• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 1. Permasalahan

Wilayah negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau serta memiliki daerah pantai yang sangat panjang, yaitu sekitar 81.000 km. Pantai menjadi salah satu keunggulan dan ciri khas negara Indonesia. Pantai menjadi tempat untuk menggantungkan hidup bagi masyarakat pesisir yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan. Pantai juga berfungsi sebagai daya tarik tersendiri untuk wisatawan-wisatawan asing agar berkunjung ke Indonesia, sehingga dapat menghasilkan devisa yang berguna untuk menambah pemasukan negara. Kawasan yang menghubungkan antara wilayah darat dan laut dinamakan pantai. Kawasan pantai menjadi transisi ekosistem laut dengan ekosistem darat. Dua pertiga luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi negaraIndonesia.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu menyebutkan bahwa wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, 12 mil dari garis pantai ke arah laut untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota ( Menteri Lingkungan Hidup, 2002).

(2)

Kawasan pesisir pantai merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikembangkan. Daerah pantai memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi pemerintah daerah, karena daerah pantai merupakan wilayah yang paling mudah dikembangkan sebagai sarana transpotasi dari satu daerah ke daerah lain.

Wilayah pantai menghasilkan sumber daya alam yang sangat produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Kawasan pantai dijadikan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa yang akan datang. Sekitar 50 – 70 % manusia hidup dan bekerja di wilayah pantai yang luasnya hanya 8% dari muka bumi. Wilayah pesisir pantai sangat potensial sebagai penghasil 26% dari produksi perikanan global. Wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia (Darsef, 2003: 3).

Pemanfaatan wilayah pesisir pantai yang meningkat, perlahan-lahan membuat daerah pantai akan berubah fungsi menjadi daerah yang sangat komplek, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya daya dukung wilayah pantai jika penggunaaannya tidak dilakukan secara terpadu dan terkendali.

Kondisi lingkungan pesisir di beberapa pantai di Indonesia akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan kualitas, sehingga lingkungan pesisir di lokasi tersebut dapat berkurang fungsinya atau bahkan sudah tidak mampu berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara berkelanjutan. Penurunan kualitas lingkungan pesisir di banyak tempat terjadi terutama akibat pencemaran atau perusakan lingkungan di sekitanya.

(3)

Pencemaran lingkungan pantai dapat terjadi karena masukan polutan dari kegiatan di sepanjang garis pantai, secara tidak langsung: melalui aliran sungai, kegiatan di lepas pantai, karena intrusi (tercampurnya) air laut ke dalam air tanah dan sebagainya. Kerusakan lingkungan pantai dapat berupa: abrasi pantai, kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang, penurunan sumber daya perikanan, serta penambangan pasir yang berlebihan. Akibat berbagai eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam lingkungan pesisir dan laut pada umumnya ini, dapat merugikan masyarakat, khususnya penduduk sekitar pantai (Menteri Lingkungan Hidup, 2009).

Pihak pemerintah mulai memikirkan berbagai cara untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan yang semakin merusak ekosistem lingkungan pantai. Salah satunya dengan mengupayakan program penanaman mangrove. Program tersebut mulai diaplikasikan di daerah pantai Baros, Bantul.

Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Keeley, 2007:1-2).

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah perairan pesisir. Pantai memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai

(4)

macam biota, penahan abrasi, amukan angin, juga berfungsi sebagai pemecah gelombang. Hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomis penting yaitu sebagai penyedia kayu, sebagai bahan bangunan maupun sebagai kayu bakar (Dahuri,1993: 3-4).

Berdasarkan manfaat yang terdapat dari hutan mangrove tersebut dapat diketahui pentingnya peranan hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan baik di darat maupun di laut, luas hutan mangrove dari tahun ke tahun semakin berkurang. Data yang ada menyebutkan luas hutan mangrove pada tahun 1982 di Indonesia sekitar 4,25 juta hektar sedangkan pada tahun 1993 menjadi sekitar 2,49 juta hektar. Hutan mangrove penting sekali untuk dipertahankan dan dijaga kelestarian ekosistemnya (Mentri Lingkungan Hidup, 2009).

