasiun Muaro Pingai, karena salah satu substasiunnya berada pada daerah sedikit ke bagian tengah danau. Pada bagian danau yang cukup dalam (Lampiran 2), masih ditemukan tumbuhan air, hal ini disebabkan kondisi perairan yang cukup jernih sehingga masih dapat ditembus cahaya matahari hingga kedalaman tertentu. Warna perairan di lokasi Muaro Pingai memiliki air yang jernih dan sedikit berwarna kehijauan, lokasi Paninggahan memiliki warna perairan yang cenderung jernih dan bening, sedangkan pada lokasi Sumpur warna perairannya ada yang berwarna jernih kehijauan dan ada juga yang sedikit keruh hingga keruh. Warna perairan ini salah satunya terkait dengan jenis substrat dasar perairan. Pada stasiun Muaro Pingai yang letaknya di pinggir hingga sedikit ke tengah danau, substratnya berupa pasir berbatu. Pada stasiun Paninggahan yang letaknya di muara sungai dan alahan substratnya juga merupakan pasir berbatu. Berbeda dengan stasiun sebelumnya, stasiun Sumpur memiliki substrat lebih bervariasi, mulai dari pasir berbatu hingga pasir berlumpur. Sehingga diduga warna perairan yang sedikit keruh hingga keruh ini bersumber dari jenis substrat dasar perairan yang berupa pasir dan mengandung lumpur.
4.1.2.2. Parameter kimia
Beberapa parameter kimia menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas perairan Danau Singkarak. pH air yang pada awalnya cenderung basa
(pH ≥ 7) sekarang berubah menjadi kondisi asam (pH ≤ 7), hal ini menunjukkan proses pembusukan dan penguraian oleh organisme air/tumbuhan air semakin meningkat (Syandri 2008). Apabila hal ini terus terjadi, sangat tidak baik untuk kelangsungan hidup ikan bilih karena kondisi perairan yang semakin asam. Menurut Effendi (2003), pengaruh umum yang dapat terjadi pada kisaran pH 5,5 ‐ 6,0 adalah penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak; kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti; serta alga hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral.
Nilai kisaran pH yang didapat dari setiap stasiun pengamatan adalah pada stasiun Muaro Pingai nilai ph berkisar antara 7,2 ‐ 8,8, pada stasiun Paninggahan berkisar antara 7,27 ‐ 7,3, dan pada stasiun Sumpur berkisar antara 7,45 – 7,77. Menurut Baku Mutu Kualitas Air kelas II, kisaran pH yang baik untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, dan irigasi adalah pada kisaran 6 ‐ 9. Nilai pH yang didapat selama pengamatan menunjukkan bahwa kondisi kualitas air dilihat dari pH perairan dinilai masih cukup baik karena masih berada dalam kisaran baku mutu. Hasil penelitian pada tiga stasiun pengamatan didapatkan nilai pH perairan yang cenderung netral hingga sedikit basa. Nilai pH air dapat dijadikan kontrol karena berhubungan secara langsung dengan kandungan amoniak dan CO2. Artinya, pada daerah stasiun pengamatan masih dikategorikan baik terutama untuk perkembangan ikan bilih. Apabila nilai pH terus meningkat maka akan meningkatkan kadar amonia dalam perairan, akibatnya kadar racun di dalam perairan meningkat sehingga membahayakan bagi biota‐biota yang terdapat di dalamnya.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya dan difusi dari udara (Effendi 2003). Hasil penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa oksigen terlarut di perairan danau cukup tinggi. Kadar oksigen terlarut (DO) di perairan Danau Singkarak pada stasiun Muaro Pingai berkisar antara 6,2 ‐ 8,05 mg/l, stasiun Paninggahan berkisar antara 4,5 ‐ 7,4 mg/l, dan pada stasiun Sumpur berkisar
antara 5,4 ‐ 6,1 mg/l. Nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun tersebut sangat sesuai bahkan berada di atas kisaran Baku Mutu Kualitas Air kelas II untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, dan irigasi, yaitu sebesar 4 mg/l. Nilai oksigen yang lebih tinggi dari nilai baku mutu yang ditetapkan tidak menimbulkan masalah, tetapi sangat baik untuk perairan terutama untuk biota yang terdapat di dalamnya. Tingginya kadar oksigen dapat disebabkan oleh proses fotosintesis dari tumbuhan air dan organisme akuatik lain yang menghasilkan oksigen serta proses difusi oksigen dari udara bebas.
Selanjutnya, nilai BOD dan COD menunjukkan peningkatan pada 3 tahun terakhir dan menjelaskan bahwa telah melebihi nilai yang dapat ditoleransi berdasarkan Baku Mutu Kualitas Air kelas II untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, dan irigasi yaitu sebesar 0,2 mg/l. Semakin meningkatnya nilai BOD, mengindikasikan bahwa jumlah bahan organik yang masuk ke perairan danau semakin meningkat sehingga penggunaan oksigen untuk menguraikan bahan‐bahan organik yang masuk ini semakin tinggi. Bahan‐ bahan organik yang masuk ke danau berasal dari limbah rumah tangga dan limbah pertanian dari aktifitas masyarakat sekitar danau. Nilai COD pada dua tahun terakhir juga mengalami peningkatan dan telah melebihi nilai yang ditoleransi berdasarkan Baku Mutu Kualitas Air kelas II untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, dan irigasi yaitu sebesar 25 mg/l. Sama halnya dengan BOD, meningkatnya bahan‐bahan organik yang masuk ke perairan akan meningkatkan nilai COD sehingga akan meningkatkan kebutuhan oksigen dalam proses penguraian bahan organik.
Kimia perairan danau di sekitar daerah pegunungan ditentukan oleh endapan dan pelapukan batuan. Kedua proses ini juga mendominasi pasokan ifitoplankton. Sebelum mencapai danau, kandungan nutrien tersebut mengalami perubahan terlebih dahulu melalui daratan, sungai, rawa, dan daerah pesisir (Wetzel 1983 in Kopacek et al. 2000). Nutrien perairan Danau Singkarak selain berasal dari endapan dan pelapukan batuan pegunungan juga berasal dari sisa aktivitas manusia di sekitar danau.
Nilai total fosfat sebagai P, dapat dilihat bahwa mulai dari analisis pada tahun 1997 hingga tahun 2008 total fosfat di Danau Singkarak terus mengalami peningkatan. Kadar fosfor yang diperkenankan adalah 0,2 mg/l. Keberadaan fosfor yang berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah batuan mineral dan hasil dekomposisi bahan organik. Selain itu, diduga tingginya fosfor di Danau Singkarak berasal dari masukan limbah domestik rumah tangga seperti detergen dan limbah pertanian di sekitar danau. Meskipun kandungan nutrien di Danau Singkarak cukup tinggi, tetapi sampai saat ini belum menimbulkan masalah ledakan alga, hal ini diduga karena sumberdaya ikan bilih yang dominan di Danau Singkarak dan yang memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Plankton merupakan mikroorganisme yang memanfaatkan nutrien berupa nitrogen dan fosfor sehingga jika jumlah nutrien meningkat maka jumlah plankton juga meningkat, tetapi karena adanya ikan bilih yang memakan plankton maka jumlahnya di perairan tidak mengalami ledakan. Hal ini diduga menjadi penyebab perairan Danau Singkarak tidak menjadi perairan eutrofik (tingkat kesuburan tinggi). Tetapi upaya pengendalian masukan nutrien yang berlebihan perlu dilakukan karena jika jumlah ikan bilih terus menurun juga akan mengakibatkan peningkatan kelimpahan plankton karena tidak dimanfaatkan.
