Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DIATESIS DALAM BAHASA BATAK TOBA
SKRIPSI
OLEH:
NICCO ERIANTO HUTAPEA
040701020DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DIATESIS DALAM BAHASA BATAK TOBA
Oleh :
NICCO ERIANTO
040701020Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan
telah disetujui oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum. Drs. T. Aiyub
Sulaiman
NIP : 131763364 NIP : 130809980
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Maret 2009
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DIATESIS DALAM BAHASA BATAK TOBA
Oleh
Nicco Erianto Hutapea
ABSTRAK
Skripsi ini ditulis untuk mengetahui jenis dan macam diatesis dalam
bahasa Batak Toba. Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan
teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik catat sebagai teknik lanjutan dari
metode simak. Dalam pengkajian data digunakan metode agih dengan teknik baca
markah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis diatesis dalam bahasa Batak
Toba terdiri atas diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis medial, diatesis resiprokal,
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi kesempatan pada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Diatesis dalam Bahasa Batak Toba.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan
sebagaimana yang diharapkan baik secara materi maupun cara penyajiannya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Penulis banyak menghadapi hambatan baik dari segi pendanaan maupun
waktu. Namun penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak dalam penulisan skripsi ini. Maka pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A,Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai Ketua Departeman Sastra
Indonesia yang telah memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis.
3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum. sebagai Sekretaris Departeman Sastra Indonesia
yang telah memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis.
4. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. sebagai Pembantu Dekan III dan
pembimbing I yang telah memberikan semangat dan meluangkan waktu untuk
memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman sebagai pembimbing II yang telah memberikan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
5. Bapak Drs. D. Syahrial Isa, S.U. sebagai Pembimbing Akademik (PA) yang
telah mendidik dan menasehati penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Bapak / Ibu staf pengajar Departeman Sastra Indonesia yang telah mendidik
penulis selama menjadi mahasiswa.
7. Ayahanda H. Hutapea dan Ibunda R. Br. Regar tercinta yang selalu
memberikan kasih sayang yang tidak terhingga, doa, materi, dorongan,
semangat dan perhatian kepada penulis.
8. Adik-adik penulis, Irma, Marihot, Ika, Era, dan Senti yang selalu memberi
semangat dan motifasi kepada penulis.
9. Kepada Nurul Fitriah yang telah memberi semangat, motifasi dan bantuan
materi maupun non materi kepada penulis selama ini.
10. Semua teman di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Stambuk 2004
khususnya Ricky, Filemon, Hisyam, Ori, Wanto, dan Zack ’05 terima kasih
sudah menjadi sahabat yang baik buat penulis.
Akhirnya, harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi pembaca.
Medan, Maret 2009
Penulis
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan masalah ... 1
1.1.1 Latar Belakang ... 1
1.1.2 Masalah ... 5
1.2 Batasan Masalah ... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 5
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6
1.4 Metode dan Teknik Penelitian ... 6
1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 6
1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 6
1.5 Landasan Teori ... 7
1.5.1 Tipologi Lingu istik ... 7
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
BAB II DIATESIS DALAM BAHASA BATAK TOBA
2.1 Pendahuluan ... 11
2.2 Diatesis Aktif ... 14
2.3 Diatesis Pasif ... 20
2.3.1 Diatesis Pasif Umum dengan Prefiks di- ... 21
2.3.2 Diatesis Pasif Tak Sengaja dengan Prefiks tar- ... 23
2.4 Diatesis Medial ... 25
2.5 Diatesis Resiprokal ... 30
2.6 Diatesis Refleksif ... 36
BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan ... 40
3.2 Saran ... 41
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Tabel I Diatesis Aktif... ... 16
Tabel II Diatesis Pasif Umum dengan Prefiks di- ... ... 22
Tabel III Diatesis Pasif dengan Prefiks tar- ... ... 24
Tabel IV Diatesis Medial ... ... 29
Tabel V Diatesis Resiprokal ... ... 32
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia terdiri atas
beberapa etnik, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak,
Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Tiap etnik mempunyai bahasanya sendiri,
yang disebut dengan bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak
Simalungun, bahasa Batak Pakpak, bahasa Batak Angkola, dan bahasa Batak
Mandailing.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingualisme, selain
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya, setiap etnik memiliki
bahasa daerah. Bahasa daerah merupakan khasanah pengembangan bahasa
nasional di Indonesia. Bahasa Batak Toba juga merupakan salah satu bahasa
daerah yang turut memperkaya khasanah bahasa nasional di Indonesia.
Bahasa Batak Toba digunakan etnis Batak Toba sebagai alat komunikasi
antarsesamanya dan dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah bahasa Batak
Toba berfungsi sebagai lambang identitas daerah. Selain itu, bahasa Batak Toba
juga dipakai untuk berkomunikasi dengan etnis lain apabila etnis tersebut
mengerti bahasa Batak Toba.
Masyarakat Batak Toba mendiami daerah pinggiran Danau Toba, Pulau
Samosir, dataran tinggi Toba, Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
pergaulan sehari-hari masyarakat Batak Toba mempergunakan logat Toba
(Koentjaraningrat 1998:95).
Pasal 36 Bab XV, Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa, di
daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya
dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, dsb.)
bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa
itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Salah satu
upaya melestarikan eksistensi bahasa-bahasa daerah itu adalah dengan cara
melakukan kajian tentang bahasa-bahasa tersebut. Dengan berkembangnya
bahasa-bahasa daerah, maka budaya etnis penutur tersebut akan dikenal dan
budaya masyarakat penutur bahasa tersebut akan lebih cepat berkembang.
Pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah sangat penting karena
disamping sebagai pemerkaya kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan
tradisional juga diungkapkan di dalam bahasa-bahasa daerah. Konsep kebudayaan
tradisional hanya dapat dimengerti melalui ungkapan bahasa daerah
masyarakatnya (Sibarani 2003:1). Karenanya, bahasa daerah harus tetap
dipelihara, dibina agar tetap berkembang.
Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah itu
akan tetap dihormati dan dipelihara. Salah satu upaya melestarikan eksistensi
bahasa daerah itu adalah dengan cara melakukan kajian tentang
bahasa-bahasa tersebut. Dengan berkembangnya bahasa-bahasa-bahasa-bahasa daerah, maka budaya
etnis penutur tersebut akan dikenal dan kemungkinan pengkajian serta
pengembangan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut akan lebih cepat
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Kajian tentang diatesis dalam tata bahasa menjadi pokok bahasan penting
dan menantang untuk ditelaah. Secara teoritis, persoalan diatesis merupakan
interaksi antara tataran morfosintaksis dengan semantis. Sehubungan dengan itu,
fenomena diatesis bukan hanya berkaitan dengan bentuk bahasa (language form),
tetapi juga berkenaan dengan makna bahasa (language meaning), yang pada beberapa bagiannya berhubungan dengan logika, penalaran, dan muatan abstrak
bahasa. Pertautan antara bentuk dengan makna bahasa memungkinkan bahasa
berfungsi sebagai alat komunikasi penting dalam kehidupan manusia. Bahasa
merupakan fenomena peorangan dan sekaligus merupakan fenomena sosial.
Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan dan mengkaji secara tipologis
tentang diatesis bahasa Batak Toba yang meliputi diatesis aktif, pasif, dan medial.
Pengkajian didasarkan pada kerangka teori tipologi linguistik, khususnya tipologi
gramatikal.
