• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Putusan Nomor: 0233/pdt.G/2017/MS-MBO) SKRIPSI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Putusan Nomor: 0233/pdt.G/2017/MS-MBO) SKRIPSI."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PETIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN

(Studi Putusan Nomor: 0233/pdt.G/2017/MS-MBO)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

DONI MULIADI NIM. 140101089

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM – BANDA ACEH 2020 M / 1441 H

(2)

DONI MULIADI NIM. 140101089

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga

(3)
(4)
(5)

iv

Nama : Doni Muliadi

NIM : 140101089

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/Hukum Keluarga

Pembimbing I : Dr. Hj. Soraya Devy, M. Ag

Pembimbing II : Riadhus Shalihin, S.Sy., MH

Kata Kunci : Nafkah Anak, Pasca perceraian

Nafkah anak adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh anak untuk tumbuh dan berkembang seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kewajiban pemenuhan nafkah anak pada dasarnya menjadi tanggungjawab orang tua bersama. Namun, setelah terjadi perceraian antara kedua orang tuanya, maka ayah lah yang bertanggungjawab untuk memenuhi nafkah anak. Adapun kadar nafkah anak tidak ditentukan secara khusus batas minimal maupun batas maksimalnya, akan tetapi standar jumlah nafkah harus sesuai dengan kemampuan finansial ayahnya. Jika ayahnya benar-benar tidak dapat memenuhi nafkah anak tersebut yang disebabkan karena alasan tertentu, maka kewajiban nafkah ditanggung oleh ibunya. Berdasarkan amar Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Meulaboh Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO, Majelis Hakim mengurangi jumlah nafkah anak yang dituntut oleh termohon kepada pemohon. Nafkah anak yang semula dimintakan sejumlah Rp. 1.600.000,- ditetapkan oleh Majelis Hakim hanya sebesar Rp. 600.000,- dengan penambahan 20% pertahun nya dalam jangka waktu sampai anak tersebut dewasa. Oleh karenanya, terdapat pengurangan jumlah nafkah anak dari tuntutan awal. Dengan demikian, penelitian ini akan menfokuskan tentang apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak yang dimintakan oleh termohon dan bagaimana penetapan nafkah anak menurut hukum Islam. adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pertama,dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak dari jumlah yang dituntut dikarenakan menimbang ketidakmampuan finansial ayahnya. Kedua, penetapan nafkah anak yang terdapat dalam putusan tersebut telah sesuai dengan hukum Islam dikarenakan aturan hukum Islam menjelaskan bahwa pemenuhan nafkah anak oleh ayah harus sesuai dengan kemampuan finansial ayahnya. Berdasarkan uraian tersebut, hendaklah istri memahami keadaan finansial suaminya untuk memenuhi nafkah anak agar dapat mencegah permasalahan keluarga yang berkepanjangan.

(6)

vi

RATA GNAPAATAK ِميِحهرلٱ ِن َٰ م ۡحهرلٱ ِ هللَّٱ ِم ۡسِب

Penulis mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul

“PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Putusan Nomor: 0233/pdt.G/2017/MS-MBO)” dengan baik dan benar. Shalawat dan Salam kepada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW, serta para sahabat, tabi’in, dan para ulama yang senantiasa berjalan dalam Risalah-Nya, yang telah membimbing umat manusia dari alam kebodohan kepada alam pembaharuan yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. hj. Soraya Devy, M. Ag selaku pembimbing pertama dan Riadhus Sholihin, S.Sy., selaku pembimbing kedua karena dengan ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi dan serta menyisihkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan skripsi ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Bapak Muhammad Siddiq Armia, MH., PhD, Ketua Prodi Hukum Keluarga bapak Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., MA serta seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan masukan dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kemudian dari itu ucapan terimakasih saya yang tak terhingga kepada sahabat yang selalu menemani dan selalu menyemangati penulis, yang selalu ada saat suka maupun duka, Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan di UIN-Ar-Raniry. Terkhusus teman-teman unit 03 dan

(7)

vii

yang saling menguatkan dan saling memotivasi selama perkuliahan hingga terselesainya kuliah dan karya ilmiah ini. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan balasan yang tiada tara kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya skripsi ini. Penulis hanya bisa mendoakan semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangan. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan kepada para pembaca. Maka kepada Allah jua lah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Ẳmῑn ya Rabb al-‘Ẳlamῑn.

Banda Aceh, 15 Januari 2020 Penulis,

(8)

viii

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun1987 - Nomor: 0543 b/u/1987

1. Konsonan

No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket

1 ا Tidak

dilambangkan 61 ط ṭ

Te dengan titik di bawahnya

2 ب B Be 61 ظ ẓ Zet dengan titik

di bawahnya 3 ت T Te 61 ع ‘ Koma terbalik (di atas) 4 ث Ś Es dengan titik di atasnya 61 غ gh Ge 5 ج J Je 02 ؼ F Ef 6 ح ḥ Hadengan titik di bawahnya 06 ؽ Q Ki 7 خ Kh Ka dan ha 00 ؾ K Ka 8 د D De 02 ؿ L El

9 ذ Ż Zet dengan titik

di atasnya 02 ـ M Em 10 ر R Er 02 ف N En 11 ز Z Zet 01 ك W We 12 س S Es 01 ق H Ha 13 ش Sy Es dan ye 01 ء ’ Apostrof 14 ص Ş Es dengan titik di bawahnya 01 ي Y Ye 15 ض ḍ De dengan titik di bawahnya 2. Vokal

Vokal Bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

(9)

ix

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan Huruf

Nama Gabungan

Huruf

ي َ Fatḥah dan ya Ai

ك َ Fatḥah dan wau Au

Contoh:

فيك

= kaifa,

ؿوه

= haula

3. Maddah

Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harkat dan

Huruf

Nama Huruf dan tanda

ي/ ا Fatḥah dan alif atau ya Ā

ي Kasrah dan ya Ī

ك Dammah dan wau Ū

Contoh:

ؿا ق

= qāla

ي م ر

= ramā

لْي ق

= qīla

ؿْوق ي

= yaqūlu َ Fatḥah A َ Kasrah I َ Dammah U

(10)

x 4. Ta Marbutah (ة)

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua. a. Ta marbutah ( ة) hidup

Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan

dammah, transliterasinya adalah t.

b. Ta marbutah ( ة) mati

Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun,transliterasinya adalah h.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah (ة) diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutah ( ة) itu ditransliterasikan dengan h.

