• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PENUNJANG DALAM USAHA TANI PADI. The Role of Agribusiness Institution in Supporting Rice Farming

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PENUNJANG DALAM USAHA TANI PADI. The Role of Agribusiness Institution in Supporting Rice Farming"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PENUNJANG

DALAM USAHA TANI PADI

The Role of Agribusiness Institution in Supporting Rice Farming

Tri Bastuti Purwantini dan Wahyuning K. Sejati

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani 70, Bogor 16161

E-mail: tribastuti_p@yahoo.co.id ABSTRACT

Nationally, rice is a strategic commodity. The government has made some policies and programs aimed to increase the rice production and productivity. To support the success of agribussines of grain-rice, it is needed a conducive Institutional, such as the institutional of input to marketing. The purpose of this paper is to study the institutional role on performance of rice farming. This study is part of the research of PATANAS ( National Farmers Panel ), conducted by the ICASEPS 2010. The assestment was held in technical irrigation villages, based on rice commodity. Research results showed that 70-100 percent farmers were adequacy from production input. Generally, the availability of production input in Java was higher than outside Java. Farm capital is obtained by setting aside their farm crops income. Meanwhile, the frequency of capital borrowed for farming is relatively high. Usually, farmers borrow the capital from merchants inputs. According to that condition, it was needed a soft loan to finance the farming rice farmers . Availability and accessibility to farming technologies were stagnant, whereas farmers receive the tecnology from peasant farmers in the village. It was very limited the involvement of farmers with extension workers. From these conditions it appears that the role of farmer groups in the future is very decisive to encourage the availability and accessibility technology, and main production that were needed by farmers .

Keywords : institutional, agribusiness, farming system, paddy

ABSTRAK

Komoditas padi atau beras secara nasional merupakan komoditas strategis. Selama ini pemerintah telah menciptakan berbagai kebijakan dan program yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi. Kelembagaan penunjang mulai dari kelembagaan input sampai dengan pemasaran gabah-beras yang kondusif sangat mendukung keberhasilan agribisnis gabah-beras. Tujuan tulisan ini untuk melihat sejauh mana peran kelebagaan penunjang terhadap kinerja usaha tani padi. Kajian ini merupakan bagian hasil penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) yang dilakukan oleh PSEKP 2010, di beberapa desa irigasi teknis dengan komoditas basis padi. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan sarana produksi di lokasi kajian berkisar 70 – 100 persen umumnya ketersediaan di Jawa lebih tinggi dari di luar Jawa. Secara umum, modal usaha tani diperoleh dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil panen usaha taninya, selain itu frekuensi meminjam untuk modal usaha tani relatif tinggi, pinjaman tersebut sebagian besar dari pedagang saprodi. Sehubungan dengan itu diperlukan kredit lunak untuk pembiayaan usaha tani petani padi. Ketersediaan dan akses teknologi usaha tani dalam keadaan stagnan, dimana petani memperolehnya dari sesama petani di dalam desa (petani maju), sangat terbatas keterlibatan PPL. Dari kondisi ini nampak bahwa peran

(2)

Kelompok Tani di masa yang akan datang adalah sangat menentukan dalam mendorong ketersediaan dan akses teknologi dan sarana produksi utama yang dibutuhkan petani.

Kata Kunci : kelembagaan, agribisnis, usaha tani, padi

PENDAHULUAN

Menurut Kustiari et al. (2011) eksistensi dan pengembangan agribisnis tidak dapat dilepaskan dari aspek kelembagaan (kelembagaan agribisnis). Kelembagaan yang dimaksud mengandung makna institusi dan organisasi yang meliputi peran (role), aturan (rule), serta perilaku (attitude) dalam norma dan tata nilai (norm and value) yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini salah satunya sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Uphoff (1986) dalam Kustiari et al. (2011), di mana eksistensi kehidupan masyarakat didukung oleh tiga pilar kelembagaan, yaitu: (1) kelembagaan komunitas (voluntary sector); (2) kelembagaan ekonomi atau pasar (private sector); dan (3) kelembagaan publik, termasuk pemerintah (public sector).

Terkait dengan analisis indikator pembangunan pertanian dan perdesaan, faktor mendasar yang perlu diketahui adalah aksesibilitas masyarakat (petani) terhadap eksistensi kelembagaan agribisnis dan aturan main dalam kelembagaan agribisnis itu sendiri. Kelembagaan agribisnis yang dimaksud antara lain mencakup sarana produksi berupa masukan usaha tani (termasuk tenaga kerja), teknologi produksi dan ketatalaksanaan usaha tani (termasuk alsintan), panen, pascapanen, pengolahan, finansial/permodalan, organisasi kelompok tani, dan penyuluhan. Dukungan terhadap fasilitas dan jasa tersebut dapat memotivasi petani dalam mengimplementasikan dan sekaligus mengembangkan sistem agribisnis yang bermanfaat buat mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelembagaan agribisnis menjadi sarana pengembangan agribisnis itu sendiri (Handayani, 2013).

Tulisan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana peran kelebagaan agribisnis penunjang terhadap kinerja usaha tani padi. Secara rinci tulisan ini bertujuan : 1) Menganalisis kelembagaan dan ketersediaan sarana produksi (saprodi), 2) Kelembagaan tenaga kerja komoditas padi, 3) Kelembagaan alsintan komoditas padi, 4) Kelembagaan permodalan komoditas padi,5) Kelembagaan pemasaran hasil komoditas padi dan 6) Kelembagaan Kelompok Tani dan Penyuluhan Pertanian komoditas padi.

METODOLOGI PENELITIAN

Cakupan Analisis

Tulisan ini merupakan bagian hasil penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) yang dilakukan oleh PSEKP tahun 2010, di beberapa desa irigasi teknis

(3)

dengan basis komoditas padi. Analisis kelembagaan agribisnis difokuskan pada dua aspek yaitu: aksesibilitas petani terhadap lembaga agribisnis termasuk lembaga penunjang agribisnis dan pola transaksi antara petani dengan lembaga agribisnis. Yang dibahas disini adalah kelembagaan dan ketersediaan sarana produksi (saprodi), kelembagaan tenaga kerja, kelembagaan alsintan, kelembagaan permodalan, kelembagaan pemasaran hasil komoditas padi dan kelembagaan Kelompok Tani dan Penyuluhan Pertanian komoditas padi.

Lokasi dan Responden

Penelitian ini dilaksanakan di 18 desa sawah irigasi dengan basis komoditas padi yang menyebar di 5 provinsi (Jabar, Jateng) dengan jumlah responden petani masing-masing desa 32-40 responden.

Metode Analisis

Analisis kelembagaan agribisnis penunjang dilakukan secara deskriptif analitik melalui tabel-tabel analisis. Untuk melihat perubahan, beberapa kelembagaan agribisnis dianalisis pada dua periode yaitu tahun 2007 dan 2010 pada rumah tangga dan desa yang sama.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer hasil survei rumah tangga yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) dalam kegiatan studi Panel Petani Nasional (PATANAS). Jenis data yang dianalisis meliputi kelembagaan agribisnis komoditas padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ketersediaan dan Kelembagaan Sarana Produksi

Ketersediaan dan aplikasi sarana produksi (saprodi) yang sesuai dengan kebutuhan komoditas merupakan salah satu faktor keberhasilan usaha tani. Sarana produksi utama yang dibutuhkan petani padi sebagai kegiatan utama di desa penelitian adalah benih, pupuk, khususnya pupuk anorganik dan obat-obatan. Persepsi petani tentang tingkat kecukupan saprodi disajikan pada tabel 1. Sebagian besar di desa penelitian tersedia kios sarana produksi, namun demikian sebagian petani merasa kurang tercukupi sehingga mereka memperolehnya di luar desa. Hanya beberapa petani di 8 desa yang merasa saprodi tidak mencukupi. Sebaran responden dalam usaha yang dilakukan oleh petani bila saprodi kurang mencukupi disajikan pada tabel 2. Tampak bahwa selain di luar desa untuk mencukupi petani harus keluar ke kecamatan bahkan ke luar kabupaten, yang menarik disini ada responden (Klaten) yang tidak berusaha mencukupi walau saprodinya kurang, hanya mengaplikasikan seadanya.

(4)

Tabel 1. Persepsi Petani tentang Kecukupan Saprodi di Lokasi Penelitian, 2010

Provinsi Desa Kecukupan Saprodi (%)

Jabar Sindangsari Simpar Tugu 100,0 100,0 64,0 Jateng Tambah Mulyo

Demangan Padangsari Mojorejo 76,0 84,0 96,0 100,0 Jatim Padomasan Kaligondo Sungegeneng 96,0 84,6 100,0 Sumut Lidah Tanah

Kuala Gunung 95,8 88,0 Sulsel Carawali Salujambu 100,0 96,0 Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Tabel 2. Persepsi Petani tentang Kecukupan Saprodi dan Usaha untuk Mencukupi di Lokasi Penelitian, 2010

Provinsi Desa

Upaya untuk mencukupi saprodi (%) Membeli di Luar Desa Membeli di luar Kecamatan Membeli di Luar Kabupaten Tidak melakukan apa-apa (seadanya) Jabar Tugu 100

Jateng Tambah Mulyo 17 83

Demangan - 50 25 25

Padangsari 100 - - -

Jatim Padomasan 100

Kaligondo 25 75 - -

Sumut Lidah tanah 100

Kuala Gunung 67 33

Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Hasil kajian di lokasi yang sama pada tahun 2007 (Irawan, et. al., 2007) menunjukkan bahwa input usaha tani yang dibutuhkan petani pada umumnya selalu tersedia di pasar terutama untuk jenis-jenis input utama atau jenis-jenis input yang selalu digunakan oleh sebagian besar petani seperti pupuk urea dan pestisida. Sekitar 90 persen petani pada tahun 2007 menyatakan bahwa kedua jenis input tersebut selalu tersedia di pedagang input yang biasa mereka hubungi, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Sementara itu sekitar 70 persen petani menyatakan bahwa pupuk TSP/SP36 dan benih berlabel juga selalu tersedia di pasar. Atas dasar persepsi petani tersebut, dapat dinyatakan bahwa aksesibilitas petani secara fisik terhadap pupuk urea, TSP/SP36, insektisida/pestisida, dan

(5)

benih berlabel cukup baik. Mereka biasanya dapat dengan mudah membelinya dari para pedagang input usaha tani yang biasa dihubungi petani.

Umumnya ketidak cukupan saprodi di desa hanya bersifat sementara, ini dapat ditunjukkan pada tabel 2. Keterbatasan ketersediaan saprodi di kios terdekat salah satunya dapat diantisipasi melalui peran serta aktif Kelompok Tani, Gapoktan maupun Koperasi sebagai wadah untuk menyediakan kebutuhan saprodi bagi petani. Pada umumnya saprodi relatif tersedia di kios setempat, masalah yang ditemui adalah keterlambatan dalam pendistribusian saprodi. Bila ketersediaan saprodi tidak merupakan kendala, justru masalah modal terbatas merupakan faktor dominan di kalangan petani.

Untuk mengatasi keterbatasan modal petani di beberapa lokasi, kios atau pedagang saprodi memfasilitasi dengan cara membayar setelah panen (yarnen), namun demikian sebagian besar pembayaran dilakukan secara tunai. Pembayaran saprodi dengan sistem yarnen umumnya dibayar dengan uang senilai dengan nilai saprodi yang dipinjam, harga biasanya sudah disepakati sebelumnya. Pembayaran secara yarnen sebagian sudah merupakan kebiasaan suatu daerah, selain itu karena terdapatnya suatu hubungan erat antar petani dan pemilik kios atau pedagang saprodi. Hubungan tersebut terjalin antara lain karena: 1) kepercayaan, 2) bersifat langganan (agar petani tetap membeli saprodinya, maka si pedagang memberi pinjaman atau pembayaran berjangka untuk saprodi yang dibeli), 3) adanya hubungan bisnis, dimana petani menjual hasil panen mereka kepada pedagang saprodi.

Tabel 3. Sebaran Petani Menurut Jumlah dan Lokasi Pedagang, Keberadaan dan Hubungan Bisnis di Lokasi Penelitian, 2010

Provinsi Kabupaten/ Desa

Rata2 Jumlah pedagang dihubungi Lokasi 1) (%) Memiliki Hubungan Bisnis (%) Di dalam Desa Desa Lain Kecamatan sama Kota

Kecamatan Kabupaten Lainnya Kota Jabar Sindangsari Simpar Tugu 2 2 1 84, 92,0 88,0 16,0 8,0 - - - - - - 4,0 - - 8,0 8 0 8 Jateng Tambah Mulyo

Demangan Padangsari Mojorejo 2 2 1 2 84,0 56,0 68,0 76,0 4,0 36,0 28,0 20,0 4,0 - 4,0 - - - - - 8,0 8,0 - 4,0 4 20 8 0 Jatim Padomasan Kaligondo Sungegeneng 2 2 2 84,0 96,0 70,0 12,0 - 10,0 - - 14,0 - - 6,0 4,0 4,0 - 0 0 16 Sumut Lidah Tanah

Kuala Gunung 1 1 70,8 84,0 12,5 4,0 - - - - 16,7 12,0 4 8

Sulsel Carawali

Salujambu 1 1 96,0 44,0 56,0 - - - - - 4,0 - 28 12

Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Menurunnya persentase sistem yarnen pada transaksi pembelian saprodi selama 2007-2010 menunjukkan bahwa kemampuan petani untuk membeli

(6)

saprodi semakin besar. Pada tahun 2007 di luar Jawa terdapat sekitar 35 - 42 persen petani yang meminjam modal untuk pembelian ketiga jenis input utama (bibit, pupuk dan pestisida) sedangkan di Jawa hanya sekitar 17 - 21 persen petani yang terlibat hutang untuk pembelian ketiga jenis input tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan finansial petani di Jawa untuk membeli input usaha tani yang mereka butuhkan relatif lebih baik dibanding petani di luar Jawa.

Jumlah pedagang saprodi yang dihubungi petani umumnya lebih dari satu kios,rata-rata terendah di Desa Carawali yaitu 1 kios, sedangkan di Desa Padomasan (Jatim) yaitu 1-3 kios (pedagang). Perbedaan jumlah kios yang dihubungi petani biasanya tergantung pada jenis saprodi yang tersedia di kios tersebut dan harga saprodi yang ditawarkan. Petani biasanya mencari alternatif harga yang lebih murah dari kios-kios yang ada.

Dibeberapa lokasi ditemukan bahwa sebagian petani membeli saprodi karena adanya hubungan bisnis dengan kios para pedagang saprodi, jumlah petani yang melakukan hubungan bisnis bervariasi tertinggi ditemukan di Desa Carawali Kabupaten Sidrap yakni mencapai 28 persen, Desa Demangan Kabupaten Klaten 20 persen. Bentuk hubungan bisnis umumnya pinjam saprodi, pinjam uang dari kios untuk keperluan usaha taninya, beberapa lainnya juga untuk usaha lain.

Kelembagaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam mengelola usaha taninya umumnya selain tenaga kerja dalam keluarga juga di luar keluarga. Tenaga kerja yang bekerja di usaha tani padi dapat dibedakan antara tenaga manusia dan alsintan, hewan/ternak. Penjual jasa tenaga kerja bisa merupakan perorangan atau kelompok yang umumnya tidak terorganisir, dan sebagian juga kelompok yang terorganisir seperti kelompok tanam atau panen. Kebutuhan tenaga kerja cukup tinggi pada masa tanam dan panen. Sejauh ini, kebutuhan tenaga kerja tersebut dapat tercukupi baik untuk musim hujan (MH) maupun musim kering (MK).

Jumlah penjual jasa alsintan cukup banyak berkisar antara 2 – 10 orang di wilayah kajian. Pemilik jasa alsintan umumnya berlokasi di dalam desa yang sama dengan petani yang akan menyewa. Di Jawa Timur ditemukan kepemilikan jasa alsintan yang berlokasi hingga di luar kabupaten. Dapat diinformasikan bahwa hal tersebut lebih disebabkan karena di Jawa Timur ditemukan adanya golongan/ kelompok (grup) pekerja yang memang sengaja bermigrasi antar kabupaten, terutama untuk kegiatan tanam dan panen.

Cara pembayaran penggunaan jasa alsintan umumnya dilakukan dengan sistem tunai baik untuk kegiatan tanam, pengolahan tanah maupun panen. Jarang sekali terdapat hubungan (ikatan) bisnis antara petani dan penjual jasa alsintan, kecuali dengan pemilik penggilingan padi. Kasus di Pati, Jawa Tengah, petani bisa menyimpan hasil gabahnya di penggilingan padi (RMU) tanpa dikenai biaya sewa gudang, hanya ada kesepakatan tidak tertulis bahwa nantinya untuk melakukan proses penggilingan biasanya di lakukan di RMU tersebut, ini juga berlaku untuk kegiatan penjemuran, petani bisa memanfaatkan lantai jemur.

(7)

Pembayaran tenaga kerja upahan umumnya dilakukan secara tunai. Meskipun ada juga beberapa daerah yang membayar dengan sistem ceblokan (Jawa Barat) atau kedokan (Jawa Timur). Aturan main untuk sistem ceblokan/kedokan bervariasi antar lokasi, sebagai contoh, di Subang sistem ceblokan yang dilakukan adalah tanam dan panen, sewaktu tanam buruh tani tersebut tidak diberikan upah hanya diberikan sekedar uang lelah sekitar Rp 10.000/HOK, namun sewaktu panen buruh tersebut mempunyai hak sepenuhnya untuk memanen dengan sistem bawon atau bagi hasil (yang umum berlaku adalah 1 bagian untuk buruh tani dan 5 bagian untuk pemilik lahan). Berbeda dengan yang ditemukan di Karawang, untuk ceblokan, kegiatan yang dilakukan adalah menyiang dan panen, dengan demikian upah dibayarkan setelah panen dengan cara bagi hasil natura dari hasil panen. Lain halnya di daerah Pati, Jember, dan Luwu, sebagian besar pembayaran upah dilakukan secara tunai.

Pada umumnya biaya tenaga kerja upahan dibayar dengan sistem tunai untuk berbagai jenis kegiatan usaha tani, pada semua provinsi penelitian, terutama untuk kegiatan tanam dan pemeliharaan. Hal ini dikarenakan para tenaga kerja tersebut memerlukan uang tunai untuk memenuhi ekonomi rumah tangga mereka, sehingga tidak mungkin semua kegiatan dibayar setelah panen.

Di Provinsi Sumut dan Jabar masih ditemukan sistem pembayaran setelah panen dengan hasil panen (natura), yang umumnya bersifat bagi hasil. Pembayaran “yarnen” dengan natura di daerah tersebut lebih didasarkan kesepakatan kedua belah pihak, dan juga kebiasaan daerah tersebut yang masih dilakukan oleh sebagian kecil petani. Pembayaran sistem tersebut umumnya terjadi karena tenaga kerja upahan pengolahan lahan, juga nantinya akan melakukan kegiatan pemeliharaan dan panen di lahan yang sama. Sehingga bukan merupakan sistem pembayaran yang mutlak berlaku di daerah tersebut. Beberapa kasus di lokasi penelitian hasil panen langsung di jual kepada pembeli di sawah, ataupun dibawa dulu ke rumah, sehingga memudahkan para tenaga kerja upahan tersebut langsung menerima upahnya dari persentase (bagi hasil) atas hasil produksi (panen) yang besarnya sesuai kesepakatan antara pemilik lahan dengan tenaga kerja upahan.

Kelembagaan Alsintan

Alsintan yang umum dipergunakan oleh petani padi antara lain adalah traktor, pompa air dan alat pasca panen seperti threser dan penggilingan padi (RMU). Traktor dan pompa air selain milik individu sebagian ditemukan dimiliki oleh kelompok. Petani di beberapa wilayah tertentu sudah mempunyai hubungan langganan dengan penjual jasa alsintan. Lokasi para penjual jasa alsintan tersebut umumnya masih berada di dalam desa. Pompa air banyak digunakan oleh petani di perdesaan Jawa Tengah, terbanyak ditemukan di Desa Tambah Mulyo, Pati, hal ini karena kualitas irigasi yang kurang memadai, sehingga diperlukan pasokan air dari irigasi pompa. Bagi pengguna jasa pompa air hanya sebagian kecil yang menyatakan selalu tersedia, karena keterbatasan pompa air di wilayah tersebut.

(8)

Untuk kegiatan pengolahan tanah umumnya menggunakan traktor, sebagian besar bahkan di Desa Sindangsari (Krawang), Tambah Mulyo (Pati), Desa Demangan (Klaten) dan Padomasan (Jember) 100 persen menyatakan bahwa jasa traktor selalu tersedia dan mudah diakses. Sementara di Desa Kaligondo (Banyuwangi) dan Desa Tugu (Inderamayu) yang menyatakan selalu tersedia masing-masing hanya 56 dan 68 persen, lainnya menyatakan kadang-kadang tersedia atau bila memerlukan jasa traktor harus menunggu giliran, karena relatif sedikit jumlah traktor yang beroperasi di wilayah tersebut, bahkan sebagian masih mendatangkan traktor dari luar desa.

Tabel 4. Persepsi Petani tentang Ketersediaan Alsintan, menurut Jenis Alsintan di Lokasi Penelitian, 2010 (%)

Provinsi Desa

Ketersediaan Alsintan

Pompa Air Traktor Pasca Panen

Selalu

teresedia Kadang- kadang teresedia Kadang-kadang Selalu teresedia Kadang-kadang Selalu

Jabar Sindangsari - - 100 0 56 44

Simpar - - 96 4 12 88

Tugu - - 68 32 12 88

Jateng Tambah Mulyo 40 60 100 0 56 44

Demangan 4 96 100 0 88 12 Padangsari 24 76 88 12 56 44 Mojorejo 12 88 88 12 40 60 Jatim Padomasan 8 92 100 0 32 68 Kaligondo - 0 56 44 56 44 Sungegeneng - 0 96 4 48 52

Sumut Lidah Tanah - 0 96 4 48 52

Kuala Gunung - 0 92 8 8 92

Sulsel Carawali - 0 80 20 40 60

Salujambu - 0 92 8 68 32

Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Persepsi petani tentang ketersediaan jasa alsintan pasca panen bervariasi antar lokasi. Di Jawa Barat penggunaan threser umumnya tidak ditemukan karena sebagian besar merontok padi dengan cara “digebot”, sehingga tidak diperlukan threser, sedangkan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulsel justru perontokan dominan menggunakan mesin (threser). Untuk alat penggilingan padi umumnya petani memanfaatkan jasa penggilingan setempat, terutama bagi petani yang menjual dalam bentuk beras seperti yang dijumpai di Pati, namun demikian sebagian besar petani juga memanfaatkan jasa penggilingan untuk memproses gabah menjadi beras untuk keperluan konsumsi rumah tangga.

Pada umumnya pemilik jasa alsintan berlokasi di dalam desa yang sama dengan petani yang akan menyewa. Kasus di Jawa Timur ditemukan kepemilikan jasa alsintan yang berlokasi hingga di luar kabupaten. Hal tersebut lebih disebabkan karena di Jawa Timur ditemukan adanya golongan/kelompok pekerja

(9)

yang memang sengaja bermigrasi antar kabupaten untuk menjual tenaganya, terutama untuk kegiatan tanam dan panen. Beberapa diantara grup/kelompok tenaga kerja upahan tersebut juga membawa alsintan (hand traktor dan tresher sebagai perlengkapan kegiatan kerja mereka). Petani kaya yang memiliki lahan luas hampir selalu punya traktor atau pompa air terutama untuk memenuhi keperluan lahannya sendiri, dan sisa waktu baru untuk disewakan/menggarap lahan orang lain. Penggunaan traktor sejauh ini belum mencapai titik optimumnya, dimana sebuah traktor hanya bisa menggarap 10-15 ha per musim, sedang optimumnya bisa sampai 25 ha/musim. Penggunaan pompa air sedot seperti di Jawa Tengah sifatnya hanya insidentil, sewaktu-waktu lahan kekeringan bisa untuk mengairi. Cara pembayaran penggunaan jasa alsintan umumnya dilakukan dengan sistem tunai dan jarang sekali terdapat hubungan (ikatan) bisnis lainnya.

Kelembagaan Permodalan

Secara umum, modal usaha tani diperoleh petani dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil panen usaha taninya. Beberapa petani sampel yang lahannya luas, dan punya usaha sampingan, melakukan peminjaman modal ke bank. Umumnya para petani harus sedikitnya menyisihkan sekitar sepertiga bagian dari hasil perolehan dari penjualan hasil panen untuk dijadikan modal agar dapat melakukan kegiatan usaha tani musim tanam berikutnya.

Pada umumnya petani meminjam uang tujuan utamanya adalah untuk modal usaha tani, walaupun kadang-kadang langsung meminjam bentuk saprodi. Bila meminjam uang selain untuk modal kerja usaha tani kadang-kadang juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Biasanya pendapatan dari penjualan hasil panen tidak sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga, sehingga petani sering melakukan peminjaman meski masa kegiatan penanaman usaha tani sudah dilakukan. Banyaknya petani yang sering meminjam terutama untuk modal usaha tani disajikan pada Tabel 5. Persentase petani yang meminjam terbanyak ditemukan di Sungegeneng, Lamongan (80%), kedua terbanyak adalah di Carawali, Sidrap (56%). Sementara di Desa Tambah Mulyo (Pati) tidak ditemukan petani yang melakukan peminjaman, biasanya petani melakukan pembelian saprodi dengan membayar tunai. Secara agregat tampak bahwa penggunaan pinjaman utamanya untuk pembelian pupuk dan obat-obatan, hampir di semua lokasi kecuali di Simpar (Subang) hanya untuk pembelian obat-obatan dan di Sungegeneng umumnya untuk pembelian pupuk.

Bila dilihat lebih rinci darimana pinjaman tersebut, Tabel 6 menyajikan partisipasi petani peminjam menurut sumber pinjaman. Sebagian besar sumber pinjaman utama berasal dari pedagang saprodi. Di beberapa lokasi petani di Jateng (Sragen, Cilacap dan Klaten), Jabar (Inderamayu) dan Jatim (Jember) ditemukan sudah dapat akses ke Bank Formal dengan bunga kredit komersial. Peminjam tersebut umumnya adalah petani pemilik karena untuk kredit ke Bank perlu agunan, yang umum berupa sertifikat tanah/bangunan. Biasanya jumlah pinjaman dari Bank tersebut relatif besar, sehingga tidak hanya untuk modal usaha tani tetapi juga untuk keperluan rumah tangga lainnya, baik untuk sandang, kesehatan maupun untuk pendidikan, bahkan untuk kebutuhan pangan. Seperti

(10)

yang disajikan pada Tabel 6, ada beberapa petani yang meminjam lebih dari satu sumber, ini diindikasikan jumlah persentase dari seluruh sumber pinjaman yang dianalisis lebih dari 100 persen. Cara pelunasannya biasanya dibayar setelah panen (jangka waktu satu musim), kecuali untuk Bank formal umumnya diangsur tiap bulan selama jangka waktu tertentu, sesuai dengan aplikasi ajuan kredit.

Tabel 5. Jumlah Petani yang Sering Meminjam untuk Modal Usaha tani dan Penggunaan di Lokasi Penelitian, 2010 (%)

Provinsi Desa Jml Petani yg sering

Meminjam (%) Penggunaan Pinjaman Biaya Tenaga Kerja Beli Benih/Bibit Beli Pupuk Beli Obat-obatan Jabar Sindangsari 12 67 33 100 Simpar 4 - - - 100 Tugu 24 50 17 83 67

Jateng Tambah Mulyo - - - - -

Demangan 32 75 63 100 100 Padangsari 16 50 50 75 75 Mojorejo 8 50 50 100 50 Jatim Padomasan 20 40 60 100 60 Kaligondo 20 - - 100 100 Sungegeneng 80 - - 100 -

Sumut Lidah Tanah 28 71 14 71 43

Kuala Gunung 28 14 14 100 71

Sulsel Carawali 56 50 - 93 29

Salujambu 8 50 - 50 50

Sumber: Data primer Patanas 2010 (diolah)

Tabel 6. Jumlah Peminjam menurut Sumber Pinjaman di Lokasi Penelitian, 2010 (%)

Provinsi

Desa

Sumber Pinjaman

Pedagang Saprodi Bank

Formal Sesama Petani Kelompok Tani Pedagang Padi Bank Informal Jabar Sindangsari 100 50 - - - - Simpar 100 - 100 - - - Tugu 17 67 - - - -

Jateng Tambah Mulyo - - - -

Demangan 100 25 25 13 13 - Padangsari 75 100 - - - - Mojorejo 50 100 50 - - - Jatim Padomasan 100 - - - - Kaligondo 100 - - - - - Sungegeneng 100 - - - - -

Sumut Lidah Tanah - 71 - - 14

Kuala Gunung 71 - - 29 14 -

Sulsel Carawali 64 - 57 29 - -

Salujambu - - 100 - - -

(11)

Besarnya nilai pinjaman sangat bervariasi antar petani dan antar wilayah, besarnya pinjaman di lokasi penelitian rata-rata berkisar antara Rp. 500 ribu hingga hampir Rp. 8 juta. Variasi besarnya pinjaman sangat tergantung menurut jumlah kebutuhan saprodi maupun keperluan rumah tangga lainnya.

Kelembagaan Pemasaran Hasil Komoditas Basis

Kelembagaan pasar mencerminkan perilaku pasar oleh lembaga tataniaga dalam hubungannya dengan sistem pembentukan harga dan praktek transaksi (jual-beli), baik secara vertikal mapun horizontal. Struktur dan perilaku pasar pada akhirnya menentukan keragaan pasar beras dalam hal pembentukan harga, biaya, volume produksi, dan marjin pemasaran (Saptana et al., 2003). Menurut Rusastra

et al. (2004) kelembagaan tataniaga/pemasaran padi melibatkan banyak pelaku,

seperti petani, pelaku tataniaga (penebas, pedagang pengumpul dan KUD), kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang

Aksesbilitas petani terhadap kelembagaan pemasaran cukup lancar. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya sarana dan prasarana pendukung kegiatan pemasaran tersebut. Cara menjual hasil produksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) Dijual per satuan berat produk, (2) Dijual secara tebasan atau borongan pada saat panen dan (3) Ijon, yakni dijual pada waktu tanaman belum siap dipanen (umur muda). Berdasarkan kategori tersebut Tabel 7. menyajikan kinerja cara menjual hasil menurut lokasi penelitian.

Tabel 7. Persentase Petani Menurut Cara Menjual Hasil Panen di Lokasi Penelitian, 2010

Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Prov Desa Cara Menjual Hasil Panen(%)

Ijon Tebasan Per satuan

Jabar Sindangsari - - 100,0 Simpar 4,0 - 96,0 Tugu - - 100,0 Jateng Tambah Mulyo - - 100,0 Demangan - 4,0 96,0 Padangsari - 22,0 88,0 Mojorejo - 90,0 10,0 Jatim Padomasan - 52,5 47,5 Kaligondo 2,5 2,5 95,0 Sungegeneng 2,5 5, 92,5

Sumut Lidah Tanah - - 100,0

Kuala Gunung - - 100,0

Sulsel Carawali - - 100,0

(12)

Secara umum, petani menjual hasil panen dengan sistem per satuan berat (kg, kuintal atau ton) pada saat panen (jual dalam bentuk GKP di sawah) atau setelah beberapa waktu kemudian, menunggu gabah dijemur (GKG). Pembeli hasil panen secara per unit/satuan umumnya melalui pedagang pengumpul desa (biasanya dari dalam desa). Harga jual gabah juga bervariasi yang dipengaruhi oleh musim dan kondisi iklim pada suatu musim, selain itu juga waktu panen berpengaruh, biasanya yang panen awal menerima harga relatif lebih baik dibanding yang panen waktu panen raya demikian halnya untuk panen akhir musim. Pada musim 2009/2010 banyak serangan OPT di beberapa wilayah, terutama di Jawa, sehingga kualitas hasil yang diperoleh kurang baik bahkan mengurangi produktivitas hasil padi.

Tabel 8. Deskripsi Menjual Hasil Panen Per Unit Menurut Jenis Pembeli di Lokasi Penelitian, 2010 Provinsi Desa Pembeli (%)1) Pedagang pengumpul desa Pedagang pasar Pedagang besar kecamatan Konsumen desa Konsumen kecamatan Jabar Sindangsari 97,5 2,5 - - - Simpar 82,5 - 12,5 - 5,00 Tugu 87,2 12,8 - - - Jateng Tambah Mulyo 75,0 - 22,5 2,5 - Demangan 100,0 - - - Padangsari 93,7 - 6,2 - - Mojorejo 95,0 2,5 2,5 - - Jatim Padomasan 92,5 - 5,0 2,5 - Kaligondo 72,5 - 5,0 17,5 5,00 Sungegeneng 85,0 - 12,5 2,5 -

Sumut Lidah Tanah 67,5 - 5,0 27,5 Kuala Gunung 92,5 2,5 2,5 2,5

Sulsel Carawali 95,0 - 5,0 - -

Salujambu 77,5 2,5 17,5 2,5 -

Sumber : data primer (Susilowati et al., 2010)

Masih ditemukan petani yang menjual tanaman padinya dalam bentuk ijon (Tabel 7), sistem ini hanya ditemukan di Jabar (Desa Simpar) dan Jatim (Desa Kaligondo dan Sungegeneng), walaupun relatif kecil yang melakukan transaksi tersebut masing-masing 4,0 persen, 2,5 persen dan 2,5 persen. Hal ini dilakukan petani dengan alasan supaya cepat memperoleh uang, karena kebutuhan yang mendesak, rumah tangga tersebut membutuhkan uang segera antara lain untuk keperluan sekolah, ada keluarga yang sakit dan sebagainya.

(13)

Tabel 9. Deskripsi Menjual Hasil Panen Per Unit Menurut Asal Pembeli di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010

Provinsi Desa Asal Pembeli (%) Dalam desa Luar desa kec sama Kecamatan lain Kabupaten lain lainnya Jabar Sindangsari 97,5 2,50 - - - Simpar 100,0 - - - - Tugu 87,2 2,6 7,7 - 2,5 Jateng Tambah Mulyo 100,0 - - - - Demangan 91,8 8,2 - - - Padangsari 96,9 3,1 - - - Mojorejo 97,5 2,5 - - - Jatim Padomasan 97,5 2,5 - Padomasa n Kaligondo 90,0 5,0 5,0 - - Sungegeneng 87,5 2,5 10,0 - -

Sumut Lidah Tanah 72,5 7,50 17,5 2,5 -

Kuala Gunung 100,0 - - - -

Sulsel Carawali 92,5 - 7,5 - -

Salujambu 75,0 20,0 5,0 - -

Tabel 10. Deskripsi Menjual Hasil Panen Per Unit Menurut Cara Pembayaran di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010

Provinsi Desa Cara Pembayaran (%)

Bayar dimuka tunai Bayar kemudian Jabar

Sindangsari 70,0 30,0

Simpar 55,0 42,5 2,5

Tugu 61,5 35,9 2,6

Jateng Tambah Mulyo 57,5 30,0 12,5

Demangan 69,4 30,6 - Padangsari 34,4 65,6 - Mojorejo 97,5 2,5 - Jatim Padomasan 75,0 25,0 Kaligondo 2,5 97,5 - Sungegeneng 7,5 92,5 -

Sumut Lidah Tanah 62,5 35,0 2,5

Kuala Gunung 47,5 30,0 22,5

Sulsel Carawali 2,5 77,5 20,0

Salujambu 2,5 82,5 15,0

(14)

Demikian halnya penjualan panen dengan cara/sistem tebasan atau borongan yang meski relatif sedikit, kecuali yang ditemukan di Desa Mojorejo, Sragen, Jateng, 90 persen petani menjual hasil panennya dengan cara tebasan. Sistem tebasan biasanya dibayar secara tunai segera setelah panen, beberapa penebas juga melakukan pembayaran sebagian dimuka (sebagai tanda jadi, setelah transaksi harga jual beli), besarnya uang muka tersebut relatif tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Sementara alasan ditebaskan antara lain karena ingin cepat memperoleh uang tunai, selain itu juga mempertimbangkan upah tenaga kerja untuk panen yang relatif mahal dan semakin sulit mencari tenaga kerja panen.

Cara pembayaran untuk semua cara penjualan hasil panen, umumnya adalah dengan sistem tunai, baik gabah yang di jual di sawah segera setelah panen, maupun gabah yang di jual di rumah. Sistem pembayaran tunai memang sangat dibutuhkan petani, agar uang hasil penjualan dapat dipergunakan langsung untuk memenuhi kehidupan keluarga. Sistem pembayaran secara tunai tersebut juga merupakan daya tarik tersendiri dari para pedagang (pembeli) agar petani mau menjual hasil panennya kepada mereka.

Kelembagaan Kelompok Tani dan Penyuluhan Pertanian

Keberadaan kelompok tani tidak diragukan hampir ada di setiap desa pertanian di Indonesia. Pada Tabel 11 menunjukan persepsi petani tentang keberadaan kelompok tani. Petani yang menyatakan tidak ada kelompok tani di desanya 0-16 persen dan sebagian juga menyatakan tidak tahu akan keberadaan kelompok tani (0-16 %). Namun demikian beberapa petani responden tidak seluruhnya mengaku sebagai anggota, walaupun selama ini tercatat sebagai anggota kelompok tani tidak aktif terutama terkait dengan pendistribusian pupuk subsidi.

Beberapa alasan petani tidak ikut anggota kelompok tani antara lain : tidak tertarik, tidak melihat manfaat, dan tidak ada waktu. Alasan petani tidak ikut anggota kelompok kebanyakan karena mereka tidak punya waktu karena kesibukan usaha taninya, disamping mereka tidak tertarik hadir karena tidak melihat manfaat yang akan diperoleh. Banyak kelompok tani yang kegiatannya tidak aktif, umumnya karena tidak adanya dana operasional, tidak ada program, selain itu sebagian karena pengurus atau anggota tidak aktif. Meski kegiatan kelompok tani hanya berkisar pada pertemuan rutin, namun para anggota mengakui tertarik untuk mengikuti/menghadiri pertemuan, karena mereka merasakan mendapat berbagai manfaat dari pertemuan tersebut, terutama sebagai wadah saling bertukar berbagai informasi usaha tani di kalangan petani.

Partisipasi petani secara umum sebagai anggota terhadap kelompok tani yang ada tergantung pada kebutuhan dan kepentingan petani. Kalau petani merasa butuh dan berkepentingan terhadap kegiatan kelompok, maka petani termotivasi untuk berpartisipasi. Partisipasi anggota bisa dibangun atau ditimbulkan dengan kepemimpinan yang baik dari pengurus kelompok, bisa juga karena daya tarik kegiatan yang akan dikerjakan kelompok (misalnya arisan,

(15)

pengajian, simpan pinjam dan gotong royong) atau menjadi anggota karena terpaksa.

Kelompok tani merupakan salah satu bentuk lembaga penting di perdesaan khususnya bagi petani. Kelompok tani dapat berfungsi dengan baik sebagai wadah dalam mengorganisir berbagai kegiatan dan mengakomodir kebutuhan informasi usaha tani bagi petani, bila dijalankan sesuai fungsinya secara efektif, efisien dan tepat guna. Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan dan kebijakan di bidang pertanian baik dalam bidang penetrasi dan pengembangan serta akselerasi teknologi usaha tani, maupun penyuluhan dan informasi pasar, menjadi salah satu cermin berfungsinya kelembagaan suatu kelompok tani. Peran kelompok tani atau Gapoktan menjadi penting terkait dengan mendukung program pemerintah dan pendistribusian saprodi.

Tabel 11. Persepsi Petani tentang Keberadaan Kelompok Tani dan Anggota Kelompok Tani di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010

Propinsi/

Kabupaten Desa

Keberadaan Kelompok Tani Persen Petani yang menjadi anggota Kelompok Tani Ada (%) Tidak ada (%) Tidak tahu (%) Jabar Tugu 88 4 8 40,9 Simpar 68 16 16 88,2 Sindangsari 84 4 12 38,1 Jateng Padangsari 88 4 8 77,3 Demangan 96 4 - 62,5 Mojorejo 100 - - 88,0 Tambahmulyo 88 4 8 81,8 Jatim Padomasan 100 - - 56,0 Kaligondo 100 - - 73,9 Sungegeneng 92 8 - 82,6 Sulsel Carawali 84 - 12 81,0 Salu Jambu 88 8 4 72,7

Sulsel Kwala Gunung 88 - 12 59,1

Lidah Tanah 88 - 12 85,7

Sumber: Data primer Patanas 2010 (diolah)

Kelompok tani merupakan salah satu bentuk kelembagaan di pedesaan yang dapat berperan ganda bahkan multi fungsi. Kelompok tani dapat berfungsi sebagai sarana dan saluran akses pemerintah dalam pelaksanaan program kebijakan pembangunan pertanian, sebagai sarana penyaluran aspirasi petani kepada pemerintah, juga sebagai wadah saling tukar berbagai informasi terkait usaha tani dan informasi lainnya diantara sesama petani.

Berfungsinya suatu lembaga kelompok tani tercermin dari kondisi keikutsertaan (partisipasi) dan peran aktif para petani anggotanya, maupun tingkat

(16)

pengetahuan petani terhadap keberadaan dan fungsi atau manfaat serta peran kelompok tani tersebut terhadap kegiatan usaha tani mereka. Beberapa manfaat yang diperoleh para petani anggota kelompok tani, antara lain seperti: meringankan pekerjaan, sebagai wadah dan sarana sarana tukar pikiran, sarana keuangan (tabungan, simpan pinjam, arisan) serta membantu akses terhadap kredit.