Kajian tipologi linguistik berupaya secara sistematis menetapkan
pengelompokan bahasa-bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling
berhubungan. Mallinson dan Blake (1981 : 6-7) mengatakan bahwa penelitian
semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) dikenal luas sebagai bentuk kajian di belakang penelitian tipologi skala besar. Penelitian
kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas
bahasa seluas mungkin. Kajian tipologi linguistik dan kajian kesemestaan bahasa
dilakukan berdampingan dan saling memperkuat.
Berdasarkan kerangka teoritis, tipologi linguistik, bahasa-bahasa dapat
dikelompokkan menjadi bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
aktif (diatesis konstruksi dasar) dan pasif (diatesis konstruksi turunan) dan bahasa
ergatif mengenal adanya diatesis ergatif (diatesis konstruksi dasar) dan diatesis
antipasif (diatesis konstruksi turunan). Dengan kata lain, konstruksi klausa
berdiatesis aktif (pada bahasa akusatif) dan yang berdiatesis ergatif (pada bahasa
ergatif) merupakan diatesis dasar, sementara itu, diatesis pasif (pada bahasa
akusatif) dan diatesis antipasif (pada bahasa ergatif) adalah diatesis turunan
(Artawa, 2002 : 15-26; Artawa, 2003 : 1-13).
Pada umumnya, bahasa-bahasa di dunia ini mempunyai strategi diatesis
dasar; diatesis aktif-pasif. Pertentangan aktif-pasif merujuk ke pertentangan
semantis. Pada diatesis, subjek bertindak atas yang lain atau mempengaruhi yang
lain, sementara dalam diatesis pasif, subjek dipengaruhi atau tempat jatuhnya
perbuatan. Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan
antara partisipan/subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam
klausa. Di Indonesia, istilah diatesis lebih dikenal pada istilah voice
(Kridalaksana, 1993).
Oleh karena itu, untuk dapat mengungkapkan hakikat bahasa, para
pemerhati, peneliti, dan ahli bahasa diharapkan dapat mencermati bahasa dari sisi
bahasa itu sendiri dan dari sisi fungsinya. Para ahli tata bahasa, termasuk ahli
tipologi linguistik, berupaya mempelajari perihal bahasa dari sisi bahasa itu
sendiri secara sistematis. Kajian seperti itu menjadi dasar bentuk pengkajian
kebahasaan yang seterusnya dapat dikembangkan sedemikian rupa ke kajian
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Penelitian terhadap diatesis sudah pernah dilakukan oleh Jufrizal (2004)
dalam bentuk makalah. Pada penelitian ini Jufrizal membahas diatesis dalam
bahasa Minangkabau.
1.1.2
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian
ini adalah jenis dan macam diatesis dalam bahasa Batak Toba dewasa ini.
1.2
Batasan Masalah
Suatu penelitian harus mempunyai batasan masalah. Batasan ini sangat
penting dalam suatu penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut
terarah dan tidak terjadi kesimpangsiuran masalah yang hendak diteliti, serta
tujuan dari penelitian dapat tercapai. Oleh karena itu, sesuai dengan judul yang
telah dikemukakan, penelitian ini membatasi masalah pada jenis dan macam
diatesis dalam bahasa Batak Toba .
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dibicarakan, penelitian tentang diatesis
dalam bahasa Batak Toba memiliki tujuan yaitu mendeskripsikan jenis diatesis
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
1.3.2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang diatesis dalam bahasa Batak Toba diharapkan
dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Menambah pengetahuan pada bidang linguistik dan memberi manfaat
bagi kelestarian bahasa Batak Toba.
2. Menjadi sumber rujukan bagi penelitian lain dalam mengkaji lebih
lanjut mengenai diatesis bahasa Batak Toba.
1.4
Metode dan Teknik Penelitian
1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam sebuah penelitian diperlukan sejumlah data baku untuk diteliti. Data
yang dimaksud adalah fenomena lingual khusus yang berkaitan langsung dengan
masalah yang dimaksud. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode simak, berupa penyimakan : dilakukan dengan
menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Adapun teknik yang
digunakan dalam metode ini yaitu teknik sadap sebagai teknik dasar. Teknik
sadap digunakan dengan cara menyadap pembicaraan penutur bahasa Batak Toba.
Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik catat sebagai teknik lanjutan dari
metode simak. Teknik catat digunakan untuk mencatat kata-kata yang telah
disadap dari suatu kalimat yang termasuk ke dalam diatesis bahasa Batak Toba.
1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data
Metode dalam mengkaji diatesis dalam bahasa Batak Toba adalah metode
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Sedangkan teknik dasar
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca markah atau BM, yaitu
dengan cara membaca pemarkah. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pemarkah
itu menunjukkan kejatian satuan lingual atau identitas konstituen tertentu, dan
kemampuan membaca peranan pemarkah itu (marker) berarti kemampuan
menentukan kejatian yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:95).
Penggunaan teknik baca markah ini dilakukan dengan melihat langsung
pemarkah yang bersangkutan. Adapun mengenai melihatnya, hal ini dapat
dilakukan baik secara sintaksis, maupun secara morfologis atau dengan cara yang
lain lagi. Dengan melihat langsung pemarkah menjadi membuka diri dan berlaku
sebagai tanda pengenal akan status satuan lingual yang diamatinya (Sudaryanto
1993:95).
Contoh: Bill membunuh John.
Pada contoh di atas, FN pra verbal John adalah subjek gramatikal dan sekaligus adalah juga agen. Subjek, dalam konstruksi tersebut, adalah agen,
sumber tindakan dan tindakan (akibat tindakan) tersebut jatuh pada argumen FN
pos-verbal, argumen yang secara semantis berperan sebagai pasien. Dengan
demikian, konstuksi klausa yang dimarkahi oleh prefiks meN- pada verbanya merupakan konstruksi berdiatesis aktif.
1.5
Landasan Teori
1.5.1 Tipologi Linguistik
Dalam sejarah perkembangan linguistik, teori tata bahasa transformasi
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Model kajian lintas yang berupaya mengelompokkan dan membuat generalisasi
sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa di dunia tersebut telah menjadi arah baru
penelitian linguistik sejak awal 1980-an. Model kajian seperti itu memberikan
sumbangan pemikiran dasar tipologi linguistik yang bertujuan untuk
mentipologikan (mengelompokkan) bahasa-bahasa ke dalam kelompok tertentu
(Mallinson dan Blake, 1981:1-2).
Tipologi mempunyai pengertian pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan
ciri khas tata kata dan tata kalimat. Bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan
berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Mallinson dan Blake
(1981:3) menjelaskan bahwa tipologi adalah klasifikasi ranah (classification of domain), yang pengertiannya bersinonim dengan istilah taksonomi (klasifikasi unsur-unsur bahasa menurut hubungan hirearkis).
Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan dan mengkaji secara tipologis
tentang diatesis bahasa Batak Toba yang meliputi diatesis aktif, pasif, dan medial.
Pengkajian didasarkan pada kerangka teori tipologi linguistik, khususnya tipologi
gramatikal. Kajian tipologi linguistik berupaya secara sistematis menetapkan
pengelompokan bahasa-bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling
berhubungan. Mallinson dan Blake (1981 : 6-7) mengatakan bahwa penelitian
semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) dikenal luas sebagai bentuk kajian di belakang penelitian tipologi skala besar. Penelitian
kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas
bahasa seluas mungkin.
Kajian tipologi linguistik dan kajian kesemestaan bahasa dilakukan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
linguistik, bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi bahasa akusatif, bahasa
ergatif, bahasa aktif, dan sebagainya.