Contoh:

ة ضْك رْلا فْط ْلْا

: rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatulaṭfāl

ة نْػي د مْلاْة رَّو ػن مْلا

:al-Madīnah al-Munawwarah/

al-MadīnatulMunawwarah

ْة حْل ط

: Ṭalḥah

5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, dalam transliterasi ini tanda

syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan

huruf yang diberi tanda syaddah itu. Contoh:

اَنَّ بَر

– rabbanā

َلَّزَ ن –

nazzala

(11)

xi

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ( لا ) namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah.

1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

2. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Baik dikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang.

Contoh: - ar-rajulu - as-sayyidatu - asy-syamsu - al-qalamu - al-badī‘u - al-jalālu 7. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.

(12)

xii an-nau’ syai’un inna umirtu akala 8. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fail, isim maupun harf ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan maka transliterasi ini, penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

Contoh:

- Wa inna Allāh lahuwa khair ar-rāziqīn

- Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn

9. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya: Huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:

-Wa mā Muhammadun illā rasul

-Inna awwala naitin wud’i’a linnasi -Lallazi bibakkata mubarakkan

(13)

xiii

tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harkat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.

10. Tajwῑd

Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Ilmu Tajwῑd. Karena peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman

tajwῑd.

Catatan: Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.

2. Nama Negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.

(14)

xi DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR ISI ... xi

BAB SATU : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Penjelasan Istilah ... 6 E. Kajian Pustaka ... 7 F. Metode Penelitian ... 9 G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB DUA : KONSEP NAFKAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSIT ... 14

A. Pengertian Nafkah ... 14

B. Dasar Hukum Nafkah ... 16

C. Hak dan Kewajiban Pemberian Nafkah ... 23

D. Nafkah Anak Pasca Perceraian ... 26

BAB TIGA : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN ... 33

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 33

B. Duduk Perkara Putusan Hakim Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO ... 35

C. Analisis Penulis tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Nafkah Anak Pasca Perceraian pada Putusan Hakim Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS- ... 38

D. Analisis Penulis Tentang Penetapan Nafkah Anak Pasca Perceraian Menurut Hukum Islam ... 40

(15)

xii

4.1. Kesimpulan ... 45

4.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN

(16)

1

BAB SATU

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang telah mengatur seluk-beluk kehidupan di dunia maupun di akhirat dengan tujuan agar tidak terjadi benturan dan ketidakseimbangan antara satu dengan yang lainnya. Salah satu tujuan adanya peraturan dalam Islam adalah untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia yang direalisasikan dalam suatu ikatan berupa sebuah pernikahan, karena pernikahan dapat mengurangi kemaksiatan, khususnya dalam bentuk perzinaan.

Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang melangsungkannya. Pada prinsipnya, suatu perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi pasangan suami istri yang

bersangkutan. Pernikahan berasal dari kata “nikah” yang artinya

mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi yang salah satunya adalah akad yang ditetapkan untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senang antara perempuan dengan laki-laki.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, pernikahan adalah akad yang telah ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk

melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.1 Sedangkan,

berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

1

(17)

Namun pernikahan tidaklah selalu berjalan mulus, karena setiap pernikahan terdapat lika-liku rumah tangga yang berwujud kepada pertengkaran dalam kehidupan pernikahan mereka. Bahkan pertengkaran tersebut bisa berujung kepada perceraian jika tidak adanya upaya damai antara suami-istri tersebut.

Walaupun perceraian yang telah ditetapkan berakibat tidak adanya hubungan suami istri antara keduanya, akan tetapi suami tetap berkewajiban memenuhi nafkah jika selama pernikahan mereka melahirkan buah hati. Sehingga suami sebagai ayah anak-anaknya tetap berkewajiban memenuhi kebutuhan anak, baik kebutuhan materi dan kebutuhan non materi. Adapun kebutuhan non materi dapat berupa kasih sayang yang tetap menjadi hak anak-anak meskipun ibu dan ayah mereka telah berpisah. Sedangkan kebutuhan materi dapat berupa nafkah yang berhak anak peroleh demi menjamin kehidupan mereka di masa depan.

Para ulama sepakat bahwa suami sebagai ayah anak-anaknya berkewajiban untuk memenuhi nafkah anaknya walaupun setelah perceraian. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi:

لَْحَ ِتَلاْوُأ َّنُك نِإَو َّنِهْيَلَع اوُقِّيَضُتِل َّنُهوُّرآَضُتَلاَو ْمُكِدْجُو نِّم مُتنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُهوُنِكْسَأ

اوُقِِفََََ

َّنُهوُتاَئَ َ ْمُكَل َنْعَضْرَأ ْنِإََ َّنُهَلَْحَ َنْعَضَي َّتََّح َّنِهْيَلَع

ُهَل ُعِضْرُ تَسََ ُْتُْرَساَعَ ت نِإَو فوُرْعَِبِ مُكَنْ يَ ب اوُرَِتَْأَو َّنُهَروُجُأ

ىَرْخُأ

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di

(18)

3 antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. 65:6)