Konsentrasi terlarut dan variasi nutrien di danau diatur oleh berbagai faktor, yang sebagian besar yang merupakan air masukan dan pembuangan hasil assimilasi tanaman. Konsentrasi dan distribusi nutrisi tersebut juga dipengaruhi oleh pencampuran air danau melalui sambungan danau dengan perairan sekitarnya. Penyerapan partikel dan sedimentasi dapat juga mempengaruhi konsentrasi nutrien dalam perairan (Shakweer 2005). Konsentrasi nutrien di perairan Danau Singkarak dapat dikategorikan cukup baik dan belum melebihi baku mutu, sehingga dapat memenuhi kebutuhan biota‐biota dalam danau.
4.1.2.3.Plankton
Ada 43 jenis fitoplankton dan 4 jenis zooplankton yang ditemukan selama dua kali pengamatan pada tiga stasiun penelitian selama bulan April 2009 di Danau Singkarak. Jenis fitoplankton yang ditemukan dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Dinophyceae, dan Ulvophyceae. Plankton adalah salah satu parameter yang perlu diperhatikan ketersediaannya dalam ekosistem danau karena merupakan makanan utama ikan bilih dan sebagai organisme yang memanfaatkan nutrien dan bahan organik yang masuk ke perairan.
Selama pengamatan pertama pada minggu ke‐1 bulan April 2009, pada stasiun Muaro Pingai, fitoplankton permukaan yang paling banyak ditemukan berasal dari kelas Bacillariophyceae terutama Synedra dan Nitzchia. Kelas Chlorophyceae didominasi oleh jenis Cyclotella dan dari kelas Cyanophyceae didominasi oleh jenis Spirulina. Pada stasiun Paninggahan, fitoplankton yang ditemukan juga masih didominasi oleh kelas Baccilariophyceae yaitu jenis Synedra dan Nitzchia. Sedangkan dari kelas Chlorophyceae didominasi oleh jenis Cyclotella dan Cosmarium. Pada stasiun Sumpur, fitoplankton permukaan yang ditemukan masih didominasi oleh kelas Bacillariophyceae dan Chlorophyceae. Kelas Bacillariophyceae didominasi oleh jenis Synedra dan Nitzchia dan kelas Chlorophyceae didominasi jenis Cyclotella dan Mougeotia.
Pada pengamatan kedua bulan April 2009, pola yang hampir sama terlihat pada kelimpahan plankton permukaan. Pada ketiga stasiun pengamatan kelas Bacillariophyceae tetap mendominasi. Stasiun Muaro Pingai didominasi, kelas Baciilariophyceae (Nitzchia dan Synedra) serta kelas Chlorophyceae (Closterium dan Cosmarium). Stasiun Paninggahan juga didominasi oleh fitoplankton Nitzchia dan Synedra dari kelas Bacillariophycea seperti halnya stasiun Muaro Pingai. Sedangkan pada stasiun Sumpur sedikit berbeda karena fitoplankton yang mendominasi adalah jenis Navicula dan Synedra dari kelas Bacillariophyceae.
Gambar 8. Komposisi dan jumlah dari kelas plankton yang ditemukan selama pengamatan; a.) minggu ke‐1 April 2009; dan b.) minggu ke‐3 April 2009 (Data primer diolah 2009)
Kelimpahan dari fitoplankton dapat menunjukkan tingkat kesuburan dari suatu perairan. Kelompok fitoplankton yang mendominasi di Danau Singkarak adalah Baccilariophyceae, artinya perairan ini masih dalam kondisi yang baik, walaupun ditemukan kelompok plankton yang dapat membahayakan perairan jika suatu saat jumlahnya melimpah. Bacillariophyceae merupakan genera fitoplankton yang menjadi sumber utama makanan utama ikan bilih. Perairan Danau Singkarak tergolong perairan mesotrof (perairan dengan tingkat kesuburan sedang) karena memiliki kelimpahan fitoplankton dalam kisaran ≥10.000 ‐ ≤100.000 ind/l. Kelimpahan plankton di Danau Singkarak tidak terlalu
a.)
tinggi disebabkan oleh pemanfaatan plankton secara terus‐menerus sebagai sumber makanan bagi spesies dominan yang ada di danau, yaitu ikan bilih yang merupakan plankton feeder.
Hasil analisis indeks biologi plankton menunjukkan bahwa rata‐rata keanekaragaman plankton pada tiap stasiun pengamatan rendah karena nilai H’ < 2,306 kecuali pada pengamatan minggu 1 di Muaro Pingai dan minggu ke 3 di Sumpur, keanekaragaman plankton yang ditemukan dikategorikan pada keadaan sedang. Jika dilihat dari nilai indeks keseragaman fitoplankton pada tiap‐tiap stasiun menunjukkan tingkat keseragaman yaitu jumlah suatu individu suatu genus dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Indeks keseragaman terbesar terdapat pada pengamatan minggu ke‐1 di Muaro Pingai dan pada pengamatan minggu ke‐3 di Sumpur. Nilai indeks dominansi terbesar pada pengamatan minggu ke‐1 terdapat pada stasiun pengamatan Paninggahan, demikian juga halnya pada minggu ke‐3. Tabel 12. Indeks Biologi Fitoplankton di Danau Singkarak Stasiun H’ E’ C Minggu 1 Muaro Pingai 2,3207 0,8191 0,1193 Paninggahan 1,9845 0,6866 0,2087 Sumpur 2,1555 0,7458 0,1485 Minggu 3 Muaro Pingai 1,9688 0,6572 0,1983 Paninggahan 1,9131 0,6752 0,2269 Sumpur 2,3490 0,8127 0,1328 4.1.2.4.Tumbuhan air
Keberadaan tumbuhan air pada suatu ekosistem danau adalah penting selama populasinya masih dalam keadaan terkendali. Fungsi dari tanaman air antara lain sebagai sumber makanan alami bagi manusia maupun hewan, habitat (spawning, nursery, dan feeding ground) hewan invertebrata dan vertebrata air, serta sebagai tempat perlindungan biota‐biota air dari predator (pemangsa). Selain itu, tumbuhan air berdasarkan pada proses fisiologisnya dapat berfungsi untuk menahan nutrien yang berasal dari ekosistem darat dan secara fisik dapat
mengurangi kecepatan aliran air sehingga dapat mencegah erosi dan menurunkan kadar turbiditas (Leach & Osborne 1985; Newall 1995; Wade 1995; Wetzel & Gopal 2001 in Yoga et al. 2002). Keanekaragaman tumbuhan air pada suatu perairan akan memperkaya keanekaragaman habitat yang dibentuknya. Makin beranekaragam tumbuhan air, maka makin beranekaragam pula fauna yang dapat ditemukan.