1.5.2
Diatesis
Istilah diatesis (dari bahasa Yunani diathesis ’keadaan’, ’pengaturan’, atau ’fungsi’) dan istilah voice (dari bahasa Latin vox ’bunyi’, ’nada’, ’suara’), meskipun tidak mutlak sama, dipakai dalam pengertian yang kurang lebih sama
dalam linguistik untuk merujuk ke dikotomi aktif-pasif (Lyons, 1987:371-373;
Matthews, 1997:98). Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan
hubungan antara partisipan/subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba
dalam klausa (Kridalaksana, 1982 : 34). Jadi, diatesis itu adalah masalah sintaksis
yang juga menyangkut semantik. Dikatakan menyangkut semantik karena konsep
”partisipan” atau sering pula disebut ”argumen” itu konsep makna yang
membentuk struktur makna sintaksis. Diatesis aktif misalnya, bersangkutan
dengan klausa yang predikat verbanya adalah aktif dengan subjek pelaku atau
agens atau agentif. Apabila verba yang bersangkutan transitif, objek berupa
penderita atau pasiens atau objektif. Demikian pula diatesis pasif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya pasif dan subjek penderita. Diatesis lain
yang dikenal oleh para ahli ialah diatesis yang disebut medial, refleksif, dan
resiprokal (Kridalaksana, 1982:34). Pengertian diatesis medial sering mencakupi,
baik diatesis pasif maupun refleksif dan pada gilirannya pula, diatesis refleksif
sering tidak begitu mudah dibedakan dengan diatesis resiprokal atau
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Diatesis refleksif merupakan diatesis yang menunjukkan ’subjek berbuat
atas diri sendiri’ dan diatesis resiprokal adalah ’diatesis yang menunjukkan subjek
pluralis bertindak berbalasan atau singularis bertindak berbalasan dengan
komplemen’. Contoh dalam bahasa Indonesia misalnya: diatesis aktif dengan kata
kerja yang antara lain berawalan meN-, diatesis pasif dengan kata kerja yang antara lain berawalan di-, diatesis refleksif dengan kata kerja yang antara lain berawalan ber- dan diatesis resiprokal dengan kata kerja antara lain berimbuhan
ber-an.(Dia mencukur saya; Saya dicukurnya; Dia bercukur; Mereka berangkulan).
Diatesis aktif : subyek mendorong tindakan sedangkan pasien
mempengaruhinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan keadaan yang
diinginkan.
Contoh: Bill killed John.
Diatesis medial : subyek mendorong tindakan yang mempengaruhi dirinya
sendiri sedemikian rupa sehingga dia menjadi tempat jatuhnya perubahan
keadaan.
Contoh: Bill killed himself. Bill combed his hair. Bill sat (seated himself). Bill turned.
Diatesis pasif : subyek berada dalam keadaan yang dipilih dari tempat
terjadinya perubahan keadaan yang disebabkan oleh tindakan yang didorong oleh
agen yang berfungsi secara independen.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
BAB II
DIATESIS DALAM BAHASA BATAK TOBA
2.1 Pendahuluan
Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara
partisipan/subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa
(Kridalaksana, 1982 : 34).
Bertolak dari pandangan mengenai diatesis menurut batasan yang
dikemukakan dalam 1.5.2 di atas, dapat ditemukan setidak-tidaknya lima macam
diatesis, yaitu: diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis medial, diatesis resiprokal, dan
diatesis refleksif. Meskipun pengertian diatesis medial sering mencakupi, baik
diatesis pasif maupun refleksif dan pada gilirannya pula, diatesis refleksif sering
tidak begitu mudah dibedakan dengan diatesis resiprokal atau setidak-tidaknya
perbedaan itu tidak terlihat (Kridalaksana, 1983:72). Kelima jenis diatesis diatas
akan satu demi satu.
Dalam paparan itu, akan digunakan istilah objek (O) dan keterangan (K), disamping istilah subjek (S) dan predikat (P) untuk menyebut fungsi sintaktik yang bersifat inti yang diisi oleh argumen tertentu. Unsur O adalah fungsi khusus
dalam diatesis aktif, yang pengisinya dapat menjadi S dalam kalimat berdiatesis
pasif. Adapun K adalah fungsi dalam kalimat yang diatesisnya bukan aktif yang
pengisinya dapat menjadi S dalam kalimat lain, sedangkan S adalah fungsi yang
pengisinya tidak dapat dipertanyakan atau diganti dengan kata tanya, dan P fungsi
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Sesuai pula dengan batasan diatesis yang diikuti disini, yaitu kategori
gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan
perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa, maka agaknya pemahaman
terhadap apa yang dimaksud dengan partisipan atau subjek dan verba itu mutlak
perlu. Di bawah ini akan dijelaskan S dan P lebih lanjut, disamping
konsep-konsep yang dilabeli dengan istilah partisipan, argumen, dan verba yang juga akan dijelaskan berikut ini.
Istilah partisipan diidentikkan dengan istilah argumen yang konsepnya lebih bersifat kemaknaan. Dalam hubungannya dengan konsep argumen yang
demikian itu, S sebagai konsep imbangan bagi P yang merupakan fungsi sintaktik
merupakan salah satu tempat bagi argumen tertentu. Selanjutnya, argumen secara
bentuk, yang formal, secara dominan berupa kata benda atau nomina, atau frase
yang konstituen intinya dipandang secara semantik kata benda atau penggantinya
(kata ganti) itu.
Adapun istilah verba diidentikkan dengan istilah kata kerja (kk) yang mengacu pada konsep kategorial (seperti halnya kata benda, kata sifat). Kata kerja
atau verba itulah penentu adanya jenis argumen tertentu dalam kalimat yang
bersangkutan. Dalam hubungannya dengan fungsi, kata kerja itu secara dominan
menduduki fungsi yang paling inti, yaitu P. Dikatakan yang paling inti karena
memang ada fungsi yang lain, antara lain S itu. Kepalingintiannya itu justru
ditentukan justru oleh pengisinya, yaitu kata kerja.
Konsep argumen hanya disangkutkan dengan konsep fungsi inti. Hanya
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Dalam diatesis, argumen pelaku yang berbentuk kata bendalah argumen
yang pertama-tama diperhatikan. Dalam diatesis, verba atau kata kerja yang
menyatakan perbuatanlah yang membentuk diatesis. Karena penalarannya kata
kerja yang menyatakan perbuatan kata benda, maka argumennya adalah pelaku.
Oleh karena itu, argumen pelaku yang berbentuk kata bendalah yang
pertama-tama diperhatikan.
Argumen dalam diatesis dapat selalu mengisi S dan dapat juga tidak.
Argumen selalu mengisi S, jika kata kerja itu yang menyatakan perbuatan itu ke
pelaku. Ini berarti kata kerja itu bermakna aktif dan argumen pelaku sebagai S.
Namun, jika argumen tidak mengisi S kalau kata kerja itu tidak menyatakan
perbuatan ke pelaku, khususnya jika perbuatan itu menghendaki sasaran yang
harus dikenai, dituju, atau diharapkan sebagai hasil atau akibat. Ini berarti kata
kerjanya bukan bermakna aktif dan S-nya juga bukan pelaku.
