• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Regulasi Persaingan Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reformasi Regulasi Persaingan Usaha"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TAHUN 2007

Reformasi Regulasi

Persaingan Usaha

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA

(2)
(3)

PENDAHULUAN

1 . 1 L A T A R B E L A K A N G

Reformasi Regulasi dalam prakteknya merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab dengan tindakan nyata yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, komitmen Pemerintah dituntut dalam peranannya sebagai Regulator. Sejalan dengan hal tersebut, KPPU terus mendorong Pemerintah untuk secara aktif mengembangkan reformasi regulasi terutama dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang langsung dapat mempengaruhi iklim usaha.

Selain itu, reformasi regulasi juga diharapkan dapat menjadi suatu titik cerah dalam menciptakan kepastian dalam melakukan usaha yang sehat, dimana hal ini akan berdampak langsung terhadap pengembangan di bidang ekonomi agar dapat memberikan manfaat setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia, yang dilandasi oleh nilai-nilai positif persaingan usaha yang sehat.

Istilah persaingan usaha yang sehat kini terasa semakin berkembang di tanah air. Tidak hanya bagi kalangan ahli hukum dan akademisi melainkan juga di kalangan masyarakat, perlahan tetapi pasti mulai memahami dan menyadari tujuan dan manfaat dari kelahiran UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Seperti yang telah diamanatkan undang-undang bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempunyai tugas untuk mengawasi dunia usaha di Indonesia guna menciptakan suatu iklim usaha yang sehat, dimana KPPU

(4)

mempunyai tugas dan tanggung jawab yang spesifik sebagai ujung tombak perencanaan dan pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha.

Sepanjang tahun 2007, KPPU telah melaksanakan sejumlah program kerjanya dengan para anggota KPPU yang baru. Anggota KPPU yang bertugas untuk periode 2006–2011 terdiri dari empat anggota KPPU periode sebelumnya dan sembilan anggota yang dipilih melalui proses seleksi. Ketiga belas anggota KPPU tersebut telah ditugaskan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59/P Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006 yang dituangkan dalam bentuk laporan tahunan.

Laporan tahun 2007 difokuskan pada Reformasi Regulasi atau Regulatory Reform yang merupakan tema besar dalam pelaksanaan kegiatan KPPU. Reformasi

regulasi dapat didefinisikan sebagai perubahan–perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka perbaikan kinerja ekonomi, efektifitas biaya, serta administrasi pemerintahan.

Bentuk reformasi dapat berupa revisi dan penataan ulang kerangka regulasi serta perbaikan proses yang mempertimbangkan 3 (tiga) kunci penggerak utama dalam reformasi regulasi, yaitu kebijakan pemerintah sebagai regulator, kebijakan persaingan, dan kebijakan keterbukaan pasar.

Esensi reformasi regulasi adalah:

• Peningkatan kualitas regulasi melalui peningkatan kinerja, efektifitas biaya, kualitas regulasi, serta berbagai ketentuan formal lainnya.

• Reformasi berarti revisi, penghapusan, atau pembentukan tatanan regulasi berikut institusinya.

• Reformasi juga termasuk perbaikan kualitas penyusunan dan pembuatan kebijakan atau regulasi serta manajemen reformasi regulasi.

• Deregulasi merupakan bagian dari reformasi regulasi, yang berarti penghapusan sebagian dari perangkat regulasi untuk suatu sektor untuk meningkatkan kinerja perekonomian.

(5)

Instrumen penting dalam reformasi regulasi terdiri atas:

• Deregulasi dan Privatisasi oleh Pemerintah (tingkat pusat dan daerah) untuk memaksimalkan efisiensi, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari berbagai regulasi.

• Kebijakan Persaingan yang mencakup regulasi atau kebijakan perdagangan, industri, perpajakan, dan lain sebagainya dengan melibatkan pemerintah (departemen teknis terkait), regulator, serta otoritas pemerintah daerah.

• Hukum Persaingan Usaha yaitu UU No. 5/1999, dengan KPPU sebagai lembaga pengemban amanat undang-undang tersebut. Hukum persaingan usaha yang efektif diperlukan untuk menjamin terciptanya iklim persaingan usaha sehat.

Dalam bidang kebijakan persaingan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam reformasi regulasi, diantaranya:

• Kebijakan persaingan dapat mendorong efisiensi dan mengeleminimasi aspek-aspek yang menyebabkan hambatan persaingan.

• Tujuan dari kebijakan persaingan usaha yang terkait dan tidak terkait diharapkan dapat melindungi proses persaingan usaha yang terjadi dan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.

• Kebijakan persaingan usaha dapat dijadikan sebuah mandat dalam melakukan advokasi untuk menginternalisasikan nilai-nilai persaingan dan meningkatkan efisiensi ekonomi, juga dapat meningkatkan kesadaran akan manfaat dari persaingan.

• Kebijakan persaingan dapat menciptakan iklim usaha yang sehat antara perusahaan yang dimiliki swasta maupun pemerintah.

Berbagai indikator dan survei mengenai tingkat kondusifitas usaha serta hambatan birokrasi dalam hal perizinan semakin memperkuat dugaan bahwa dampak positif yang diharapkan muncul dari reformasi regulasi belum terasa di masyarakat. Bahkan pasca otonomi daerah, pengaturan regulasi serta retribusi di daerah dirasakan semakin memberatkan pelaku usaha dan masyarakat. Pada tingkat internasional, indikator global competitiveness index dan business competitiveness index Indonesia tahun 2006 juga mengindikasikan bahwa iklim untuk berusaha di Indonesia masih kurang kondusif. Posisi Indonesia ditinjau dari dua indikator dunia

(6)

usaha tersebut masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan sesama negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Sejalan dengan hal tersebut, masih ditemukan banyaknya sumber kebijakan Pemerintah yang belum sejalan dengan Undang-undang persaingan usaha tersebut antara lain karena kebijakan Pemerintah yang tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan yang jelas atau kebijakan yang belum selaras dengan semangat UU No. 5/1999.

Dari pengamatan KPPU selama ini, kebijakan yang tidak selaras dengan UU No. 5/1999 dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kebijakan yang memberikan ruang lebih besar kepada pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau pelaku usaha tertentu. Kebijakan Pemerintah tersebut cenderung menciptakan

entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya. Akibatnya muncul perilaku

penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha tersebut.

Kelompok kedua adalah kebijakan pemerintah yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang secara eksplisit bertentangan dengan UU No. 5/1999. Akibat dari munculnya perjanjian seperti itu, maka muncul perilaku anti persaingan dari pelaku usaha seperti menciptakan entry barrier dan pembatasan-pembatasan kepada mitra yang melakukan perjanjian.

Kelompok ketiga adalah kebijakan yang merupakan bentuk intervensi Pemerintah terhadap mekanisme pasar yang berjalan. Hal ini antara lain muncul dalam bentuk tata niaga atau regulasi yang membatasi jumlah pemain yang terlibat. Dilihat dari aspek persaingan, hal ini merupakan kemunduran, karena mencegah bekerjanya mekanisme pasar di sektor tersebut yang dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat.

Pasar yang dibebaskan bersaing secara sehat dipercaya dapat memberikan banyak keuntungan dan peran Pemerintah diperlukan untuk mewujudkannya. Pada kasus tertentu, persaingan dapat berhasil dengan baik apabila Pemerintah tidak mengintervensi, apalagi bila intervensi yang terjadi cenderung menguntungkan segelintir pelaku usaha yang meraup keuntungan besar. Ironisnya, terkadang permasalahan dalam industri tersebut bersumber dari hal-hal di luar persoalan ekonomi, seperti penyelundupan. Sayangnya solusi yang diambil malah merusak

(7)

tatanan yang sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan mekanisme persaingan, contohnya adalah penanganan kebijakan industri gula.

Kedepan, diharapkan melalui mekanisme reformasi regulasi yang sedang digulirkan saat ini akan menciptakan iklim perekonomian nasional yang lebih efisen dengan tujuan akhir adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

1 . 2 P E N E G A K A N H U K U M D A N K E B I J A K A N P E R S A I N G A N D A L A M K E R A N G K A R E F O R M A S I R E G U L A S I

Pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah menghasilkan banyak kemajuan di berbagai bidang yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama, namun menyisakan tantangan dan persoalan dalam sistem perekonomian nasional yang tidak lagi sesuai dengan kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha di dalam negeri, terlebih bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensi pada akhir era tahun 1990 yang telah memporakporandakan tatanan kehidupan yang telah dibangun dalam jangka waktu yang tidak sebentar.

Keinginan rakyat untuk keluar dari krisis ekonomi didukung dengan adanya reformasi dalam hukum, dimana salah satu upayanya adalah menata kembali regulasi dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.

Cita-cita besar untuk dapat mewujudkan terciptanya persaingan usaha yang sehat diharapkan akan memberikan daya tarik kepada para investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi, dengan adanya investasi yang masuk ke Indonesia tentunya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru yang tentunya menjadi angin segar untuk mengurangi jumlah pengangguran yang angkanya cenderung meningkat. Dengan banyaknya pelaku usaha yang berinvestasi tentunya juga akan meningkatkan baik jumlah maupun pilihan terhadap barang dan atau jasa yang

(8)

tersedia di pasar dan masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan terhadap barang dan atau jasa dengan kualitas dan harga yang bersaing.

