• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF HORMON SUPEROVULASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF HORMON SUPEROVULASI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF

HORMON SUPEROVULASI

(Local PMSG as an Alternative Superovulation Hormone)

DIAN RATNAWATI,D.M.DIKMAN dan J.EFENDY Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184

ABSTRACT

Superovulation is one of many ways to increase national herd population. The use of imported PMSG has many constraints, due to high cost and less availability. There is a cheaper alternative, by using local PMSG. The aim of this research was to study the effectivity of local PMSG as a cheap and efficient alternative hormone for superovulation. Superovulation was done in pen of Beef Cattle Researh Institute, using 20 cows. There were two treatments applied: treatment A, using imported PMSG dose 1000 IU (Folligon, produced by Intervet Holland) and treatment B, using local PMSG dose 1000 IU (Gonaplas, produced by Airlangga University Surabaya). The stages of superovulation was: synchronization oestrus (twice injection of prostaglandine for 11 days) and followed by superovulation (PMSG injection at day 10 after oestrus, prostaglandine injection at 2 days after PMSG injection and introduced to bull for mating). Blood sample was taken before PMSG injection and day 16 after mating, analyzed using ELISA. Pregnant detection was done through rectal palpation. The parameters were: number of corpus luteum, progesterone level, conception rate and economic value. Data was analyzed by ANOVA. Conception rate of treatment A was 60% and treatment B was 40%. Progesterone level increased after superovulation, treatment A (2.7 ± 4.6 ng/ml) non significantly different from treatment B (2.5 ± 4,1 ng/ml). Treatment A showed 7 cows (70%) had corpus luteum 1 – 2. There were 3 cows (30%) at treatment B had only 1corpus luteum. It is concluded that the use of local PMSG was efficient, so that it can be used as alternative hormone for superovulation.

Key Words: Superovulation, Local PMSG, PO Cattle

ABSTRAK

Teknik superovulasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan populasi ternak nasional. Pemanfaatan hormone PMSG impor sebagai hormon superovulasi terkendala dengan harga yang mahal dan ketersediaan. Terdapat alternatif lain yang lebih murah dengan menggunakan PMSG lokal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas PMSG lokal sebagai alternatif hormon superovulasi yang murah dan efisien. Superovulasi dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, menggunakan 20 ekor induk sapi PO, dibedakan menjadi dua perlakuan (tipe hormon) yaitu: perlakuan A dengan PMSG impor dosis 1000 IU (Folligon, produksi Intervet, Holland) dan perlakuan B dengan PMSG lokal dosis 1000 IU (Gonaplas, produksi Universitas Airlangga, Surabaya). Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut: Sinkronisasi berahi (Penyuntikan hormon Prostaglandin sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari) dan Superovulasi (Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi dan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan untuk perkawinan). Pengambilan darah dilakukan sebelum injeksi PMSG dan 16 hari setelah terjadi perkawinan dan dianalisa dengan metode ELISA. Deteksi kebuntingan menggunakan palpasi rektal. Parameter meliputi jumlah corpus luteum, konsentrasi hormon progesteron, jumlah kebuntingan dan nilai ekonomis. Analisis data dengan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kebuntingan pada perlakuan A 60% dan perlakuan B 40%. Kadar hormon progesteron darah setelah perlakuan superovulasi meningkat, yaitu: pada perlakuan A (2,7 ± 4,6 ng/ml) tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan perlakuan B (2,5 ± 4,1 ng/ml). Pada perlakuan A terdapat 7 ekor induk (70%) memiliki corpus luteum 1 – 2 buah, sedangkan pada perlakuan B terdapat 3 ekor induk (30%) yang memiliki

corpus luteum 1 buah. Disimpulkan bahwa Penggunaan PMSG lokal cukup efisien sehingga dapat dijadikan

alternatif hormon superovulasi.