Dalam ayat tersebut, Allah mewajibkan seorang ayah untuk memberi upah kepada isterinya atas pemberian ASI (Air Susu Ibu) kepada anak-anaknyanya, karena menafkahi anak itu kewajiban ayah. Sebagaimana para ulama telah berijma’ bahwa seseorang wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa memberi nafkah kepada anak adalah kewajiban ayah, jika ayah masih dalam keadaan mampu untuk memenuhi nafkah anaknya. Ayah wajib memenuhi semua yang diperlukan oleh anak-anaknya, seperti makanan, pakaian dan sebagainya sesuai

dengan kemampuannya.2

Nafkah merupakan semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain sebagainya. Anak berhak mendapatkan nafkah atau biaya hidupnya meskipun hubungan perkawinan antara kedua orang tuanya putus hak anak untuk mendapatkan biaya hidup dari ayahnya. Selain dalam Alquran, as-Sunnah dan

ijma’ ulama, pemenuhan nafkah anak juga sudah diakui oleh hukum positif di

Indonesia seperti yang telah diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

2

(19)

Selain itu ketentuan mengenai kewajiban ayah membayar nafkah kepada anakya diatur dalam Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut tumbuh dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Selanjutnya, Pasal 41 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Dengan demikian, maka suami merupakan orang yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya bila terjadi perceraian sesuai dengan kemampuaannya. Bila suami tidak membayar nafkah kepada anak-anaknya, maka ibu berhak menuntut kepada pengadilan supaya mantan suami memberikan nafkah dan biaya hidup serta seluruh biaya hidup serta seluruh biaya pendidikan anaknya.

Oleh karenanya, pemenuhan nafkah anak dibebankan kepada suami sesuai dengan batas kemampuan finansial suami. Jika suami dianggap mampu untuk memenuhi nafkah anak secara menyeluruh, maka ia harus memenuhinya tanpa adanya pengurangan. Tidak ada batasan minimal maupun maksimal dalam memberikan nafkah anak, namun nafkah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Jika ingin mengurangi jumlah nafkah anak, maka perlu pertimbangan yang sangat baik guna mencegah kerugian yang ditimbulkan bagi si anak. Pengurangan jumlah nafkah dari tuntutan ini terdapat dalam Putusan

Mahkamah Syar’iyah Meulaboh Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO.3

Dalam putusan tersebut, termohon sebagai istri bersedia diceraikan oleh suaminya dengaan syarat memenuhi nafkah iddah, nafkah madhiyah, pelunasan

3

(20)

5

mahar serta meminta hak nafkah anak sejumlah Rp.1.600.000,- (Satu Juta Enam Ratus Ribu Rupiah) setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa. Akan tetap, Majelis Hakim menetapkan pemohon untuk membayar nafkah anak sebesar Rp.600.000,- (Enam Ratus Ribu Rupiah) perbulannya dengan penambahan 20% pertahunnya yang artinya terdapat pengurangan nafkah anak dari tuntutan di termohon. Sedangkan biaya hadhanah tersebut dianggap termohon belum mencukupi seluruh biaya anak selama sebulan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak yang diminta oleh termohon dalam rekonvensinya yang akan direlasikan dengan aturan hukum keluarga Islam. Oleh karenanya, penulis menfokuskan penelitian ini dengan judul “Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah Anak

Pasca Perceraian (Studi Putusan Hakim Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO)”.

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti akan merumuskan beberapa rumusaan masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak pasca perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh?

2. Bagaimamana pertimbangan hokum oleh hakim tentang penetapan nafkah anak pasca perceraian di Mahkamah Syar,iyah Meulaboh menurut hokum keluarga islam

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(21)

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak pasca perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang penetapan nafkah anak pasca

perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh menurut hukum keluarga

islam

D. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami makna setiap istilah yang digunakan dalam tulisan ini, maka penulis akan menjelaskan beberapa istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun penjelasan istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nafkah Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup, uang pendapatan. jadi yang dimaksud nafkah dari definisi kamus di atas adalah uang, semua kebutuhan dan keperluan dalam kehidupan berumah tangga. Secara etimologi, nafkah adalah apa yang kamu nafkahkan dan kamu belanjakan untuk keluargamu dan untuk dirimu sendiri. Anfaqa al-mal, artinya membelanjakan nafkah. Secara terminologi, nafkah berarti mencukupi makanan,

pakaian, dan tempat tinggal orang yang menjadi tanggungannya.4

2. Anak

Secara bahasa, anak diartikan sebagai keturunan yang kedua atau manusia yang masih kecil. Sedangkan pengertian anak dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah manusia yang masih kecil.5 Yang dikatakan anak

adalah yang masih kecil yang belum berumur 21 tahun dan memerlukan bantuan orang lain, karena anak kecil biasanya tadak sanggup melakukannya

4 Yahya Abdurahman, (Red) Mujahidin Muhaya, Fiqih Wanita Hamil, Yahya

Abdurahman Al Kathib, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 164.

5

(22)

7

tanpa mendapatkan bantuan dari orang dewasa.Sedangkan secara istilah, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah.6

3. Perceraian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai adalah perpisahan antara

suami istri selagi kedua-duanya masih hidup.7 Perceraian dalam istilah fiqih

disebut dengan “talaq atau furqah”, “talaq” yang berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata ini digunakan oleh para ahli fiqih sebagai

istilah perceraian antara suami dan istri.8 Sedangkan talaq menurut istilah syara’

adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.9

E. Kajian Pustaka

Dalam rangka mengetahui dan memperjelas bahwa penelitian ini memiliki perbedan yang sangat subtansial dengan hasil penelitian terdahulu, maka perlu dijelaskan hasil penelitian dahulu untuk dikaji dan ditelaah secara seksama guna memberikan kemudahan dalam mengetahui perbedaan antara penelitian terdahulu dengan hasil penelitian yang di peroleh penulis. Adapun penelitian-penelitian terdahulu di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Marya Ulfiana dengan judul skripsinya

“Dampak Negatif Poligami Terhadap Nafkah Anak (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan). Skripsi ini

membahas tentang orang yang memberikan nafkah anak akibat ayah

6 Pangeran, Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citapustaka Media, 2014),

hlm. 103.

7

Ibid. hlm. 261.

8

Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Mitra Utama, 2011), hlm. 83.

9

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. V (Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2012), hlm. 192.