Dalam diatesis, yang menentukan jenis argumen pengisi S ialah
pertanyaan mengenai S dan P itu sendiri. S tidak dapat dipertanyakan atau
pengisiannya tidak dapat disubstitusikan dengan kata ganti tanya, sedangkan P
fungsi dominan bagi kata kerja. Dalam kalimat dekalaratif bahasa Batak Toba, S
memiliki letak dominan di sebelah kanan P dan membentuk pola urutan P-S.
Kata kerja dapat dikenali dalam diatesis adalah karena kata kerja dapat
ditentukan sebagai kata yang menyatakan perbuatan, dapat digunakan dalam
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
2.2 Diatesis Aktif Bahasa Batak Toba
Diatesis aktif pada umumnya melibatkan kata kerja pengisi P yang
berprefiks nasal serta dua argumen yang mengisi S dan O. Dikatakan pada
umumnya karena ada pula kata kerja pengisi P-nya tidak berprefiks nasal dan
tidak berargumen dua. Sementara itu, apabila berargumen dua pun dapat pula
yang satu, bukan O melainkan P1.
Apabila ada dua argumen biasanya yang satu, yaitu yang mengisi S
diletakkan pada sebelah kanan O, dan yang lain, yaitu yang mengisi O, di sebelah
kanan kata kerja yang bersangkutan. S pada umumnya pelaku atau kadang-kadang
penyebab, sedangkan O pada umumnya penderita, disamping kadang-kadang
hasil, tujuan, tempat, dan penerima.
Contoh argumen berupa penderita-pelaku:
1. Manjaga pittu kamar na sada.
’Yang satu menjaga pintu kamar.’ 2. Manuktuk kaca ni motor boru-boroi.
’Perempuan itu mengetuk kaca mobil.’
Contoh argumen berupa penderita-penyebab :
1. Manutupi bohina obukna.
’Rambutnya menutupi wajahnya’
Contoh argumen berupa hasil-pelaku :
(Gabe) mandapot beasiswa si Sari
’Sari (jadi) mendapat beasiswa’
Contoh argumen berupa tujuan/tempat-pelaku :
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
’Ibu (akan) mencuci ke kali’
2. Manuju tu son nama bapa.
’Ayah lagi menuju ke sini’
Contoh argumen penerima-pelaku :
Manungkun tu au ibana.
’Dia bertanya kepada saya’
Apabila argumen yang bersangkutan hanya satu, maka argumen itu jenis
pelaku yang mengisi S. Akan tetapi, jika tiga, maka dapat mengisi S, O, dan P1.
dalam hal ini, S selaku pelaku, sedangkan O atau P1 dapat bermacam-macam.
Contoh argumen pelaku :
Lagi manjaha tulang.
’Paman sedang membaca’
Baru marmeamibana (unang dijou mulak).
’Dia baru bermain, (jangan dipanggil pulang)’
Contoh argumen penderita-pelaku-penerima :
Mangalehon hepeng saribu uma tu au.
’Ibu memberi saya uang seribu’
Contoh argumen penderita-pelaku-pengguna :
Manuhor baju parnijabuku tu dak-danakku.
’Istri saya membeli baju untuk anak-anakku’
Kemungkinan yang lain, argumen kata kerja aktif itu empat macam,
kecuali yang dua mengisi S sebagai pelaku dan O sebagai pengguna, dan yang
lain mengisi dua P1, yaitu penderita dan tujuan.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Maminjam hepeng umaku tu tulang lao tu au.
’Ibu meminjam uang kepada paman untuk saya’
Dari contoh di atas kelihatan bahwa diatesis aktif beraneka macam. Dari
contoh di atas juga, dapatlah ditentukan bahwa argumen pelaku, yaitu argumen
yang paling menonjol dalam kalimat berdiatesis aktif.
Gambaran yang lebih utuh dapat dilihat pada tabel I yang menunjukkan aneka
jenis diatesis aktif.
Tabel I
No. Bentuk Kata
Kerja
Jumlah
Argumen
Nama Argumen Contoh
1.
’Paman sedang membaca’
Baru marmeam ibana, (unang dijou mulak).
’Dia baru bermain,
(jangan dipanggil pulang)’
Manjaga pittu kamar na sada.
’Yang satu menjaga pintu kamar’
Manuktuk kaca ni motor boru-boroi.
’Perempuan itu mengetuk
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
5.
Manutupi bohina obukna.
’Rambutnya menutupi
wajahnya’
(Gabe) mandapot
beasiswa si Sari
’Sari (jadi) mendapat
beasiswa’
(Naeng) manucci tu rura uma.
’Ibu (akan) mencuci ke
kali’
Manuju tu son nama
bapa.
’Ayah lagi menuju ke
sini’
Manungkun tu au ibana.
’Dia bertanya kepada
saya’
Mangalehon hepeng
saribu uma tu au.
’Ibu memberi saya uang
seribu’
Manuhor baju
dak-Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
12. maN- +
Pijjam
Pengguna danakku.
’Istri saya membeli baju
untuk anak-anakku’
Maminjam hepeng umaku tu tulang lao tu au.
’Ibu meminjam uang
kepada paman untuk saya’
Berdasar contoh di atas kelihatan bahwa diatesis aktif bergantung pada empat
hal, yaitu:
1. Jumlah argumen (yang harus hadir),
2. Jenis argumen (khususnya yang mengisi S),
3. Letak argumen terhadap P atau terhadap argumen lain dalam susunan
beruntun (bila argumen lebih dari dua), dan
4. Ciri morfemik kata kerja aktif yang bersangkutan.
Apabila jumlah argumen hanya satu, jenis argumen selalu pelaku; jika dua,
argumen dapat pelaku lalu disertai dari salah satu argumen-argumen berikut:
penderita, hasil, tujuan/tempat, dan penerima; dan dapat pula penyebab-penderita.
Apabila argumen itu tiga, pelaku dapat ditambah penderita dan penerima, atau
pelaku ditambah penderita dan pengguna; sedangkan jika empat, argumen dapat
berupa pelaku ditambah penderita,tujuan, dan pengguna.
Dilihat dari segi kemaknaan, yang menentukan jumlah argumen itu, ialah
watak leksikal kata kerja itu sendiri. Kata kerja modom ‘tidur’ dan manuktuk
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
memiliki jumlah argumen yang berbeda karena perbuatan yang dinyatakan
denagn kata modom ‘tidur’ hanya mengandaikan berhubungan secara makna dengan pelaku perbuatan itu, sedangkan perbuatan yang dinyatakan dengan
manuktuk ‘mengetuk’ mengandaikan berhubungan dengan pelaku perbuatan dan yang dikenai atau yang mengalami atau menderita perbuatan itu. Adapun tindakan
yang dinyatakan dengan manawarhon ‘menawarkan’ mengandaikan berhubungan dengan pelaku yang menawarkan, barang yang ditawarkan, dan orang yang
ditawari. Jadi, hubungan antara pelaku, penderita dan penerima atau tujuan.
Secara metodologis, penentuan kehadiran argumen dalam jumlah tertentu itu
layak dan tepat jika didasarkan pada watak bahasa itu sendiri. Pengenalan dari
segi semantik leksikal kata kerja pengisi P itu amat sering dibantu oleh ciri
morfemik kata kerja yang bersangkutan.
Dalam diatesis aktif, argumen pelaku adalah argumen yang paling menonjol
dan sering muncul atau paling dominan hadir.
Dalam bahasa Batak Toba, khususnya yang deklaratif argumen pelaku
memiliki tempat dalam susunan beruntun yang dominan, yaitu di sebelah kanan O
(bila ada) atau disebelah kanan kata kerja aktifnya karena argumen tersebut
mengisi fungsi S yang memang letak dominannya di sebelah kanan P yang diisi
oleh kata kerja. Contoh-contoh pada tabel I menunjukkan hal itu.