(2)

PENDAHULUAN

Program Swasembada Daging Sapi Kerbau (PSDSK) 2014 diharapkan mampu meningkatkan produksi daging sapi nasional sehingga target pemenuhan kebutuhan daging sapi sebesar 90 – 95% dapat tercapai. Kemampuan produktivitas sapi potong dalam negeri belum memberikan hasil yang baik dalam upaya memenuhi kebutuhan daging yang setiap tahun meningkat. Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong dalam negeri adalah meningkatkan efisiensi reproduksi induk melalui peningkatan jumlah pedet setiap kelahiran atau kelahiran kembar (twinning). Teknik reproduksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan kelahiran kembar adalah superovulasi. Superovulasi merupakan cara untuk meningkatkan jumlah

oocyte yang diproduksi oleh ovarium melalui

peningkatan jumlah kematangannya menjadi ovum/sel telur, sehingga terjadi ovulasi dan akan diikuti peningkatan jumlah corpus

luteum. Tujuan superovulasi adalah

meningkatkan jumlah ova yang diovulasikan dan tingkat fertilisasi dengan memastikan lingkungan fisiologi normal dalam saluran reproduksi untuk perkembangan embrio (KAFI dan MICHAEL, 1997).

Pemanfaatan PMSG impor (Folligon) sebagai salah satu preparat hormon untuk superovulasi telah banyak digunakan di lapangan. Selama ini preparat PMSG yang banyak digunakan adalah produksi luar negeri (impor). Harga PMSG impor relatif mahal dan ketersediaan di pasar tidak selalu ada. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa superovulasi dengan menggunakan PMSG impor dosis 1000 IU, 1300 IU dan 1600 IU menghasilkan tingkat kebuntingan 50, 70 dan 80% (AFFANDHY et al., 2010).

Hormon PMSG lokal (Gonaplas) merupakan salah satu alternatif pilihan yang murah apabila hormon PMSG impor tidak terjangkau karena terlalu mahal. Namun demikian, penggunaan hormon PMSG lokal selama ini masih terbatas untuk meningkatkan fertilitas pada sapi. Penggunaan hormon PMSG lokal untuk menghasilkan sapi kembar belum pernah dilakukan. Efektivitas PMSG lokal masih belum banyak diteliti secara intensif, untuk itu diharapkan dengan penelitian ini dapat diketahui secara ilmiah.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas PMSG lokal sebagai alternatif hormon superovulasi yang murah dan efisien.

MATERI DAN METODE

Superovulasi dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan, Jawa Timur, menggunakan 20 ekor induk Sapi PO yang telah beranak (minimal satu kali) dan mempunyai skor kondisi tubuh (SKT) 6 – 7 (skala 1 – 9). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan dua perlakuan (tipe hormon) masing-masing sebanyak 10 ekor yaitu: 1. Perlakuan A dengan PMSG impor dosis 1000

IU (Folligon, produksi Intervet, Holland). 2. Perlakuan B dengan PMSG lokal dosis

1000 IU (Gonaplas, produksi Universitas Airlangga, Surabaya).

Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut: 1. Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormon

Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari.

2. Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan). Pengambilan sampel plasma darah untuk analisa hormon progesteron dilakukan sebelum injeksi PMSG dan hari ke-16 hari setelah perkawinan. Analisa hormon menggunakan metode ELISA. Deteksi kebuntingan/corpus

luteum menggunakan palpasi rektal. Pemberian

pakan sebesar ≥ 3% bobot badan berdasarkan bahan kering.

Parameter yang diukur adalah tingkat kebuntingan, jumlah corpus luteum, konsentrasi hormon progesteron dan nilai ekonomis. Analisis data menggunakan ANOVA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perlakuan superovulasi dengan PMSG lokal dibandingkan dengan PMSG impor terhadap tingkat kebuntingan, jumlah corpus

luteum dan profil hormon progesteron

(3)

Tabel 1. Kadar hormon progesteron dan jumlah

corpus luteum (CL) pada perlakuan dosis

PMSG impor dan lokal 1000 IU Perlakuan Parameter

A B

Persentase induk dengan corpus luteum (%)

