• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A.1. Pekabaran Injil dan Teologi Kontekstual. Sudah menjadi pernyataan umum bahwa kekristenan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A.1. Pekabaran Injil dan Teologi Kontekstual. Sudah menjadi pernyataan umum bahwa kekristenan di Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

A.1. Pekabaran Injil dan Teologi Kontekstual

Sudah menjadi pernyataan umum bahwa kekristenan di Indonesia merupakan hasil usaha dari para misionaris Barat, sehingga tidak jarang ada yang menganggap bahwa orang Kristen di Indonesia tidak terlepas dari orang-orang Kristen di Barat. Hal ini bisa juga berarti bahwa kekristenan yang dianut di Indonesia pertama-tama bukan merupakan cara beragama yang sifatnya tumbuh dari dalam konteks sosial budaya Indonesia. Sifat seperti ini seringkali menjadi faktor yang menyebabkan orang-orang Kristen sulit mengungkapkan imannya di dalam kemajemukan budaya dan agama di Indonesia. Pergumulan seperti ini setidaknya dipengaruhi oleh model-model misi yang diterapkan para misionaris yang mengadakan pekabaran Injil saat itu. Salah satu, bukan satu-satunya, model misi yang biasa dipersoalkan adalah model inkulturasi.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa model inkulturasi dari Barat menjadi sulit berakar di Indonesia, secara umum di Asia. Pieris1 memperlihatkan empat alasan mengapa model inkulturasi Greko-Romawi yang diteruskan oleh Barat sulit diterima secara umum dalam konteks Asia:

(1) warisan teologi dari bapa-bapa Gereja yang memprakarsai ‘teologi Kristus-melawan-agama’, (2) pemisahan agama dari filsafat yang berdampak pada pemisahan agama dari kebudayaan yang tidak masuk akal dalam masyarakat Asia, (3) menggunakan filsafat yang sudah mati untuk membangun sistem ajaran kristen merupakan kebijakan yang tidak

1

Lih. Aloysius Pieris. Berteologi Dalam Konteks Asia. Kanisius, Yogyakarta (1996), hlm. 92-95. Mengenai kelemahan model inkulturasi ini, lih. Robert J. Schreiter. Rancang Bangun Teologi Lokal. BPK Gunung Mulia, Jakarta (1991), hlm. 12. (Model-model lain, yang disebut Robert J. Schreiter adalah indigenisasi, teologi kontekstual, dan teologi lokal, hlm 11-13)

(2)

produktif, dan (4) proses indigenisasi nampak sebagai masalah taktik daripada masalah penghargaan dan kekaguman terhadap hal-hal pribumi.”

Ironi bahwa refleksi iman yang dibangun di atas empat faktor tadi tetap dianggap mewakili kebenaran Injil.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa paradigma berpikir seperti ini juga mempengaruhi para zendeling ketika mengadakan pekabaran Injil (PI) di Toraja.2 Orang Toraja diterima menjadi Kristen tetapi dengan syarat bahwa mereka harus meninggalkan cara-cara hidup lama di dalam agama suku. Ada juga dari para zendeling yang menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang lebih beradab karena mendasarkan hidupnya pada asas-asas moral, sedangkan orang Toraja adalah sebaliknya.3 Sikap ini bisa dihubungkan dengan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan yang menganggap orang baru “beradab” dan “bermoral” jika ia tahu banyak serta mengikuti gaya hidup ala Barat. Dalam hal ini, pengertian “modern” hanya dibatasi pada sebuah worldview tertentu, yang diperoleh dari hasil-hasil ilmu pengetahuan eksakta (sains).4 Setidaknya, kegiatan PI awal telah menghasilkan baik penerimaan maupun penolakan dari orang Toraja.