Sulawesty et al. (2004) menginformasikan bahwa pada perairan Danau Singkarak ditemukan 11 jenis tumbuhan air dari kelompok tenggelam (submerge), mengapung (free floating), akar berada di dasar dengan daun mencuat ke luar perairan (emergent), dan akar di dasar dengan daun terapung (floating leaves). Jenis yang paling umum ditemukan adalah rumput ikan (Potamogeton malaianus), eceng gondok (Eichorrnia crassipes), dan lukut cai (Hydrilla verticillata). Tumbuhan air lainnya yang ditemukan adalah kremah air (Alternathera philoxeroides), Panicum repens, kangkung (Ipomoea aquatica), titiwuan (Polygonum barbatum), seroja (Nelumbo nucifera), Mimosa pigra, genjer (Limnocharis flava), dan Urochloa nautical.
Menurut Sunanisari & Endang (2002), beberapa jenis tumbuhan air seperti Eichorrnia crassipes, Nelumbo sp., Hydrilla sp., dan Potamogeton malaianus merupakan tumbuhan air yang tergolong dapat menimbulkan permasalahan apabila jumlahnya tidak terkendali. Jika kualitas air danau terganggu (pada kondisi yang memungkinkan percepatan tumbuhnya jenis tersebut), maka dikhawatirkan dapat terjadi pertambahan jumlah populasi tanaman air secara cepat dan tidak terkendali sehingga dapat mengganggu keadaan ekologis perairan.
Vegetasi adalah salah satu kunci dalam menciptakan habitat bagi spesies ikan dan memberikan habitat bagi invertebrata yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan. Vegetasi juga sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung spesies dari pemangsaan predator (Williams et al. 1988 in Schluter & Godwin 2003). Daerah tumbuhnya tanaman air pada umumnya merupakan tempat mencari makan (feeding ground) dan pembesaran ikan (nursery ground) banyak spesies ikan.
Tetapi jika terjadi deplesi oksigen akibat dekomposisi dari tumbuhan air yang mati inilah yang menimbulkan masalah sehingga dapat mempengaruhi siklus hidup terutama proses rekruitmen ikan dan organisme air lainnya. Selain itu penutupan perairan oleh tanaman air dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan, mengurangi pemanfaatan nutrient oleh produsen, serta dapat menimbulkan orgaisme baru (Lungayia et al. 2001).
4.2. Potensi sumberdaya ikan di Danau Singkarak
Danau Singkarak sebagai salah satu danau terluas di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, terutama sumberdaya ikan karena menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat selingkar danau. Danau ini memiliki satu spesies asli dan menjadi primadona, yang dikenal dengan nama ikan bilih (Mystacoleucus padangensis). Spesies ikan bilih merupakan sumberdaya ikan dominan di danau ini. Selain itu, hasil pengamatan langsung di lapangan memperlihatkan bahwa terdapat pula spesies‐spesies ikan lain yang juga menjadi hasil tangkapan nelayan sekitar danau, antara lain ikan belingka (Puntius belingka), ikan turik (Cycloscheilichtys de zwanii), ikan nilem (Osteochilus hasselti CV), ikan barau (Hampala macrolepidota), buntal (Tetraodon mappa), gurami (Osphronemus gouramy) dan lain‐lain (Lampiran 3). Hasil penelitian Syandri (2008) menginformasikan bahwa terdapat 19 jenis ikan yang ditemukan mendiami Danau Singkarak (Tabel 13). Pada musim ikan, hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sangat banyak, biasanya terjadi pada waktu musim hujan saat masukan air ke danau cenderung lebih meningkat, yaitu bulan Desember sampai Januari. Sedangkan musim ikan sedang berlangsung pada bulan Februari sampai Mei. Musim ikan paceklik (saat jumlah tangkapan sedikit) terjadi pada musim kemarau yaitu bulan Juni sampai November (Syandri et al. 2001). Penelitian dilakukan pada bulan April 2009 sehingga dapat dikategorikan bahwa musim ikan pada saat itu adalah musim ikan sedang sehinggga jumlah hasil tangkapan yang ditemukan tidak terlalu banyak.
Tabel 13. Jenis dan kepadatan relatif ikan‐ikan di Danau Singkarak (Syandri 2008)
No Jenis Nama
Indonesia
Nama Lokal
Kepadatan Relatif
1 Mystacoleucus padangensis Bako Bilih +++
2 Cyclocheilichthys de Zwani Turiq Turiak ++
3 Osteochilus bramoides Nilem Asang +++
4 Osteochilus vittatus Nilem Lelan +
5 Hampala mocrolepidota Barau Sasau +
6 Tor tambroides Tor Gariang +
7 Barbonymus schwanefeldi Kapiek Kapiek +
8 Puntius belingka Belingkah Balinka ++
9 Macrones planiceps Baung Bauang +
10 Clarias batrachus Kalang Kalang +
11 Tetraodon mappa Buntal Jabuiah +
12 Osphronemus gouramy Gurami Kalai +
13 Anabas testudineus Betok Puyu +
14 Trichogaster trichopterus Sepat Sapek +
15 Mastacembelus unicolor Tilan Tilan +
16 Channa striatus Gabus Jumpo ++
17 Channa plerothalmus Gabus Kiuang ++
18 Oreochromis mossambica Mujair Mujaie ++
19 ‐ Rinuk Rinuak +++
Keterangan : +++ kepadatan tinggi
++ kepadatan sedang
+ kepadatan rendah
Ikan bilih merupakan spesies dominan yang hidup di Danau Singkarak menjadi target utama kegiatan penangkapan ikan di selingkar Danau Singkarak. Data tangkapan ikan tahun 2003 (Gambar 9) menunjukkan bahwa total hasil tangkapan ikan di Danau Singkarak adalah sebesar 352,3 ton dengan jumlah tangkapan ikan bilih adalah yang terbesar, yaitu sebesar 73,8% dari seluruh hasil tangkapan. Selanjutnya, target hasil tangkapan ikan lainnya yang bukan merupakan hasil tangkapan utama antara lain adalah ikan turiq (6,1%), ikan sasau (4,3%), ikan asang (3,9%), ikan nila (3,7%), ikan kapiat (2,4%), dan ikan‐ikan lainnya (5,8%).
Gambar 9. Jenis dan jumlah hasil tangkapan sumberdaya ikan di Danau Singkarak tahun 2003 (Kartamihardja 2008)
Terkait dengan usaha untuk menangkap ikan, nelayan setempat menggunakan berbagai macam alat tangkap seperti jaring insang, jaring lingkar, jala, alahan, lukah, dan setrum. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan adalah jenis jaring insang dengan ukuran mata jaring ¾ inci (Tabel 14). Penggunaan alat tangkap dengan ukuran mata jaring < 1 inci telah dilarang oleh pemerintah, tetapi masih ditemukan nelayan yang melanggar. Tidak pada semua lokasi ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap yang diperbolehkan. Sebagai contoh adalah Nagari Sumpur, nelayan tidak lagi menggunakan alat‐alat yang dilarang karena adanya larangan untuk menggunakan jaring insang dan setrum, sehingga nelayan lebih banyak menggunakan alat tangkap berupa jala dengan ukuran mata jaring ¾ inci.