(23)

berpoligami adalah ayahnya, akan tetapi jumlah tidak ditetapkan dalam jumblah tertentu. Hasil penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Persamaannya adalah bahwa dalam penelitian di atas adalah sama-sama membahas tentang nafkah terhadap anak, namun perbedaannya adalah penelitian diatas membahas tentang dampak negatif poligami terhadap nafkah anak dan hanya menganalisis kasus-kasus yang terjadi di Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan dalam penelitian ini penulis melihat kepada Majelis Hakim yang memutuskan perkara cerai talak dengan penambahan nafkahnya 20% pertahunnya sampai anak tersebut

tumbuh dewasa10

2. Penelitian yang dilakukan oleh Mawarni dengan judul skripsinya

“Nafkah Anak Setelah Perceraian (Kajian Amar Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh)”. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan

bahwa orang yang memberi nafkah kepada anak setelah terjadinya perceraian adalah ayah. Akan tetapi ayah memberikan nafkah kepada

anaknya sesuai kemampuan si ayah.11 Penelitian tersebut memiliki

persamaan dan perbedaan dengan penulis kaji. Persamaannya adalah sama-sama mengkaji tentang nafkah anak setelah terjadinya perceraian. Sedangkan perbedaanya adalah objek kajiannya yang menjadi beda yaitu yang menjadi fokus utama adalah alasan hakim memutuskan perkara dengan penambahan nafkah 20% pertahunnya.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah (NIM : 2101297) yang berjudul “Kriteria Minimal Nafkah Wajib Kepada Anak (Studi Analisis

Pendapat Imam Syafi’i)” menyimpulkan bahwa menurut Imam Syafi’i,

10

Marya Ulfiana, Dampak Negatif Poligami Terhadap Nafkah Anak, Studi Kasus di

Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, Hlm. 50.

11

Mawarni, Nafkah Anak Setelah Perceraian, Kajian Amar Putusan Mahkamah

(24)

9

seorang ayah memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anaknya. Ia menetapkan bahwa setiap hari ayah yang mampu wajib membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1360 gram gandum/beras), ayah yang kondisinya menengah 1,5 mudd dan ayah yang tidak mampu wajib

membayar nafkah 1 mud (675 gram gandum/beras). 12

4. Penelitian yang dilakukan oleh Jamiliya Susanti dengan judul

“Implementasi Pemenuhan Nafkah Anak Pasca Putusnya Perkawinan Karena Perceraian di Pengadilan Agama Sumenep-Madura”.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa nafkah anak merupakan tanggungjawab orang tua baik yang diatur secara hukum Islam maupun yang diatur secara hukum positif. Adapun implentasi nafkah anak setelah perceraian dianggap belum mencapai sasaran dikarenakan kelalaian suami sebagai ayah sang anak yang tidak secara rutin memberikan nafkah setelah perceraian, alhasil solusi yang ditawarkan kepada istri adalah agar melapor kembali ke pengadilan agar dapat dieksekusi atau istri harus kembali mengingatkan mantan

suaminya untuk tetap memenuhi nafkah sang anak.13

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini lebih berfokus kepada pertimbangan hakim tentang penetapan nafkah anak pasca perceraian yang terdapat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

12

Uswatun Hasanah, Kriteria Minimal Nafkah Wajib Kepada Anak (Studi Analisis

Pendapat Imam Syafi’i), Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Walisongo,

(Semarang: IAIN Walisongo, 2016).

13

Jamiliya Susanti, “Implementasi Nafkah Anaka Pasca Putusnya Perkawinan Karena Perceraian di Pengadilan Agama Sumenep-Madura”. (Thesis yang diajukan kepada Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2014).

(25)

F. Metodelogi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan sebuah research atau penelitian dengan menggunakan data-data yang akurat agar dapat menghasilkan informasi yang akurat juga. Untuk dapat menghasilkan informasi yang akurat, maka penulis akan menguraikan metode yang digunakan pada penelitian ini. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif :

Penelitian ini bertujuan mendefinisikan suatu keadaan atau fenomena secara apa adanya. Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan terhadap putusan terkait dengan nafkah anak pasca perceraian yang ada di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dar tahun 2015 sampai dengan tahun 2017. Penulis telah mendatangi lokasi Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan mendapat kasus terkait dengan nafkah anak pasca perceraian. Oleh karena itu penulis akan menganalisis putusan tersebut, khususnya bagaimana pandangan hakim dalam memutuskan perkara.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, presepsi, dan orang secara individual maupun kelompok. Penelitian ini bertujuan mendefinisikan suatu keadaan atau fenomena secara apa

adanya.14

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan pertimbangan hakim terhadap nafkah anak pasca perceraian yang terdapat di Mahkamah Syar’iyyah Meulaboh pada tahun 2017. Adapun data yang diperoleh oleh peneliti bersumber dari putusan hakim yang terdapat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

14

Nana Syaodin Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 60.

(26)

11

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara pandang seseorang dalam meninjau persoalan penelitian sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Oleh karena penelitian ini bersifat Empiris maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah Yuridis Empiris karena penelitian ini didasarkan kepada suatu ketentutan

hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.15

3. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a Data primer. Data primer yaitu data yang berhubungan dengan fokus

penelitian. Adapun data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Meulaboh Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO.

b Data sekunder. Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi

pustaka dengan membaca dan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Teknis Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, penulis berusaha mengklasifikasikan untuk dianalisis sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan. Analisis data ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis dengan

menggambarkan atau melukiskan subjek dan objek berdasarkan fakta.16 Metode

analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara

15

Sorgono Soekanto, Penelitian Hokum Normative suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), Hlm. 26

16

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 51.