70 30

Jumlah corpus luteum (buah) 1,3 ± 0,5a 1,0 ± 0,0b Progesteron awal (ng/ml) 0,4 ± 0,5 2,0 ± 4,2 Progesteron akhir (ng/ml) 2,7 ± 4,6 2,5 ± 4,1 < 4,5 ng/ml (%) 70 90 > 4,5 ng/ml (%) 30 10 Tingkat kebuntingan ( % ) 60 40

A: dosis PMSG impor 1000 IU; B: dosis PMSG lokal 1000 IU. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Kegiatan superovulasi dengan menggunakan hormon Pregnant Mare Serum

Gonadotropin (PMSG) impor dan lokal

dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong. Hasil pemeriksaan rektal 90 hari menunjukkan tingkat kebuntingan perlakuan dengan PMSG impor (A) adalah sebesar 60% (6 ekor) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (PMSG lokal) yaitu sebesar 40% (Tabel 1). Hormon PMSG impor yang digunakan adalah Folligon, produksi Intervet (Holland) dengan dosis yang diberikan 1000 IU (5 cc). Sedangkan hormon PMSG lokal yang digunakan adalah Gonaplas, produksi Universitas Airlangga Surabaya dengan dosis 1000 IU (6,7 cc). Tingkat kelahiran (kembar) akibat pengaruh hormon PMSG impor dan lokal belum dapat diketahui dan akan tetap diamati pada tahun 2011. HERMADI dan MAHAPUTRA (2010) menyatakan bahwa Gonaplas tersebut mampu mengatasi hipofungsi ovarium dengan menghasilkan tingkat kebuntingan 100% pada sapi perah dengan dosis 1000 IU dan 750 IU. Pertimbangan penggunaan gonaplas adalah karena lebih terjangkau dibandingkan dengan PMSG impor. Selama ini penggunaan gonaplas masih dalam batas memperbaiki kondisi reproduksi induk

dan belum pernah digunakan sebagai induksi untuk menghasilkan sapi kembar.

KAFI dan MICHAEL (1997) menyatakan bahwa terjadi banyak abnormalitas selama penelitian superovulasi, yaitu perkembangan folikel, ovulasi dan awal perkembangan embrio. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada sapi potong, diantaranya faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik diantaranya umur, perbedaan genetik dan status ovarium saat perlakuan. Sedangkan faktor ekstrinsik diantaranya musim, nutrisi dan preparat hormon. Kebuntingan merupakan proses lanjutan setelah terjadinya fertilisasi sel telur oleh spermatozoa. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan melalui perabaan rektal minimal 60 hari setelah perkawinan. Indikasi terjadinya kebuntingan dapat diprediksi dari tidak adanya tanda-tanda berahi setelah 1 siklus berahi setelah perkawinan. Untuk mendiagnosa kebuntingan maupun kebuntingan kembar yang mungkin terjadi, dapat dilakukan juga dengan pemeriksaan terhadap kadar progesteron dalam darah. Sampling darah dilakukan pada hari ke 16 dari perkawinan. Sebagai pembanding dilakukan pula sampling darah sebelum perlakuan (superovulasi). TOLIEHERE (1985) menyatakan bahwa pengukuran progesteron dapat dilakukan pada hari ke-21 s/d 24 perkawinan dengan menggunakan teknik RIA (Radio Immuno Assay) dan tingkat ketepatannya mencapai 90%.

Hasil pemeriksaan kadar hormon progesteron darah yang dilakukan sebelum perlakuan superovulasi menunjukkan rataan 0,4 ± 0,5 ng/ml pada perlakuan A dan 2,0 ± 4,2 ng/ml pada perlakuan B. Kadar hormon progesteron setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan A (2,7 ± 4,6 ng/ml) tidak berbeda nyata (p > 0,05) dengan perlakuan B (2,5 ± 4,1 ng/ml). Berdasarkan pengelompokan kadar progesteron darah pada umur 16 hari perkawinan menunjukkan bahwa perlakuan A sebanyak 3 ekor (30%) bunting (> 4,5 ng/ml), sedangkan sisanya 7 ekor (70%) dubious bunting. Pada perlakuan B sebanyak 1 ekor (10%) menunjukkan kadar progesteron > 4,5 ng/ml (bunting 16 hari), dan sisanya 9 ekor (90%) dubious bunting. Pada kedua perlakuan terjadi kenaikan kadar progesteron antara sebelum dan sesudah perlakuan superovulasi dengan PMSG. GINTHER et al. (1976)