Menurut Syandri (2008), penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif (setrum dan tuba) masih banyak dijumpai. Bahkan di lokasi tertentu praktek penangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak (pengeboman) masih dilakukan oleh sebagian masyarakat nelayan. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini dapat menyebabkan kematian seluruh ikan termasuk telur dan larva pada lokasi penggunaan alat tangkap tersebut. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keadaan stok ikan, seperti pada kasus ikan bilih yang memperlihatkan kecenderungan penurunan rataan ukuran hasil tangkapan ikan.
Tabel 14. Jumlah dan jenis alat tangkap ikan bilih di Danau Singkarak Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Jaring insang (3/4 inci) Jaring insang (1 inci) Jaring lingkar (3/4 inci) Jaring lingkar (1 inci) Jala (3/4 inci) Jala (1/2 inci)
Alahan Lukah Setrum Muara Pingai 44 26 0 0 6 0 8 0 10 Paninggahan 95 59 0 0 23 15 11 0 13 Sumpur 0 0 0 0 103 47 13 0 0 Singkarak 48 39 7 11 0 0 0 0 0 Tikalak 108 67 22 14 0 0 0 0 0 Saning Bakar 46 58 3 0 2 1 0 10 0 Simawang 28 13 0 0 0 0 0 0 0 Batu Taba 51 21 5 0 0 0 0 0 0 Padang Laweh 45 21 0 0 13 5 0 0 16 Guguk Malalo 79 46 8 0 20 20 20 0 30 Jumlah 544 350 45 25 167 88 52 10 69 Sumber : Syandri 2008
Salah satu jenis alat tangkap yang dibangun secara permanen di daerah hilir sungai adalah alahan (Gambar 10). Saat ini pada setiap muara sungai telah dibangun alahan. Penggunaan alahan untuk menangkap ikan lebih efektif dibandingkan alat tangkap lainnya, tapi jika tidak dikelola secara tepat, maka akan membahayakan populasi ikan bilih.
Gambar 10. Alat tangkap alahan Sumber : Dokumentasi pribadi (2009)
Pemanfaatan alahan ini memanfaatkan sifat pemijahan ikan bilih yang bersifat adfluvial, karena ketika akan memijah ikan bilih akan menuju ke sungai. Ikan bilih akan masuk ke alahan yang dibangun sedemikian rupa sehingga ikan
bilih akan berkumpul pada suatu tempat karena menyulitkan ikan bilih untuk menuju ke hulu sungai sehingga ikan bilih akan berkumpul pada pinggir alahan dan mempermudah penangkapan (biasanya menggunakan jala lempar, setrum, dan tuba), sehingga ikan bilih yang masuk ke alahan tersebut jarang yang bisa lolos kembali ke danau, diduga hal ini juga mengakibatkan menurunnya stok ikan bilih.
Musim penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring langli, jaring lingkar, jala, alahan, dan lukah dapat dilakukan sepanjang tahun, sedangkan hasil yang diperoleh tergantung dari jenis alat tangkap dan banyaknya ikan. Dalam satu tahun, terdapat tiga musim ikan, yaitu musim ikan, musim sedang, dan musim paceklik, hal ini didasarkan pada banyaknya ikan yang tertangkap oleh nelayan (Syandri et al. 2001).
4.3. Sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak 4.3.1. Perkembangan produksi tangkapan
Kondisi sumberdaya ikan di Danau Singkarak, terutama ikan bilih saat ini mengalami penurunan, dapat dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dilihat pada semakin kecilnya ukuran rata‐rata ikan yang tertangkap dan ikan semakin cepat dewasa (ikan semakin cepat matang gonad). Sedangkan penurunan kuantitas terlihat jelas pada penurunan jumlah hasil tangkapan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 produksi tangkapan ikan bilih mencapai 416 ton/tahun, sedangkan pada tahun 2003 produksi perikanan bilih mengalami penurunan menjadi 260 ton/tahun, dapat dilihat bahwa telah terjadi penurunan yang sangat besar terhadap populasi ikan bilih di Danau Singkarak. Apabila hal ini terus menerus terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan pada beberapa tahun ke depan, ikan bilih akan mengalami kepunahan.
Penurunan kualitas dan kuantitas hasil tangkapan ikan bilih diduga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang berbahaya untuk kelangsungan stok ikan bilih, seperti penggunaan jaring dengan ukuran mata jaring di bawah 1 inci, penggunaan tuba, bahan peledak, dan setrum. Hal ini berakibat pada
tertangkapnya ikan bilih pada seluruh kelas ukuran sehingga dapat mengganggu proses rekruitmen karena ikan yang tertangkap tidak hanya ikan yang telah memijah tetapi ikan‐ikan yang sedang matang gonad, ikan‐ikan yang sedang berkembang, dan telur‐telur ikan juga akan mati. Selain itu, penggunaan tuba, bahan peledak, dan setrum di spawning ground selain berbahaya untuk lingkungan perairan dan biota di dalamnya, juga dapat mengganggu perkembangan dari telur dan larva ikan bilih. Ukuran rata‐rata ikan bilih dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2002 mengalami penurunan secara signifikan pada setiap tahunnya (Gambar 11). 0 5 10 15 20 Pa n ja n g ( c m ) 1988 1993 1995 1997 1998 2000 2002
Gambar 11. Perkembangan ukuran ikan bilih di Danau Singkarak (Purnomo & Kartamihardja 2008)
4.3.2. Komposisi hasil tangkapan
Ikan bilih contoh (M. padangensis) yang diambil pada stasiun pengamatan Muaro Pingai selama bulan April 2009 adalah sebanyak 217 ekor (110 ekor ikan jantan dan 107 ekor ikan betina). Rasio ikan bilih jantan dan ikan bilih betina pada setiap stasiun pengamatan relatif seimbang (1 : 1) dan ukuran ikan bilih yang tertangkap lebih didominasi ikan bilih yang berukuran kecil (Gambar 12). Persentase sampel ikan bilih jantan dan betina di stasiun pengamatan I (Muaro Pingai) adalah 51% ikan bilih jantan dan 49% ikan bilih betina. Pada stasiun pengamatan II (Muara Paninggahan) sampel ikan bilih yang diambil sebanyak 210 ekor (99 ekor ikan jantan dan 111 ekor ikan betina) sehingga persentase perbandingan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina masing‐
masing 47% dan 53%. Pada stasiun pengamatan III (Muara Sumpur), ikan bilih contoh yang diambil adalah sebanyak 210 ekor (101 ekor ikan jantan dan 109 ekor ikan betina) masing‐masing persentasenya adalah 52% untuk ikan bilih jantan dan 48% untuk ikan bilih betina.