(27)

sistematis tentang pertimbangan hukum oleh hakim tentang nafkah anak pasca perceraian yang terdapat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

5. Penyajian Data

Setelah data terverifikasi, selanjutnya penulis akan menyusun skripsi ini berdasarkan pedoman penulisan skripsi pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Adapun pedoman penulisan yang digunakan penulis pada skripsi ini dengan menggunakan panduan penulisan skripsi tahun 2018 di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Sedangkan untuk terjemahan ayat Qur’an, penulis menggunakan Al-Qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran awal yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka akan dijelaskan poin-poin bahasan yang akan dieksplorasikan di bab-bab lainnya. Adapun yang menjadi pokok pembahasan adalah sebagai berikut:

Bab satu terdiri dari latar belakang masalah yang mengguraikan inti masalah dalam penelitian ini yang akan dicarikan jawabannya. Rumusan masalah, tujuan penelitian yang diinginkan dari penelitian. Selanjutnya kajian pustaka yang berupa penjelasan tentang penelitian-penelitian atau pembahasan-pembahasan terdahulu yang telah diteliti oleh peneliti lain agar tidak terjadi duplikatif. Selanjutnya, penjelasan istilah yang berisi pengertian beberapa istilah yang tertera dalam judul sehingga tidak adanya kekeliruan pembaca dalam memahami makna istilah yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Selanjutnyapenjelasan tentang metodelogi penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini. sistematika pembahasan yang mengguraikan secara singkat sub poin dalam tiap-tiap bab. Dan yang terakhir pada bab ini akan

(28)

13

menjelaskan tentang sistematika penulisan yang akan diuraikan dalam penelitian ini.

Bab kedua akan memaparkan tentang konsep nafkah anak pasca perceraian yang ditinjau dari segi hukum keluarga Islam. Adapun bab ini akan menjelaskan tentang pengertian nafkah dan dasar hukum pemberian nafkah anak pasca perceraian, syarat-syarat wajib memenuhi nafkah dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian ditinjau berdasarkan hukum keluarga Islam.

Bab ketiga pada penelitian ini akan membahas tentang analisis penulis tentang pertimbangan hukum oleh hakim terhadap nafkah anak pasca perceraian yang terdapat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh. Adapun bab ini terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian yaitu Mahkamah Syar’iyah Melaboh, duduk perkara pada putusan hakim nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO, analisis penulis tentang dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam menetapkan nafkah anak pasca perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, serta analisis penulis tentang penetapan nafkah anak pasca perceraian ditinjau berdasarkan hukum keluarga Islam.

Bab keempat dalam penelitian ini berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dari seluruh pembahasan mengenai pemenuhan nafkah anak pasca perceraian merupakan jawaban dari pokok masalah, dan juga berisi tentang saran-saran penulis agar penelitian ke depannya lebih baik terlebih penelitian yang berkaaitan dengan nafkah anak pasca perceraian.

(29)

14

BAB DUA

KONSEP NAFKAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Pengertian Nafkah

Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yaitu Al-nafaqah yang berarti “mengeluarkan”. Nafkah juga bertarti belanja, maksudnya sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada isteri, seorang bapak kepada anak, kerabat

dari miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.1 Menurut Abdurrahman,

kata nafkah mempunyai makna segala biaya hidup yang merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya, bahkan sekalipun si isteri itu seorang wanita yang

kaya.2

Nafkah berarti belanja yang merupakan kebutuhan pokok. Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok tersebut adalah kebutuhan pokok yang

diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.3 Para ahli fiqih berbeda

pendapat mengenai definisi nafkah. Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa yang termasuk ke dalam kebutuhan pokok adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Sementara beberapa ahli fiqih yang lain berpendapat kebutuhan pokok

itu hanyalah pangan.4 Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh

keluarga, maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan yang

1

Biro rektorat Jenderal Pembina Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu

Fiqh, Jilid II, Cet. II, Jakarta: 1984/1985, hlm. 184.

2

Abdurrahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Cet. I, (Jakart: Rineka Cipta, 1992), hlm. 121.

3

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hlm.15.

4

(30)

15

lain tergantung kepada kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau

menyediakan dan memenuhinya.5

Dalam terminologi fikih, Fuqaha memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot kerumahtanggaan. Adapula yang secara khusus membatasi pengertian nafkah hanya pada tiga aspek pokok saja, yaitu pangan, sandang dan papan, bahkan lebih sempit dari itu adalah

pangan saja.6

Sedangkan menurut Kamal Muchtar, nafkah berarti “belanja, kebutuhan pokok”. Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang

yang membutuhkan.7 Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, nafkah menurut

istilah dalam ungkapan para fuqaha adalah belanja (biaya hidup) yaitu makanan

saja.8

Menurut Wasman dan Nuroniyah, nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan

orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat.9

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mendefiniskan nafkah secara spesifik, namun aturan tentang nafkah telah

5

Ibid, hlm. 19-20

6

Nafkah dalam perspektif islam diakses melalui http://digilib.uinsby.ac.id pada tanggal 28 Maret 2019

7

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hlm.15

8

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, jilid 7. (Damsik: Dar al-Fikr 1989) Cet Ke 2, hlm. 789

9

Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Mitra Utama, 2011), hlm. 252.

(31)

dijelaskan dalam uraian akibat-akibat putusnya perkawinan yakni salah satunya kewajiban pemenuhan nafkah anak oleh ayah.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa nafkah itu adalah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain yang berhak menerimanya, baik yang berupa makanan, minuman, pakaian, perumahan dan lain sebagainya. Semua kebutuhan tersebut berlaku menurut keadaan.

B. Dasar Hukum Nafkah

Salah satu kewajiban seorang suami setelah perceraian adalah memenuhi nafkah anaknya, baik dari segi pendidikan, kesehatan dan lain-lain dengan syarat suami mampu dan menyanggupi untuk memenuhi nafkah anaknya tersebut. Namun, jika suami tidak memiliki kesanggupan untuk memenuhi nafkah anaknya setelah perceraian, maka pemenuhan nafkah dapat dialihkan kepada istri dengan menyertai alasan-alasan yang sesuai dengan aturan hukum

yang berlaku.10

Dasar hukum tentang nafkah terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum positif di Indonesia. Adapun dasar hukum nafkah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a.