Kadar keaktifan kalimat dalam diatesis bahasa Batak Toba dapat membedakan
jenis diatesis aktif yang satu dengan diatesis aktif yang lain sehingga menciptakan
subjenis diatesis aktif itu.
Berdasar data yang ada, paling tidak ada dua sub jenis diatesis aktif itu, yaitu
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
keaktifannya kuat memiliki imbangan bentuk imperatif, sedangkan yang kadar
keaktifannya lemah tidak memiliki imbangan bentuk imperatif. Yang kadar
keaktifannya kuat adalah kalimat diatesis yang argumennya pelaku yang berfungsi
sebagai S, sedangkan yang kadar keaktifannya lemah adalah kalimat diatesis yang
argumennya penyebab.
2.3 Diatesis Pasif Bahasa Batak Toba
Sebagaimana dikenal secara umum, diatesis pasif biasanya dihubungkan
dengan diatesis aktif. Pada diatesis aktif, objek, yang juga tempat jatuhnya
perbuatan dinaikkan fungsi gramatikalnya menjadi subjek dalam diatesis pasif.
Sedangkan, subjek (yang melakukan pekerjaan) dalam diatesis aktif turun ke
relasi oblik (relasi gramatikal bukan inti) yang dimarkahi oleh preposisi ‘oleh’
(dapat saja dihilangkan) dalam diatesis pasif. Pemarkahan lain yang terjadi pada
pemasifan tersebut adalah pemarkahan pada verbanya. Dalam diatesis pasif,
verbanya dilekati oleh prefiks di- ‘di-‘ dan tar- ‘ter-‘. Dengan demikian, ada dua bentuk prefiks pasif dalam bahasa Batak Toba, yaitu prefiks di- ‘di-‘ dan tar- ‘ter-‘. Bagaimana sifat-perilaku gramatikal dan semantis yang dimarkahi oleh dua bentuk prefiks pasif dalam bahasa Batak Toba tersebut? Ternyata dua prefiks
pemarkah pasif tersebut melahirkan konstruksi pasif yang berbeda secara
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Pasif Umum dengan Prefiks di-
Pemasifan dengan di- dalam bahasa Batak Toba melahirkan konstruksi klausa intransitif turunan berdiatesis pasif, yaitu pasif umum. Pemasifan dengan di- ini mempunyai ciri-ciri pasif semesta, diantaranya:
1. Subjek klausa asal turun fungsi gramatikalnya menjadi argumen
berelasi oblik (dimarkahi oleh preposisi ‘oleh’),
2. Argumen subjek klausa asal banyak kehilangan sifat perilaku pivot,
3. Objek asli (pada konstruksi aktif) menjadi argumen (inti) satu-satunya
pada klausa intransitif turunan (konstruksi pasif).
Secara semantis, pemasifan dengan prefiks di- mengungkapkan bahwa tingkat kesengajaan atau kemauan (volition) dari agen tinggi. Meskipun agen yang dimarkahi oleh preposisi ‘oleh’ mungkin saja dilesapkan, namun kehadirannya
pada pasif jenis ini cenderung dipertahankan (terutama apabila agennya adalah
makhluk bernyawa atau disiratkan sebagai wujud yang dianggap bernyawa).
Berikut ini adalah contoh konstruksi pasif dengan pemarkah verba di-.
Contoh:1. Pittu kamar dijaga na sada.
‘Pintu kamar dijaga oleh yang satu’
2. Kaca ni motor dituktuk boru-borui.
’Kaca motor diketuk oleh perempuan itu’
3. Bohina ditutupi obukna.
‘Wajahnya ditutupi oleh rambutnya’
4. Lasiak digadis uma di pasar.
‘Cabe dijual oleh ibu di pasar’
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
‘Uang yang diberi oleh ayah tadi’
6. Indahan diloppa adek.
‘Nasi dimasak oleh adik’
Gambaran yang lebih utuh dapat dilihat pada tabel II yang menunjukkan
diatesis pasif umum dengan prefiks di-
Tabel II
‘Pintu kamar dijaga oleh yang satu’
Kaca ni motor dituktuk boru-borui.
’Kaca motor diketuk oleh perempuan itu’
Bohina ditutupi obukna.
‘Wajahnya ditutupi oleh rambutnya’
Lasiak digadis uma di pasar.
‘Cabe dijual oleh ibu di pasar’
Hepeng na dilehon bapa nangkin.
‘Uang yang diberi oleh ayah tadi’
Indahan diloppa adek.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Pasif Kebetulan (Tak Sengaja) dengan Prefiks tar-
Berbeda dari prefiks di-, pemasifan dengan prefiks tar- dalam bahasa Batak Toba mewujudkan konstruksi intransitif turunan berdiatesis pasif yang
mempunyai makna ‘kebetulan’ atau ‘tak sengaja’. Oleh karena itu, pemasifan
dengan tar- dapat terjadi pada verba transitif yang menghendaki pelaku ‘umum’ atau ‘alamiah’. Pemasifan dengan tar- dalam bahasa Batak Toba menyiratkan bahwa tingkat kemauan atau kesengajaan agennya sangat rendah. Berikut ini
adalah contoh konstruksi pasif kebetulan (tak sengaja).
Contoh: Suga ni dekke tarbondut ibana.
‘Duri ikan tertelan oleh dia’
Lasiak targadis uma di pasar.
‘Cabe terjual (tak sengaja dijual) oleh ibu di pasar’
Indahan tarloppa adek.
‘Nasi termasak (tak sengaja dimasak) oleh adik’
Bukku ni si Sari tarboan au mulak tu jabu.
‘Buku Sari terbawa oleh saya pulang ke rumah’
Panangkoi tartakkup massa.
‘Pencuri itu tertangkap oleh massa’
Apabila agen adalah makhluk bernyawa (mempunyai kemauan,
kehendak), maka pelaku (yang telah berelasi oblik) cenderung dipertahankan
kehadirannya (meskipun) boleh dilesapkan). Jika agen adalah wujud tak bernyawa
atau bersifat ‘alamiah’, kehadirannya cenderung tidak menjadi penting. Berikut ini
adalah contoh konstruksi pasif tak sengaja yang agennya adalah nomina umum
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Contoh: Jabu tartutung (api).
‘Rumah terbakar (oleh api)’
Jabu i tartipa (batang ni kalapa).
‘Rumah itu tertimpa (oleh pohon kelapa)’
Pat na ponggol tartipa (hau na balga).
‘Kakinya patah tertimpa (kayu besar)’
Gambaran yang lebih utuh mengenai diatesis pasif dengan prefiks tar- dapat dilihat pada tabel III berikut ini.
Tabel III
Suga ni dekke tarbondut ibana.
‘Duri ikan tertelan oleh dia’
Lasiak targadis uma di pasar.
‘Cabe terjual (tak sengaja dijual) oleh ibu di
pasar’
Indahan tarloppa adek.
‘Nasi termasak (tak sengaja dimasak) oleh adik’
Bukku ni si Sari tarboan au mulak tu jabu.
‘Buku Sari terbawa oleh saya pulang ke rumah’
Panangkoi tartakkup massa.
‘Pencuri itu tertangkap oleh massa’
Jabu tartutung (api).
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
8. tar- + Tipa
Jabu i tartipa (batang ni kalapa).