Penelitian ini akan menganalisis permasalahan hubungan manusia dengan alam tersebut melalui sudut pandang teori Deep Ecology Arne Naess. Deep Ecology merupakan teori etika lingkungan yang memandang manusia bukan sebagai pusat dari alam melainkan hanya merupakan bagian dari alam. Semua unsur alam dan manusia mempunyai kedudukan yang sama di dalam suatu lingkungan hidup. Nilai-nilai moral bukan hanya berlaku bagi komunitas manusia, tetapi juga komunitas seluruh anggota lingkungan hidup.

Pusat perhatian Deep Ecology meliputi dua hal. Pertama tentang manusia dan kepentingannya. Manusia bukan hanya memenuhi kepentingannya saja, melainkan juga kepentingan seluruh komunitas lingkungan hidup untuk kepentingan jangka panjang. Kedua, Deep Ecology diterjemahkan dalam aksi yang nyata dan konkret. Aksi/gerakan ini berusaha untuk mengubah paradigma

(5)

secara revolusioner, yaitu: perubahan cara pandang, nilai, dan gaya hidup manusia yang antroposentris (Keraf, 2002:76). Aksi/gerakan nyata ini diterjemahkan oleh Naess ke dalam platform aksi, dan beberapa prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam gerakan/aksi Deep Ecology. Platform aksi dan prinsip-prinsip dalam gerakan Deep Ecology yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar analisis untuk permasalahan hubungan manusia dengan lingkungan hutan mangrove yang berada di pesisir pantai Baros.

2. Rumusan Masalah

Analisis pada latar belakang permasalahan menjadi dasar perumusan permasalahan, yaitu:

a. Bagaimana kehidupan masyarakat dan keadaan habitat mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros?

b. Apa konsep pemikiran Deep Ecology Arne Naess?

c. Apa peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess?

3. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa skripsi yang membahas mengenai permasalahan lingkungan dan aliran etika lingkungan. Skripsi tersebut di antaranya, yaitu:

(6)

a. Skripsi Davit Oktiyadi tahun 2002 yang berjudul Relevansi Konsep Ecosophy dalam Etika Ekosentrisme sebagai Alternatif atas Krisis Ekologis di Indonesia.

Davit Oktiyadi dalam penelitiannya memposisikan Ecosophy dalam etika ekosentrisme sebagai sebuah solusi alternatif atas krisis ekologis yang sedang terjadi di Indonesia. Pertimbangan itu menurut Davit muncul dari dampak modernisasi yang terjadi saat ini.

b. Skripsi Irfan Ardani tahun 2007 yang berjudul Eksistensi Manusia dalam Aliran Deep Ecology Movement: Study Filsafat Manusia.

Irfan dalam penelitiannya menjelaskan tentang posisi kedudukan manusia dan alam, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan manusia bisa berfikir semaunya. Dengan adanya penjelasan tentang kedudukan manusia dengan alam ini diharapkan manusia dapat lebih menghargai alam dan melestarikannya.

c. Skripsi Ayu Tyas Fitriani tahun 2008 yang berjudul Konsep Etika Lingkungan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Utara Gunung Arjuna ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess.

Ayu Tyas dalam penelitiannya mengungkapkan keanekaragaman dan nilai kompleksitas ekologi serta etika lingkungan yang terdapat dalam lingkungan kehidupan masyarakat lereng Utara gunung Arjuna dengan menggunakan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deep Ecology.

(7)

d. Skripsi Yan Warisma Tri Wulansari tahun 2009 yang berjudul Sampah Plastik sebagai Masalah Lingkungan Hidup ditinjau dari Konsep Deep Ecology Arne Naess.