Surat al-Baqarah ayat 233

ِدوُلْوَمْلا ىَلَعَو َةَعاَضَّرلا َّمِتُي نَأ َداَرَأ ْنَمِل ِْيَْلِماَك ِْيَْلْوَح َّنُىَدَلاْوَأ َنْعِضْرُ ي ُتاَدِلاَوْلاَو

َّنُهُ تَوْسِكَو َّنُهُ قْزِر ُوَل

وُرْعَمْلِبِ

ِثِراَوْلا ىَلَعَو ِهِدَلَوِب ُوَّلُدوُلْوَم َلاَو اَىِدَلَوِب ُةَدِلاَو َّرآَضُت َلا اَهَعْسُو َّلاِإ ٌسْفَ ن ُفَّلَكُت َلا ِف

ُُ ِْْم

ْرَ تْسَت نَأ ُْتُْدَرَأ ْنِإَو اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلاَف ٍرُواَشَتَو اَمُهْ نِّم ٍضاَرَ ت نَع ًلااَصِف اَداَرَأ ْنِإَف َكِلَذ

ْمُكَدَلاْوَأ اوُعِض

َمْعَ ت اَِبِ َالله َّنَأ اوُمَلْعاَو َالله اوُقَّ تاَو ِفوُرْعَمْلِبِ مُتْ يَ تاَءآَّم مُتْمَّلَس اَذِإ ْمُكْيَلَع َحاَنُج َلاَف

ُيِصَب َنوُل

10

Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Mitra Utama, 2011), hlm. 252.

(32)

17 Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang inu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan kkeduanya dan perm, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:233)11

b.

Surat at-Thalaq ayat 6

َّنُىوُّرآَضُتَلاَو ْمُكِدْجُو نِّم مُتنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُىوُنِكْسَأ

اوُقِفنَأَف ٍُ َْحَ ِتَلاْوُأ َّنُك نِإَو َّنِهْيَلَع اوُقِّيَضُتِل

ٍفوُرْعَِبِ مُكَنْ يَ ب اوُرَِتَْأَو َّنُىَروُجُأ َّنُىوُتاَئَ ف ْمُكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف َّنُهَلَْحَ َنْعَضَي َّتََّح َّنِهْيَلَع

ُْتُْرَساَعَ ت نِإَو

ىَرْخُأ ُوَل ُعِضْرُ تَسَف

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. 65:6)12

11

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya, mekar Surabaya, 2002)

12

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2002)

(33)

Pada surat ath-Thalaq ayat 6 tersebut, menurut Muhammad Quraish Shihab menafsirkan agar suami menempatkan isterinya pada tempat tinggal menurut kemampuan mereka. Jika isteri dalam keadaan hamil maka berilah mereka nafkah sampai mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusui anak

kalian maka berikanlah kepada mereka upahnya.13 Sebaiknya seorang ayah dan

ibu merundingkan dengan cara yang baik tentang kemaslahatan anak-anaknya,

baik mengenai kesehatan, pendidikan, maupun hal lainnya.14

c. Surat An-Nissa’ ayat 5

َُل اوُلوُقَو ْمُىوُسْكاَو اَهيِف ْمُىوُقُزْراَو اًماَيِق ْمُكَل ُالله َُ َعَج ِتَِّلا ُمُكَلاَوْمَأ َءآَهَفُّسلا اوُتْؤُ تَلاَو

اًفوُرْعَّم ًلاْوَ ق ْم

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. 4:5)15

Selain dalam Al-Qur’an, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang dasar hukum kewajiban memberikan nafkah. Adapun Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang PErkawinan yang menjelaskan dasar hukum nafkah adalah sebagai berikut:

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

13

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 102

14

Tafsir Departemen Agama, Di akses pada tanggal 3 Januari 2019

15

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2002)

(34)

19

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.

b. bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut engadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi

bekas istri.16

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana

berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.17

Sedangkan, Pasal-Pasal dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan dasar kewajiban memberikan nafkah adalah sebagai berikut:

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talaq, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul.

b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalah

iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan

dalam keadaan tidak hamil.

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila

qobla al-dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.18

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

16

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41 Tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya.

17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41 Tentang Hak dan Kewajiban Orang

Tua dan Anak

18

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 Tentang Akibat Putusnya Perkawinan.

(35)

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu: 2. Ayah:

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah: 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan:

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu:

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah ana, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak yang tidak turut padanya.19

Secara normatif, hukum di Indonesia khususnya mengenai hak nafkah bagi isteri dan anak, baik dalam perkawinan maupun pasca perceraian dapat dikatakan sudah cukup melindungi kepetingan anak. Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan pada tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Berdasarkan sesuatu

19

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 Tentang Akibat Putusnya Perkawinan.

(36)

21

yang melekat pada diri anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dan dijaga agar berkembang secara wajar.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Sebagai Undang-Undang Pertama yang memuat materi perkawinan, dalam berbagai pasal tercantum jaminan hak dan perlindungan terhadap anak. Setelah itupun Undang-Undang ditetapkan pemerintah untuk tujuan yang sama yakni memberikan perlindungan dan jaminan hak pemeliharaan terhadap anak. Pada tahun 2002 ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini bahkan telah diamandemen dengan Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UUP (Undang-Undang Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perlindungan dan jaminan terhadap pemeliharaan anak disebutkan dalam Pasal 41, bahwa ketika terjadi perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, dan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya

pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anaknya.20 Sehingga putusnya

perkawinan orang tua tidak boleh menjadi alasan terabaikannya pemeliharaan anak. Masih dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak memlihara anak dalam Pasal 45, bahwa kedua orang tua wajib memlihara dan

mendidik anak mereka sebaik-baiknya.21

20

Bunyi lengkap dari pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan adalah “Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian ialah; a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anak, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana adaperselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya; b. bapak bertanggug jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikil biaya tersebut; c. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagoi bekas isteri”

21

Bunyi lengkap pasal 45 bab X Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan AnakUndang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah “(1) kedua orang tua wajib memlihara dan mendiidk anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang

(37)

Di dalam Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 26 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara, mendidik dan melindungi anaknya. Sedangkan dalam Pasal 31 ayat 2 Bab VI tentang Kuasa Asuh dijelaskan bahwa apabila salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga tidak dapat melaksanakan fungsinya maka kuasa asuh dapat dialihkan kepada lembaga berwenang. Pengasuhan oleh lembaha dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. Selain itu masyarakat juga memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak baik dilakukan oleh perseorangan, lembaga sosial anak, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,

badan usaha dan media massa.22

Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan pada tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan sesuatu yang melekat pada diri anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dan dijaga agar berkembang secara wajar.