Stasiun pengamatan I (Muaro Pingai) didominasi oleh tangkapan ikan bilih pada selang kelas panjang 55‐60 cm. Dari 217 ekor sampel ikan yang diambil, 61 ekor ikan bilih berada pada selang kelas ini atau sekitar 27,65% dari total ikan contoh. Sedangkan pada selang kelas panjang 91‐96 cm dan 97‐102 cm masing‐ masing selangnya hanya terdapat 3 ekor ikan atau lebih kurang 1,38% dari jumlah ikan yang terdapat pada stasiun ini.
Pada stasiun pengamatan II (Muara Paninggahan), ikan bilih yang tertangkap juga didominasi oleh selang kelas panjang 55‐60 cm. Terdapat 65 ekor ikan bilih pada selang kelas ini atau sekitar 30,95% dari total sampel ikan bilih di stasiun II. Pada selang kelas panjang 91‐96 cm tidak ditemukan ikan bilih baik ikan bilih jantan maupun ikan bilih betina. Ikan bilih pada selang kelas panjang 97‐102 cm hanya ditemukan sebanyak 3 ekor ikan bilih (1,43% dari total sampel ikan bilih di stasiun Paninggahan).
Sedangkan pada satasiun pengamatan III (Muara Sumpur), ikan bilih yang tertangkap didominasi pada selang kelas panjang 67‐72 cm yaitu sebanyak 63 ekor ikan bilih dari total 210 ekor sampel ikan atau lebih kurang 30% dari total sampel ikan bilih di stasiun pengamatan ini. Ikan bilih paling sedikit ditemukan pada selang kelas panjang 97‐102 cm yaitu sebanyak 1 ekor (0,48% total ikan bilih contoh di Sumpur). Sehingga terlihat bahwa mayoritas ukuran ikan yang tertangkap di Sumpur berada pada selang kelas yang lebih besar dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya.
Total keseluruhan ikan bilih yang diambil selama penelitian adalah sebanyak 637 ekor, yang terdiri dari 310 ekor ikan bilih jantan dan 327 ekor ikan bilih betina. Persentase jumlah ikan bilih jantan dan ikan bilih betina berdasarkan hasil penelitian pada bulan April 2009 masing‐masing sebesar 49% dan 51% (Gambar 11). Menurut Azhar (1993) perbandingan jumlah ikan bilih
jantan dan betina pada perairan umum Danau Singkarak adalah 1:3 (ikan betina lebih besar kelimpahannya dibandingkan dengan ikan jantan). Artinya, jika dibandingkan dengan dari hasil penelitian selama bulan April 2009, telah terjadi pergeseran perbandingan jumlah ikan bilih jantan dan ikan bilih betina menjadi 1:1. Jumlah ikan bilih betina semakin menurun, hal ini berdampak pada semakin menurunnya individu ikan yang dapat menghasilkan telur untuk proses rekruitmen. Selain itu diduga ikan bilih telah mengalami eksploitasi yang cukup tinggi karena jumlah ikan berukuran kecil dan ikan berukuran besar tidak proposional, terlihat dari penurunan ukuran ikan bilih yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil.
Ikan bilih di Danau Singkarak pada bulan April 2009 didominasi oleh selang kelas panjang 55‐60 mm yaitu sebesar 23,39% dari total keseluruhan ikan. Kemudian diikuti selang kelas panjang 67‐72 mm dan 61‐66 mm berturut‐turut sebesar 23,23% dan 21,82%. Sedangkan ikan bilih paling sedikit ditemukan pada selang kelas panjang 91‐96 cm dan 97‐102 cm masing‐masingnya sebesar 1,10% dari seluruh ikan bilih contoh yang diambil di Danau Singkarak.
Sampel ikan bilih yang diambil merupakan hasil tangkapan nelayan di daerah muara sungai. Sungai merupakan tujuan ikan bilih beruaya dalam rangka untuk bereproduksi (melakukan pemijahan). Ikan bilih memijah pada daerah sungai dengan ciri berarus tidak terlalu deras, berair jernih, dan memiliki substrat berupa bebatuan dan pasir. Menurut Azhar (1993), ikan bilih jantan pertama kali matang gonad pada kelas panjang 53,00‐57,00 mm. Sedangkan pada ikan bilih betina, matang gonad pertama kali dicapai pada ukuran panjang 62,00‐67,00 mm sampai pada kelas panjang 80,00‐85,00 mm. Berdasarkan hasil pengambilan contoh hasil tangkapan nelayan pada tiga stasiun pengamatan diketahui bahwa ikan bilih yang dominan tertangkap oleh nelayan merupakan ikan bilih yang berada pada tahap pertama kali matang gonad atau sedang matang gonad. Hal ini berakibat pada terganggunya proses rekruitmen dari ikan bilih jika ikan‐ikan yang banyak tertangkap adalah ikan‐ikan yang siap untuk bereproduksi.
Gambar 12. Perbandingan jumlah dan ukuran ikan bilih (Mystacoleucus
padangensis) berdasarkan jenis kelamin di 3 (tiga) stasiun pengamatan dan total keseluruhan stasiun (Data primer diolah 2009)
Hasil penelitian Febriani (2010) menginformasikan bahwa dari 105 ikan contoh yang diambil di Danau Singkarak didominasi oleh ikan bilih dengan TKG II dan tidak ditemukan ikan bilih dengan TKG V. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas ikan bilih yang tertangkap adalah ikan bilih yang belum matang gonad atau yang telah memijah. Apabila ikan yang tertangkap belum matang gonad hal
inilah yang diduga menjadi penyebab menurunnya stok ikan bilih, karena ikan‐ ikan yang tertangkap adalah ikan‐ikan yang sedang berkembang dan belum menghasilkan individu baru. Seharusnya ikan bilih yang ditangkap adalah ikan‐ ikan yang telah memijah di sungai dan bergerak kembali menuju ke perairan danau.
Gambar 13. TKG ikan bilih yang tertangkap (Febriani 2010)
Fungsi dari analisis hubungan panjang dan bobot ikan bilih jantan dan betina adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan bilih jantan dibandingkan dengan ikan bilih betina di habitatnya. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan bilih jantan didapatkan persamaan regresi W = – 11,44 L 2,949 sehingga diketahui nilai a = ‐11,44 dan nilai b = 2,949 (Gambar 14). Dari nilai b yang didapatkan tersebut, selanjutnya dilakukan uji‐t (α = 0,025), sehingga diketahui bahwa ikan bilih jantan yang diteliti memiliki jenis pertumbuhan isometrik, artinya pertumbuhan panjang seimbang dengan pertumbuhan bobot ikan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ketersedian makanan ikan bilih (plankton) tercukupi karena pertumbuhan panjang dan bobot seimbang.
Gambar 14. Hubungan panjang dan bobot ikan bilih jantan di Danau Singkarak pada bulan April 2009 (Data primer diolah 2009)
Sedangkan pada analisis data panjang dan bobot ikan bilih betina didapatkan persamaan W = – 11,43 L 2,956 dengan nilai a = ‐ 11.43 dan b = 2,956 (Gambar 15). Berdasarkan nilai b tersebut, selanjutnya dilakukan uji‐t dan didapat bahwa pertumbuhan ikan bilih betina juga isometrik, artinya pertumbuhan panjang seimbang dengan penambahan bobot ikan bilih betina.