(4)

menyatakan bahwa kadar hormon progesteron sapi bunting yang diambil pada hari ke-16 setelah kawin mencapai 4,5 ng/ml. Sedangkan VANDEPLASSCHE (1982) menyatakan bahwa sapi dikatakan bunting apabila kadar hormon progesteron darahnya > 3 ng/ml pada hari ke-24 setelah kawin. Sehingga hasil yang didapat mengindikasikan ketiadaan corpus luteum atau tidak adanya kebuntingan karena superovulasi dengan PMSG.

Progesteron merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh corpus luteum dan plasenta dalam jumlah yang banyak pada sapi yang bunting dan sedikit pada sapi yang tidak bunting. Progesteron timbul setelah ovulasi dan menimbulkan perkembangan yang meluas dari endometrium, menyiapkan uterus untuk siap menerima embrio dan memberi makan. Secara garis besar fungsi fisiologik progesteron terhadap uterus diantaranya menghambat pengaruh oksitosin terhadap miometrium, menghambat kontraksi miometrium dan merangsang pertumbuhan kelenjar susu uterus pada endometrium. Dengan adanya kadar progesteron yang tinggi pada awal kebuntingan, dibandingkan dengan periode lain maka hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk pemeriksaan kebuntingan secara hormonal (Saragih, 1987).

Hasil pengamatan terhadap corpus luteum pada hari ke 16 perkawinan dan didapatkan

hasil terdapat 7 ekor dari perlakuan A (70%) memiliki corpus luteum 1 – 2 buah. Sedangkan pada perlakuan B terdapat 3 ekor (30%) sapi induk memiliki corpus luteum 1 buah. Rataan jumlah CL pada perlakuan A (1,3 ± 0,5 buah) lebih tinggi (P < 0,05) daripada perlakuan B (1,0 ± 0,0 buah). Corpus luteum terbentuk setelah folikel mengeluarkan sel telur, sehingga pada sapi induk yang diperlakukan superovulasi menghasilkan lebih banyak corpus luteum dan hormon progesteron. Menurut Winslow (1996), korelasi genetik antara tingkat ovulasi dengan kelahiran kembar mencapai 80% dan pada sapi dara lebih besar lagi 10%. Hormon PMSG memberikan pengaruh langsung terhadap pematangan oosit dengan cara merangsang perkembangan inti oosit sehingga jumlah oosit yang berhenti perkembangannya hanya sedikit. Dengan perkembangan oosit yang semakin banyak dan semakin cepat akan mempengaruhi jumlah CL yang akan terbentuk setelah terjadi ovulasi.

Nilai ekonomi

Berdasarkan hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan kebuntingan perlakuan superovulasi dengan hormon impor (Perlakuan A) adalah lebih efisien sebesar Rp. 113.375 (11,5%)

Tabel 2. Analisis ekonomi superovulasi dengan PMSG impor (A) dan lokal (B)

Uraian perlakuan Perlakuan A (PMSG impor)

(rupiah) Perlakuan B (PMSG lokal) (rupiah) Sinkronisasi berahi Injeksi PGF 2 Rp. 100.000 200.000 200.000 Superovulasi PMSG impor 1 Rp.222.000* 222.000 PMSG lokal 1 Rp. 93.350 93.350

Sinkronisasi setelah superovulasi

Injeksi PGF 1 Rp.100.000 100.000 100.000

Total biaya 522.000 Rp. 393.350

Persentase kebuntingan (%) 60 40

Biaya untuk menghasilkan 1 kebuntingan 870.000 983.375

Efisiensi ekonomi (Rp) 113.375

Persentase efisiensi (%) 11,5

(5)

dibandingkan dengan hormon lokal (Perlakuan B). Analisis ekonomi ini didasarkan pada asumsi bahwa harga satu kali injeksi untuk hormon PGF sebesar Rp. 100.000 (5 cc), PMSG impor dosis 1000 IU (5 cc) sebesar Rp. 222.000 dan PMSG lokal dosis 1000 IU (6,7 cc) sebesar Rp. 93.350.