‘Rumah itu tertimpa (oleh pohon kelapa)’
Pat na ponggol tartipa (hau na balga).
‘Kakinya patah tertimpa (kayu besar)’
Berdasarkan kemauan dari agen maka dalam diatesis pasif bahasa Batak
Toba juga dapat disubjeniskan sebagai diatesis pasif yang kadar kepasifannya kuat
dan diatesis pasif yang kadar kepasifannya lemah, seperti halnya diatesis aktif.
Jenis diatesis pasif dengan prefiks tar- (tak sengaja) yang agennya adalah nomina umum atau ‘alamiah’ adalah diatesis pasif yang kadar kepasifannya lemah.
Sedangkan, diatesis pasif dengan prefiks di- (pasif umum) adalah diatesis pasif yang kadar kepasifannya kuat.
2.4 Diatesis medial Bahasa Batak Toba
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, pertentangan
antara diatesis aktif dengan pasif cukup jelas. Akan tetapi, diatesis medial (middle voice) tidak mempunyai pertentangan yang cukup kentara dengan diatesis aktif atau dengan diatesis pasif. Secara sederhana, diatesis medial mirip dengan diatesis
pasif dalam hal pengungkapan situasi pada keadaan subjek (gramatikal) dikenai
atau dipengaruhi perbuatan. Di sisi lain, diatesis medial mirip pula dengan diatesis
aktif dalam hal subjek (gramatikal)nya berperan sebagai agen atau sumber
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
bahasa-bahasa di dunia, para ahli merinci ciri-ciri gramatikal diatesis medial
Klaiman dalam Shibatani (ed.) (1988:31-33). Ciri-ciri diatesis medial tersebut
adalah :
1. Verba diatesis medial menunjukkan makna/kegiatan refleksif atau
resiprokal,
2. Fungsi diatesis medial memperlihatkan status keberuntungan
(beneficiary) subjek terhadap tindakan; subjek mempunyai status
ganda, yaitu sebagai sumber tindakan dan sekaligus sebagai wujud
yang dipengaruhi,
3. Pengungkapan tindakan yang di dalamnya penderita dipahami sebagai
berada dalam “lingkaran” subjek,
4. Akibat yang timbul tertuju ke subjek, dan
5. Pengaruh tindakan, baik dan buruk, mengarah ke subjek.
Berikut akan dibahas mengenai diatesis medial dalam bahasa Batak Toba
dengan lebih dahulu mencermati konstruksi klausa berikut ini.
Contoh:
(1a) Maneat manuk si Togar.
‘Togar memotong ayam’
(1b) Maneat diri (na) (sandiri) si Togar.
‘Togar memotong/membunuh diri (nya) (sendiri)’
(1c) Mambasuh pat na si Togar.
‘Togar mencuci kakinya’
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
ma- pada contoh (1b) dan (1c) memarkahi diatesis medial yang terjadi pada konstruksi refleksif.
Contoh:
(2) Markacca uma.
‘Ibu bercermin’
(3a) Marsiadap ari sahuta i paiashon huta na.
‘Warga desa itu (saling membantu) membersihkan desanya’
(3b) Mardame halak i.
‘Mereka berdamai’
Pada contoh (2), diatesis medial dimarkahi oleh prefiks mar- (alomorf dari
ma-) yang membawa makna bahwa tindakan yang diungkapkan oleh predikatnya didorong/diasali oleh subjek subjek (agen) uma ‘ibu’. Akibat atau tempat jatuhnya perbuatan tersebut juga terarah pada subjek itu sendiri. Pada contoh (3a,b),
diatesis medial yang juga dimarkahi oleh prefiks ma- membawa makna keberuntungan (beneficiary). Subjek gramatikal (agen) merupakan asal perbuatan dan sekaligus juga tempat jatuh (menerima) manfaat perbuatan itu sendiri. Pada
contoh (3a,b) diatesis medial juga muncul dalam konstruksi aplikatif-benefaktif
yang menunjukkan makna resiprokal.
Diatesis medial dalam bahasa Batak Toba juga dimarkahi oleh prefiks
kosong (zero) pada beberapa verba tertentu. Berikut ini adalah contoh konstruksi
verbal berdiatesis medial dengan verba tanpa afiks.
Contoh:
(4) Maridi tulang.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
(5) Hundul hami.
‘Kami duduk (mendudukkan diri kami sendiri)’
(6) Modom bapa.
‘Ayah tidur (menidurkan dirinya)’
Berdasarkan contoh (4), (5), (6) di atas, konstruksi klausa dengan verba
tanpa afiks lahiriah (prefiks zero) tersebut adalah klausa intransitif asal. Jika
demikian, klausa intransitif asal pada dasarnya adalah konstruksi berdiatesis
medial. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa secara semantis, sumber
(pendorong) dan penerima atau tempat jatuhnya perbuatan seperti yang
dinyatakan oleh predikatnya adalah entitas yang sama, yaitu subjek gramatikal itu
sendiri. Sehubungan dengan itu, fenomena diatesis aktif hanya sesuai dikaitkan
dengan konstuksi transitif. Sebagian klausa intransitif dasar (asal) seperti
diperlihatkan oleh contoh-contoh di atas adalah berdiatesis medial, sedangkan
klausa intransitif turunan adalah konstruksi berdiatesis pasif. Dikatakan sebagian
klausa intransitif berdiatesis medial adalah karena sebagian konstruksi klausa
intransitif lainnya tidak dapat dikategorikan berdiatesis medial. Konstruksi
intransitif (dengan argumen pelengkap) berikut ini tidak dapat dikelompokkan
sebagai konstruksi berdiatesis medial, melainkan berdiatesis aktif.
Contoh:
(7) Manuan eme uma di balian.
‘Ibu menanam padi di sawah’
(8) Manucci abit si Rina di aek godang.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Gambaran yang lebih utuh mengenai diatesis medial dapat dilihat pada
tabel IV berikut ini.
Tabel IV
Maneat diri (na) (sandiri) si Togar.
‘Togar memotong/membunuh diri (nya) (sendiri)’
Mambasuh pat na si Togar.
‘Togar mencuci kakinya’
Markacca uma.
‘Ibu bercermin’
Marsiadapari sahuta i paiashon huta na.
‘Warga desa itu (saling membantu) membersihkan
desanya’
Mardame halak i.
‘Mereka berdamai’
Maridi tulang.
‘Paman mandi (memandikan dirinya)’
Hundul hami.
‘Kami duduk (mendudukkan diri kami sendiri)’
Modom bapa.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
2.5 Diatesis Resiprokal Bahasa Batak Toba
Bila diatesis aktif pada umumnya cenderung menuntut konstituen
fungsional S berstatus argumen pelaku (dan hanya kadang-kadang saja berstatus
argumen penyebab) dan diatesis pasif pada umumnya pula cenderung menuntut
konstituen S berstatus argumen penderita (dan hanya kadang-kadang saja
berstatus argumen yang lain), maka diatesis resiprokal pada umumnya menuntut
satu fungsi inti, yaitu S yang sekaligus diisi oleh sebuah konstituen yang berstatus
argumen pelaku dan penderita. Dikatakan pada umumnya karena yang dituntut
kadang-kadang bukan hanya S, dan argumen pun tidak selalu pelaku dan
penderita. Mengenai argumen, hal ini sejalan dengan argumen pengisi S yang ada
pada diatesis pasifnya meskipun tidak seluruh kemungkinan dapat terwujudkan,
maksudnya, dapat pelaku dan penderita, pelaku dan penerima, dan sebagainya.