Gambar 15. Hubungan panjang dan bobot ikan bilih betina di Danau Singkarak pada bulan April 2009 (Data primer diolah 2009)
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi
Secara administratif, Danau Singkarak terletak di antara dua wilayah pemerintahan yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Wilayah Danau Singkarak yang termasuk dalam daerah administratif Kabupaten Solok
adalah Kecamatan X Koto Singkarak dan Kecamatan Junjuang Siriah, sedangkan wilayah Danau Singkarak yang temasuk daerah administratif Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan Batipuah Selatan dan Kecamatan Rambatan. Artinya,pengelolaan Danau Singkarak ini melibatkan peran serta kedua kabupaten, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar.
Berdasarkan data statistik kependudukan hasil sensus tahun 2007 total penduduk sekitar Danau Singkarak adalah 92.032 jiwa, sebanyak 47.290 jiwa berada di wilayah administratif Kabupaten Solok dan 44.742 jiwa berada di wilayah administratif Kabupaten Tanah Datar (Tabel 15). Secara keseluruhan diketahui bahwa jumlah penduduk di Danau Singkarak yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang berjenis kelamin laki‐laki.
Tabel 15. Jumlah Penduduk di Daerah Sekitar Danau Singkarak Tahun 2007
Kecamatan Laki‐Laki Perempuan Total
X Koto Singkarak * 16.330 17.300 33.630 Junjung Siriah* 6.628 7.032 13.660 Batipuah Selatan** 5.320 5.706 11.026 Rambatan** 15.983 17.733 33.716 Keterangan : * Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok 2008 ** Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar 2008
Pertambahan jumlah penduduk dan semakin sulitnya mencari lapangan pekerjaan bagi generasi muda di selingkar Danau Singkarak, dikhawatirkan pada masa yang akan datang kondisi ini akan mengakibatkan meningkatnya jumlah nelayan. Gambaran mikro nelayan ikan bilih selingkar Danau Singkarak ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, komposisi umur, tanggungan per rumah tangga dan pengalaman usaha. Dari 201 kepala keluarga nelayan yang diwawancarai maka umur dan tingkat pendidikan dicantumkan pada Tabel 16. Tingkat pendidikan yang mereka miliki sebagian besar hanya tingkat sekolah dasar, gambaran umur berkisar antara 36‐45 tahun dengan pengalaman usaha penangkapan lebih dari 15 tahun dan tanggungan keluarga 4‐5 orang.
Tabel 16. Umur dan tingkat pendidikan nelayan ikan bilih Kelompok Umur
(tahun) Jumlah (%) Pendidikan Jumlah (%)
15‐25 7,46 tidak tamat Sekolah Dasar 37,81 26‐35 27,86 tamat Sekolah Dasar 23,80 36‐45 38,81 tidak tamat SLTP 0,99 46‐55 17,91 tamat SLTP 16,41 56‐65 5,79 tamat SMU 16,91 >65 1,99 tamat D1/D3 dan S1 3,00 Sumber : Syandri et al. 2001 4.4.1. Masyarakat nelayan di Danau Singkarak 4.4.1.1.Karakteristik masyarakat nelayan di Danau Singkarak Hasil penyebaran kuisioner menunjukkan bahwa penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan adalah 100% berjenis kelamin laki‐laki (Gambar 16.a). Umumnya nelayan masih menggunakan perahu kecil dan dayung yang berkapasitas 2‐3 orang untuk menangkap ikan atau hanya menangkap ikan di daerah muara sungai dan alahan tanpa menggunakan perahu. Selama pengamatan di lapangan tidak ditemukan adanya nelayan berjenis kelamin perempuan. Menurut nelayan sekitar ada nelayan yang berjenis kelamin perempuan, tetapi target tangkapannya bukan ikan bilih melainkan kerang‐ kerangan kecil (biasa disebut pensi oleh masyarakat sekitar). Daerah tangkapan nelayan perempuan ini hanya di bagian pinggir danau tanpa menggunakan perahu.
Karakteristik usia (Gambar 16.b) menunjukkan bahwa 27% dari total responden berusia pada kisaran 31‐40 tahun, 40% total responden berusia pada kisaran 41‐50 tahun, dan 33% total responden berusia pada kisaran 51‐60 tahun. Responden nelayan yang berusia di bawah 30 tahun dan di atas usia 60 tahun tidak ditemukan. Persentase terbesar usia nelayan berkisar pada usia 41‐50 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa usia produktif nelayan berada pada kisaran usia 41‐50 tahun. Sedikitnya jumlah nelayan yang berusia muda diduga karena masyarakat yang berusia muda lebih memilih bermata pencaharian bukan sebagai nelayan.
Karakteristik pendidikan nelayan (Gambar 16.c) di Danau Singkarak diketahui bahwa ada 77% dari total responden yang berpendidikan terakhir setara SD, 17% dari total responden dengan pendidikan terakhir SMP, dan 6% dari total responden tidak lulus SD. Dari data dapat diketahui bahwa rata‐rata pendidikan nelayan masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh masalah ekonomi, sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan yang masih rendah ini mempengaruhi kebiasaan, cara, dan pengetahuan nelayan dalam menangkap ikan. Selain itu masih rendahnya pendidikan nelayan juga mempengaruhi pola pikir nelayan untuk menjaga kelestarian danau dan segala sumberdaya yang terkandung di dalamnya.
Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk menangkap ikan, terdapat 30% dari total responden bekerja sebagai nelayan penuh. Sedangkan 70% dari total responden bekerja sebagai nelayan dan juga mempunyai pekejaan sampingan, umumnya pekerjaan sampingannya sebagai petani (Gambar 16.d). Salah satu faktor yang mendorong nelayan untuk memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan adalah karena tuntutan ekonomi, karena pada musim‐musim tertentu saat ikan sedang sedikit atau bahkan tidak ada mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu nelayan umumnya memiliki pekerjaan sampingan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga apabila tidak mendapat tangkapan ikan.
Dari keseluruhan responden, diketahui bahwa sekitar 60% dari total responden memiliki penghasilan ≤ Rp 500.000,‐ dan 40% responden memiliki penghasilan Rp. 500.001 s/d Rp 1.000.000 (Gambar 16.e). Rata‐rata penghasilan dari para nelayan ini masih tergolong rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu para nelayan membutuhkan pembinaan yang tepat dalam hal meningkatkan hasil tangkapan tanpa merusak ekosistem dan keberadaan stok ikan bilih sehingga diharapkan di masa yang akan datang kehidupan nelayan akan lebih sejahtera.
