• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum, Nikotiana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum, Nikotiana"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Merokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum, Nikotiana

Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar

dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Bahan kimia yang terkandung dalam rokok adalah nikotin, tar, CO (karbon monoksida), amonia, hidrogen sianida (HCN), hidrogen sulfida, methanol, pyridine, kadmium, formaldehida dan fenol.

Menurud Dariyo, (2007), ada dua jenis tipe perokok, yaitu perokok aktif (active smoker) dan perokok pasif (passive smoker):

a. Perokok aktif (active smoker)

Perokok aktif yaitu individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga mereka merasa tidak enak jika sehari tidak merokok.

b. Perokok pasif (passive smoker)

Individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain yang merokok. Menurut Sitepoe dalam Alamsyah (2007) tipe perokok dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah rokok yang dihisap, antara lain:

(2)

b. Perokok sedang menghisap 11-20 batang setiap hari c. Perokok ringan menghisap lebih dari 20 batang setiap hari

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana dalam keluarga tersebut memiliki satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik laki-laki maupun perempuan. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebayakan dari meraka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga berdampak buruk bagi orang disekitarnya khususnya bagi kelompok yang rentan seperti balita.

Nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk kedalam saluran pernafasan bayi dan dapat menyebakan infeksi pada saluran pernafasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masuh menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005).

Adapun faktor –faktor yang mempengaruhi keluarga perokok antara lain: 1. Perilaku merokok

Perilaku merokok dalam keluarga dapat mempengaruhi status gizi anak balita yang tinggal serumah, karena konsumsi energi anak yang memiliki anggota keluarga perokok lebih rendah daripada yang tidak memiliki anggota keluarga yang perokok. Sebagai akibatnya, status gizi tersebut lebih rendah. Perilaku kepala rumah tangga atau suami yang merupakan perokok, akan berdampak pada kebutuhan pangan keluarga, dimana yang

(3)

seharusnya cukup dipergunakan untuk kebutuhan makanan sehari-hari tetapi akibat kebiasaan merokok, kebutuhan makan pada keluarga tersebut menjadi berkurang karena membeli rokok.

2. Tingkat pendapatan

Menurut Irawan dalam Siregar (2015), Penggunaan rokok dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya resiko karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk rokok, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan pokok, pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga.

3. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga sangat menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga. Sehingga dalam keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan diikuti oleh banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Semakin besar ukuran keluarga berarti semakin banyak anggota keluarga yang pada akhirnya akan semakin berat beban keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

4. Tingkat Pendidikan

(4)

korelasi positif antara pendidikan seseorang dengan penghasilan yang akan diperolehnya. Maka hal tersebut akan mendorong terjadinya pendapatan yang menimbulkan jurang kemiskinan.

2.1.1 Dampak Rokok Terhadap Kesehatan

Dampak rokok terhadap kesehatan sering disebut sebagai „Silent Killer‟ karena timbul secara perlahan dalam tempo yang relatif lama, tidak langsung dan tidak nampak secara nyata. Selain itu rokok juga merupakan penyebab dari 50% kebakaran yang terjadi, dan proses pengolahan rokok mengakibatkan penebangan pohon-pohon di hutan agar kayunya dapat dipakai untuk memproses tembakau.

Seluruh dunia kebiasaan merokok memyebabkan kematian pada 2,5 juta orang setahunnya, artinya satu kematian setiap 13 detik. Kebiasaan merokok telah terbukti berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia, seperti kanker paru, bronkitis kronis, emfisema dan berbagai penyakit paru lainnya. Selain itu adalah kanker mulut , tenggorokan, pankreas dan kandung kencing, penyakit pembuluh darah ulkus peptikum dan lain-lain.

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen dan lain-lain. Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai penyakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tertentu. Kanker paru misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung dihubungkan dengan gas karbon monoksida dan nikotin ( Aditama, 2011).

(5)

Makin tinggi kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka makin besar kemungkinan seseorang menjadi sakit jika mengisap rokok tersebut. Karena itulah dibanyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar, nikotin dan bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual dipasaran. Masalahnya rokok di Indoneisa mempunyai kadar tar dan nikotin yang lebih tinggi dari pada rokok-rokok produksi luar negeri. Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok dengan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah di Indonesia (Aditama, 2011).