Bobot badan dan konsumsi pakan

Tabel 3. Bobot badan induk perlakuan superovulasi dengan PMSG impor (A) dan lokal (B).

Perlakuan Parameter A B Jumlah n (ekor) 10 10 Rata-rata BB (kg/ekor) 368,3 ± 55,5 365,8 ±72,1 Rata-rata performans bobot badan sapi perlakuan superovulasi adalah perlakuan A sebesar 368,3 ± 55,5 kg dan perlakuan B sebesar 365,8 ± 72,1 kg. Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering (BK) dan protein kasar (PK) sebesar 7,61 kg/hari dan PK sebesar 0,60 kg/ hari. Kebutuhan nutrisi untuk bobot badan sebesar 350 kg adalah: BK sebesar 8,6 kg dan PK sebesar 0,79 kg, yang berarti tingkat pemenuhan kebutuhan untuk BK 88,5% sedangkan untuk PK sebesar 75,9%. Standar kebutuhan nutrisi pakan berdasarkan NRC (KEARL, 1986). Hijauan yang diberikan berupa rumput Gajah, rumput lapangan dan jerami padi. Sedangkan pakan penguat yang diberikan meliputi gaplek, bungkil kopra, kulit kopi, dedak, tumpi dan ampas kecap. Performans produksi induk berpengaruh terhadap performans reproduksinya, terutama respon

terhadap hormon. Kondisi reproduksi setiap induk berbeda tergantung dari beberapa faktor diantaranya pakan dan kondisi fisiologis ternak. Manifestasi klinis dari status kecukupan gizi dapat dilihat dari skor kondisi tubuh ternak. Pemberian pakan yang baik secara kualitas dan kuantitas akan sangat mendukung timbulnya berahi setelah melahirkan terutama kecukupan protein. Kasus yang banyak terjadi pada sapi induk adalah hipofungsi ovarium dan secara umum disebabkan karena induk masih dalam masa laktasi. Frekuensi dan lama penyusuan akan merangsang kelenjar mammae untuk produksi LTH yang berfungsi memelihara Cl, dampaknya yaitu tidak terjadi berahi dan memperpanjang tingkat APP (BEARDEN and FUQUAY, 1980; HAFEZ, 2000; MARKEY et al., 2000).

KESIMPULAN

Penggunaan PMSG lokal cukup efisien sehingga dapat dijadikan alternatif hormon superovulasi.

Diperlukan pengkajian lebih lanjut terhadap jumlah kelahiran kembar yang dihasilkan sehingga nilai efisiensinya lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L, MARIYONO, Y.N. ANGGRAENY, P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI, W.C. PRATIWI, D. RATNAWATI dan D.M.DIKMAN. 2009. Kejadian Kembar dan Pengaruh Hormon PMSG terhadap Kelahiran Kembar Sapi Potong ≥ 10%. Laporan Akhir Loka Penelitian Sapi Potong. Grati, Pasuruan.

Tabel 4. Konsumsi pakan sapi induk dengan perlakuan superovulasi Konsumsi pakan Uraian Hijauan (kg/ekor/hari) Penguat (kg/ekor/hari) Total Kebutuhan pakan (kg/ekor/hari) Rasio (%) BS 10,42 11,00 21,42 BK 1,65 5,96 7,61 8,60 88,50 PK 0,17 0,42 0,59 0,79 75,90

BS: bahan segar; BK: bahan kering; PK: protein kasar

(6)

BEARDEN,H.J.andFUQUAY. 1980. Applied Animal Reproduction. A. Prentice-Hall & Co. Reston Virginia. pp. 107.

ECHTERNKAMP, S.E. and K.E. GREGORY. 2002. Reproductive growth, feedlot and carcass raits of twin vs. single births in cattle. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl. 2): E64 – E73.