Dari penjelasan beberapa pasal di atas dapat disimpulkan yang menjadi dasar hukum nafkah terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Perkawinan. Dalam

undang-undang ini dijelaskan bahwa nafkah anak menjadi

tanggungjawab orang tua walaupun jika terjadi perceraian. Perceraian bukanlah alasan untuk dapat melepaskan diri dari kewajiban pemenuhan

dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus”

22

Fuadi, “pemenuhan Hak Anak Oleh Pengelola Panti Menurut Hukum Islam dan Perantara perundag-Undangan Studi Kasus Banda Aceh”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Pasca

(38)

23

nafkah anak, melainkan orang tua tetap berkewajiban untuk menjamin biaya hidup dan lain-lain sampai anak tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri.

2. Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban memenuhi nafkah anak menjadi tanggungjawab orang tuanya. Secara spesifik dijelaskan, jika terjadi perceraian ayah sebagai kepala keluarga menjadi penanggungjawab utama terhadap pemenuhan nafkah anak sesuai dengan kemampuannya. Namun, jika ayah tidak memiliki kesanggupan untuk memenuhi nafkah anaknya, maka ibu yang berkewajiban memenuhi nafkah anaknya tersebut.

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan undang-undang ini dijelaskan bahwa orangtua berkewajiban untuk memenuhi nafkah anak walaupun setelah perceraian. Jika orang tua maupun kaum kerabat dan saudara kandung tidak memiliki kesanggupan untuk memenuhi nafkah anak, maka kewajiban pemenuhan nafkah diaalihkan kepada lembaga yang berwenang.

C. Hak dan Kewajiban Pemberian Nafkah

Menanggapi realisasi kewajiban pemberian nafkah oleh seseorang kepada seseorang, jumhur ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Perbedaan pendapat tersebut bermula dari penetapan kewajiban pemberian nafkah yang disebabkan karena adanya akad pernikahan atau melihat kepada kehidupan suami-istri yang memerlukan nafkah.

Sebab-sebab wajibnya memberikan nafkah dapat digolongkan kepada tiga sebab, yaitu:

1) Sebab masih ada hubungan kerabat/keturunan 2) Sebab kepemilikan

(39)

3) Sebab perkawinan23

Dalam Agama Islam, hubungan nasab atau keturunan merupakan vertikal yang dapat menguasai, artinya dengan adanya hubungan nasab seseorang dapat menerima harta seseorang. Karena hubungan keluarga sangatlah dekat maka timbullah hak kewajiban. Seperti halnya dalamkewajiban memberikan nafkah, baik kepada isteri maupun kepada suami kepada anak atau kedua orang tua. Jadi suatu keluarga yang hubungan vertical langsung ke atas dan ke bawah mewajibkan seseorang memberikan nafkah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik: “Nafkah diberikan oleh Ayah kepada anak, kemudian

anak kepada ayah dan ibu”.24

Khusus mengenai belanja pemeliharaan dan pendidikan, diwajibkan bila anak masih kecil, tetapi jika anak sudah beligh dan telah kuasa berusaha dan mempunyai harta, maka bapak tidak wajib memberi nafkah kepada anak itu. Dalam hal ini, apabila anak yang telah dewasa tetapi masih menuntu ilmu, maka kewajiban memberi nafkah terhadap dirinya tidak gugur. Hal ini sesuai dengan pendapat imam Hanafi: “Anak yang telah dewasa jika ia masih menuntu ilmu pengetahuan maka bapak wajib memberi nafkah”. Maka seorang suami atau ayah wajib menanggung nafkah isteri dan anak-anaknya, karena ayah

merupakan kepala dalam suatu ruamh tangga.25

Nafkah merupakan kewajiban dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi tidak termasuk dalam artian nafkah, meskipundi lakukan juga. Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah lahir batin sedangkan dalam bentuk materi disebut nafkah lahir. Dalam Bahasa yang tepat

23

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet.I (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 150

24

Zakaraia Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fil Islam, Cet.I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 74

25

(40)

25

nafkah ini tidak ada lahir atau batin. Yang ada hanya nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriyah atau meteri.

Kewajiban memberikan nafkah ada pada ayahnya bukan pada ibu, baik ibu telah bersuami ataaupun telah ditalak. Dengan demikian diketahui bahwa pemberian nafkah tidak seperti hukum warisan, karena sesungguhnya ibu termasuk ahli waris, kewajiban untuk memberi nafkah dan penyusuan dibebankan kepada bapak bukan ibu.

Nafkah terhadap anak laki-laki dihentikan jika ia telah baligh dan nafkah terhadap anak perempuan dihentikam jika ia telah menikah. Tapi dikecualikan bagi anak laki-laki yang telah baligh, jika ia menderita sakit atau gila, maka nafkah terhadapnya tetap masih menajdi tanggunan orang tunya (ayahnya).

Menurut Kompilasi Hukum Islam, kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak terdapat dalam Pasal 104 dan Pasal 106. Sebagaimana Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang

yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.26 Selanjutnya

dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemashlahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat

dihindarkan lagi.27

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa kewajiban memberi nafkah anak adalah kewajiban orang tua bagi anaknya hingga anak tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri.

26

Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam.

27

(41)

Selanjutnya, berdasarkan Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 26 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara, mendidik dan melindungi anaknya. Dengan demikian, baik Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan orang tua sebagai penanggungjawab utama yang berkewajiban untuk memenuhi nafkah anak baik selama perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian.

D. Nafkah Anak Pasca Perceraian

Setiap orang tua memiliki tanggung jawab bagi pemeliharaan atau pengasuhan terhadap anaknya. Pemeliharaan atau pengasuhan terhadap anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan si anak, baik kebutuhan primer

maupun kebutuhan sekunder.28

Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Pasal 99 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan anak hasil pembuahan

suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.29

Berdasarkan regulasi tersebut dapat diketahui bahwa anak merupakan anugerah dari Allah SWT yang lahir dari perkawinan yang sah dan telah dititipkan kepada pasangan suami istri untuk mendidik, melindungi, merawat serta memberikan kasih sayang penuh sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Namun, kerap kali rumah tangga yang tidak dapat

28

Pangeran, Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citapustaka Media, 2014), hlm. 106.

29

(42)

27

dipertahankan akhirnya berujung kepada perceraian yang dapat merugikan sang anak.

Jika membahas mengenai anak-anak akibat putusnya perkawinan karena perceraian pasti juga membicarakan tentang nafkah. Suami yang menjatuhkan talak pada isterinya, ia wajib membayar nafkah untuk anaknya yaitu belanja untuk memelihara dan kepelruan anak-anaknya itu, sekedar yang patut menurut

kedudukan suami.30

Telah sepakat ulama, bahwa ayah berkewajiban memebri nafkah untuk

anak-anaknya.31 Berdasarkan firman Allah Swt yang telah disebutkan dalam

Q.S. Al-Baqarah ayat 233 yaitu:

نَأ َداَرَأ ْنَمِل ِْيَْلِماَك ِْيَْلْوَح َّنُىَدَلاْوَأ َنْعِضْرُ ي ُتاَدِلاَوْلاَو

َّنُهُ تَوْسِكَو َّنُهُ قْزِر ُوَل ِدوُلْوَمْلا ىَلَعَو َةَعاَضَّرلا َّمِتُي

َعَو ِهِدَلَوِب ُوَّلُُُدوُلْوَم َلاَو اَىِدَلَوِب ُةَدِلاَو َّرآَضُت َلا اَهَعْسُو َّلاِإ ٌسْفَ ن ُفَّلَكُت َلا ِفوُرْعَمْلِبِ

ْنِإَف َكِلَذ ُُ ِْْم ِثِراَوْلا ىَل

َع ًلااَصِف اَداَرَأ

َع َحاَنُج َلاَف ْمُكَدَلاْوَأ اوُعِضْرَ تْسَت نَأ ُْتُْدَرَأ ْنِإَو اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلاَف ٍرُواَشَتَو اَمُهْ نِّم ٍضاَرَ ت ن

اَذِإ ْمُكْيَل

َّنَأ اوُمَلْعاَو َالله اوُقَّ تاَو ِفوُرْعَمْلِبِ مُتْ يَ تاَءآَّم مُتْمَّلَس

ُيِصَب َنوُلَمْعَ ت اَِبِ َالله

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang inu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan kkeduanya dan perm, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan

30

Mohd. Idris Ramulyono, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 115

31

M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006), hlm. 224

(43)

pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:233)32

Ulama Fiqh juga sepakat menyatakan bahwa anak-anak berhak menerima nafkah dari ayahnya dengan ketentuan pabila ayahnya mampu memerikan nafkah untuk merek,paling tidak mampu bekerja untuk mencari rezeki. Apabila tidak mempunyai harta atau tidak bisa bekerja seperti lumpuh dan sebab-sebab lainnya, tidak wajib ayah memberi nafkah kepada anak-anaknya. Ulama Fiqh juga sependapat bahwa nafkah anak wajib diberikan adalah sesuai kebutuhan pokok anak itu dan sesuai pula dengan kondisi ayah

dan anak itu.33

Dalam hukum positifdi Indoneisa mengenai nafkah anak setelah proses perceraian dituangkan dalam Pasal 149 Huruf d Kompolasi Hukum Islam yang menjeaskan bahwa “bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan baiya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”. Sehingga segala biaya mengasuh anak dan segala sesuatu yang diperlukan anak dibebankan kepada ayah untuk memenuhinya. Terkait itu besarnya nominal kebutuhan sianak dalam hal pemeliharaan dan pendidikannya ditetapkan oleh hakim, besarnya juga disesuaikan dnegan kemampuan finansial si bapak dan banyaknya tanggungan lain yang dibebankan kepada si bapak.

Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak menurut Pasal 41 huruf (a) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-maat berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang memberikan putusannya. Akibat hukum perceraian terhadap

32

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya, mekar Surabaya, 2002)

33

M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006), hlm. 224-226

Gambar

FOTO HASIL WAWANCARA

Referensi

Dokumen terkait

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan disekitarnya pada akhir dekade 1990-an memperlihatkan bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang

Sejahtera Motor Gemilang, yang merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang industri otomotif sepeda motor bermerek dagang Suzuki dan memiliki

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa laporan keuangan yang diperoleh dari BEI untuk perusahaan Food and Beverages tahun

Persepsi pasien terhadap kategori indikator kepastian perawat adalah kategori baik dimana responden mengatakan percaya terhadap tindakan keperawatan yang di lakukan,

Dengan asumsi bahwa belum banyak penelitian yang mengkhususkan pada rumah sakit tipe C, maka penelitian ini dilakuakan untuk mengetahui pengaruh Brand Image,

Penangkaran bibit lada di polibag untuk dijual/disalurkan kepada petani/pengguna bibit lada dilakukan menggunakan stek lada satu ruas berdaun tunggal varietas Natar 1, sumber

Konstruksi resultatif juga dipandang sebagai konstruksi intransitif yang diturunkan dari konstruksi transitif sehingga resultatif dapat dikontraskan dengan istilah pasif

Sehingga apabila pembelajaran konsumen menggunakan KA Argo Muria terus menerus baik maka akan meningkatkan kepurusan pembelian KA AM Sikap konsumen secara parsial memiliki