Garis umum yang dapat ditarik mengenai diatesis resiprokal ini ialah pada satu
fungsi yaitu S terdapat pada satu konstituen formal yang berstatus argumen ganda.
Dalam hal ini kegandaan tidak langsung bersangkutan dengan wujud formalnya
(meskipun kadang-kadang memang demikian), tetapi bersangkutan dengan makna
sintaksisnya. Bahwa kegandaan itu dapat terjadi, hal itu tentu saja bergantung
pada perbuatan yang dicerminkan oleh kata kerjanya yaitu dilakukan berbalasan
atau setidak-tidaknya dilakukan bergantian.
Dengan pernyataan itu beberapa hal sudah diandaikan ada pula atau paling
tidak dihipotesiskan ada. Pertama, konstituen yang berstatus argumen itu haruslah
secara lingual insani atau diinsanikan karena hanya yang insanilah yang dapat
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Kedua, kata kerja yang yang bersangkutan selalu dapat dihubungkan
dengan bentuk aktif atau pasif dan ini juga berarti bahwa jika berada dalam bentuk
aktif, maka kadar keaktifannya itu penuh atau kuat, dan jika berada dalam bentuk
pasif, maka kadar kepasifannya pun juga penuh atau kuat. Jadi, diatesis resiprokal
itu berkaitan dengan aktif kuat dan pasif kuat.
Ketiga, dengan demikian diatesis yang deklaratif itu memiliki pasangan
imperatif pula, seperti halnya diatesis aktif yang berparafrase dengan diatesis pasif
itu. Dalam hal ini, imperatifnya tidak harus (bahkan jarang) berbentuk resiprokal
pula, dapat aktif dan dapat pula pasif.
Keempat, karena pada satu fungsi terdapat satu konstituen berstatus
argumen ganda, kata kerjanya haruslah memungkinkan adanya hal itu. Ini berarti
bahwa secara leksikal kata kerja yang bersangkutan harus tidak memiliki
komponen makna ‘objek tidak insani’ atau kalaupun memiliki, komponen makna
‘insani yang bukan pelaku’ harus juga ada. (Jadi, kata seperti manaba
‘menebang’, mangukkar ‘menggali’, padalanton ‘menjalankan/mengalirkan’ yang memiliki komponen makna ‘objek tidak insani’ tidak bersangkut paut dengan
diatesis resiprokal itu, sedangkan kata gatti ‘ganti’, mamijjam ‘meminjam’, singir
‘hutang’ meskipun memiliki komponen makna ‘objek tidak insani’, tetapi karena
mempunyai komponen makna ‘insani’ penerima atau penyerta, maka bersangkut
paut dengan diatesis resiprokal). Adapun kata manolong ‘menolong’,
mangkahaholongi ‘mengasihi’ jelas bersangkut paut karena memiliki komponen makna ‘insani penderita’ atau ‘insani penerima’ dan tidak ‘objek yang tidak
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Sehubungan dengan keempat hal itu, satu hal kiranya perlu dicatat.
Meskipun S itu dikatakan sebagai fungsi inti dan dituntut hadir, tetapi pada
kenyataannya karena alasan yang bersifat wacana, S itu tidak dimunculkan.
Pernyataan dituntut hadir itu hanya menyangkut dimensi sintaksis klausal.
Selanjutnya, dipaparkan hasil penelitian yang diperoleh. Ditemukan
bentuk-bentuk resiprokal dengan ciri- ciri tertentu, dan ciri itu agaknya menandai
subjenisnya. Pertama, ciri mengenai P, yaitu P berwujud kata kerja dengan pola
morfemik tertentu. Kedua, ciri yang mengenai struktur fungsional, yang kecuali
melibatkan funsi inti S juga fungsi inti K, disamping kadang-kadang juga fungsi
inti O.
Gambaran umum mengenai hal tersebut dapat dilihat pada tabel V berikut
ini:
No
.
Bentuk Kata
Kerja Pengisi P
Jumlah
‘Mereka lagi duduk
omong-omong’
Dungi martukkar pakke abit ma dua dak-danak i.
‘Kedua anak-anak itu
lalu bertukar pakai
baju’
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
4.
dohot uma di tonga.
‘Ayah lagi duduk
omong-omong
dengan ibu di ruang
tamu’
Martukkar pakke
baju si Togar dohot si Poltak.
‘Togar lalu bertukar
pakai baju dengan
Poltak’
Marsitusukan halak i, lak gabe mate dua si.
‘Mereka saling tusuk,
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
7.
Marsipaittean halak i lak gabe tarlabbat dua si.
bertengkar saja?’
Ikkon
marsihaholongan do na mangoluon.
‘Dalam kehidupan ini
harus saling
mengasihi’
Marsisungkunan
roha si Togar dohot si Tiur nantoari.
‘Togar dan Tiur
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
perasaan hatinya
kemarin’
Dilihat dari bentuk pengisi P-nya terlihat bahwa untuk diatesis resiprokal
akhiran –an sangat dominan adanya. Dari kesepuluh bentuk kata kerja pengisi P, terlihat paling tidak lima bentuk mengandung akhiran itu, yaitu bentuk tipe
marsitusukan (maN + si + tusuk + an), marhubungan (maN + hubung + an),
marsipaittean (maN + si + paitte + an), marsihaholongan (maN + si + ha + holong + an), dan marsisungkunan (maN + si + sungkun + an).
Adanya akhiran –an itu, hanya menunjukkan bahwa S bukan sekadar pelaku tetapi juga penerima. Kelihatan bahwa S dalam diatesis resiprokal ini
berstatus argumen ganda.
Menyinggung perbuatan yang dilakukan dalam diatesis resiprokal ini,
dilakukan secara bergantian, berhadapan, dan berbarengan. Hal itu masih dapat
ditambah lagi satu yaitu berbalasan yang dicerminkan oleh bentuk dasar kata
kerjanya. Markobbur ‘ duduk omong-omong’, perbuatan itu haruslah bergantian. Bukan bergantian duduknya, melainkan omongnya. Demikian halnya dengan
martukkar (pakke), bentuk ini juga menyatakan bergantian. Hanya, kebergantiannya mengenai sesuatu, yaitu argumen penderita (abit ‘baju’) dan yang dikenai itu dimanfaatkan oleh lawan-pelakunya. Adapun dengan
marsitusukan ‘saling tusuk’ dan marsihaholongan ‘saling mengasihi’ pernyataan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
menanti/menunggu’ keberbarengannyalah yang lebih menonjol. Adapun dengan
marhubungan ‘berhubungan’ keberhadapannya yang lebih menonjol.
Dalam hubungannya dengan diatesis aktif dan pasif, dapat satu hal
dipertanyakan. Apabila dalam diatesis aktif dan diatesis pasif masing-masing ada
yang kuat dan ada yang lemah berdasarkan pada kadar keaktifan dan
kepasifannya, apakah dalam diatesis resiprokal terdapat hal seperti itu?
Jawabnya ada, yaitu jika K muncul. Kemunculan K akan mengubah
keresiprokalan yang kuat menjadi lemah. Jadi, kalimat Dungi martukkar pakke abit ma dua dak-danak i yang berstruktur P-O-S (P = martukkar pakke; O = abit; S = dua dak-danak i ) lebih kuat kadar keresiprokalannya daripada kalimat
Martukkarpakke baju si Togar dohot si Poltak yang berstruktur P – O – S – K . Dikatakan yang P-O-S lebih menonjol daripada yang P-O-S-K karena dengan pola
P-O-S itu argumen pada S lebih menonjol sifat kepelakuannya, sedangkan
argumen pada K lebih menonjol sifat kepenggunaannya. Deskripsi lebih seksama
pada struktur P-O-S ialah : argumen S pelaku-pengguna/pengguna-pelaku; dan
pada struktur P-O-S-K ialah : argumen S pelaku-pengguna, argumen K
pengguna-pelaku.