Yan Warisma dalam penelitiannya memberi pemaparan tentang permasalahan sampah, terutama sampah plastik yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan itu terkadang dianggap remeh. Yan Warisma memberi pengertian akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar menggunakan pendekatan dengan konsep pemikiran Deep Ecology.

e. Skripsi Nirmala Ekawati tahun 2009 yang berjudul Deep Ecology sebagai Dasar Mengatasi Permasalahan Illegal Loging di Indonesia .

Nirmala dalam penelitiannya memberikan sorotan kritis mengenai permasalahan Illegal Loging yang terdapat di Indonesia dengan menggunakan konsep pemikiran Deep Ecology. Dengan adanya penelitian tersebut diharapkan masyarakat memiiki kesadaran serta pemahaman yang lebih baik tentang menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

f. Skripsi Estine Dewi Damayanti tahun 2010 yang berjudul Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Pesisir Ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess (Studi Kasus pada Masyarakat sekitar Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).

Estine dalam penelitiannya menggunakan pemikiran Deep Ecology sebagai solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan yang ada di lingkungan pesisir. Di sini Deep Ecology diharapkan dapat memberikan

(8)

penjelasan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.

Beberapa penelitian di atas memiliki objek formal dan materi yang hampir sama dengan penelitian ini. Adapula beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa fakultas Kehutanan UGM, yang juga membahas tentang hutan mangrove. Penulis belum menemukan penelitian yang membahas sebuah aliran dalam etika lingkungan yang membicarakan satu kasus permasalahan lingkungan yang penulis angkat dalam penelitian ini, yakni peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros sebagai objek materi dan objek formal Deep Ecology Arne Naess sebagai konsep yang memberikan alternatif pemecahan masalah.

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa menambah inventarisasi penganalisaan baru terhadap kasus lingkungan, khususnya ilmu pengetahuan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove serta peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di daerah pesisir pantai Baros.

b. Bagi Filsafat, penelitian ini diharapkan sedikitnya mampu menambah wawasan mengenai permasalahan lingkungan ditinjau dari pemikiran yang menyeluruh di bidang etika lingkungan atas suatu fenomena dan mampu mengkritisi terhadap fenomena yang terjadi. Pengelolaan lingkungan tidak mungkin mengabaikan nilai-nilai hidup masyarakatnya.

(9)

c. Bagi bangsa Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman serta wacana tersendiri pada masyarakat mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat dan agar masyarakat juga dapat menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan terutama memberi kesadaran akan pentingnya hutan mangrove di wilayah pantai.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menganalisis kehidupan masyarakat pantai Baros serta merumuskan pengertian serta manfaat dan fungsi dari hutan mangrove.

b. Merumuskan pemahaman prinsip-prinsip dalam Deep Ecology Arne Naess. c. Menganalisis peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di

lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan Deep Ecology Arne Naess sebagai konsep yang memberikan alternatif pemecahan masalah.

C. Tinjauan Pustaka

Lingkungan hidup bagi manusia adalah sebagai tempat tinggal, tempat berinteraksi, dan tempat bagi manusia menjalankan segala aktivitasnya. Aktivitas atau perilaku yang dilakukan manusia terhadap lingkungan alam sekarang bisa dikatakan berlebihan, sehingga menyebabkan kerusakan pada diri alam dan ketidak seimbangan pada seluruh realitas ekosistem, termasuk manusia. Salah satunya adalah kerusakan pada ekosistem di daerah pantai.

(10)

Kerusakan yang terjadi pada ekosistem daerah pantai adalah salah satu contoh permasalahan lingkungan hidup yang sering diabaikan oleh manusia. Beberapa penyebabnya adalah faktor alam itu sendiri dan faktor dari aktivitas yang berlebihan dari manusia. Kerusakan daerah pantai yang disebabkan oleh faktor alam biasanya diantisipasi oleh pemerintah agar dampaknya dapat diminimalkan, namun kerusakan daerah pantai seringkali diperparah oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang berlebihan dalam mengembangkan atau mengeksploitasi sumber daya daerah pantai menimbulkan permasalahan serius dalam etika lingkungan. Perilaku manusia sudah tak terkendali dan mengabaikan semua larangan, sanksi, atau yang paling parah mengabaikan semua dampak dari perbuatannya.

Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no 32 pasal 1 ayat 1 dan 2 tahun 2009 telah menetapkan bahwa, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pemerintah kabupaten Bantul mulai berupaya membudidayakan tanaman mangrove, yang ditempatkan di daerah pantai Baros tepatnya di desa Tirtohargo, kecamatan Kretek. Upaya pembudidayaan tersebut diharapkan dapat mengurangi

(11)

berbagai kerusakan yang terjadi di daerah pesisir pantai dan diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah pantai selatan D.I. Yogyakarta.

Mangrove adalah tanaman yang tumbuh di daerah rawa-rawa yang berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut. Tanaman ini tumbuh khususnya di tempat terjadinya pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Biasanya terdapat di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai dengan aliran air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Hutan mangrove merupakan formasi khas daerah tropika, terdapat pada pantai yang landai dengan lebar kawasan berkisar antara 25 m sampai beberapa kilometer ke darat (Keeley, 2007: 3).

Hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini pada umumnya tumbuh pada daerah interdial yang cukup mendapat genangan air laut dan air tawar secara berkala, selain itu juga terlindungi dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Mangrove sering dijumpai di daerah pantai teluk yang dangkal, estuaria , delta, dan daerah pantai yang terlindungi.

Beberapa definisi lain tentang hutan mangrove adalah:

a. Hutan mangrove: hutan yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis di sepanjang pantai atau estuaria dan dipengaruhi oleh pasang-surut.

(12)

b. Hutan mangrove: formasi hutan yang vegetasinya hidup di muara sungai, daerah pasang-surut dan tepi laut ( Harahab, 2010: 28).

Program pembudidayaan tersebut tidak akan berjalan dengan baik bila tanpa adanya suatu kerja sama, koordinasi antara masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait sangat dibutuhkan dalam menanggulangi permasalahan lingkungan di pesisir pantai. Namun masyarakat seringkali kurang berperan serta dalam koordinasi pengelolaan lingkungan pesisir pantai. Dibutuhkan strategi pengelolaan yang sangat bagus untuk memberdayakan masyarakat secara optimal.

Sosialisasi tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diadakan pada tanggal 11 Februari 2010 di Yogyakarta oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup secara jelas mengemukakan bahwa peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 70 RUU PPLH).

Penelitian ini akan memperhatikan kebijakan pemerintah kabupaten Bantul untuk mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat, terutama pemberdayaan nilai-nilai hidup masyarakat setempat agar terjalin pengelolaan lingkungan pesisir secara baik oleh semua pihak-pihak yang terkait.

D. Landasan Teori

Etika lingkungan hidup merupakan disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam

(13)

berhubungan dengan alam tersebut (Keraf, 2006: 26). Etika lingkungan hidup disini mengungkapkan bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam, manusia bagian dari alam bukan terpisah dari alam.

Etika lingkungan hidup memiliki teori-teori dalam menentukan pola perilaku manusia dengan lingkungan. Teori-teori tersebut antara lain: Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak asasi alam, dan Ekofeminisme (Keraf, 2002: 31-32). Salah satu teori lingkungan hidup yang penulis angkat adalah Ekosentrisme.

Ekosentrisme merupakan teori etika lingkungan hidup yang memusatkan perhatian etika pada seluruh makhluk ciptaan, baik yang hidup (biotis) maupun yang kebendaan (abiotis). Ekosentrisme menekankan hubungan seluruh makhluk ciptaan di dalam realitas ekosistem, karena satu sama lain saling terkait. Kewajiban dan tanggung jawab moral bukan hanya milik komunitas makhluk hidup melainkan juga milik seluruh realitas ekosistem (Keraf, 2002: 75). Etika Ekosentrisme adalah suatu usaha untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem (Borrong, 2000: 157).