Kegiatan PI tidak hanya dianggap sebagai bentuk ajaran yang sama sekali baru melainkan juga dapat mengancam eksistensi agama leluhur yang sudah sejak awal mereka yakini. Salah satu faktor penting yang memunculkan rasa curiga orang Toraja adalah adanya hubungan yang tidak jelas antara para pendeta

2

Paradigma berpikir seperti ini juga terjadi pada awal kegiatan misi Katolik di Muna, Buton. Lih. Kees de Jong. Menjadikan Segala-galanya Baik. Kanisius, Yogyakarta (2002), hlm. 94

3

Lih. van den End. Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961. BPK. Gunung Mulia, Jakarta (1994), hlm. 120. Pemahaman mengenai “Kekristenan sebagai titik pusat (convergence point) terhadap semua kecenderungan perkembangan di dalam agama” ini bisa ditelusuri di dalam pemikiran Ernst Troeltshc, lih. Kwok Pui Lan. Postcolonial Imagination & Feminist Theology. John Knox Press. Louisville (2005), hlm. 196

4

E.G. Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. Berteologi dalam Konteks di Awal Millenium III. BPK. Gunung Mulia, Jakarta (2004), hlm. 3

(3)

zendeling dengan pemerintah.5 Hubungan yang tidak jelas ini membuat orang Toraja tidak mudah percaya kepada para zendeling. Mereka sulit membedakan mana orang Barat (misionaris) yang mempunyai tujuan misi dan mana orang Barat (kolonial) yang saat itu dianggap sebagai pemerintah. Hasilnya, seperti kesan Kruyt, pelampiasan kekesalan orang Toraja yang seharusnya ditujukan kepada pemerintah saat itu menjadi salah sasaran, dan berakibat pada terbunuhnya Van de Loosdrecht.6 Bukti hubungan yang erat antara misionaris dan pemerintah kolonial juga dibenarkan oleh C.S. Song ketika menyebutkan bahwa “kekristenan mendapatkan peranannya yang sangat besar dalam peradaban Barat karena adanya penggabungan (marriage) yang tak terelakkan antara teologi dengan norma-norma hidup dan pemikiran orang Barat.”7

Meskipun pergolakan PI pada periode awal sering menghadapi banyak tantangan, namun bukti penerimaan orang Toraja yang paling menonjol dalam sejarah perkembangan kekristenan di Toraja itu adalah diadakannya baptisan massal pada sekitar tahun 1950-an.8 Pertambahan jumlah menjadi prioritas daripada mengejar kualitas. Tanpa harus menyalahkan para zendeling, barangkali cara inilah yang paling tepat di dalam konteksnya saat itu. Pengalaman ini memperlihatkan bagaimana para misionaris sebenarnya diperhadapkan dengan tuntutan akan pengakuan terhadap tradisi atau kebudayaan orang Toraja di satu pihak, dan tanggungjawab untuk tidak mengurangi makna Injil di lain pihak.

5

J. A. Sarira. Benih Yang Tumbuh VI. Suatu Survey Mengenai Gereja Toraja Rantepao. BPS Gereja Toraja dan Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, Jakarta (1975), hlm. 28

6

Antonie Aris van de Loosdrecht adalah tenaga misionaris zending pertama yang ditugaskan dalam rangka Pekabaran Injil di Tana Toraja (10 November 1913 - 26 Juli 1917)

7

Lih. C.S. Song. Third-Eye Theology. Theology in Formation in Asian Settings. Lutterworth Press, London (1980), hlm. 4

8

Henriette H. Lebang. “Identitas Komunitas Kristen Toraja Dalam Tantangan”, dalam Martin L. Sinaga dkk. (peny.), Misiologi Kontekstual: Th Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia (Jakarta, 2004) hlm. 31

(4)