2.6Diatesis Refleksif Bahasa Batak Toba
Di atas telah diketahui bahwa diatesis resiprokal dan pasif secara semantis
selalu melibatkan dua pihak demikian juga aktif yang umum disebut transitif yang
berparafrase dengan bentuk pasif. Dua pihak itu yang satu tidak sama dengan
yang lain. Apabila yang satu pelaku, misalnya, yang lain misalnya penderita. Hal
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
refleksif itu secara semantis hanya melibatkan satu pihak, tetapi sekaligus
berperan ganda karena perbatan yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan itu
sendiri. Dipandang dari segi fungsi sintaktis jika S pada diatesis resiprokal itu
berkonstituen ganda karena “perbuatan” konstituen lain, maka S pada diatesis
refleksif berkostituen ganda pula, tetapi karena “perbuatan” konstituen itu sendiri.
Khusus untuk resiprokal itu terlihat dari parafrasenya yang melibatkan K. Dalam
pada itu, jika struktur diatesis refleksif sama dengan struktur diatesis resiprokal,
yaitu P-S, maka S resiprokal selalu jamak, sedangkan S refleksif cenderung selalu
tunggal. Jika S refleksif itu jamak, perbuatan yang dinyatakan oleh kata kerja
tetap dilakukan secara tunggal.
Tabel VI berikut memaparkan aneka macam jenis diatesis refleksif yang
dapat ditemukan.
No. Bentuk Kata
Kerja Pengisi P
Jumlah
‘Sudah bercukurkah kamu?’ Baru modom ibana.
‘Dia baru tidur’
Lagi martangiang uma.
‘Ibu lagi berdoa’
Naeng maridi jo au.
‘Saya mau mandi dulu’
Martabuni si Tiur.
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
6.
‘Ayah lagi berbaring
(santai)’
Marudan-udan au da ma.
‘Bu, saya mandi hujan ya’
Mangaso jo au (satongkin).
‘Saya mau istirahat
(sebentar)’
Mamake sipatu jo au.
‘Saya pakai sepatu dulu’
Paias dirim sian hajahaton!
‘Bersihkanlah/jauhkan
dirimu dari kejahatan/dosa’
Maneat diri (na) (sandiri) si Togar.
Togar memotong
(membunuh) diri (nya)
(sendiri)
Hundul hami.
‘Kami duduk
(mendudukkan diri kami
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
Dari tabel VI itu terlihat ada 12 contoh kalimat yang termasuk diatesis
refleksif. Dari 12 contoh kalimat, terlihat bahwa pola P-S merupakan pola yang
umum. Walaupun ada pula pola P-O-S, O berupa kata diri yang menunjukkan ‘badan’. Kata itu bersifat “tidak terasingkan” (inalienable). Jadi, selalu
berhubungan dengan S secara posesif. Dapat pula O itu tidak menunjukkan
‘badan’ seperti sepatu.
Dalam diatesis refleksif kegandaan argumen pengisi S tidak sepenuhnya
ditentukan oleh bentuk morfemik kata kerja,tetapi lebih ditentukan oleh watak
semantis kata kerja. Berdasar hal itu, dapat dibedakan S yang berargumen ganda
pelaku-penderita dan pelaku-pengguna. Yang dengan pelaku-penderita ialah
dengan kata kerja seperti maneat ‘memotong’ dan yang pelaku-pengguna ialah
dengan kata kerja seperti marudan-udan ‘mandi hujan’, martabuni
‘bersembunyi’, maridi ‘mandi’.
Dalam diatesis refleksif, kemunculan O tidak mengurangi kepenuhan
status S sebagai argumen ganda. Dalam hal ini pada umumnya argumen ganda itu
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Dari pembicaraan 2.1 s.d. 2.5 di atas, diketahui bahwa dalam bahasa Batak
Toba terdapat empat macam jenis diatesis, yaitu aktif, pasif, medial, resiprokal,
dan refleksif dengan subjenisnya masing-masing.
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpukan :
Pertama, diatesis dalam bahasa Batak Toba ternyata cukup beraneka, dan
keanekaan itu menunjukkan betapa rumitnya sebenarnya sintaksis klausal bahasa
Batak Toba yang melibatkan predikat yang diisi oleh argumen tertentu.
Kedua, penandaan yang ada sering mengenai kata kerjanya yaitu dalam
wujud kata polimorfemik tertentu. Apabila argumen ditandai pula, penandaan itu
berupa kata preposisi sehingga argumen berupa frase preposisional. Penandaan
yang berupa formatif itu--yang lalu dapat disebut pemarkah--ternyata cenderung
selalu diimbangi dengan adanya penendaan yang berupa susunan beruntun, yaitu
subjek-berisi-argumen yang tidak dapat ditanyakan atau berupa kata ganti tanya
itu, dalam bentuk deklaratif dipandang dari sudut predikat berada dalam posisi
letak kanan.
Ketiga, sehubungan dengan pola-urutan yang berupa P-S itulah maka
identifkasi diatesis dapat tetap dikenali meskipun identifikasi itu mengenai
adanya dan bukan jenisnya.
Keempat, parafrase yang terikat pada bentuk kata kerja pengisi P ternyata
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
pengenalan jenis argumen. Sehubungan dengan itu, kiranya sangat perlu
dilakukan pendalaman terhadap seluk-beluknya.
3.2 Saran
Penelitian terhadap bahasa daerah khususnya bahasa Batak Toba telah
banyak dilakukan. Namun, penelitian terhadap diatesis jarang dilakukan.
Penelitian tentang diatesis biasanya selalu dirangkaikan dengan penelitian
mengenai kata kerja, sehingga pembahasan terhadap diatesis kurang luas dan
kurang mendalam. Untuk itu, diharapkan agar penelitian terhadap diatesis
semakin banyak dilakukan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
Nicco Erianto Hutapea : Diatesis Dalam Bahasa Batak Toba, 2008. USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Artawa, I Ketut. 2002. ’Ergativity and Gramatical relations’ dalam Linguistika. Volume 9 No. 16. Halaman: 15-26. Denpasar: Program studi Magister (S2)
dan Doktor (S3) Linguistik Universitas Udayana.
Artawa, I Ketut. 2003. ‘Keunikan Bahasa Bali’ dalam Linguistika. Volume 10 No.
18 Halaman: 1-13. Denpasar: Program studi Magister (S2) dan Doktor (S3)
Linguistik Universitas Udayana.
Jufrizal. 2004. ”Diatesis Bahasa Minangkabau”. Padang: Seminar
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta : PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
Lyons, John. 1987. Introduction to Teoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mallinson, Graham dan Barry J. Blake. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic Studies Syntax. Amsterdam: North-Holland Publishing Company. Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford:
Oxford University Press.
Sibarani, Robert. 2004. Semantik Bahasa Batak Toba. Medan: USU Press. Sinaga, Ariectus B. 2002. Tata Bahasa Batak Toba. Medan: Bina Media.
Sinaga, Richard. 1994. Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia. Jakarta: Dian Utama.