Ekosentrisme pertama kali dibangun atas dasar etika tanah klasik Aldo Leopold. Leopold mempunyai keyakinan bahwa awal etika muncul adalah sebagai sarana untuk organisasi sosial dan bahwa manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap komunitas tempat manusia berada, dan kepada masing-masing sesama anggota (Tucker dan Grim, 2003:30).

(14)

Salah satu teori Ekosentrisme yang terkenal adalah Deep Ecology (ekologi dalam). Deep Ecology pertama kali dikenal sebagai istilah untuk permasalahan lingkungan oleh Arne naess, seorang filsuf asal Norwegia, pada tahun 1973 (Keraf, 2002:75). Naess memperkenalkan istilah Deep Ecology pada tulisannya yang berjudul “The Shallow and the Deep, Long-range Ecology Movement”, Naess membedakan antara Shallow Eecology (ekologi dangkal) dan Deep Ecology (ekologi dalam), seperti berikut:

“The emergence of ecologist from their former relative obscurity marks a turning point in our scientific communities. But their message is twisted and misused. A shallow, but presently rather powerful, movement, and a deep, but less influential, movement, complete for our attention. I shall make an effort to characteristic the two: The shallow ecology movement dan The deep ecology movement” (Naess, 1989: 27). (Kemunculan pemahaman ekologi dari para pendahulu kita relatif tidak dikenal secara jelas yang ditandai sebuah point penting pada komunitas ilmiah kita. Tetapi pesan dari mereka (para pendahulu) adalah membingungkan dan disalah gunakan. Dangkal, namun di masa kini lebih kuat, sebuah gerakan, dan dalam, namun kurang berpengaruh, sebuah gerakan, menyeluruh untuk perhatian kita. Aku (Naess) akan membuat sebuah upaya untuk mengkhaskannya menjadi dua: Ekologi dangkal dan Ekologi dalam)

Shallow Ecology lebih memperhatikan pada pemenuhan kepentingan/kebutuhan umat manusia dalam mengelola alam tanpa memperhatikan daya dukung alam tersebut. Deep Ecology mengubah paradigma pemikiran banyak orang tentang manusia dan alam, bahwa pusat dari seluruh alam bukanlah manusia (antroposentris ) melainkan seluruh realitas ekosistem (ekosentris). Seluruh komunitas ekosistem, termasuk komunitas manusia, mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkungan alam.

(15)

Deep Ecology dipahami oleh Naess melalui filsafat dasarnya, yakni Ecosophy. Ecosophy berasal dari kata Eco yang berarti rumah tangga dan Sophy yang berarti kearifan, sehingga pengertian Ecosophy adalah kearifan yang mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam pengertian yang luas.

Beberapa tahun kemudian tepatnya sekitar tahun 1984, Naess merumuskan dasar gerakan/aksi Deep Ecology (Deep Ecology Movement) yang dinamakannya Platform Aksi. Naess membuatkan versi mudah dalam Platform Aksi bagi semua kalangan, tak terkecuali masyarakat umum yang ingin mengerti dan membuat gerakan lingkungan yang berdasarkan Deep Ecology. Naess merumuskan Platform Aksi ini menjadi delapan butir (Naess, 1989: 29), yaitu:

1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk lain di bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak tergantung dari apakah dunia luar manusia mempunyai kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia.

2. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan mempunyai sumbangsih bagi perkembangan manusia dan bukan manusia di bumi ini.

3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital

(16)

4. Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring dengan penurunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk. Perkembangan kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan jumlah penduduk seperti itu.

5. Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk.

6. Perlu ada perubahan kebijakan, sehingga mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi. Hasilnya akan berbeda dari keadaan sekarang ini. 7. Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas

kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang semakin meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai perbedaan antara besar dan megah.

8. Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu mempunyai kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil bagian mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan.

Naess dalam perkembangannya juga merumuskan 5 prinsip dasar dari gerakan Deep Ecology (Keraf, 2002 : 91-95), antara lain:

1. Prinsip Non-Antroposentrisme.

Sebuah pandangan tentang manusia yang merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Posisi manusia tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa dari alam semesta, tetapi sama statusnya sebagai ciptaan Tuhan.

(17)

2. Prinsip Kesamaan status organisme (Biospheric egalitarianism-in principle).

Sebuah pengakuan bahwa semua organism dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga memiliki martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta. 3. Prinsip Realisasi diri (Self-realization).

Sebuah anggapan tentang manusia yang dapat merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi di dalam dirinya. Hanya melalui hal tersebut manusia dapat mempertahankan hidupnya.

4. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.

Hubungan simbiosis berarti hidup bersama secara saling menguntungkan. Setiap bentuk kehidupan yang menjadi bagian dari komunitas ekologis seluruhnya harus mempertahankan keanekaragamannya, agar dapat menunjang kelangsungan hidup dari ekosistem itu sendiri.

5. Perubahan politik menuju Ecopolitics.

Bagi Naess persoalan politik paling pokok bagi Shallow Ecological Movement adalah rekayasa sosial, dalam bentuk modifikasi perilaku manusia demi kesejahteraan dalam jangka pendek. Permasalahan tersebut tentu dapat menyebabkan kerusakan alam karena produksi dan konsumsi yang berlebihan. Upaya untuk menyelamatkan lingkungan diperlukan adanya perubahan politik yang mendasar untuk melahirkan ecopolitics.

(18)

Perubahan itu tidak hanya melibatkan individu tapi juga membutuhkan transformasi kultural dan politik yang dapat mempengaruhi serta menyentuh struktur-struktur dasar ekonomi dan ideologi.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pengambilan data yang dilakukan melalui studi pustaka. Penelitian ini menggunakan model penelitian tentang masalah aktual. Model penelitian ini membahas permasalahan aktual, yaitu peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir dengan menggunakan kerangka pemikiran aliran dalam etika lingkungan yaitu Deep Ecology untuk menganalisis permasalahan.

1. Bahan dan Materi Penelitian

Bahan-bahan dalam penelitian ini didapat dari sumber kepustakaan. a. Primer :

1. Kusmana, Cecep, 2003, Jenis-Jenis Pohon Mangrove, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor

2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bapedal, Jakarta

3. Dahuri, 1993, Ekosistem Hutan Mangrove. Balai Pustaka Institut Pertanian Bogor, Bogor

(19)

4. Keeley Martin, 2007, Hutan Mangrove Yang Menakjubkan. Mangrove Action Project Indonesia dan Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

5. Harahab, Nuddin, 2010, Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Aplikasinya Dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu,

b. Sekunder :

1) Naess, Arne, 1989, Ecology, Community and Lifestyle, Diterjemahkan oleh David Rothenberg, Cambridge University Press, New York

2) Borrong, Robert P, 2000, Etika Bumi Baru, Gunung Mulia, Jakarta 3) Keraf, Sonny, 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta

4) Soemarwoto, Otto, 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta

5) Tucker, Mary. E dan Grim, John. A, 2003, Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta

6) Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat Tentang Kosmos dan Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta

7) Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta. 8) Resosoedarmo, R. Soedjiran, Kartawinata, Kuswata dan Soegiarto,

Apriliani, 1985, Pengantar Ekologi. Remaja Karya CV, Bandung. 9) Bertens. K, 1993, Etika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

10) Skolimowski, Henryk, 2004, Filsafat Lingkungan. Bentang Budaya, Jogjakarta.

(20)

Data mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir di beberapa daerah di Indonesia diperoleh dari jurnal, majalah, media cetak dan elektronik, serta essai.

2. Jalan Penelitian

Jalan penelitian ini melewati empat tahap :

a. Pengumpulan data; mengumpulkan sumber pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian yang dikaji.

b. Klasifikasi; data yang telah diperoleh dikelompokkan sebagai data primer dan sekunder.

c. Pengolahan data; menganalisis hasil dari data yang sudah diklasifikasi sehingga diperoleh pemahaman dalam menentukan arah penelitian. d. Memaparkan hasil analisis berupa uraian tertulis.

3. Analisis Hasil

Penelitian ini menggunakan hermeneutika filosofis dengan menggunakan unsur-unsur metodis merujuk pada buku Metode Penelitian Filsafat (Bakker dan Zubair, 1993 : 107-113), antara lain:

a. Deskripsi; Uraian dan Gambaran menyeluruh mengenai data yang terkait dengan objek formal dan objek material.

b. Interpretasi; Usaha mengungkapkan konsepsi filosofis dari data tentang objek formal dan objek material.

c. Idealisasi; penggunaan objek formal yaitu Deep Ecology sebagai sikap yang cocok digunakan untuk menganalisis permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.

(21)

d. Induksi; Usaha untuk mengumpulkan data dan mengidentifikasi mengenai permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.

e. Holistika; Usaha memahami konsep Deep Ecology yang tersirat dalam permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.

F. Hasil Yang Telah Dicapai Penelitian ini akan mencapai beberapa hasil sebagai berikut:

1. Memperoleh pengetahuan tentang habitat mangrove, serta pengelolaan hutan mangrove yang baik di kawasan pantai Baros oleh masyarakat untuk upaya menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

2. Memperoleh pemahaman mengenai sejauh mana pentingnya koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.

3. Memberikan pengetahuan dan alternatif pemecahan masalah dalam menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir pantai Baros dengan mengikut sertakan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan dasar analis dari teori DeepEecology Arne Naess.

(22)

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, antara lain:

Bab I : Berisi pendahuluan tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan.

Bab II : Berisi tentang pengertian, manfaat, serta permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan hutan mangrove di pesisir pantai Baros dengan studi kasus peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros Kabupaten Bantul.

Bab III: Berisi tentang teori etika lingkungan hidup, dan konsep Deep Ecology yakni platform aksi beserta prinsip-prinsipnya yang digunakan untuk menganalisis permasalahan.

Bab IV : Berisi tentang analisis permasalahan pada studi kasus jika ditinjau dari teori Deep Ecology Arne Naess.

Bab V : Berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari keseluruhan permasalahan beserta saran.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan di atas, penulis akan membahas permasalahan tersebut dengan judul “HUBUNGAN ANTARA FAKTOR RISIKO INFEKSI SALURAN KEMIH TERHADAP ANGKA

Dalam bab ini Penulis menguraikan dua hal yaitu yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di angkat

Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada kegiatan ekstrakulikuler K-POP yang menjadi variabel (X), dan hasil belajar kognitif sebagai variabel dependen (Y), dari ketiga

Berdasarkan uraian tersebut di atas, karya ilmiah ini bukan hanya membahas permasalahan mengenai pertanggungjawaban pengangkut saja namun disertai hak ekspeditur dari

Bab ini merupakan bagian terpenting dalam laporan akhir karena penulis akan membahas permasalahan yang terjadi, yaitu perlakuan akuntansi aset tetap pada PT Agra Prana

Sejauh penelusuran penyusun ke perpustakaan, telah banyak skripsi yang membahas tentang istri yang mencari nafkah dalam keluarga, ditambah lagi permasalahan yang

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yang menjadi persoalan utama dan akan di bahas lebih lanjut dalam penelitian ini ialah bagaimana analisis

Peneliti mendapatkan ide penelitian mengenai kekambuhan skizofrenia ditinjau dari jenis pola asuh, karena peneliti menemukan pertanyaan terkait dengan permasalahan yang harus