Persoalan yang sama bahwa pekabaran Injil saat itu tidak sekedar diperhadapkan dengan pilihan benar atau salah atau ini boleh dan itu tidak boleh, yang terkesan sebagai usaha pencocok-cocokkan. Ada juga pilihan lain yaitu terbuka melihat kebenaran yang ada di dalam kebudayaan. Kalau di sana ada kebenaran maka Injil akan mengkonfirmasikan kita dan sebaliknya, jika tidak maka Injil akan mengkonfrontasikan kita dengan situasi dan kebudayaan kita.9 Itu berarti ada proses dialog yang terus-menerus untuk melihat hubungan antara Injil dan kebudayaan.10

Metode PI yang digunakan selanjutnya selalu berada di dalam ketegangan antara Injil dan agama nenek moyang. Persoalan tersebut setidaknya dipengaruhi oleh pemahaman awal para misionaris (tetapi juga diwariskan ke dalam kekristenan di Toraja) yang secara ketat menciptakan dikotomi antara universalitas Injil (benar) dan partikularitas budaya Toraja (berdosa). Injil harus menerangi budaya Toraja. Tetapi menurut Pieris, “metode inkulturasi seperti ini menghendaki gereja menyerap ciri-ciri berbagai agama dalam rangka menjadi lebih krasan di Asia.”11 Persoalan kualitas beriman menjadi tujuan kedua, yang terpenting adalah bagaimana pertama-tama menambah jumlah. Akibatnya, meskipun sekarang kebudayaan sudah banyak diperhatikan, namun “perannya masih dianggap inferior dalam mengartikulasikan dan mewujud-nyatakan kehidupan kristiani.”12 Dengan kata lain, unsur-unsur dalam kebudayaan digunakan bukan dengan mempertimbangkan maknanya melainkan untuk mengimbangi dominasi nuansa

9

Kedua sikap besar ini yaitu konfirmasi dan konfrontasi (pembenaran dan pengecaman) dirangkum oleh E.G. Singgih dari lima tipe sikap Richard H. Niebuhr. Lih. E.G. Singgih. Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta (2000), hlm. 40

10

Bnd. Volker Kuster. The Many Faces of Jesus Christ. Intercultural Christology. Orbis Book. Maryknoll (2001), hlm. 17

11

Aloysius Pieris. Berteologi dalam …, hlm. 72 12

(5)

Barat dengan gaya Toraja, misalnya dengan menggunakan bangunan tongkonan sebagai model gereja.

A.2. Fenomena Tongkonan di Toraja

Bisa dikatakan bahwa tongkonan bagi orang Toraja yang beragama Kristen sama pentingnya dengan gereja. Mereka mengusahakan bagaimana bisa beribadah di dalam gedung gereja dengan layak, tetapi juga tetap memelihara persekutuan di dalam tongkonan. Gereja dan tongkonan sama-sama memiliki makna yang penting di dalam pembentukan identitas komunitasnya sebagai orang Kristen yang tetap Toraja. Pertambahan gedung gereja seiring dengan pertambahan (renovasi) bangunan tongkonan. Karena itu tongkonan dianggap sebagai sebuah fenomena.

Menurut Tangdilintin, tongkonan memiliki maknanya sendiri yang terbatas. Kata tongkonan berasal dari kata tongkon artinya duduk, tetapi bisa juga diartikan sebagai tempat duduk. Di situ, semua anggota masyarakat boleh datang berkumpul untuk mendengarkan, membicarakan dan menyelesaikan segala masalah yang penting dari anggota masyarakatnya. Itu berarti, tongkonan menunjuk pada suatu tempat tertentu yang tidak lain merupakan tempat atau rumah di mana penguasa adat (pangala tondok) itu tinggal, yang lama kelamaan menjadi sumber kekuasaan atau pemerintahan adat.13 Kalau demikian, kata tongkonan bukan kata yang digunakan secara umum untuk menunjuk semua rumah orang Toraja. Sebutan khusus yang digunakan untuk menunjuk rumah orang Toraja adalah banua.

Untuk menelusuri asal usul tongkonan sebagai bangunan fisik biasanya para pemerhati budaya Toraja akan mengacu pada salah satu mitos genealogis yang

13

Lih. L. T. Tangdilintin. Toraja dan Kebudayaannya. Yayasan Lepongan Bulan (YALBU) Tana Toraja (1981), hlm. 157-158.

(6)

menyebutkan bahwa Banua Puan adalah nama tongkonan pertama yang dibangun oleh Tangdilino di Marinding, Mengkendek.14 Di dalam perkembangannya, tongkonan bisa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya antara lain: Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk sebagai tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan, Tongkonan

Pekaindoran atau Pekamberan (Tongkonan Kaparengesan) sebagai tempat

pengurus dan pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan

Pesio’ Aluk, dan Tongkonan Batu A’riri sebagai tongkonan penunjang. Mengatur

dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan.15

Pemahaman orang Toraja mengenai tongkonan tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap dunia itu sendiri. Di dalam mitologi orang Toraja kosmos dianggap sebagai totalitas yang terdiri dari dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.16 Dalam kerangka ini, tongkonan menjadi representasi mikrokosmos dari makrokosmos. John Liku Ada’ menyebut Puang Matua sebagai pendiri pertama tongkonan di langit (dunia atas), sehingga spiritualitas solidaritas yang berpusat pada tongkonan sebenarnya bersumber dari puang matua sendiri.17 Implikasi praktis dari pemahaman seperti ini mengandaikan adanya nilai-nilai religius, moral dan etis yang harus dipelihara oleh komunitas tongkonan itu.

14

Hetty Nooy-Palm. The Sa’dan Toraja. A Study of Their Social Life and Religion I (Organization, Symbols and Belief). Koninklijk Instituut voor- Taal- en Volkenkunde, Leiden, the Netherlands (1979), hlm. 25; L. T. Tangdilintin. Toraja dan Kebudayaan …, hlm. 13-14. Th. Kobong. Manusia Toraja. Siapa, Bagaimana, Mau Kemana? Institut Teologia – TangmentoE, Tana Toraja (1983). Tim Peneliti Rambu Solo’. Aluk Rambu Solo’. Persepsi Orang Kristen Terhadap Rambu Solo’. PUSBANG Gereja Toraja (1996), hlm. 17 dan 104.

15

L. T. Tangdilintin. Toraja dan Kebudayaannya…, hlm. 164; lih. Frans B. Palebangan. Aluk, Adat dan Adat-Istiadat Toraja. PT. Sulo, Tana Toraja (2007), hlm. 98-99

16

Lih. Jowa Imre Kis-Jovak. Banua Toraja. Changing Patterns in Architecture and Simbolism among The Sa’dan Toraja, Sulawe-Indonesia. Royal Tropical Institute, Amsterdam (1988), hlm. 36 17

John Liku Ada’. Toward A Spirituality of Solidarity. Pontificiae Universitatis Gregorianae Romae-(1988), hlm. 99

(7)

Memahami tongkonan berarti mengenal nilai-nilai apa yang dikandungnya. Keseluruhan nilai yang ada terkait erat dengan falsafah tongkonan,18 yaitu:

“alukna dipoaluk (setiap warga tongkonan harus mematuhi perintah dan larangan dalam daerah kekuasaan tongkonan), uainna ditimba (semua anggota boleh mengambil air dalam daerah tongkonan), kayunna dire’tok (semua anggota boleh mengambil kayu milik tongkonan), utanna dikalette’ (semua orang boleh mengambil sayur milik tongkonan), padangna dikumba’ (semua orang boleh menggarap tanah milik tongkonan). Selain itu, terdapat juga nilai siri (malu) tongkonan.”19

Siri’ atau longko’ ini nyata di dalam ungkapan orang Toraja tae’ na ma’din umpoka

rara-buku. Artinya, tidak boleh memecah-belah darah-tulang (keluarga).

Rara-buku lazim dipahami sebagai keluarga besar. Dengan demikian, terdapat

ketidakjelasan antara pemahaman tongkonan sebagai keseluruhan komunitas dibawah satu pimpinan yaitu pangala tondok di satu pihak, dan pemahaman tongkonan yang terbatas pada struktur genealogis rara-buku di lain pihak.

Pada kenyataannya, telah terjadi pergeseran makna baik dalam bentuk fisik maupun fungsi tongkonan. Indikasinya, bahwa semua orang Toraja sudah dan dapat memiliki tongkonannya masing-masing. Begitu juga ukiran-ukiran yang mempunyai artinya sendiri dan biasanya hanya digunakan terbatas oleh kelompok sosial tertentu sekarang sudah digunakan juga di tongkonan yang pada waktu lalu barangkali tidak sepantasnya diukir (milik kasta rendah).20 Pemahaman tongkonan dalam dua garis seperti yang telah disebutkan yaitu sebagai sumber perintah dan

18

Diambil dari brosur Panitia Pembangunan Gereja Toraja Jemaat Kota Jakarta. lih. Lusindo Yosef Lumban Tobing. “Menuju Arsitektur Bangunan Gereja Kontekstual” dalam Penuntun, Jurnal Teologi dan Gereja. Vol. 3 No. 9, Oktober (1996), hlm. 83

19

Frans B. Palebangan. Aluk, Adat dan Adat-Istiadat Toraja. PT. Sulo, Tana Toraja (2007), hlm. 84 20

(8)

kekuasaan adat, dalam perkembangannya kemudian dipahami sebagai sebuah pranata sosial sistem clan-house.21

Istilah clan-house yang dimaksud menunjuk pada komunitas yang di dasarkan atas hubungan darah-daging. Suatu komunitas yang tidak hanya terbatas pada keluarga kecil tetapi mencakup seluruh keluarga dari satu generasi. Komunitas yang berasal dari satu generasi ini juga disebut misa’ tongkonan. Komunitas tongkonan yang satu biasanya saling terkait dengan komunitas tongkonan yang lain di dalam satu atau antara wilayah adat tertentu. Sebagai seorang Kristen, setidaknya konsep atau prinsip komunitas yang dipahami di dalam tongkonan tradisional juga berdampak terhadap konsep atau prinsip komunitas yang dipahami di dalam persekutuan kristen yang disebut gereja, dalam hal ini Gereja Toraja. Di sini muncul dua bentuk komunitas yang berbeda yaitu: komunitas yang didasarkan pada tongkonan dan komunitas yang didasarkan pada Injil Kristus (gereja).

Gereja Toraja sebagai lembaga keagamaan yang resmi berdiri sendiri sejak 25 Maret 1947, tidak bisa mengabaikan persoalan yang nampaknya saja kecil tetapi sebenarnya rumit seperti itu. Usaha bagaimana hakikat gereja diungkapkan dalam pranata sosial-budaya sistem tongkonan masyarakat Toraja bukan menjadi persoalan yang baru. Gereja Toraja, melalui usaha kontekstualisasi yang dilakukan Th. Kobong, telah berusaha memahami dirinya sebagai suatu bentuk tongkonan yang dipimpin oleh Kristus. Menurut Th. Kobong:

Kristus datang kepada kepunyaanNya, termasuk pangala’ tondok, kepala dari persekutuan tongkonan. Oleh karena yang menjadi sasaran yang berkepentingan adalah manusia, adalah persekutuan, jadi tongkonan, maka Kristus sebagai

21

Lih. Zakaria J. Ngelow. “Teologi Tongkonan. Apresiasi Kritis terhadap Kontekstualisasi Dr. Th. Kobong”,. dalam Martin L. Sinaga dkk. (peny.) Misiologi Kontekstual: Th Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia (Jakarta, 2004) hlm. 51

(9)

Pangala’ Tondok yang baru harus mengambil alih persekutuan lama itu sebagai

miliknya dan memberikan makna baru pada persekutuan tersebut. Persekutuan itu kemudian harus menata hidupnya menurut aluk dan adat (jadi agama) dari

Pangala’ Tondok yang baru itu; ia harus mentransformasi kehidupannya dan

meningkatkannya ketingkat pola hidup sesuai dengan kehendak Allah. Transformasi ini adalah pembaruan, kembali kepada makna hidup menurut kehendak Allah di dalam Yesus Kristus. Membarui berarti mengambil-alih dan menolak sekaligus persekutuan tongkonan itu. Ia mengundang semua orang untuk bergabung ke dalam tongkonanNya, tetapi dengan syarat mutlak, bahwa alukNa

dipoaluk, uainNa ditimba, kayunNa dire’tok, utanNa dikalette’, padangNa dikumba’, itu berarti bahwa seluruh bidang kehidupan dan dengan demikian

seluruh kehidupan itu berada dibawah kedaulatanNya.22

Konsep teologis seperti ini menjadi gambaran baru orang Toraja untuk memahami apa itu gereja. Tidak jarang bangunan gereja dibentuk berdasarkan ciri-ciri (bentuk dan ukiran) tongkonan tradisional. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah usaha seperti ini sudah membuktikan bahwa Gereja Toraja sudah sadar akan konteksnya, atau seperti yang dikatakan Pieris, sudah menjadi gereja yang berasal dari Asia,23 yang mewujud di dalam Komunitas Basis Tongkonan? Ataukah sebenarnya Gereja Toraja hanya melanjutkan model pekabaran Injil para misionaris yang memanfaatkan kebudayaan Toraja sebagai media untuk memikat hati orang Toraja sehingga mereka boleh merasa “krasan” beribadah di dalam gereja?

Berangkat dari persoalan hubungan teologis antara gereja dan tongkonan inilah maka persoalan konkrit yang akan diteliti sekaligus menjadi batasan di dalam tulisan ini akan nampak di dalam rumusan masalah sebagai berikut:

22

Kutipan panjang ini merupakan ringkasan dari uraian Th. Kobong (draft Adat und Evangelium XVIII 4c) yang digunakan oleh Z.J. Ngelow untuk menguraikan model kontekstualisasi yang dipikirkan Th. Kobong. Zakaria J. Ngelow. “Teologi Tongkonan …”, hlm. 52-53

23

Dengan menggunakan istilah ini, Pieris menekankan bahwa Gereja lokal di Asia belum memenuhi pengutusan mereka dan dengan demikian telah gagal menghasilkan Gereja lokal dari Asia. Lih. Aloysius Pieris. Berteologi Dalam Konteks Asia. Kanisius, Yogyakarta (1996), hlm. 68-69.

(10)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa dan bagaimana hakekat tongkonan itu?

2. Bagaimana Th. Kobong memahami Gereja sebagai Tongkonan Kristus? 3. Bagaimana Komunitas Basis Manusiawi menurut Pieris dipahami dalam

kerangka membangun model bergereja yang kontekstual di Toraja?

C. HIPOTESIS

Tongkonan tradisional yang bersifat genealogis merupakan dasar persekutuan di dalam masyarakat Toraja. Kehidupan bergereja berarti hidup berdasarkan kasih agape Yesus. Meskipun kedua bentuk persekutuan ini berbeda namun kedua persekutuan ini dapat saling bertemu di dalam Komunitas Basis Tongkonan dan saling melengkapi di dalam aksi siangkaran (solidaritas) untuk semua manusia dengan segala penderitaannya. Di dalam tujuan itulah Gereja Toraja dapat menjadi a church of Asia dan bukan sekedar a church in Asia.

D. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah menguraikan apa dan bagaimana hakekat tongkonan di dalam pemahaman tradisional masyarakat Toraja. Kemudian memahami bagaimana gereja yang dipahami oleh Th. Kobong sebagai Tongkonan Kristus, dan pada akhirnya membangun hubungan dialogis antara persekutuan yang di dasarkan pada tongkonan tradisional dan tongkonan Kristus melalui satu wadah yaitu Komuntias Basis Tongkonan.

(11)

E. JUDUL

E.1. Perumusan Judul

Berdasarkan uraian di atas, maka penulisan ini akan ditempatkan di bawah judul:

KOMUNITAS BASIS TONGKONAN

Refleksi Teologis-Kontekstual Menuju Cara Menggereja

Yang Terbuka, Kritis, dan Transformatif

E.2. Alasan Pemilihan Judul

Sebagai satu fenomena kebudayaan yang terus berkembang, tongkonan seringkali mendapat interpretasi yang beragam dari setiap anggota masyarakat. Komunitas Basis Tongkonan dipilih sebagai judul dengan alasan bahwa konsep dasar persekutuan orang Toraja berasal dari dalam tongkonan. Sub judul dianggap sebagai refleksi karena disadari bahwa tulisan ini berusaha melihat beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan sebagai referensi untuk mewujudkan tujuan di atas.

F. METODE PENULISAN F.1. Metode Penulisan

Penulisan ini akan berangkat dari mendeskripsikan beberapa pokok persoalan sehubungan dengan tongkonan (perspektif antropologis) dan gereja (perspektif teologis). Setelah itu, dilakukan analisa terhadap keduanya persoalan tersebut untuk menemukan alternatif pada kesimpulan akhir tulisan ini. Oleh karena itu metode pembahasan ini disebut deskriptif-analitis.

(12)

F.2. Metode Penelitian

Tulisan ini akan menggunakan dua bentuk penelitian yaitu: penelitian pustaka yang bertujuan untuk memperoleh data-data sekunder sedangkan data-data primer akan diperoleh melalui penelitian lapangan. Metode penelitian kualitatif dipilih sebagai model dalam proses pengumpulan data lapangan. Beberapa dimensi akan diperhatikan di dalam penelitian kebudayaan seperti dimensi kognitif, dimensi

evaluatif dan dimensi simbolik.24 Berdasarkan pertimbangan ini, maka penulis ingin

menyelidiki bukan hanya tongkonan tetapi juga unsur-unsur yang saling terkait dengannya. Karena dengan demikian, sebuah makna bisa semakin dikenali.

Selain dengan pengamatan, proses pengumpulan data akan dilakukan dalam proses wawancara. Oleh karena daerah Tana Toraja merupakan daerah kesatuan adat yang masing-masing daerah memiliki peraturan adatnya sendiri, maka lokasi penelitian akan ditentukan berdasarkan salah satu dari daerah adat tersebut. Lokasi penelitian yang dimaksud adalah wilayah adat Ma’duang Tondok (Sillanan-Pemanukan) yang berada di dalam wilayah Kec. Gandangbatu-Sillanan. Selain itu, beberapa narasumber yang akan diwawancarai antara lain: tokoh adat, tokoh gereja, pemerintah (Kepala Lembang/Lurah), dan anggota jemaat.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan ini berusaha menggunakan kerangka tertentu untuk mempermudah proses penulisan. Kerangka itu disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

24

Lih. Suwardi Endraswara. Metode Penelitian Kebudayaan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta (2003), hlm. 5

(13)

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini akan menguraikan Permasalah (Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, dan Hipotesis), Tujuan Penulisan, Judul (Perumusan Judul dan Alasan Pemilihan Judul), Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II TONGKONAN MENURUT ORANG TORAJA

Sebelum membicarakan tongkonan tradisional, pertama-tama akan dipaparkan satu kerangka teoretis berdasarkan perspektif antropologis interpretatif dari Clifford Geertz. Kemudian menguraikan bagaimana asal-usul dan hubungan antara komunitas Toraja dengan komunitas yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk melihat betapa identitas saling melengkapi dengan identitas yang lain. Hasil penelitian kepustakaan (sekunder) akan dideskripsikan bersama dengan hasil penelitian lapangan (primer) untuk menghasilkan pengertian yang mencakup konsep, simbol, dan makna sebuah tongkonan.

BAB III GEREJA DI TORAJA ATAU GEREJA DARI TORAJA

Bagian ini akan dimulai dengan menguraikan konsep bergereja yang dipahami oleh Gereja Toraja berdasarkan apa yang sudah diusahakan oleh Th. Kobong di dalam kontekstualisasinya (Tongkonan Kristus). Kemudian diberikan beberapa pertimbangan terhadap usaha kontekstualisasi tersebut. Berdasarkan beberapa pertimbangan yang ada, maka tulisan ini ingin mengembangkan pemahaman kontekstualisasi yang telah dirintis oleh Th. Kobong, dan bukan meninggalkannya sama sekali. Apa yang telah diusahakan sebelumnya akan menjadi titik tolak untuk mengembangkan alternatif yang lain. Tetapi juga,

(14)

sekaligus, menjadikan keduanya sebagai pencapaian yang saling melengkapi. Alternatif yang dimaksud adalah mengembangkan Basic Human Community seperti yang dimaksud oleh Aloysius Pieris. Dengan cara demikian, harapan yaitu bagaimana tongkonan dapat dipahami sebagai komunitas basis akan menjadi jelas.

BAB IV KOMUNITAS BASIS TONGKONAN: Menuju Cara Menggereja Yang Misioner

Bagian ini merupakan refleksi teologis terhadap pertemuan antara spiritualitas

siangkaran yang terkandung di dalam falsafah tongkonan dan kasih agape yang

dihayati di dalam agama Kristen. Dengan memanfaatkan pemikiran Aloysius Pieris sebagai seorang teolog Asia, maka Tongkonan dalam hubungannya dengan Gereja Toraja tidak akan dilihat sebagai sesuatu yang hanya bersifat

inferior, melainkan mengusahakan titik temu antara keduanya di dalam

“Komunitas Basis Tongkonan”. Sejauh mana keterbukaan Tongkonan Kristus terhadap komunitas ini menandakan kesiapannya untuk menjadi gereja yang misioner, yang terbuka terhadap konteks budaya tradisional, kemiskinan, dan pluralitas agama.

BAB V PENUTUP

Bagian ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan, termasuk beberapa saran yang akan menjadi rekomendasi selanjutnya terhadap pokok persoalan yang dikaji.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian dalam Tugas Akhir ini adalah mempelajari perilaku lentur balok baja yaitu riwayat pembebanan mulai dari nol sampai kondisi plastis, mempelajari

9 Keyakinan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pengaruh kepemimpinan inspirasional guru terhadap hasil pembelajaran peserta didik yang dimoderasi oleh pola

harus mempunyai strategi untuk menarik pelanggan dan mempertahankan loyalitasnya agar terus bertahan dan berkembang. Sari Warna Asli 1 merupakan salah satu

(makna yang bisa saya ambil dari kejadian ini adalah. Orang kan jarang ditinggal orang tuanya ketika masih kecil-kecil seperti ini belum berkeluarga kan bisa

Penelitian yang dilakukan masih terdapat beberapa kekurangan diantaranya keterbatasan jumlah training data dan atribut prediktor sehingga berpengaruh pada kualitas pohon

sebagai media pembelajaran dalam bermain musik juga digunakan di Prodi Pendidikan Seni Musik guna menjadikan mahasiswa bukan hanya bisa bermain musik dengan

Menurut hasil penelitian, tujuan kegiatan sosialisasi Rumah Pintar BSD City yang dilakukan oleh Departemen Public Affairs Sinar Mas Land adalah untuk menyebarkan

Posisi uang primer pada akhir bulan Februari menurun sebesar Rp3,71 triliun dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi Rp180,03 triliun.. Berdasarkan pergerakan harian uang primer,