Sebagian petani menyatakan tidak aktif menjadi anggota kelompok karena beberapa alasan yang bervariasi antar daerah. Di Jawa Timur misalnya, alasan tertinggi petani tidak ikut kelompok tani umumnya karena pengurus kelompok tidak aktif, tidak adanya dana, dan tidak ada program/proyek. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa keberlangsungan suatu kelompok tani di lokasi penelitian di Jawa Timur tergantung pada keaktifan pengurus, ketersediaan dana, maupun ada tidaknya proyek/program pemerintah di daerah tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan kelembagaan kelompok tani dan memudarkan arti dan fungsi kelompok tani itu sendiri, sehingga peran kelompok tani tidak diakui keberadaannya.

Materi penyuluhan yang diikuti umumnya berkisar pada bidang pertanian, perkebunan dan peternakan, seperti: padi, palawija, hortikultura (sayuran dan buah-buahan), unggas, kambing, sapi, dan sebagainya, dan disesuaikan dengan agroekosistem usaha tani di daerah tersebut. Sumber informasi dari materi penyuluhan di peroleh dari berbagai pihak yang umumnya masih berkaitan dengan bidang pertanian. Namun demikian sumber informasi terkait dengan teknologi usaha tani umumnya berasal dari sesama petani (petani maju).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Ketersediaan saprodi relatif cukup, walaupun masih dijumpai ketidak cukupan saprodi di beberapa kalangan petani, modal petani umumnya masih merupakan kendala, sehingga banyak petani mencari pinjaman untuk mendukung modal usaha tani mereka.

Tenaga olah tanah dengan traktor umumnya tidak masalah. Masalah tenaga kerja umumnya pada saat tanam dan panen relat sulit, sehingga berpengaruh dalam kegiatan usaha tani padi.

Dalam memasarkan hasil, umumnya petani menjual per satuan unit, namun demikian sistem tebasan semakin berkembang karena dinilai lebih praktis dan cepat memperoleh uang tunai. Pemasaran hasil (gabah/beras) relatif lancar, hanya masalah harga yang murah di musim panen raya.

Keberadaan kelompok tani tidak semua berfungsi dengan baik, terutama dibentuk karena bukan dari bawah, sehingga untuk kondisi yang demikian peluang keberlanjutan kegiatan diragukan. Namun demikian kelompok tani atau Gapoktan akan berkembang bila kegiatannya didukung oleh modal sosial kelompok.

(17)

Implikasi Kebijakan

Mengingat modal usaha tani pada sebagian besar petani merupakan masalah, maka bantuan kredit dengan bunga rendah sangat diperlukan oleh petani, oleh karena itu program kredit seperti konsep KUT zaman Orde Baru dimungkinkan untuk diimplementasikan, selain itu asuransi pertanian yang rencana sudah diprogramkan menjadi penting untuk segera direalisasikan.

Untuk menjaga stabilisasi harga gabah/beras perlu dilakukan pantauan di lapangan, karena pemberlakuan HPP pada musim panen raya kurang efektivitas terutama di Jawa. Penyuluhan masih perlu digiatkan lagi untuk menambah kapasitas pengetahuan teknologi bagi petani, karena selama ini pembelajaran petani maupun sumber informasi umumnya berasal dari sesama petani(maju).

DAFTAR PUSTAKA

Handayani, S. 2013. Kelembagaan Agribisnis. http://shsiskahandayani.blogspot.com/2013/ 04/kelembagaan-agribisnis.htmi (diakses 15 Oktober 2013

Irawan, B., P. Simatupang, R. Kustiari, Sugiarto, Supadi, Yulia, F.S, M. Iqbal, M.Ariani, Valeriana Darwis, R.Eliizabet, Sunarsih, Chaerul Muslim, T.B. Purwantini, dan Tjetjep Nurasa. 2007. Panel Petani Nasional (PATANAS) Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Kustiari, R., P.U, Hadi, Sugiarto, A. Purwoto, Supadi,M. Ariani, Sunarsih, J.F. Sinuraya, D. Hidayat, M. Maulana, T.B. Purwantini, B. Winarso, dan Waluyo. 2008. Panel Petani Nasional (PATANAS) Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Rusastra, IW., B. Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto. 2004. Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Saptana, Susmono, Suwarto dan M. Nur. 2003. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar “Penyusunan Profil Investasi dan Pengembangan Agribisnis Beras di Jawa Barat. Bandung, November 2003.

Susilowati, et. al. 2010. Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usaha tani Padi. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Gambar

Tabel 5.  Jumlah Petani yang Sering Meminjam untuk Modal Usaha tani dan Penggunaan  di Lokasi Penelitian, 2010 (%)
Tabel 7.  Persentase Petani Menurut Cara Menjual Hasil Panen di  Lokasi  Penelitian, 2010
Tabel 9.  Deskripsi Menjual Hasil Panen Per Unit  Menurut  Asal  Pembeli di  Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian, dilakukan analisis selanjutnya yang meliputi analisis struktur primer yaitu analisis urutan asam amino dan sifat fisika kimia protein matK tanaman Rumput Macan

Pada tugas akhir ini GRBL digunakan untuk mengontrol ke tiga motor yaitu 2 motor stepper dan 1 motor servo dengan menggunakan arduino, ketiga motor ini nantinya

Selanjutnya torsi akan menurun dengan terus bertambahnya putaran mesin, namun penurunan torsi tidak terlalu signifikan, sehingga pada putaran mesin 7560 rpm dapat

Dari hasil perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa model yang paling sesuai untuk pengamatan (Jl.Prof.Soedarto) adalah menggunakan model underwood karena

Petani atau penangkar yang melakukan usaha di Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur, belum banyak yang ingin mengusahakan dan mengembangkan usahatani pembibitan durian

Melihat sejarah berdirinya organisasi Persatuan Tarbiyah Islam (PERTI) di Kabupaten Aceh Barat Daya yang begitu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam

Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat pada tanya jawab tentang ISPA serta cara pencegahan dan pengobatan dari penyakit ISPA dilaksankan di lingkungan Puskesmas Kecamatan

Untuk memperoleh data rasa percaya diri siswa yaitu dengan menggunakan angket skala sikap percya diri siswa, sedangkan untuk memperoleh data prestasi belajar