Untuk menuju kepada terciptanya iklim usaha yang sehat, tentunya bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam hitungan hari, oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat, termasuk pelaku usaha dan pemerintah. Adanya jaminan kepastian hukum merupakan salah satu penunjang dalam mencegah praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha yang akan meningkatan efisiensi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

KPPU sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 5/1999 telah melakukan upaya penegakan hukum persaingan usaha sifatnya lebih menekankan kepada suatu permasalahan secara spesifik dalam industri atau pada pasar tertentu, misalnya mengenai masalah kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi, ritel, dan percetakan sekuriti, dengan mengurangi adanya hambatan-hambatan masuk dari pelaku usaha yang berada dalam posisi dominan bahkan menjadi monopolis di pasar bersangkutan.

Saat ini merupakan waktunya untuk mengubah paradigma berpikir pemerintah dalam kerangka reformasi regulasi yang sebelumnya selalu menjadi penentu pasar menjadi pengatur saja dan persaingan diserahkan pada mekanisme pasar. Begitu juga dengan pola berbisnis pelaku usaha, perlu diberikan pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang selama ini mereka jalani dan yakini sebagai praktek bisnis yang lazim atau biasa menjadi suatu praktek bisnis yang dilarang semenjak disahkannya UU No. 5 /1999.

Pemerintah selaku regulator, diharapkan dapat menelurkan sejumlah kebijakan yang sejalan dengan semangat persaingan yang sehat, hal ini diharapkan dapat menggerakan sektor ekonomi agar bisa berkembang dengan pesat. Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar. Dalam implementasinya hal tersebut diwujudkan dalam dua hal, pertama melalui penegakan hukum persaingan, kedua melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi.

(9)

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus jauh dari upaya mendistorsi pasar secara negatif, yang dapat mengakibatkan berbagai praktek bisnis yang tidak sehat dan akhirnya melahirkan iklim persaingan usaha yang tidak kondusif. Kedua hal tersebut harus bersinergi satu sama lain untuk menghasilkan sebuah iklim persaingan usaha yang sehat dalam ekonomi Indonesia. Motor bagi implementasi keduanya, dalam prakteknya dilakukan oleh lembaga persaingan, yang di Indonesia dipegang oleh KPPU sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/1999.

Terkait dengan upaya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam kebijakan pemerintah, KPPU selama ini memainkan perannya dengan senantiasa melakukan regulatory assessment dalam perspektif persaingan usaha, terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun lembaga regulator. Hasil dari aktivitas tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah atau lembaga regulator melalui proses advokasi dan harmonisasi kebijakan. Dalam hal inilah maka sebagian besar program KPPU senantiasa disinergikan dengan program-program pemerintah di sektor ekonomi.

Dalam beberapa tahun terakhir, kerangka sinergi program KPPU dengan agenda pemerintah, regulatory assessment difokuskan terhadap kebijakan dalam sektor yang memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya dalam sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan pelayanan publik seperti telekomunikasi, pelabuhan, air minum, minyak goreng, buku pelajaran, pos, energi, kesehatan, dan transportasi. KPPU juga senantiasa melakukan assessment terhadap berbagai kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang seringkali memberikan efek distorsi yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat, mengingat sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi sektor di mana sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya.

Penetapan sektor-sektor prioritas ini dilakukan untuk dapat mengoptimalkan peran KPPU dalam upaya mendorong lahirnya sektor ekonomi yang efisien yang dalam gilirannya akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan efektivitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan

(10)

terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

(11)

REFORMASI REGULASI DAN

KEBIJAKAN PERSAINGAN

Rencana kerja pemerintah yang disusun dalam paket kebijakan ekonomi bertujuan untuk menentukan arah implementasi yang jelas terhadap kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Penjelasan tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Seminar “APEC–OECD Integrated Checklist on

Regulatory Reform” yang diselenggarakan atas kerjasama KPPU dengan Sekretariat

APEC pada tanggal 13 Juni 2007 di Jakarta.

Reformasi regulasi didefinisikan sebagai perubahan–perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka perbaikan kinerja ekonomi, efektifitas biaya serta administrasi pemerintahan. Bentuk reformasi dapat berupa revisi dan penataan ulang kerangka regulasi serta perbaikan proses penyusunan kebijakan yang mempertimbangkan 3 (tiga) kunci penggerak utama dalam reformasi regulasi yaitu kebijakan regulasi, kebijakan persaingan, dan kebijakan keterbukaan pasar dan dilakukan secara terintegrasi.

Sejalan dengan konsep tersebut, maka dalam paket kebijakan ekonomi terbaru, yaitu Kebijakan Percepatan Perkembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UKM, pemerintah telah merancang kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian dalam bisnis dan meningkatkan insentif bagi investasi. Tujuan

(12)

utamanya adalah dapat meminimalkan hambatan regulasi bagi bisnis yang pada saat bersamaan juga mencapai tujuan pelayanan publik.

Berdasarkan pengalaman yang ada, pendekatan ad hoc tidak dapat berjalan secara berkesinambungan berdasarkan dua alasan, yaitu birokrasi dan regulasi yang buruk. Strategi reformasi yang komprehensif dibutuhkan untuk hasil yang efektif dan berkelanjutan karena tantangan yang sesungguhnya akan dihadapi pada saat kebijakan tersebut mulai diimplementasikan. Sejauh ini, hambatan implementasi yang dihadapi adalah kepentingan golongan dan tekanan dari berbagai pihak.

Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Dukungan dari lembaga yang berwenang dalam implementasi kebijakan merupakan faktor penentu kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu, tugas dan wewenang KPPU sangat berperan dalam meletakkan landasan pembangunan ekonomi yang konstruktif. Interaksi aktif di bidang ekonomi dan kerjasama antara KPPU dan pemerintah untuk masa mendatang sangat diperlukan bagi keberhasilan bersama.

2 . 1 . K E B I J A K A N P E R S A I N G A N

Berdasarkan program yang dikembangkan tahun-tahun sebelumnya, program kebijakan persaingan di tahun 2007 tidak jauh berbeda. Dalam tahun 2007 program kebijakan persaingan usaha antara lain meliputi kegiatan harmonisasi kebijakan yang ditujukan untuk menjalin kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah untuk memudahkan proses internalisasi nilai-nilai persaingan usaha dalam kebijakan pemerintah. Melalui kegiatan ini, diharapkan UU No. 5/1999 dapat menjadi konsideran pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan di sektor ekonomi. Kegiatan harmonisasi terdiri dari 3 (tiga) sub kegiatan yaitu membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan, evaluasi kebijakan pemerintah, dan pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah.

Sub kegiatan membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan ditujukan untuk membangun mekanisme baku koordinasi antara KPPU dengan instansi Pemerintah dan lembaga regulator terkait dengan kebijakan persaingan. Sementara evaluasi kebijakan pemerintah ditujukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam perspektif persaingan usaha. Sub kegiatan yang merupakan tugas utama KPPU

(13)

yakni pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah. Sub kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari beberapa hasil aktivitas KPPU seperti monitoring pelaku usaha, penanganan perkara, kajian sektor industri dan perdagangan, serta evaluasi kebijakan pemerintah.

Dalam program kebijakan persaingan juga terdapat kegiatan kajian sektor industri dan perdagangan. Kegiatan ini ditujukan untuk menganalisis kondisi sebuah sektor industri dan perdagangan dilihat dari perspektif persaingan usaha. Selain itu, untuk memperluas pemahaman terhadap prinsip-prinsip persaingan usaha, khusus untuk tahun 2007 KPPU melakukan eksplorasi terhadap prinsip-prinsip dasar pengecualian yang terdapat dalam UU No. 5/1999.

Fokus ketiga dalam program kebijakan persaingan adalah kegiatan pengembangan pranata hukum persaingan usaha yang ditujukan untuk mendukung implementasi tugas KPPU baik dalam penegakan hukum maupun pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Kegiatan pengembangan pranata hukum yang dilaksanakan sampai dengan pertengahan tahun anggaran 2007 antara lain meliputi penyusunan pedoman pelaksanaan UU No. 5/1999 dan pembahasan amandemen UU tersebut.

Penyusunan pedoman pelaksanaan UU No. 5/1999 adalah salah satu tugas KPPU sebagaimana diamanatkan UU No. 5/1999 dalam Pasal 35 huruf f. Pedoman pelaksanaan bertujuan memberikan pengertian yang jelas sehingga dapat dijadikan dasar pemahaman atas suatu substansi ketentuan pengaturan dalam UU No. 5/1999. Melalui pedoman tersebut diharapkan terdapat persamaan persepsi dari seluruh stakeholders UU No. 5/1999 terhadap substansi yang diatur dalam UU tersebut.

Kegiatan pembahasan amandemen UU No. 5/1999 dimaksudkan untuk menggali masukan-masukan dari berbagai pihak atas usulan amandemen yang telah disiapkan pada tahun sebelumnya. Dalam tahun 2007 ini pembahasan diharapkan paling tidak telah menyelesaikan koreksi-koreksi yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang paling mengganggu dalam implementasi UU No. 5/1999.

(14)

2 . 2 . H A R M O N I S A S I K E B I J A K A N

Harmonisasi kebijakan persaingan merupakan salah satu program utama KPPU untuk mendorong terjadinya reformasi regulasi menuju terciptanya kebijakan persaingan yang efektif di Indonesia. Melalui kegiatan ini diharapkan internalisasi nilai-nilai persaingan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah maupun lembaga regulator dapat dilakukan dengan lebih mudah. Fakta memperlihatkan bahwa sebagai akibat dari proses harmonisasi tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2007 beberapa instansi pemerintah secara intensif melakukan koordinasi dengan KPPU terkait dengan isu persaingan dalam beberapa sektor yang diaturnya.

Harmonisasi kebijakan memiliki 3 (tiga) sub kegiatan yakni membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan, evaluasi kebijakan pemerintah, serta pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah.

I. Membangun Sistem Koordinasi Kebijakan Persaingan

Berbagai bentuk partisipatif dan koordinatif KPPU dengan beberapa instansi pemerintah dan lembaga regulator, memperlihatkan bahwa proses harmonisasi kebijakan persaingan berlangsung dengan baik. Sampai dengan bulan Desember tahun 2007 beberapa aktivitas koordinasi kebijakan persaingan yang dilakukan oleh KPPU antara lain:

1. KPPU sebagai otoritas pengawas persaingan dilibatkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan RPP Penataan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern yang dikoordinir oleh Departemen Perdagangan. Penyusunan RPP ini sebagai bentuk respon pemerintah terhadap perkembangan dalam industri ritel yang melahirkan persaingan ”tidak sebanding” antara ritel kecil atau tradisional dengan ritel modern. Dalam hal ini KPPU memberikan masukan terhadap substansi penyusunan RPP tersebut berdasarkan hasil kajian KPPU terkait industri ritel serta dua penanganan perkara dalam industri ritel yakni kasus Indomaret yang terkait dengan permasalahan ritel modern dan ritel tradisional dan kasus Carrefour yang terkait dengan permasalahan hubungan ritel modern dengan pemasok.

(15)

2. Secara berkesinambungan KPPU juga terlibat sebagai bagian utama dari tim negosiasi perjanjian ekonomi (economic agreement) antara Indonesia dengan negara lain, khususnya terkait dengan substansi persaingan. Peranan KPPU dalam tim tersebut bertambah besar dengan munculnya kepercayaan untuk menjadi leader (pemimpin) negosiasi terkait dengan isu kebijakan persaingan. Beberapa progran yang melibatkan KPPU dalam proses perjanjian tersebut di tahun 2007 antara lain keterlibatan Indonesia dalam sub-fora CTI APEC, kemudian negosiasi ASEAN-Australia-New Zealand, serta keterlibatan dalam Trade Policy Review Meeting di WTO. 3. Terkait dengan kebijakan pengadaan barang dan jasa, KPPU melakukan

koordinasi dengan beberapa instansi pemerintah dalam hal kebijakan pengadaan barang dan jasa milik pemerintah. Terdapat beberapa bentuk harmonisasi yang dilakukan. Secara khusus beberapa instansi mencoba berdiskusi dengan KPPU tentang persekongkolan tender yang bertentangan dengan UU No. 5/1999. Hal ini misalnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI. Di sisi lain, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang saat ini sedang berupaya melakukan perbaikan terhadap regulasi pengadaan barang dan jasa juga melibatkan KPPU untuk mendapatkan masukan terhadap kebijakan tersebut dalam perspektif persaingan usaha. 4. Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi kebijakan pemerintah dalam industri

jasa konstruksi, proses harmonisasi antara KPPU dengan Departemen Pekerjaan Umum (DPU) terus dilaksanakan. DPU cukup responsif terhadap beberapa temuan KPPU, dan menjadi masukan penting bagi mereka dalam menyiapkan rancangan perubahan terhadap PP No. 20 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Melihat nilai strategis dari prinsip-prinsip persaingan usaha, DPU juga berencana memasukkan KPPU sebagai salah satu instansi yang akan dilibatkan dalam proses pembekalan calon anggota Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) baik nasional maupun di daerah.

5. KPPU bersama dengan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) telah melakukan koordinasi terkait dengan persoalan penetapan fee penjaminan emisi sekuritas. Hal ini seiring dengan mencuatnya persoalan perang fee

(16)

yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa sekuritas di pasar modal. Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) mendesak Bapepam untuk menetapkan batas bawah tarif sebagai cara untuk meredam perang tarif yang dianggap sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat. Berkaitan dengan hal tersebut, KPPU memberikan pandangan kepada Bapepam bahwa batas bawah memiliki kecenderungan bertentangan dengan prinsip persaingan karena akan mereduksi kapabilitas pelaku usaha melakukan value creation berbasis efisiensi yang akan bermuara pada rendahnya fee penjaminan emisi. KPPU menyarankan agar Bapepam menggunakan instrumen lain untuk mendorong sehatnya industri efek dengan mengedepankan profesionalitas dan kesehatan perusahaan.

6. Sehubungan dengan munculnya berbagai wacana yang mengaitkan harga tiket dengan keselamatan penerbangan, Departemen Perhubungan bersama KPPU terlibat dalam dialog mengenai pengaturan tarif batas bawah. Dalam hal ini KPPU tetap menegaskan bahwa permasalahan keselamatan penerbangan angkutan udara Indonesia lebih terkait dengan proses penegakan peraturan teknis keselamatan daripada permasalahan tarif. Solusi terbaik adalah menegakkan peraturan keselamatan penerbangan dengan konsekuensi. Saat ini pemerintah secara intensif telah melakukan perbaikan yang signifikan dalam penegakan peraturan penerbangan, terutama keselamatan.

7. KPPU masih terus melakukan kerjasama yang erat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi VI, melalui mekanisme rapat dengar pendapat. Melalui kegiatan ini, KPPU mendapatkan masukan dari DPR berkaitan dengan perilaku persaingan usaha tidak sehat dan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UU No. 5/1999 yang berada dalam sektor yang merupakan ruang lingkup kerja Komisi VI. Forum yang sama juga menjadi tempat bagi KPPU untuk menyampaikan berbagai penanganan kasus persaingan serta analisa kebijakan yang telah dilakukan oleh KPPU.

(17)

II. Evaluasi Kebijakan Pemerintah dalam Perspektif Persaingan Usaha

Kegiatan ini merupakan upaya KPPU untuk menganalisis substansi kebijakan dalam perspektif persaingan usaha. Hal ini terkait dengan munculnya kekhawatiran bahwa terdapat beberapa kebijakan yang menjadi sarana bagi lahirnya perilaku pelaku usaha yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam UU No. 5/1999.

Kegiatan evaluasi kebijakan pemerintah di tahun 2007 berjumlah 14 (empat belas) kegiatan, dengan penjelasan garis besar masing-masing kegiatan sebagai berikut:

1. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Perbukuan

Evaluasi ini merupakan inisiatif KPPU setelah KPPU menerima Menteri Pendidikan Nasional dalam diskusi tentang industri perbukuan yang telah diubah model pengelolaannya dari monopoli menuju kompetisi. Berbagai kalangan menilai bahwa harga buku masih dirasakan sangat mahal oleh masyarakat. Berbagai usulan perbaikan bermunculan, salah satunya adalah dengan mengembalikan pengelolaan perbukuan ke dalam bentuk tata niaga. Hal ini dipandang sebuah kemunduran oleh Menteri Pendidikan Nasional. Mencermati hal tersebut kemudian KPPU melakukan evaluasi terhadap kebijakan perbukuan nasional. Dari sisi pengaturan KPPU melihat bahwa regulasi sudah selaras dengan persaingan usaha, tetapi implementasinya yang masih jauh dari harapan. Secara umum berikut adalah beberapa temuan KPPU:

a. Terdistorsinya sistem ideal yang diinginkan pemerintah. Jejaring distribusi yang seharusnya penerbit–distributor–toko buku–konsumen terdistorsi menjadi penerbit–kepala sekolah–guru–siswa (konsumen), penerbit–kepala dinas–kepala sekolah–guru–siswa (konsumen), dan penerbit–guru–siswa (konsumen).

Distorsi tersebut menyebabkan persaingan usaha yang sehat dalam sistem ideal yang diinginkan pemerintah terhambat. Persaingan yang seharusnya berujung pada efisiensi industri buku dengan muara akhir buku yang berkualitas dan murah, tidak terjadi. Efisiensi dalam industri

(18)

buku hanya berujung pada upaya kolusif dengan memberikan komisi sebesar-besarnya bagi pejabat dan atau pelaksana pendidikan nasional (kepala sekolah, guru, kepala dinas, dan beberapa pejabat pendidikan lainnya).

b. Lemahnya kebijakan yang antara lain muncul dalam bentuk definisi pasar yang tidak tegas menyatakan toko buku, sehingga pengertian pasar menjadi multi interpretatif sesuai kepentingan masing-masing pihak terkait. Penerbit menyatakan bahwa pasar adalah konsumen akhir, sehingga tidak menjadi masalah ketika penerbit mendistribusikan ke sekolah.

Kelemahan kebijakan lainnya terletak pada tidak adanya peraturan pelaksana (baik petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis). Akibat kondisi ini, maka pengaturan sistem ideal yang diinginkan pemerintah berhenti pada tataran kebijakan saja, dengan implementasi yang hampir tidak ada.

c. Lemahnya implementasi yang disebabkan oleh beberapa permasalahan antara lain tidak tersedianya sarana dan prasarana untuk mengimplementasikan sistem ideal dalam hal ini minimnya toko buku. Kelemahan lainnya terletak pada pengawasan implementasi kebijakan yang berada pada tataran minimal. Tidak jelas siapa yang harus menjadi pengawas sekaligus memberikan sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, pelanggaran terjadi dengan masal. Beberapa pihak bahkan ”memahami” pelanggaran tersebut dengan mendalilkan rendahnya kesejahteraan guru. Akibat kondisi tersebut, sistem sanksi pun menjadi tidak jelas sehingga tidak mengherankan apabila pelanggaran terjadi dengan masif.

d. Kebijakan harga buku saat ini dengan yang menyerahkannya kepada mekanisme pasar di mana para penerbitlah yang menetapkan harga buku dianggap tidak tepat, sekalipun dengan kewajiban penerbit untuk mencetak harga buku pada sampul sebagai Harga Eceran Tertinggi

(19)

(HET). Hal ini disebabkan buku merupakan komoditas publik dengan pasokan yang relatif terbatas dengan struktur industri yang cenderung mengarah ke oligopoli. Akibatnya potensi pengaturan harga yang

excessive oleh pelaku usaha sangat besar.

Dalam perspektif persaingan, umumnya kebijakan yang tepat untuk kondisi tersebut adalah dengan intervensi pemerintah melalui penetapan HET, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya eksploitasi konsumen (siswa). Dalam konsep HET, persaingan tetap terjadi karena ruang bagi pelaku usaha yang efisien tetap terjaga.

e. Terdapat potensi persaingan usaha tidak sehat sebagai akibat dari distorsi sistem, serta tidak adanya pengawasan dan sanksi yang memadai. Potensi muncul dalam bentuk kartel penerbit yang justru banyak difasilitasi pejabat pemerintah.

2. Evaluasi terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Pos

Evaluasi kebijakan ini merupakan inisiatif KPPU terkait dengan upaya pihak eksekutif dan legislatif untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 6/1984 tentang Pos. Secara umum, substansi pengaturan yang ada baik dalam UU No. 6/1984 maupun dalam RUU Pos banyak berhubungan dengan persaingan usaha. Hal tersebut antara lain menyangkut terjadinya perubahan model pengelolaan dari monopoli menuju kompetisi. Melalui evaluasi kebijakan ini diharapkan KPPU dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan reformasi regulasi pos diantaranya melalui amandemen terhadap UU No. 6/1984.

3. Evaluasi Kebijakan Industri Kelapa Sawit

Evaluasi kebijakan ini dilakukan sebagai respon KPPU terhadap kondisi aktual dalam industri Crude Palm Oil (CPO), di mana beberapa petani kelapa sawit mengeluhkan adanya pembatasan pabrik tanpa kebun yang menyebabkan mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual kelapa sawitnya. Sementara di sisi lain, perkebunan besar yang juga memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit mengeluhkan maraknya pabrik kelapa sawit tanpa

(20)

kebun yang justru kontraproduktif karena dianggap menggerogoti kinerja mereka.

4. Evaluasi Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Milik Pemerintah

Mengingat kegiatan pengadaan barang/jasa melibatkan anggaran yang sedemikian besar dalam APBN/APBD, maka pelaksanaan pengadaan barang/jasa perlu dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Untuk menjamin hal tersebut, maka pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa menjadi sangat penting. KPPU selama ini telah menindak berbagai praktek kolusi dalam tender yang dapat berdampak negatif terhadap hasil dari kegiatan pengadaan. Upaya meningkatkan efektifitas pengadaan barang atau jasa tersebut tidak hanya dilakukan oleh KPPU melalui penangan perkara, namun juga melalui upaya pembenahan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dan kebijakan persaingan usaha perlu disinergikan dan dioptimalkan dalam rangka menciptakan pengadaan barang atau jasa yang efektif dan efisien.

5. Evaluasi Kebijakan Pemerintah Dalam Industri Jasa Konstuksi

Evaluasi kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari hasil evaluasi kebijakan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa persaingan usaha tidak sehat dalam industri jasa konstruksi, banyak dilatarbelakangi oleh penyalahgunaan terhadap kebijakan jasa konstruksi khususnya peran LPJK sebagai regulator dalam industri jasa konstruksi.

Evaluasi juga dilakukan mengingat saat ini pemerintah tengah berupaya untuk melakukan perubahan PP No. 20 Tahun 2000 tentang usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi di mana di dalamnya terdapat upaya untuk mengakomodasi beberapa temuan KPPU bahwa kebijakan jasa konstruksi banyak memfasilitasi terjadinya pelanggaran melalui pengaturan-pengaturan oleh pelaku usaha.

6. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Bahan Bakar Minyak

Evaluasi kebijakan pemerintah di industri BBM pada tahun 2007 membahas mengenai implementasi dari UU No. 22 Tahun 2001 khususnya yang berkaitan dengan isu pembukaan pasar BBM. Ada dua hal yang dikaji dalam

(21)

evaluasi ini, yaitu mengenai pembukaan pasar BBM bersubsidi yang ditenderkan pada tahun 2007 serta pembukaan pasar avtur.

Pemerintah saat ini telah mempersiapkan tahapan pembukaan pasar hilir migas, namun belum terlaksana seutuhnya. Perencanaan pentahapan pembukaan pasar menjelaskan bahwa secara perlahan BBM subsidi akan dikurangi. Mengenai rencana ini, ada hambatan yang dialami karena pasar BBM subsidi mencakup kepentingan orang banyak dan infrastruktur yang tersedia hanya dimiliki oleh Pertamina. Pelaku usaha di sisi hilir migas pada prinsipnya akan bertambah, akan tetapi hambatan yang seringkali timbul dan dirasakan pelaku usaha baru adalah belum jelasnya aturan main yang dikeluarkan oleh regulator sehingga mereka cenderung menunggu.

Evaluasi kebijakan ini perlu dilanjutkan untuk mengawasi:

a. Implementasi paska dikeluarkan aturan avtur oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

b. Implementasi kebijakan tender untuk Bahan Bakar Minyak Public Service

Obligation (BBM PSO) yang juga akan direncanakan oleh BPH Migas.

c. Isu perubahan Peraturan Pemerintah di sektor hilir migas selaku aturan yang menyempurnakan UU No. 22/2001 setelah diubah oleh Mahkamah Konstitusi.

7. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Telekomunikasi

Secara umum permasalahan kebijakan kompetisi di sektor telekomunikasi antara lain adalah belum siapnya pemerintah Indonesia selaku regulator penyelenggaraan telekomunikasi untuk mengantisipasi perubahan bisnis telekomunikasi sehingga kebijakan sering tidak konsisten dan tidak sesuai dengan UU No. 5/1999. Ketidaksiapan kerangka hukum dan regulasi yang ada sehingga tidak mampu mengantisipasi perubahan bisnis dan teknologi telekomunikasi untuk mendorong kompetisi yang sehat dan menarik investor. Di sisi lain, para pemain baik operator incumbent maupun operator baru belum mempertimbangkan adanya aspek persaingan sehingga diperkirakan akan menimbulkan kecurangan-kecurangan yang bisa menghambat iklim persaingan usaha yang sehat.

(22)

Beberapa indikator/kecenderungan dalam industri telekomunikasi di Indonesia meliputi:

a. Pertumbuhan yang berlanjut. Industri telekomunikasi akan terus tumbuh, karena kelanjutan pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan meningkatkan permintaan akan layanan telekomunikasi;

b. Migrasi ke jaringan nirkabel. Layanan nirkabel akan semakin populer sebagai akibat dari semakin luasnya area cakupan dan membaiknya kualitas jaringan nirkabel, menurunnya biaya pesawat telepon genggam, dan meluasnya layanan prabayar;

c. Meningkatnya persaingan. Pasar telekomunikasi akan semakin kompetitif sebagai akibat dari reformasi peraturan pemerintah.

Berdasarkan situasi tersebut, maka KPPU perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi agar dapat sejalan dengan prinsip persaingan usaha.

8. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Minyak Goreng

Evaluasi kebijakan terhadap industri minyak goreng bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan pasar dan menganalisis kinerja pasar hulu (bahan baku minyak goreng sawit) industri minyak goreng sawit di Indonesia serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah dalam upaya stabilisasi harga minyak goreng sawit di pasar domestik terhadap keragaan dan kinerja pasar hulu dan industri minyak goreng sawit di Indonesia.

Beberapa data dan informasi yang akan menjadi bahan analisis diantaranya mengenai Perkembangan volume produksi tandan buah segar, Crude Palm

Oil (CPO), dan minyak goreng sawit; perkembangan volume ekspor CPO ke

pasar luar negeri; perkembangan volume kebutuhan CPO untuk pasar domestik khususnya yang digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit; pergerakan harga CPO di pasar domestik dan internasional; pergerakan harga minyak goreng sawit di pasar domestik dan internasional; kebijakan pemerintah dalam industri CPO dan minyak goreng sawit.

(23)

Hasil evaluasi mengahasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan stabilisasi harga minyak goreng dengan instrumen kebijakan jangka pendek (Domestic Market Obligation, Pajak Ekspor, Subsidi, Bebas PPN) perlu didukung dengan instrumen kebijakan industri dan perdagangan yang lebih strategis.

2. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam dan monitoring terhadap dugaan praktek usaha yang mengarah pada pengaturan dan pengendalian produksi yang diindikasikan dengan rendahnya tingkat utilisasi pabrik minyak goreng sawit nasional yang berkisar pada tingkat utilisasi pabrik sebesar 25 persen s/d 49 persen.

9. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Air Minum

Sektor air minum merupakan sektor natural monopoly dan memiliki karakteristik public service obligation (PSO). Pengelolaan sektor air minum dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang kemudian dapat didelegasikan kepada BUMN/BUMD. Berbagai keterbatasan yang dimiliki PDAM selaku pengelola tunggal sektor air minum, menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan dan kinerja perusahaan. Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pengelolaan air minum selama ini, maka Pemerintah mencoba melakukan peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan sektor air minum. Terdapat beberapa bentuk kerjasama dengan sektor swasta antara lain service contract, management contract, lease contract, BOT contract, dan konsesi.

Dari hasil evaluasi kebijakan tersebut diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Pemilihan mitra kerjasama PDAM untuk pengelolaan SPAM harus dilakukan melalui proses lelang/tender secara terbuka dan kompetitif; 2. Dari berbagai bentuk (model) kerjasama yang tersedia, model divestasi

tidak diperkenankan karena bertentangan dengan peraturan perundangan SDA;

3. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa PDAM yang bekerjasama dengan mitra swasta dalam pengelolaan SPAM. Untuk ke depannya,

(24)

terdapat sekitar 10-15 proyek kerjasama SPAM yang akan ditenderkan oleh pemerintah;

4. Kerjasama pengelolaan yang tidak melalui tender sebelum lahirnya UU NO 16/2004 tentang SDA tetap berlaku;

5. Proses penunjukkan langsung (kasus PAM Jaya dan PT. ATB Batam) mengindikasikan bahwa proses tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan di tingkat implementasi. Dalam hal ini, penunjukan langsung mitra kerjasama dapat berdampak kepada timbulnya praktek monopoli dan atau penyalahgunaan posisi dominan oleh operator yang bersangkutan. Paling tidak, diperlukan penyesuaian terhadap PKS untuk lebih menyeimbangkan kepentingan komersial dan kepentingan pelayanan publik;

6. Pengaturan penetapan tarif air minum sudah tepat, yaitu dengan melibatkan stakeholder (konsumen dan legislatif) serta melalui usulan regulator/direksi PDAM. Namun dalam implementasinya tidak ada transparansi informasi dalam menetapkan tarif air minum. Keterlibatan

stakeholder dalam prakteknya hanya sebatas pemberitahuan tentang

rencana kenaikan tarif tetapi tidak ada mekanisme untuk mengakomodasi

feedback dari stakeholder.

7. Penghitungan tarif air minum dengan metode full cost recovery serta subsidi silang antar pengguna merupakan metode yang tidak optimal dari sisi pelayanan publik dan memberatkan operator;

8. Beberapa PDAM sudah mampu menghasilkan kinerja keuangan positif, namun masih di bawah ambang batas target yang ditetapkan pemerintah (ROA 10%). Secara umum, biaya operasional dan maintenance masih sulit untuk ditutup oleh operator, terlebih dengan sistem subsidi silang antar pengguna;

9. Penyesuaian tarif secara periodik belum mempertimbangkan target efisiensi operator;

10. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Kepelabuhan

Sumber usulan evaluasi kebijakan berawal dari adanya kesepakatan tarif pelayanan barang dan peti kemas LCL (Less than Container Load) impor di Pelabuhan Tanjung Priok yang dilakukan oleh para pelaku usaha penyedia

(25)

jasa dan pengguna jasa pelabuhan. Kesepakatan tersebut dilakukan karena mereka menganggap bahwa tarif pelayanan barang dan petikemas LCL impor Tanjung Priok bervariasi dan tidak jelas peruntukannya. Ketidakjelasan penetapan tarif tersebut yang menyebabkan terjadinya high cost economy yang harus ditanggung oleh importir.

Kesepakatan tarif bersama yang dilakukan enam asosiasi yang terdiri dari asosiasi penyedia jasa; GAFEKSI, APBMI, INSA, APTESINDO, dan asosiasi pengguna jasa; GPEI dan GINSI berisi tentang kesepakatan komponen dan besaran tarif yang mengikat. Tarif kesepakatan ini, menurut enam asosiasi yang terlibat bertujuan untuk menurunkan high cost economy dalam perdagangan impor LCL.

Model penetapan tarif tersebut nampaknya lebih terkait dengan kepentingan para pelaku usaha tertentu. Di sisi lain intervensi pemerintah dalam penetapan tarif dirasakan minim, untuk industri yang sifatnya natural

monopoly seperti industri kepelabuhanan.

Oleh karena itu dalam rangka internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam dalam sektor tersebut, KPPU melakukan evaluasi dan dampak kebijakan persaingan dalam industri kepelabuhanan.

Berkaitan dengan hasil analisa yang telah dilakukan KPPU menghasilkan rekomendasi sebagai berikut :

• Permasalahan biaya ekonomi tinggi di pelabuhan, seharusnya diatasi dengan kebijakan pengelolaan pelabuhan secara menyeluruh oleh pemerintah, bukan dengan kesepakatan tarif antar pelaku usaha.

• Melihat kondisi pelabuhan yang masih natural monopoly, maka diperlukan pengaturan tarif yang menjadi peran pemerintah sebagai regulator dan tidak diserahkan kepada asosiasi karena hal tersebut akan berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Meski demikian, dalam kondisi pelabuhan yang secara umum masih natural monopoly, ada sub-sub usaha didalamnya yang dapat dikompetisikan. Maka, seluruh kegiatan di pelabuhan seharusnya dipetakan dan dicarikan alternatifnya yang terbaik untuk masing-masing jenis usaha.

• Melihat karakteristik gudang CFS yang bervariasi, maka kebijakan tarif yang sesuai adalah price cap dengan standar kualitas.

• Berdasarkan regulasi yang ada, untuk jenis, struktur, dan golongan tarif

(26)

KM belum terbentuk. Oleh sebab itu, pemerintah perlu segera menyusun KM tersebut.

11. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Asuransi Kecelakaan di Luar Jam Kerja di wilayah DKI Jakarta

Latar belakang dari kegiatan Evaluasi dan Kajian Dampak Kebijakan Pemerintah Yang Terkait Persaingan Usaha Dalam Industri Asuransi Pemerintah Daerah adalah lahirnya Pergub DKI Jakarta No. 82 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian Dalam Hubungan Kerja Untuk di Luar Jam Kerja (JKDK). Dalam Peraturan Gubernur tersebut diatur bahwa seluruh perusahaan di DKI Jakarta wajib mengikuti Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian Dalam Hubungan Kerja Untuk di Luar Jam Kerja (JKDK). Pada prakteknya, ditemukan fakta bahwa hanya ada satu perusahaan asuransi yang menjadi

provider dalam Program JKDK tersebut. Kondisi tersebut menyebabkan

perlunya diselenggarakan analisa yang lebih jauh dari sisi persaingan usaha antara lain terkait masalah apakah mekanisme pemilihan penyedia jasa dalam Program JKDK yang diatur dalam Pergub 82/2006 telah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.

Berdasarkan analisa yang dilakukan KPPU, dapatdisimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Asuransi JKDK merupakan asuransi campuran yaitu gabungan antara asuransi umum dan asuransi jiwa. Penyedia jasa dalam industri asuransi tersebut cukup banyak di Indonesia, atau tidak eksklusif hanya dapat dilayani oleh satu/sedikit perusahaan saja.

2. Apabila dilihat dari sisi demand, perbandingan antara pegawai yang telah mengikuti program JKDK dengan yang belum juga menunjukkan bahwa pasar indusri ini masih terbuka luas. Hal ini ditunjukkan dengan masih kecilnya pegawai di DKI Jakarta yang dilindungi melalui program ini. 3. Regulasi JKDK di DKI Jakarta tidak menimbulkan entry barrier bagi

perusahaan asuransi yang ingin menjadi provider dalam program JKDK. Hal ini disebabkan karena Pergub 82 tahun 2006 memberikan

(27)

kesempatan bagi setiap perusahaan asuransi yang tertarik untuk menjadi penyedia jasa dalam program JKDK, untuk mendaftar kepada Pemda DKI. 4. Meskipun demikian perlu adanya pengawasan yang ketat dari masyarakat atas proses seleksi yang dilakukan Pemda DKI Jakarta, sehingga proses seleksi tersebut dapat berjalan dengan adil dan transparan.

5. Regulasi JKDK DKI Jakarta mempunyai potensi menghilangkan pilihan konsumen, karena program ini bersifat wajib bagi setiap perusahaan di DKI Jakarta meskipun perusahaan tersebut telah mempunyai program serupa yang lebih baik. Berbeda dengan Jamsostek, yang hanya bersifat wajib bagi perusahaan yang belum mengikuti program tersebut. Sedangkan bagi yang telah mempunyai program yang lebih baik, tidak lagi diwajibkan mengikuti program Jamsostek.

6. Dalam regulasi JKDK di Kotamadya Tangerang dan Serang, diatur bahwa pelaku usaha penyedia jasa asuransi dalam Program JKDK, adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Bupati atau Walikota. Kondisi tersebut mempunyai potensi persaingan usaha tidak sehat yang cukup besar, karena tidak adanya transparansi dalam porses seleksi serta tidak adanya batasan yang jelas bagi perusahaan asuransi yang dapat menjadi provider dalam program JKDK di kedua daerah tersebut.

12. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Bawang Merah

Harga bawang merah di tingkat petani kota Brebes kerap jatuh ke tingkat harga yang jauh di bawah biaya produksi, sementara harga di tingkat konsumen relatif stabil. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan masuknya bawang merah impor oleh beberapa pedagang, sekalipun Kab. Brebes merupakan sentra produsen bawang merah di Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Kab. Brebes berencana untuk mengeluarkan kebijakan (Perda) tentang tata niaga impor bawang merah.

Dalam melaksanakan fungsi internalisasi prinsip-prinsip persaingan usaha, KPPU melakukan evaluasi terhadap rencana tata niaga tersebut. Tujuan evaluasi ini adalah untuk memetakan permasalahan yang terdapat pada industri dan perdagangan bawang merah.

(28)

Berdasarkan data produksi tahunan, sebenarnya jumlah produksi bawang merah Indonesia lebih besar dibandingkn dengan jumlah konsumsinya (over supply). Akan tetapi, bawang merah merupakan komoditas pertanian yang sifatnya musiman dan tidak tahan lama jika disimpan dengan penanganan yang kurang memadai. Sehingga pada saat di dalam negeri sedang mengalami musim paceklik, maka pedagang besar akan mengimpor bawang merah dari luar negeri.

Berdasarkan analisa statistik, tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara volume bawang impor dengan fluktuasi harga bawang di Brebes. Dengan demikian, volume impor tidak berpengaruh terhadap penurunan harga bawang di tingkat petani Brebes. Titik permasalahan yang lebih besar justru terletak pada saluran pemasaran/distribusi perdagangan bawang merah. Pihak yang memiliki peran besar dalam mengendalikan pasokan bawang lintas daerah, termasuk bawang impor, adalah pedagang besar yang terletak di antara petani dan pengecer di pasar induk – pasar sekunder. Pedagang besar tersebut memiliki kemampuan untuk menetapkan harga bawang merah (price maker). Dari hasil analisa jalur distribusi ditemukan fakta bahwa struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan bawang merah adalah oligopoli/oligopsoni, dengan jumlah petani dan pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang besar. Hal ini pula yang memperkuat posisi pedagang sebagai price maker. Oleh sebab itu, pihak yang lebih berpengaruh dalam mengendalikan harga bawang merah di tingkat petani Brebes adalah pedagang besar.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, KPPU merekomendasikan supaya dilakukan penataan jalur distribusi untuk meningkatkan efisiensi perdagangan dan meminimalisasi market power pedagang besar. Alternatif yang dapat dipilih antara lain :

• mengaktifkan peranan pasar (market creation) sebagai titik transaksi antara petani dan pedagang pengumpul/besar.

• memanfaatkan peran koperasi untuk meningkatkan bargaining power di tingkat petani.

• memanfaatkan mekanisme resi gudang untuk mengurangi resiko ketidakpastian harga bagi para petani.

(29)

Apabila Pemerintah tetap akan mengeluarkan kebijakan larangan impor bawang merah ke Brebes, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan departemen teknis terkait serta terintegrasi dengan kebijakan perdagangan nasional.

13. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Subsidi

Dewasa ini muncul wacana dari pemerintah untuk melakukan penghematan anggaran yang salah satunya dilakukan dengan cara mengurangi pemberian subsidi yang dinilai tidak tepat sasaran. Beberapa pos subsidi dinilai tidak menciptakan mekanisme pasar yang sehat akan tetapi justru memberikan efek distorsi pasar. Hal ini berdampak negatif pada penciptaan efisiensi dan daya saing operasional pelaku usaha terutama yang menerima subsidi dari pemerintah dan cenderung akan dapat menyebabkan perilaku rent-seeking bagi pelaku usaha tersebut sehingga tidak ada gairah untuk dapat meningkatkan daya saing produknya.

Beberapa pos subsidi yang saat ini menjadi tanggung jawab pemerintah di antaranya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, subsidi bunga kredit program, subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan subsidi Public

Service Obligation (PSO) bertujuan untuk menciptakan stabilitas harga, membantu

masyarakat kurang mampu dan usaha kecil menengah dalam memenuhi sebagian kebutuhannya, serta membantu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melaksanakan tugas pelayanan umum. Mekanisme pemberian subsidi ini biasanya melalui perusahaan yang menjual produk yang bersangkutan sehingga harga jual produknya menjadi lebih murah dan terjangkau masyarakat. Namun demikian kita perlu membedakan antara konsep subsidi dengan konsep bantuan sosial. Konsep subsidi yang dikenal dalam Anggaran pemerintah adalah subsidi yang disalurkan melalui perusahaan (BUMN maupun swasta). Sedangkan bantuan sosial merupakan bantuan dari pemerintah yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat akibat efek inflasi.

Secara umum pengertian subsidi dikaitkan dengan tugas pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar melalui pemberian transfer payment kepada masyarakat. Kegagalan pasar tersebut terjadi karena sumber daya tidak teralokasi secara efisien. Kebijakan subsidi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak market failure tersebut. yang menjadi perhatian utama

(30)

pemerintah saat ini bahwa kebijakan subsidi adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat atas produk yang menjadi kebutuhan utama mereka. Namun demikian, kebijakan subsidi tersebut harus tepat sasaran supaya tidak menjadi government

failure yang akan menyebabkan alokasi sumber daya menjadi semakin tidak efisien.

Untuk itu perlu adanya evaluasi agar pemberian subsidi menjadi tepat sasaran. Terkait dengan isu persaingan usaha, kebijakan subsidi memerlukan mekanisme penyaluran yang tepat. Hal ini diperlukan mengingat kebijakan subsidi dapat memberikan dampak efisiensi atau sebaliknya dapat menyebabkan government

failure. Perilaku rent-seeking dapat terjadi ketika pelaku ekonomi memperoleh

manfaat dari pemberian subsidi dari pemerintah tersebut dan tidak ingin mengubah kondisi tersebut. Bagi pelaku usaha, keberadaan komponen subsidi akan merubah struktur biaya pada setiap aktivitas ekonomi mereka. hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku pelaku usaha di pasar. Perilaku pelaku usaha di suatu pasar akan berpengaruh terhadap performance pasar itu sendiri. Pelaku usaha lain yang masih berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga akan terpengaruh oleh keberadaan pelaku usaha yang memperoleh subsidi tersebut. Akibatnya pelaku usaha pesaing juga akan memiliki perilaku untuk menyesuaikan diri dengan perilaku pelaku usaha yang menerima subsidi dari pemerintah. Hal ini menyebabkan kinerja usaha dari tiap-tiap pelaku usaha yang ada di pasar tidak berada pada tingkat kompetitif.

14. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Asuransi Kendaraan Bermotor

Pada tanggal 29 Juni 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani secara resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor (selanjutnya disingkat menjadi PMK No. 74/2007). Lahirnya PMK No. 74/2007 merupakan sebuah proses panjang yang dilakukan oleh Departemen Keuangan berdasarkan desakan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), khususnya penyelenggara asuransi kendaraan bermotor. Bahkan dalam perjalanannya, AAUI sempat datang ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk berkonsultasi dengan rencana penetapan kesepakatan tarif premi asuransi sebagaimana yang diinginkan oleh asosiasi

(31)

tersebut. Kesepakatan tarif tersebut dianggap mendesak oleh AAUI untuk mengatasi kondisi yang digambarkan mereka sebagai perang tarif. Pada saat berkonsultasi dengan KPPU tersebut, sesungguhnya telah muncul keinginan mereka untuk mendesak pemerintah agar mengatur tarif premi yang mereka gambarkan sudah sampai pada tahap saling menghancurkan. KPPU sendiri pada saat itu berketetapan bahwa setiap penetapan tarif melalui kesepakatan pelaku usaha dianggap bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999, karena hal tersebut akan menjadi kasus persaingan usaha apabila ada pelaku usaha yang melakukannya.

Setelah melalui proses yang sangat panjang, akhirnya keluarlah PMK No. 74/2007 yang diharapkan dapat menjadi solusi dari gejolak yang terjadi dalam industri asuransi Indonesia. Tetapi setelah diberlakukan mulai 1 September 2007, gejolak terjadi. Beberapa stakeholder industri asuransi kendaraan bermotor seperti perusahaan pembiayaan, agen, produsen otomotif dan broker asuransi, secara serentak mengajukan keberatannya. Bahkan mereka memberikan bukti bahwa akibat kebijakan tersebut, maka asuransi kendaraan bermotor menjadi mahal dan merugikan konsumen.

Terkait dengan kebijakan tersebut, terdapat beberapa isu persaingan di dalamnya. Isu utama adalah munculnya penetapan tarif yang digiring dengan tarif referensi. Dikhawatirkan tarif referensi ini akan menjadi sarana tarif kesepakatan pelaku usaha sekaligus sebagai batas bawah tarif sebagaimana yang sering ditentang KPPU selama ini.

Isu persaingan lainnya adalah terkait dengan munculnya dugaan bahwa latar belakang lahirnya PMK No. 74/2007 ini adalah karena pelaku usaha asuransi besar tidak mampu lagi bersaing dengan asuransi kecil yang mampu menerapkan tarif yang kompetitif.

Hasil evaluasi kebijakan di atas menghasilkan beberapa rekomendasi, yaitu : 1. Disusun saran pertimbangan bagi Pemerintah terkait dengan upaya

perbaikan kebijakan Pemerintah di industri asuransi kendaraan bermotor yang selaras dengan UU No. 5 Tahun 1999. Beberapa substansi saran pertimbangan antara lain menyangkut :

(32)

a. Perbaikan substansi pengaturan tarif premi yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir bagi pelaku usaha dalam penerapannya di lapangan.

b. Mendorong ketegasan regulator untuk menerapkan disiplin yang ketat dalam pelaksanaan PMK No.74/2007 ini dalam bentuk sanksi yang tegas bagi pelaku usaha yang melanggar sehingga tujuan kebijakan yang diharapkan bisa tercapai sebagaimana mestinya.

c. Percepatan penyusunan dan penerapan Arsitektur Asuransi Indonesia (AAI) yang didalamnya mengatur industri asuransi secara tersegmentasi, sehingga masing-masing perusahaan asuransi bermain sesuai dengan kelasnya. Dengan adanya AAI diharapkan bisa memberi arah dan pengaturan yang jelas dalam industri perasuransian dan dapat menjadi obat mujarab untuk mengatasi dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat di industri asuransi, lebih khusus di lini kendaraan bermotor. 2. Mengingat kebijakan ini baru berjalan sekitar empat bulan sehingga

implementasinya masih belum terlihat secara jelas, maka tim menyarankan perlunya dilakukan monitoring terhadap implementasi kebijakan ini.

3. Maraknya ”tren” penetapan tarif oleh regulator tentu perlu menjadi perhatian KPPU. Penetapan tarif referensi, di satu sisi merupakan salah satu sarana penyelamat sektor usaha, namun di sisi lain dapat mengarah pada terjadinya kolusi harga yang difasilitasi oleh regulator. Ini adalah hal yang harus diwaspadai oleh KPPU, mengingat semakin banyaknya usulan yang diajukan oleh asosiasi pelaku usaha untuk melakukan kolusi harga namun dengan kedok penetapan tarif yang difasilitasi oleh regulator. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa persaingan sesungguhnya dilakukan untuk mengurangi distorsi harga, dan mendorong sumber daya bebas mengalir ke sektor paling efisien. Persaingan juga mendorong perusahaan memperbaiki produktivitasnya dan mendorong inovasi sehingga tersedia barang dan jasa dengan harga lebih murah, mutu lebih baik, serta pilihan lebih luas bagi konsumen. Persaingan bukanlah semata-mata untuk memperoleh harga yang paling murah tetapi mengabaikan kepentingan konsumen, namun persaingan justru seharusnya menjadi jaminan bagi konsumen untuk memperoleh produk (barang atau jasa) yang terbaik. Beberapa kasus penetapan tarif selain di industri asuransi kendaraan bermotor bisa dilihat pada penerapan tarif referensi penerbangan dan juga kesepakatan tarif di lini

(33)

2 Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Terkait dengan hal tersebut, tim menilai perlu dilakukan kajian dampak penetapan tarif referensi oleh regulator dalam perspektif persaingan usaha.

4. Dengan melihat hasil analisis penghitungan dengan metode CR4 dan HHI dimana bisa disimpulkan bahwa peta persaingan tidak terpusat di beberapa perusahaan saja, maka KPPU memandang bahwa PMK No. 74/2007 tidak bertentangan dengan UU No 5/1999.

III. Saran dan Pertimbangan Kepada Pemerintah

Sebagai salah satu tugas utama KPPU sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf e UU No. 5/1999, di tahun 2007 ini KPPU akan terus memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang memiliki potensi bertentangan dengan UU No. 5/1999. Hal ini dilakukan sebagai koreksi, agar kebijakan pemerintah selaras dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat yang akan mendorong terciptanya kinerja sektor ekonomi yang lebih baik yang bermuara pada kesejahteraan rakyat.

Untuk periode Januari-Desember 2007, saran dan pertimbangan yang diberikan oleh KPPU kepada pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Saran dan Pertimbangan Terkait Dengan Sektor Ritel

Pokok permasalahan dalam sektor ritel adalah tidak adanya pengaturan tentang

equal playing field antara ritel kecil/tradisional dan pemasok dengan ritel besar

yang memiliki kapital besar.

Terkait kebijakan tersebut, KPPU menyampaikan beberapa hal sebagai berikut : a. KPPU mendukung substansi pengaturan yang dilakukan sebagai upaya

perlindungan usaha kecil ritel dan tradisional serta perlindungan terhadap pemasok ritel modern. Mengenai substansi pengaturan KPPU memahami bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah

b. Dalam beberapa substansi pengaturan, KPPU mengharapkan agar memperhatikan potensi-potensi persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 antara lain menyangkut pengaturan pembatasan jumlah pelaku usaha berbasiskan analisis terhadap supply dan

(34)

demand. Diharapkan pembatasan jumlah pelaku usaha tidak menjadi

instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui eksploitasi terhadap konsumen.

c. Terkait dengan hubungan pemasok dan peritel modern, diusulkan agar hal tersebut tidak hanya menyangkut pemasok kecil tetapi juga pemasok menengah dan besar, mengingat daya tawar ritel modern yang sangat tinggi tidak hanya berefek pada pelaku usaha kecil tetapi juga usaha menengah dan besar. Dalam pengaturan juga perlu ditegaskan bahwa segala bentuk hubungan transaksi antara pemasok dan peritel modern tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha dan sehat

d. Apabila keterlibatan KPPU akan didefinisikan secara eksplisit dalam substansi pengaturan, maka diusulkan terdapat klausul tambahan dalam bab/pasal tersendiri sebagai berikut:

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

1. Pelaku usaha ritel dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Hingga saat ini belum ada respon resmi dari pemerintah terhadap saran dari KPPU untuk memasukan klausul tambahan dalam bab/pasal tersendiri.

2. Saran dan Pertimbangan Terhadap Memorandum of Understanding (MOU) Pemerintah - Microsoft

Saran pertimbangan ini, diberikan sehubungan dengan ditandatanganinya MoU antara Pemerintah dan Microsoft, yang dinilai oleh KPPU dapat mendistorsi proses persaingan dalam industri software Indonesia. Hal ini mengingat Microsoft telah menjadi pemegang posisi dominan dalam industri

software Indonesia. Alasan Pemerintah bahwa hal ini merupakan bagian dari

upaya pemberantasan pembajakan sesungguhnya dapat diterima, hanya sayangnya dalam implementasinya MoU tersebut bertentangan dengan semangat persaingan usaha yang sehat.

(35)

Atas MoU tersebut KPPU memberikan saran pertimbangan dengan substansi sebagai berikut :

1. KPPU memahami dan mendukung upaya Pemerintah untuk melakukan pemberantasan software ilegal di Indonesia, khususnya di instansi Pemerintah yang dijadikan landasan kebijakan MoU tersebut. Proses pembajakan software, telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan dan telah menjadi disinsentif bagi para pelaku usaha industri software Indonesia. Akibatnya inovasi di industri software terancam stagnan bahkan berhenti sama sekali, yang dalam gilirannya dapat mematikan inovasi dan potensi wirausaha di industri tersebut.

2. Tetapi terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk melakukan MoU dengan Microsoft sebagai bagian dari upaya pemberantasan pembajakan, KPPU berpendapat hal tersebut tidaklah tepat karena bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999. MoU yang dalam implementasinya akan dilakukan dalam bentuk perjanjian, jika ditindaklanjuti akan menyebabkan beberapa hal :

a. Memberikan tambahan kekuatan pasar (market power) bagi Microsoft yang secara faktual telah menjadi pemegang posisi dominan dengan menguasai lebih dari 90% pangsa pasar operating system software (melalui Microsoft windows) dan software aplikasi kantor (melalui Microsoft Office). Kekuatan pasar yang besar tersebut berpotensi untuk disalahgunakan. MoU akan berpotensi menjadi sarana eksploitasi konsumen (instansi Pemerintah) oleh Microsoft sebagai satu-satunya penyedia software (operating system dan aplikasi kantor).

b. Menutup peluang pelaku usaha penyedia operating system software dan aplikasi kantor Indonesia selain Microsoft, untuk dapat memasarkan produknya di instansi Pemerintah. Hal ini akan menjadi disinsentif bagi pengembangan software di Indonesia. Inovator dan wirausahawan Indonesia dalam industri software terancam kelangsungannya, karena tidak lagi ada daya tarik pasar.

c. Menyebabkan tidak adanya alternatif pilihan operating system

software dan software aplikasi kantor bagi instansi Pemerintah selain

(36)

efisiensi proses pengadaan software di instansi Pemerintah. Instansi Pemerintah tidak lagi memiliki insentif untuk berinisiatif menumbuhkan inovasi industri software yang bersaing dengan sehat (bukan saja microsoft).

3. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, KPPU berpendapat bahwa solusi untuk mengatasi pembajakan dengan melakukan MoU dengan Microsoft, tidaklah tepat mengingat akar permasalahan yang sesungguhnya dari maraknya pembajakan software adalah terkait dengan permasalahan penegakan hukum dari peraturan perundangan tentang hak kekayaan intelektual yang telah ada.

4. Solusi bagi upaya pemberantasan pembajakan hanya dapat dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas. Meskipun hal tersebut memerlukan waktu yang lebih panjang dan usaha yang lebih keras, tetapi KPPU meyakini bahwa apabila semua elemen bangsa ini memiliki kemauan untuk mewujudkannya, maka hal tersebut dapat diimplementasikan.

5. Mencermati hal-hal di atas maka KPPU menyarankan agar Pemerintah mencari model kebijakan lain yang berdampak luas pada pemberantasan pembajakan software dan persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat diharapkan mampu mengatasi digital divide dalam pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based

economy) dalam jangka panjang, karena munculnya inovasi software

yang berbasis open system dan aplikasi perkantoran serta aplikasi khusus lainnya yang lebih terjangkau masyarakat luas.

6. Berdasarkan analisis di atas, KPPU menyarankan agar Pemerintah tidak menindaklanjuti MoU dengan Microsoft dalam bentuk perjanjian sekaligus mencabut MoU tersebut, untuk menghindarkan munculnya potensi-potensi persaingan usaha tidak sehat di industri software Indonesia

Hingga saat ini belum terdapat tanggapan dari pemerintah, meskipun demikian Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah dan Microsoft tersebut tidak dilaksanakan.

(37)

3. Saran dan Pertimbangan Kepada Pemerintah Terkait dengan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Pengiriman Surat

Saran pertimbangan ini, terkait dengan munculnya Surat Edaran (SE) Menkominfo No. 01/SE/M/Kominfo/1/2007 tentang Pengiriman Surat. Dari sudut persaingan usaha, terbitnya SE ini menghambat iklim usaha dan persaingan dalam jasa pelayanan pos. Hal tersebut mengingat substansi SE diskriminatif terhadap pelaku usaha tertentu, menghambat pelaku usaha lain (entry barrier) serta membatasi pilihan konsumen, terutama konsumen perusahaan non individu. Kondisi tersebut tidak hanya merugikan sektor jasa pos saja, namun dikhawatirkan berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian keseluruhan, karena sektor jasa pos telah tumbuh begitu dinamis dengan keterlibatan sejumlah pelaku usaha yang memiliki kemampuan untuk memberikan layanan dengan kualitas dan harga yang beragam, serta telah menjadi sarana bekerja ribuan tenaga kerja Indonesia. Di satu sisi, KPPU melihat bahwa SE tersebut secara langsung telah mengembalikan atau menegaskan posisi monopoli PT Pos Indonesia. KPPU menyadari bahwa hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 1984 tentang Pos. Akan tetapi KPPU juga melihat fakta bahwa selama bertahun-tahun Pemerintah membiarkan, bahkan cenderung memfasilitasi kehadiran para pelaku usaha swasta di sektor jasa pos selain PT Pos Indonesia. Dalam perspektif persaingan adanya SE tersebut menimbulkan situasi yang tidak kondusif baik terhadap PT. Pos Indonesia, pelaku usaha jasa kurir swasta dan konsumen. Dampak terhadap PT. Pos Indonesia dalam jangka pendek, adalah peningkatan kinerja dengan memanfaatkan hak monopolinya. Dalam jangka panjang, PT Pos Indonesia akan kembali dibesarkan dalam situasi monopoli, yang dapat menjadi disinsentif bagi PT Pos Indonesia untuk berkembang secara efisien sebagaimana yang terjadi bertahun-tahun. Akibatnya saat sektor jasa pos terbuka, PT Pos Indonesia tidak memiliki daya saing yang memadai. Dalam kondisi tersebut, secara keseluruhan, pertumbuhan industri pos dan logistik di Indonesia akan terhambat.

(38)

KPPU menyadari bahwa kinerja PT Pos Indonesia saat ini belum optimal. Namun solusi untuk meningkatkan kinerja PT Pos Indonesia tidak harus melalui kebijakan yang cenderung bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan yang anti persaingan bahkan dapat memperburuk kinerja sektor jasa pos secara keseluruhan. KPPU memandang perlunya program revitalisasi yang komprehensif terhadap PT. Pos Indonesia untuk perbaikan serta peningkatan kinerja operasional dan pelayanan. Untuk hal tersebut, dibutuhkan dukungan penuh Pemerintah, baik melalui kebijakan maupun hal-hal lain terutama yang terkait dengan penugasan PT Pos Indonesia yang tidak memiliki nilai ekonomis (komersial) yang biasanya terwujud dalam bentuk public service obligation (PSO). Sementara untuk kegiatan komersial, sudah selayaknya manajemen PT. Pos Indonesia diberikan fleksibilitas untuk menetapkan berbagai kebijakan operasional dan strategis, seperti diantaranya adalah penetapan tarif layanan komersial dan inovasi produk dan jasa kepada konsumen komersial. Hal ini sejalan dengan status PT. Pos Indonesia (Persero) yang salah satu tujuan utamanya adalah mencari keuntungan (profit center).

Sementara itu di sisi lain, kehadiran SE tersebut juga menjadi cermin dari inkonsistensi (dualisme) kebijakan Pemerintah dalam upaya pengembangan sektor jasa pos. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perposan yang saat ini sedang diproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah secara tegas dan jelas menyatakan dukungan bagi terjadinya perubahan model pengelolaan sektor jasa pos Indonesia dari monopoli menuju persaingan. Tetapi kehadiran SE, memberikan gambaran sikap Pemerintah yang sebaliknya, yang bertentangan dengan upaya perubahan pengelolaan sebagaimana tertuang dalam RUU Perposan.

Sebagai upaya perbaikan dalam pengelolaan sektor jasa pos, KPPU menyambut baik langkah-langkah yang ditempuh pihak eksekutif maupun legislatif saat ini dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 1984 tentang Pos. Harus diakui bahwa undang-undang tersebut berikut regulasi turunannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha saat ini yang semakin terbuka dan dinamis. Untuk mendorong terjadinya perbaikan kinerja sektor jasa pos keseluruhan, sekaligus memecahkan persoalan yang ditimbulkan oleh kehadiran SE di muka, KPPU

Gambar

Tabel Perkembangan Penanganan Laporan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan menganalisa performansi jaringan optik dari sentral office hingga ke pelanggan di daerah Yogyakarta dengan parameter meliputi nilai redaman,

Pembimbingan merupakan tindakan pimpinan yang dapat menjamin terlaksananya tugas-tugas dakwah yang sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan, agar

Disamping itu, banyak penelitian tentang modal intelektual yang tidak mencantumkan item pengungkapan maupun kurangnya penjelasan mengenai definisi item pengungkapan

Dalam menghubungkan adab dengan keseimbangan alam ataupun ekologi, Ziauddin Sardar menggariskan tujuh prinsip utama iaitu; Kesedaran sikap terhadap pertautan antara setiap ahli

Dalam perjanjian dimaksud telah dimuat juga pengaturan terkait dengan larangan bagi kedua belah pihak untuk melakukan pelanggaran yang menyatakan “kedua belah

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan mengenai sikap siswa terhadap fisika di kelas XI IPA SMA Muhammadiyah Bangkinang pada

pembangunan penataan drainase perkotaan di kota pekanbaru sudah jelas dan terarah dengan adanya (Tufoksi) Tugas Pokok Dan Fungsi dari dinas Perumahan Permukiman

Untuk menjelaskan masalah peran negara, yaitu campur tangan pemerintah dalam mengatur mekanisme pasar (Myint, 1971, hal. 291) maka yang menarik dilihat adalah intervensi