Setelah menghisap rokok bertahun-tahun perokok mungkin menderita sakit. Makin lama memiliki kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan mendapat penyakit. Tentusaja ada juga pengaruh buruk yang segera timbul dari asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan batuk-batuk bila disebelahnya ada orang yang menghembuskan asap rokoknya. Tetapi secara umum, penyakit penyakit seperti kanker, jantung dan lain-lainnya akan diderita setelah menghisap rokok selama 10-20 tahun.

2.1.2 Hubungan Asap Rokok dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Secara umum terdapat tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udar dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentarasi yang tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku

(6)

pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif keluarga/ masyarakat dengan menangani ISPA.

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang seirus serta akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002)

Akibat gangguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah, diare, kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung meningkat, gangguan pernafasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga, gangguan pertumbuhan. Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita dibandingkan yang tidak terpapar asap rokok (Hidayat, 2005).

Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh perokok tersebut asap utama (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibandingkan asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab

(7)

kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan pada kadar asap utama (WHO,2008).

2.1.3 Hubungan Frekuensi Merokok dengan Status Gizi Balita

Individu yang merokok umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Merokok meningkatkan pengeluaran energi karena efek nikotin dalam rokok dapat meningkatkan tingkat metabolisme, mengakibatkan menurunan pengeluaran energi. Rokok yang dibakar, kandungan nikotin akan masuk kedalam sirkulasi darah dan dalam waktu kurang lebih 15 detik akan masuk ke otak yang kemudian nikotin akan diterima oleh reseptor asetilkoli-nikotinik untuk memacu sistem dopaminergik pada jalur imbalan sehingga akan mempengaruhi penekanan nafsu makan yang menyebabkan terjadinya malnutrisi atau gizi kurang (Tarwoto, 2010).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi rokok maka semakin semakin rendah nilai status gizi seseorang yang berarti kejadian status gizi kurang pada anak/remaja semakin tinggi (Aginta, 2011). Penelitian lain menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) pada seorang yang merokok lebih rendah daripada seorang yang bukan perokok, dan tentunya berhubungan langsung dengan durasi tetapi intensitas tidak merokok dengan durasi yang lebih lama dikaitkan dengan IMT yang lebih rendah. Analisa pada tahun 2005-2006 Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi (NHANES) dan National Health Interview Surveytahun 2005 mengkonfirmasi temuan dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perokok berat secara signifikan

(8)

mempunyai berat badan kurang dibandingkan dengan bukan perokok (Bradley, 2010).

2.2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA yang mengenai saluran nafas bawah, misalnya bronkitis, bila menyerang kelompok umur tententu, khususnya bayi, anak-anak dan orang tua, akan memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek dan sering kali berakhir dengan kematian. ISPA yang disebabkan oleh virus, wanita lebih rentan bila dibandingkan dengan pria, namun waktu menstruasi wanita lebih tahan (Alsagaff, 2005).

Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi telinga tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan ke dalam penyakit bukan pneumonia.Agen dari penyakit ISPA adalah virus dan bakteri yang mempunyai jenis lebih dari 300 macam, dimana penularannya dapat melalui kontak langsung dengan penderita atau melalui udara kepada orang rentan. Pada infeksi saluran pernafasan atas 90%-95% penyebab adalah virus.

Infeksi saluran pernafasan atas (Acute Upper Resporatory Infection) dan infeksi saluran pernafasan akut bawah (Acute Lower Respiratory), dimana infeksi saluran pernafasan akut bawah menyerang paru-paru dan ditandai dengan batuk dan kesusahan bernafas (pneumonia), sedangkan infeksi saluran pernafasan akut

(9)

atas adalah radang saluran tenggorokan atau pharingitas dan radang telinga tengah atau otitis (Anonim, 2000).

Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas seperti : 1) pilek (commoncold) merupakan penyakit yang sangat umum pada anak-anak. Beberapa anak mungkin terserang penyakit ini 5 atau 6 kali setiap tahun. Keluar cairan dari hidung, sakit tenggorokan, sakit kepala dan kadang-kadang sakit demam, dan ini biasanya sembuh dalam 2 – 3 hari. 2)influensa, disebabkan oleh virus. Biasanya disebabkan melalui percikan ludah yang sudah terinfeksi. Tanda dan gejalanya demam, malaise, nause (mual seperti mau muntah), sakit kepala, muntah, tenggorokan sakit, sakit mata, nyeri otot dan mengeluarkan cairan dari hidung yang encer.

3)tonsilitis merupakan infeksi tonsil yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri

dan virus. Tanda dan gejalanya anak demam dan merasa tidak enak badan, sakit tenggorokan atau tidak, kadang nyeri perut. 4)adenitis serikal merupakan pembengkakan dan peradangan kelenjar leher, kelenjar menjadi bengkak dan sakit, seringkali terjadi bersama tonsilitis.

Menurut Depkes RI (2010) tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan akut dapat berupa:

1. Batuk.

2. Sulit bernafas 3. Sakit teggorokan 4. Pilek

(10)

Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Depkes RI 2009 1. ISPA ringan adalah seseorang yang menderita ISPA ringan apabila

ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak.

2. ISPA sedang apabila timbul gejala-gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39% Cº dan bila bernafas mengeluarkan suara mengorok.

3. ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun.

Berdasarkan penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai Publikasi ilmiah dalam Rosalina (2006), dilaporkan faktor resiko yang meningkatkan kejadian (Morbiditas) ISPA yaitu sebagai berikut:

a. Host (Pejamu)

Manusia yang keberadaanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan pemberian makanan tambahan.

b. Agent (Infectous agent)

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus dan parasit (Infection agent).

c. Environment (Lingkungan)

Faktor diluar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Sebagai faktor lingkungan meliputi: Bakteri, virus dan parasit, polusi udara (asap rokok dan dapur), kepadatan tempat tinggal dan lain-lain.

(11)

Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu : mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah-muntah atau mempengaruhi makanan dan banyak cara lain lagi.

Secara umum, defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan sistem kekebalan. Gizi kurang dan infeksi, kedua-duanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Selain itu, juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi di tubuh.

Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi saluran pernafasan. ISPA memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit ISPA. Kuman – kuman yang kurang berbahaya bagi anak – anak dengan gizi baik, bisa menyebabkan kematian pada anak dengan gizi buruk. Gizi kurang tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan kematian, tetapi juga akan menurunkan produktivitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi buruk. Apabila kekebalan tubuh balita menurun maka penyakit ISPA mudah menyerang. Penyakit ISPA dan status gizi buruk sering kali bekerjasama dan bila bekerja bersama maka akan memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor tadi masing-masing bekerja sendiri.

(12)

2.3 Status Gizi Balita

Istilah “gizi” dan “ilmu gizi” di indonesia baru mulai dikenal sekitar tahun1952-1955 sebagai terjemahan kata bahasa inggris Nutrition. Kata gizi berasal dari bahasa arab “ghidza” yang berarti makanan. Menurut dialek mesir,

ghidzadibaca ghizi. Selain itu sebagian orang menerjemahkan nutrition dan

mengejanya sebagai “nutrisi”. Terjemahan ini terdapat dalam kamus umum bahasa indonesia Badudu-Zain tahun 1994.

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang di konsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Idrus,1990).

Zat gizi (nutriens) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan menggunakan zat-zat gizi. Dibedakan antar status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2005).

Menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang sering disebut

reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang digunakan di indonesia

adalah WHO-NCHS. Menurud Harvard dalam Supariasa 2002, klasifikasi status gizi dapat dibedakan menjadi empat yaitu:

(13)

a. Gizi lebih (Over Weight)

Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan (Almatsier, 2005).Kelebihan berat badan pada balita terjadi karena ketidakmampuan antara energi yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga atau keduanya. Kelebihan berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan (Arisman, 2007).

b. Gizi baik (wellnourished)

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satuatau lebih zat-zat esensial(Almatsier,2005).

c. Gizi buruk (servere PCM)

Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapanlain status nutrisinya berada dibawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa protein, karbohidratdan kalori di indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.

Menurut Depkes RI (2005) Parameter BB/TB berdasarkan Z-Score diklasifikasikan menjadi :

a.Gizi buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD

(14)

d. Gizi lebih (Gemuk) : >+ 2 SD

Menurut Soekirman (2000), beberapa cara pengukuran status gizi dengan menggunakan metode antropometri dapat dilakukan dengan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas dengan sesuai usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan dikeluarga, pengukuran berat badan (BB)dan tinggi badan (TB) adalah yang paling dikenal. Untuk mengetahui tingkat status gizi seorang tinggi, normal atau rendah harus dibandingkan dengan standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.

Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui status gizi ada 3 macam, yaitu: 1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Status gizi diketahui dengan melihat berat badan menurut umur, kemudian dibandingkan dengan standar WHO. Kemungkinan yang terjadi adalah lebih rendah, lebih tinggi, atau normal. BB/U normal digolongkan pada status gizi baik, BB/U lebih rendah berarti status gizi kurang atau buruk dan BB/U tinggi berarti status gizi tinggi. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dikelompokkan menjadi berat badan rendah (BBR). Menurut tingkat keparahannya, BBR dibedakan menjadi ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat sering disebut dengan status gizi buruk.

(15)

2. Tinggi badan Menurut Umur (TB/U)

Indikator TB/U dipakai untuk mengukur status gizi balita umur 0-24 bulan yang pengukurannya dilakukan dengan terlentang (tidak berdiri). Hasil pengukuran dapat digolongkan menjadi tinggi badan normal, kurang dan tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. TB/U kurang disebut pendek tidak sesuai dengan umur (PTSU). Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masalalu, seorang yang tergolong PTSU kemungkinan keadaan gizi masalalu tidak baik. Indikator TB/U dapat digunakan untuk menggambarkan riwayat keadaan gizi masalalu dan dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk.

3. Berat Badan Menurut Tinggi badan (BB/TB)

Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Berat badan berkolerasi linier dengan tinggi badan, artinya perkembangan berat badan akan diikuti oleh pertumbuhan tinggi badan. Oleh karena itu, berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badan.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah:

1. Penyebab langsung a. Asupan makanan

Asupan makanan dapat mempengaruhi pola makan serta nafsu makan anak. Secara langsung asupan makan yang dikonsumsi anak dapat

(16)

terkandung didalam makanan mempunyai kandungan gizi yang berbeda (Santoso,2008).

b. Infeksi

Infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting pada anak-anak. Gizi kurang dan infeksi dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan tidak sehat dengan sanitasi buruk. Apabila anak-anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi. Seseorang kekurangan gizi akan mudah terserang penyakit dan menyebabkan pertumbuhan terganggu (Santoso, 2008).

c. Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil dari pertumbuhan yang ditentukan salah satunya dengan status gizi. Faktor genetik antara lain termasuk sebagai faktor bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku bangsa. Anak yang normal berbeda dengan anak yang memiliki kelainan genetik cacat (Santoso, 2008). 2. Penyebab tidak Langsung

a. Ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga seseorang sangat menentukan dalam penyedian pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian seseorang baik maka status gizinya akan baik. Golongan ekonomi rendah cenderung lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan golongan menegah ke atas (Achmadi, 2009). Keadaan ekonomi keluarga juga

(17)

mempengaruhi tumbuh kembang anak dan status gizinya melalui kesiapan ekonomi keluarga dalam mengasuh anak. Kesiapan ekonomi keluarga antara lain tergantung kecilnya pendapatan keluarga dan pengeluaran keluarga (Santoso, 2008).

b. Pendapatan Orang Tua

Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang dari pihak lain maupun hasil sendiri. Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap konsumsi pangan. Jika pendapatan meningkat, proporsi pengeluaran terhadap total pengeluaran menurun tetapi pengeluaran absoluteuntuk makanan meningkat (Santoso, 2008). c. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat konsumsi zat gizi dan akhirnya mempengaruhi status gizi pada anak/remaja. Gaya hidup juga dapat berkaitan langsung dengan status gizi. Gaya hidup meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi minuman keras, kebiasaan mengkonsumsi narkoba, pola aktivitas dan pola pergaulan d. Lingkungan

Kondisi lingkungan harus benar-benar diperhatikan agar tidak mengganggu kesehatan. Sanitasi lingkungan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit yang dapat mempengaruhi keadaan status gizi anak (Widaninggar, 2003). Sanitasi lingkungan sangat terkait

(18)

serta kebersihan peralatan makan yang digunakan pada setiap keluarga (Soekirman, 2000).

2.4 Kerangka Teori

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang seirus serta akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukkan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002)

Akibat ganguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah, diare, kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung meningkat, gagguan pernafasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga, gangguan pertumbuhan Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita dibandingkan yang tidak terpapar asap rokok (Hidayat, 2005).

Menurut penelitian Aginta (2011),sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi rokok maka semakin rendah nilai status gizi seseorang yang berarti kejadian status gizi kurang pada anak/remaja semakin tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) pada seorang yang merokok lebih rendah daripada seorang yang bukan perokok, dan tentunya berhubungan langsung dengan durasi tetapi intensitas tidak merokok dengan durasi yang lebih lama dikaitkan dengan IMT yang lebih rendah.

(19)

Berdasarkan penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai Publikasi ilmiah dalam Rosalina(2006), dilaporkan faktor resiko yang meningkatkan kejadian (Morbiditas) ISPA yaitu sebagai berikut: Host (Pejamu): manusia yang keberadaanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan pemberian makanan tambahan. Agent (Infectous agent): faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus dan parasit (Infection agent). Environment (lingkungan): faktor diluar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Sebagai faktor lingkungan meliputi: Bakteri, virus dan parasit, polusi udara (asap rokok dan dapur), kepadatan tempat tinggal dan lain-lain.

Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, yakni penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi. Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA (Infeksi Salurat Pernafasan Akut) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Faktor penyebab tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok didalam ruangan. Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan keluarga (DepKes RI, 2011).

(20)

Berdasarkan beberapa teori dari hasil-hasil terdahulu. Adapun kerangka teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber:Depkes RI, (2002), Depkes RI, (2011),

Hidayat, (2005), Rosalina, (2006), Aginta,(2011) Status Merokok Keluarga

Paparan Asap Rokok

Jumlah Batang Rokok

ISPA Status Gizi

Status Gizi

Penyebab Langsung: a. Asupan makan b. Infeksi

c. Genetik

Penyebab Tidak Langsung: a. Ekonomi b. Pendapatan keluarga c. Gaya hidup d. Lingkungan Penyebab Langsung: a. Status gizi b. Status ASI c. BBL

Penyebab Tidak Langsung : a. Asap rokok b. Asap dapur c. Kepadatan Hunian d. Status Imunisasi e. Vitamin A f. Pemberian Makanan Tambahan

(21)

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwa status keluarga perokok dapat mempengaruhi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada balita dan juga mempengaruhi status gizi balita. Apabila kecukupan gizi kurang maka status gizi menurun sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh dan juga dapat memperparah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak balita.

Status Merokok Keluarga

Status Gizi

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Apabila terjadi perubahan tempat tugas atau status kepegawaian guru antar madrasah, antar jenis pendidikan dalam satu kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, antar

Jika dibandingkan dengan nilai standar deviasi dari beberapa formula empiris seperti pada tabel 3, maka nilai standar deviasi untuk formula empiris magnitudo

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kombinasi pupuk organik dan anorganik berpengaruh nyata pada tinggi tanaman pada pengamatan 42, 56 dan

Kerugian yang diperoleh dari instalasi biogas, yaitu penyusutan instalasi, biaya pembelian jerigen dengan meningkatnya produksi pupuk cair dibutuhkan 288 sehingga biaya

Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini dicirikan oleh pola refleksi seismik onlap pada puncak sedimen Miosen Awal yang merupakan bidang

Prior to test the hypotheses, the researcher employed regression model to determine normal and abnormal cash flow from operating activities. Then,

Komunikasi antara organisasi anda dan publik merupakan tujuan utama aktivitas E-PR karena aktivitas ini akan membantu anda dalam membangun hubungan yang kuat dan saling

Masalah-masalah low vision dapat diklasifikasikan dalam empat golongan yaitu : penglihatan sentral dan perifer yang kabur atau berkabut, yang khas akibat kekeruhan media