GINTHER, O.J., L.J. NUTI, M.C. GARCIA, B.C. WENTWORTH and W.J.TYLER. 1976. Factors affecting progesterone concentration in cow's milk and dairy products. J. Anim. Sci. 42(1): 155 – 159.

GREGORY K.E., G.L. BENNETT, L.D. VAN VLECK, S.E.ECHTERNKAMP and L.V.CUNDIFF .1997. Genetic and environmental parametres for ovulation rate, twinning rate and weight traits in a cattle population selected for twinning. J. Anim. Sci. 75: 1213 – 1222.

HAFEZ,E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. pp. 509.

MARKEY, D.R., J.M. SCREENAN, J.F. ROCHET and M.G.DISKIN. 2000. The effect of progesterone alone or in combination with estradiol on follicular dynamics, gonadotropin profile , and estrus in beef cows following isolation and restricted suckling. J. Anim. Sci. 78(7): 1917 – 1929.

TOELIHERE, 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

VANDEPLASSCHE. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: A Guide for Projects in Developing Countries. Faculty of Veterinary Medicine Department of Reproduction and Obstetrics State University, Ghent. Roma.

VAN VLECK, L.D., K.E. GREGORY and S.E. ECHTERNKAMP. 1991. Ovulation rate and twinning rate in cattle: Heritabilities and Genetic Correlation. J. Anim. Sci. 69: 3213 – 3219.

WINSLOW, M. 1996. Twinning in Cattle. http://www.dreamessays.com/customessays/ Science/11755.htm. (17 Maret 2009).

DISKUSI Pertanyaan:

1. Dalam paper sebelumnya disampaikan preparat aktif dari hewan lokal vs hormon fokuskan supaya dapat diketahui perbedaan respon disebabkan oleh faktor apa saja?

2. Rancangan acak lengkap  terminologi disesuaikan dengan hasil. 3. Hasil uji yang berbeda nyata kurang lengkap?

4. Data kelahiran sapi apa sudah ada karena baru dimulai pertengahan 2010 jadi sapi masih bunting saat makalah ditulis dan hasil penelitian?

5. Hasil konsultasi dan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat di makalah.

6. Hasil dari Unair lebih rendah dari pada standar hormon lebih mudah dari pada standar hormon impor.

Jawaban:

1. Preparat aktif dan import sama yaitu PMSG (pregnant mare serum gonadothropin)

Perbedaannya = lupurt/Folligon Lokal/gonaplas

Produksi = Intervet Holland Ovair, FKM.

2. Untuk point 2 dan 3 terimakasih atas sarannya dan akan dilakukan perbaikan pada makalah. 3. Data tentang sapi belum ada karena baru dimulai pertengahan 2010 jadi masih bunting saat

makalah ditulis.

4. Hasil konsultasi dan berdasarkan hasil peneliian sebelumnya dapat dilihat di makalah. 5. Hasil dari uraian lebih rendah karena standar homon lebih mudah dari pada standar hormon

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengatahui: 1) efektivitas media film dalam meningkatkan minat dan hasil belajar Ekonomi siswa, 2) perbedaan peningkatan minat

Dalam mewujudkan hal tersebut Pemkab Banyuwangi dengan menggunakan model gotong royong yang melibatkan Satuan Kerja Perangkat Desa SKPD Banyuwangi dan elemen masyarakat

[r]

Mengarahkan siswa pada tingkat interaksi belajar yang mandiri, d Meningkatkan kemampuan berpikir siswa dari kemampuan berpikir tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi, e

(8) hitung isi pasir dengan rumus no.5. Menentukan Kepadatan Tanah 1) isi botol dengan pasir secukupnya. 2) ratakan permukaan tanah yang akan diuji, letakan pelat corong

Jaringan santri Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang ini sendiri menjadi salah satu bagian yang menarik untuk diperhatikan dalam politik elektoral Pilgub Jateng

Birleşik üretim yapan işletmelerde, tam ve doğru olarak mamul maliyetlerinin tespiti ve işletme katkılarının net ve doğru bir şekilde karşılaştırılması için doğru

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada