• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Persaingan Usaha Sektor Beras

Dalam dokumen Reformasi Regulasi Persaingan Usaha (Halaman 62-67)

III. Saran dan Pertimbangan Kepada Pemerintah

3. Kajian Persaingan Usaha Sektor Beras

Komoditas beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Dalam prakteknya beras merupakan barang yang permintaannya bersifat kontinyu dan in-elastis, sehingga pemerintah selalu mengatur ekonomi perberasan nasional. Beberapa permasalahan dalam jalur distribusi mulai bermunculan terutama paska pencabutan tata niaga impor gula dan beras pada tahun 1999, yang antara lain diindikasikan dengan semakin tingginya kesenjangan tingkat harga beras di konsumen dengan harga gabah di tingkat petani.

Permasalahan dalam jalur distribusi itulah yang melatarbelakangi KPPU untuk melakukan kajian industri sektor perberasan dengan fokus kepada analisa industri beras di Indonesia dari sudut pandang persaingan usaha. Kerangka konseptual dari kajian adalah menggunakan pendekatan analisa struktur industri, analisa regulasi, analisa jalur distribusi, dan kinerja Industri yang bersangkutan dalam perspektif efisiensi dan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Kajian dilakukan dengan menggunakan perspektif UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ruang lingkup wilayah kajian adalah Provinsi Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari instansi pusat dan daerah serta data primer diperoleh dari survey dan Forum

PETANI Pengumpul/ penebas Pengusaha/ Huller GROSIR PENGECER KONSUMEN Ped Besar/ GUDANG OLIGOPOL OLIGOPOL OLIGOPSON OLIGOPSON OLIGOPSONI/ OLIGOPOLI HASIL PEMBAHASAN

Secara umum jalur pemasaran gabah-beras adalah: petani padi Æ pedagang pengumpul Æ pengusaha penggilingan padi Æ pedagang besar/grosir/PAP Æ pedagang pengecer Æ konsumen. Masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat tersebut mempunyai peran penting dalam meningkatkan nilai tambah produk sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kepuasan konsumen.

Struktur pasar pada setiap level dalam jalur pemasaran gabah dan beras adalah tidak kompetitif, melainkan dapat dikategorisasikan dalam struktur pasar yang oligopsoni, oligopoli dan monopolistik (sebagaimana terlihat dalam gambar berikut dibawah ini:

MONOPOLISTIK

Struktur pasar yang demikian memungkinkan petani dan konsumen pada posisi yang lemah dan pengusaha penggilingan dan pedagang beras pada posisi dominan. Posisi mereka diperkuat oleh adanya barrier to entry secara alami seperti penguasaan modal dan teknologi, juga oleh adanya kebijakan pembelian gabah oleh Bulog dan penyaluran dana LUEP yang pro pada pengusaha tersebut. Dominasi pengusaha huller dan pedagang besar/PAP dalam perdagangan beras menyebabkan mereka menjadi pihak yang mampu menentukan harga (price maker). Jika dilihat dari homogenitas produk sepanjang rantai tataniaga tersebut, terlihat bahwa dari petani hingga pedagang pengumpul, produk yang mereka jual cenderung homogen. Sedangkan dari RMU hingga pedagang pengecer, mengalami peningkatan intensitas keberagaman. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke hilir,

produk yang dikuasai oleh pelaku tataniaga gabah dan beras mengalami kecenderungan keberagaman yang meningkat.

Selanjutnya jika dilihat aspek barrier to entry, hambatan masuk pasar tersebut tidak hanya terdapat di tingkat usaha huller dan perdagangan besar akan tetapi juga di tingkat pedagang pengumpul. Untuk dapat menjadi pedagang pengumpul tidak mudah, selain diperlukan modal juga diperlukan adanya jaringan yang kuat baik dengan pengusaha RMU yang biasanya memberi pinjaman modal.

Beberapa indikator perilaku usaha mengindikasikan bahwa dalam perdagangan beras terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat. Kolusi diantara para pengusaha yang dominan secara eksplisit tidak dapat dibuktikan, namun terdapat kesepakatan-kesekatan secara tidak tertulis yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat. Melalui pertemuan informal, kesepakatan mengenai harga biasanya terjadi diantara sesama pedagang pengumpul dan pengusaha huller. Motif menyimpan gabah yang dilakukan oleh pengusaha RMU dan motif menyimpan beras oleh pedagang besar/PAP yang terkadang lebih dari 3 bulan patut dicurigai tidak hanya untuk cadangan mereka didalam proses produksi dan menunggu harga naik saat musim paceklik, tapi juga untuk mencari keuntungan yang lebih banyak. Perilaku lainnya yang terindikasi pada usaha tidak sehat adalah adanya iintegrasi vertikal dan horisontal yang dilakukan oleh pedagang besar/PAP dan pengusaha RMU yang berskala usaha besar. Seorang pengusaha memiliki beberapa usaha dengan beberapa nama atau sesama pengusaha terdapat hubungan kekerabatan yang dekat sehingga mereka berpotensi untuk menguasi pasar dengan integrasi horisontal yang dilakukannya tersebut. Selain itu mereka melakukan integrasi secara vertikal dimana pedagang besar juga memiliki RMU, memiliki kaki tangan berupa pedagang pengumpul, dan sekaligus juga pedagang grosir bahkan mempunyai outlet di PIC. Ada juga yang memiliki pabrik pengolahan tepung beras seperti di Lampung dan Sulawesi Selatan.

Berdasarkan analisis margin menunjukkan bahwa pemasaran beras belum berjalan secara efisien meskipun dari sisi rantai pemasarannya relatif pendek. Selain margin pemasaran relatif besar, juga margin tersebut tidak tersebar secara merata. Kecuali di Sulsel dan Lampung, lembaga pemasaran yang paling banyak menikmati margin keuntungan adalah pengusaha huller dan juga dengan B/C rasio yang paling besar.

Di Sulsel dan Lampung, pedagang besar/PAP yang menikmati margin keuntungan yang relaif besar sehingga memperoleh B/C rasio yang terbesar.

Melalui uji statistik keterpaduan pasar didapatkan informasi bahwa hubungan pasar antara produsen dengan grosir untuk jangka panjang tidak mengalami keterpaduan. Hal ini dapat terlihat dari nilai IMC > 1 untuk masing-masing wilayah kecuali Medan (IMC = 0.926). Sedangkan untuk jangka pendek hubungan antara produsen dengan Grosir mengalami keterpaduan (nilai b2 yang positif dan signifikan). Hubungan antara grosir dengan pengecer untuk jangka panjang mengalami keterpaduan untuk wilayah Medan dan Bandung sedangkan untuk wilayah yang lain tidak mengalami keterpaduan. Untuk jangka pendek semua wilayah mengalami keterpaduan kecuali wilayah Jakarta (b2 negatif meskipun signifikan). Adapun dalam kaitannya dengan hubungan antara produsen dengan pengecer untuk jangka panjang mengalami ketidakterpaduan (IMC < 1) kecuali untuk wilayah Medan. Sedangkan untuk jangka pendek mengalami keterpaduan untuk setiap wilayah.

Berdasarkan elastisitas transmisi harga menunjukkan bahwa adanya indikasi pasar yang tidak bersaing juga dapat ditunjukkan oleh kondisi asimetris dari respon pergerakan harga mulai dari tingkat petani sampai ke tingkat konsumen. Tidak sehatnya persaingan pasar ini ditunjukkan misalnya oleh fakta bahwa bila harga naik di tingkat pedagang pengecer atau grosir, maka harga di tingkat petani akan ikut naik tetapi dengan persentase yang lebih rendah, dibandingkan dengan jika harga di tingkat pengecer atau grosir turun. Dari sisi persaingan pasar, hal ini berarti posisi tawar petani tidak setara dengan grosir maupun pengecer.

Bila harga beras dalam negeri dikaitkan dengan harga beras luar negeri, maka akan tampak bahwa tidak ada hubungan yang signifikan. Dengan demikian sinyal harga luar negeri tidak memberi dampak yang berarti terhadap perberasan dalam negeri. Ini dibuktikan oleh walaupun harga beras dalam negeri lebih tinggi 30% dari luar negeri, namun tidak mendorong terjadinya penurunan harga beras dalam negeri.

KESIMPULAN

Indikasi potensi persaingan usaha yang tidak sehat dalam distribusi gabah-beras dari petani sampai ke konsumen ditunjukkan oleh:

(1) Analisis margin menunjukkan bahwa pemasaran beras belum berjalan secara efisien. Selain margin pemasarannya cukup besar juga tersebar secara tidak merata diantara para pelaku pemasaran. Pengusaha bermodal kuat dan menguasai pasar khususnya pengusaha huller dan pedagang besar/PAP menerima margin keuntungan tertinggi dalam perdagangan beras.

(2) Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa di semua lokasi studi harga GKP di tingkat petani dengan di tingkat pengecer tidak terpadu, sementara antara harga beras di tingkat grosir dan pengecer terpadu. Peningkatan harga di tingkat grosir/pengusaha huller dapat terjadi tanpa diikuti oleh peningkatan harga gabah di tingkat petani padi.

(3) Beberapa indikasi perilaku usaha yang tidak sehat yang ditemukan di wilayah studi adalah (a) Beberapa pengusaha yang dominan dalam perdagangan beras baik pengusaha huller atau pedagang besar, selain melakukan perdagangan antar wilayah, juga melakukan integrasi vertikal dari mulai tingkat usahatani atau usaha huller hingga ke perdagangan beras, (b) Diantara pengusaha yang dominan tersebut juga terjadi integrasi horisontal dimana diantara mereka selain saling mengenal juga terdapat hubungan kekerabatan, (c) Pemilikan fasilitas usaha yang besar, khususnya gudang memungkinkan mereka untuk melakukan penimbunan gabah/beras, (3) Kolusi diantara para pengusaha yang dominan secara eksplisit tidak dapat dibuktikan, namun terdapat kesepakatan-kesekatan secara tidak tertulis yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat, dan (d) Adanya persatuan pengusaha beras dan pengusaha penggilingan padi yang umumnya diikuti pengusaha-pengusaha besar saja memungkinkan untuk membangun kesepakatan-kesepakatan.

REKOMENDASI

(1) Perlu dilakukan monitoring pelaku usaha terkait dengan dugaan praktek tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha penggilingan (huller) dalam menyerap gabah dari petani dan juga terhadap penguasaan stok beras di setiap pelaku tataniaga, terutama di tingkat grosir besar ketika tidak sedang musim panen dimana harga di tingkat konsumen cenderung meningkat.

(2) Kebijakan dalam penyaluran LUEP dan kerjasama Bulog dalam pengadaan gabah/beras perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan potensi dampak terhadap

penguatan struktur pasar oligopsoni usaha penggilingan dalam jalur pemasaran gabah-beras.

Dalam dokumen Reformasi Regulasi Persaingan Usaha (Halaman 62-67)