Gambar 16. Karakteristik masyarakat nelayan di Danau Singkarak: a.) berdasarkan jenis kelamin; b.) berdasarkan usia; c.) berdasarkan tingkat pendidikan; d.) berdasarkan pekerjaan sampingan; e.) berdasarkan pendapatan/bulan (Data primer diolah 2009)
4.4.1.2.Persepsi masyarakat nelayan terhadap sumberdaya
Persepsi nelayan lokal terhadap kondisi ikan bilih adalah terdapat 13% dari total responden yang member penilaian terhadap kualitas dan kuantitas ikan bilih saat ini masih dapat dikategorikan baik, 73% dari total responden mengatakan telah terjadi penurunan pada kualitas dan kuantitas hasil tangkapan ikan bilih, 7% dari total responden menilai kondisi ikan bilih saat ini sangat menurun, dan 7% dari total responden berpendapat bahwa kondisi ikan bilih tidak menentu (Gambar 17). Sebagian besar nelayan berpendapat bahwa kondisi ikan bilih mengalami penurunan, dari segi kualitas ditinjau dari penurunan ukuran ikan saat matang gonad, karena menurut nelayan saat ini pada ikan‐ikan bilih yang berukuran kecil telah mempunyai telur‐telur yang siap
a.)
e.)
c.) d.)
dibuahi (matang gonad). Sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari penurunan jumlah hasil tangkapan ikan bilih dibandingkan jangka waktu beberapa tahun yang lalu. Penurunan ini diduga diakibatkan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, pencemaran perairan danau dan muara sungai sebagai habitat dan tempat memijah ikan bilih serta penurunan muka air yang diakibatkan adanya PLTA Singkarak.
Gambar 17. Persepsi terhadap kondisi ikan bilih ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas (Data primer diolah 2009)
Persepsi nelayan terhadap kondisi Danau Singkarak adalah 7% dari total responden berpendapat bahwa kondisi perairan Danau Singkarak masih baik, 53% dari responden menilai bahwa kondisi perairan tergolong cukup baik, 33% dari responden berpendapat bahwa kondisi perairan dikategorikan buruk, dan 7% dari responden mengatakan bahwa kondisi perairan sangat buruk. Menurunnya kualitas perairan Danau Singkarak ini disebabkan oleh banyaknya sampah (organik dan anorganik) yang dibuang ke perairan baik di muara sungai maupun di pinggir danau yang berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, dan limbah perikanan serta terjadinya penurunan muka air danau yang diduga diakibatkan adanya PLTA Ombilin yang airnya berasal dari Danau Singkarak. Apabila penurunan kualitas air ini terus berlanjut, tidak hanya mengancam masyarakat yang menggunakan air dari danau untuk kegiatan sehari‐hari serta kegiatan pertanian, tetapi dapat mengancam keberadaan dari ikan‐ikan yang terdapat di danau, terutama ikan bilih yang merupakan spesies asli dari Danau Singkarak.
Gambar 18. Persepsi terhadap kondisi Danau Singkarak secara umum (Data primer diolah 2009)
4.4.1.3.Pengetahuan masyarakat nelayan tentang konservasi
Pada umumnya nelayan belum pernah mendengar dan tidak mengetahui pengertian dari istilah konservasi, dapat dilihat bahwa sekitar 80% dari responden tidak tahu pengertian konservasi. Nelayan yang cukup mengetahui istilah konservasi adalah sebanyak 20% dari responden. Kurangnya pengetahuan nelayan tentang istilah konservasi diakibatkan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan nelayan serta masih asingnya penggunaan istilah konservasi dalam kehidupan sehari‐hari. Hal ini juga terlihat pada cara para nelayan menangkap ikan yang belum sepenuhnya memperhatikan kelestarian stok ikan dan habitatnya, misalnya ada nelayan yang menggunakan bahan peledak, racun, alat tangkap dengan ukuran mata jaring lebih kecil dari ukuran yang diizinkan pemerintah di selingkar Danau Singkarak.
Gambar 19. Pemahaman tentang istilah konservasi (Data primer diolah 2009)
Upaya perlindungan terhadap ikan bilih sangat diperlukan terutama dalam menjaga kelestarian stoknya di alam. Hasil penyebaran kuisioner diketahui bahwa 93% dari responden mengaku setuju dengan adanya upaya perlindungan terhadap ikan bilih. Nelayan lokal yang tidak setuju dengan upaya perlindungan ini sebesar 7% dari responden. Besarnya persentase responden yang setuju dengan upaya perlindungan ini menunjukkan bahwa nelayan sangat terbuka jika pemerintah mengadakan program untuk melindungi ikan bilih, karena kerjasama antara pemerintah dan nelayan sangat diperlukan. Tanpa adanya kerjasama dari nelayan lokal, maka program‐program yang diadakan pemerintah tidak akan terlaksana dengan baik.
Gambar 20. Persepsi tentang upaya perlindungan terhadap ikan bilih (Data primer diolah 2009)
Hasil penyebaran kuisioner memperlihatkan bahwa 60% dari total menyatakan tahu tentang istilah suaka perikanan, yaitu suatu tempat perlindungan untuk ikan. Sedangkan 40% responden yang lain menyatakan bahwa tidak tahu tentang istilah suaka perikanan. Pengertian yang dimiliki nelayan lokal tentang istilah suaka perikanan belum terlalu jelas dan tepat, mayoritas menyatakan bahwa suaka perikanan adalah berupa rabo. Rabo adalah batang pohon yang berdiameter cukup besar dan panjang yang dibenamkan dengan kemiringan kira‐kira 45º ke dasar danau. Rabo ini merupakan hasil kepedulian nelayan yang memikirkan kelestarian dari ikan‐ikan yang ada di dalam danau, harapan mereka dengan adanya rabo ini ikan‐ikan dapat
terlindungi. Menurut nelayan, rabo ini berfungsi sebagai tempat “bermain” untuk ikan‐ikan yang ada di dalam danau.
Gambar 21. Pengetahuan tentang istilah suaka perikanan (Data primer diolah 2009)
Sekitar 73% total responden menyatakan tahu (pernah mendengar) tentang keberadaan suaka perikanan ikan bilih yang berlokasi di Sumpur dan 27% menyatakan tidak tahu (tidak pernah mendengar) tentang adanya suaka perikanan ikan bilih di Sumpur. Artinya, keberadaan suaka perikanan ikan bilih di Sumpur telah banyak diketahui oleh nelayan, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara secara langsung, masih banyak nelayan yang belum mengetahui secara jelas dan tepat pengertian dan manfaat dari suaka perikanan yang keberadaannyadi Sumpur sejak tahun 2004. Kurangnya pengertian nelayan tentang suaka perikanan ini berpengaruh pada kepedulian dan kerja sama dari nelayan sendiri sebagai pihak yang sangat berperan dalam membantu mempertahankan kelestarian spesies ikan bilih di Danau Singkarak.
Gambar 22. Pengetahuan tentang suaka perikanan ikan bilih di Sumpur (Data primer diolah 2009)
Kepedulian nelayan terhadap perlunya didirikan suaka perikanan di sekitar Danau Singkarak dapat dilihat dari terdapatnya 93% masyarakat non‐ nelayan menyatakan perlu dibangun suaka perikanan ikan bilih dan 7% lainnya menyatakan tidak perlu dibangun suaka perikanan. Adanya suaka perikanan diharapkan dapat membantu mengatasi penurunan stok ikan bilih karena pada daerah lokasi suaka perikanan tidak boleh dilakukan penangkapan sehingga ikan bilih yang mempunyai kebiasaan memijah di daerah muara sungai yang berarus tidak terlalu deras dan jernih dapat bereproduksi dengan aman tanpa ada gangguan. Minimnya gangguan pada saat ikan memijah diharapkan dapat memperkecil kegagalan telur ikan yang menetas di dalam danau.
Gambar 23. Persepsi tentang perlu/tidaknya dibangun suaka perikanan ikan bilih (Data primer diolah 2009)
4.4.1.4.Penangkapan ikan
Hasil tangkapan utama nelayan di Danau Singkarak adalah ikan bilih, selain itu ikan yang ditangkap oleh para nelayan antara lain adalah ikan sasau, ikan nila, ikan asang, ikan turiak, ikan balingka, dan ikan kalai (Gambar 24.b).
Alat tangkap yang digunakan nelayan adalah jaring langli, jaring lempar, dan/atau keduanya, yang didominasi oleh jaring langli. Menurut pengakuan para nelayan, ukuran mata jaring yang mereka gunakan adalah > 1 inci (100% responden mengatakan bahwa alat tangkap yang digunakan menggunakan ukuran mata jaring yang diizinkan pemerintah yaitu > 1 inci) karena telah mendapat bantuan alat tangkap dari pemerintah propinsi. Menurut Syandri (2008) nelayan masih menggunakan alat tangkap yang berukuran di bawah 1 inci,
artinya masyarakat nelayan telah mematuhi ketentuan yang dibuat pemerintah dan menggunakan alat tangkap yang diberikan. Tetapi sebaiknya pemerintah diharapkan dapat melakukan inspeksi terhadap alat tangkap, sehingga nelayan tidak lagi menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring ≤ 1 inci.
Gambar 24. Penangkapan ikan oleh nelayan; a.) berdasarkan jenis tangkapan utama; b.) berdasarkan jenis ikan yang tertangkap selain ikan bilih; c.) berdasarkan alat tangkap; d.) berdasarkan ukuran mata jaring alat tangkap; e.) berdasarkan jumlah hari menangkap ikan; f.) berdasarkan jumlah hasil tangkapan; g.) hasil tangkapan mengalami penurunan atau tidak (Data primer diolah 2009) a.) c.) b.) g.) f.) e.) d.)
Rata‐rata para nelayan menghabiskan waktu 6 ‐ 7 hari per minggu untuk kegiatan menangkap ikan. Hasil tangkapan nelayan setiap harinya bervariasi, rata‐rata hasil tangkapan nelayan adalah 3 ‐ 4 kg per harinya. Hasil yang didapat pada beberapa tahun belakangan ini sangat menurun dibandingkan tahun‐tahun sebelumnya, terlihat dari 93 % nelayan yang mengatakan bahwa hasil tangkapan ikan bilih mengalami penyusutan. 4.4.2. Masyarakat non‐nelayan di Danau Singkarak 4.4.2.1.Karakteristik masyarakat non‐nelayan di Danau Singkarak
Dari hasil penyebaran kuisioner kepada masyarakat non‐nelayan dapat diketahui bahwa 63% responden adalah laki‐laki dan 37% responden adalah perempuan. Dari gambaran kuisioner ini diketahui bahwa jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki‐laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan (Gambar 25.a).
Karakteristik berdasarkan usia masyarakat non‐nelayan di Danau Singkarak (Gambar25.b) diketahui bahwa 33% dari total responden berada pada usia ≤ 20 tahun, 27% dari responden berusia 21‐30 tahun, 10% berusia 31‐40 tahun, dan 30% berusia 41‐50 tahun. Responden yang ada paling banyak berada pada kisaran usia ≤ 20 tahun, dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat non‐ nelayan masih pada usia masa sekolah atau kuliah.
Pendidikan masyarakat non‐nelayan diketahui bahwa 3% adalah tidak tamat SD, 20% responden memilki pendidikan terakhir SD, 23% responden tamat SMP, 40% responden tamat SMA, 7% responden tamat D3, dan 7% responden adalah sarjana (Gambar 25.c). Masyarakat non‐nelayan didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan terakhir setara SMA, artinya bahwa masyarakat di Danau Singkarak cukup berpendidikan. Kondisi tingkat pendidikan seperti ini sangatlah baik untuk pengembangan kawasan Danau Singkarak terutama pada sektor perikanan, dengan pengetahuan dan wawasan yang cukup maka masyarakat dapat membantu program–program pemerintah.
Karakteristik masyarakat non‐nelayan berdasarkan jenis pekerjaan (Gambar 25.d) memperlihatkan bahwa terdapat 30% reponden yang mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta, 10% responden adalah PNS, 43% adalah petani, dan 17% adalah ibu rumah tangga. Pekerjaan masyarakat non‐nelayan didominasi sebagai petani, hal ini dipengaruhi oleh kondisi alam sekitar Danau Singkarak yang masih banyak ditemukan areal pertanian, terutama persawahan. Umumnya responden petani di sini hanya sebagai buruh tani bukan sebagai pemilik dari lahan pertanian.
Gambar 25. Karakteristik masyarakat non‐nelayan di Danau Singkarak; a.) berdasarkan jenis kelamin; b.) berdasarkan usia; c.) berdasarkan tingkat pendidikan; d.) berdasarkan jenis pekerjaan; e.) berdasarkan penghasilan/bulan (Data primer diolah 2009) Besaran penghasilan masyarakat non‐nelayan didominasi pada kisaran Rp 500.001‐ s/d Rp 1.000.000,‐ yaitu sebanyak 37% dari total responden masyarakat a.) b.) c.) d.) e.)
non‐nelayan memiliki penghasilan ≤ Rp 500.000,‐, 47% responden berpenghasilan pada kisaran Rp 500.001,‐ s/d Rp 1.000.000,‐, 13% berpenghasilan Rp 1.000.001,‐ s/d Rp 2.000.000,‐, dan 3% berpenghasilan ≥ Rp 2.000.001,‐. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat non‐nelayan lebih sejahtera dibandingkan dengan masyarakat nelayan lokal, yang dapat dilihat dari dominansi kisaran penghasilan.
4.4.2.2.Persepsi masyarakat non‐nelayan terhadap sumberdaya di Danau Singkarak
Menurut responden masyarakat non‐nelayan, kondisi ikan bilih dikatakan menurun ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, yaitu sebanyak 87% total responden. Sedangkan responden yang mengatakan bahwa kondisi ikan bilih saat ini pada kondisi stabil dan tidak menentu berturut‐turut sebesar 3% dan 10% dari total responden. Menurunnya kualitas dan kuantitas ikan bilih ini menurut pendapat responden disebabkan oleh pengaruh musim, penurunan muka air, dan juga penggunaan bahan dan alat yang berbahaya untuk menangkap ikan oleh nelayan selingkar Danau Singkarak. Apabila tidak ada pengelolaan dan penanganan yang tepat untuk menjaga kelestarian danau dan biota di dalamnya, maka kualitas danau akan semakin menurun dan dapat mengganggu biota‐biota yang hidup di dalamnya, terutama ikan bilih yang saat ini populasinya mulai mengalami penurunan.
Gambar 26. Persepsi terhadap kondisi ikan bilih ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas (Data primer diolah 2009)