BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Prinsip dasar demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta dalam proses pembuatan keputusan politik. Dalam suatu sistem politik yang demokratis para pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, para politisi atau pejabat publik sebagai wakil rakyat akan berbuat maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar diberlakukannya pemilihan umum secara langsung di Indonesia. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah (bupati, walikota, gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya pemilihan gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Melalui pemilihan secara langsung, gubernur harus dapat mempertanggungjawabkan secara langsung kepada rakyat. Pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur secara langsung lebih accountable dibandingkan dengan sistem pemilihan umum sebelumnya. Pada system pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur sekarang ini rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi rakyat rakyat dapat menentukan pilihannya berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan.
Pilkada langsung berarti mengembalikan “hak-hak dasar’ masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis. Dalam konteks itu, negara memberikan kesempatan kepada
masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.1
Dari uraian diatas penulis menyadari betapa pentingnya peran Pemilihan Kepala Daerah sebagai sarana aspirasi politik dan partisipasi politik masyarakat. Berbicara tentang Pemilihan Kepala Daerah tentu tidak lepas dari perilaku pemilih itu sendiri, hal inilah yang menjadi alasan penulis memilih perilaku pemilih sebagai tema dalam penelitian ini.
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004. Hal ini sejalan dengan prinsip utama demokrasi dimana setiap orang memiliki hak untuk menyuarakan aspirasi politiknya yaitu memilih secara langsung kepala daerahnya. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Pulau Sumatera, pelaksanaan dan hasil dari Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara selalu menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 13.000.000 jiwa, Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara merupakan sebuah momen politik penting yang terjadi di Indonesia, khususnya Pulau Sumatera. Demografi penduduk Sumatera Utara yang heterogen juga menjadi salah satu alasan kenapa Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara menarik untuk diteliti.
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara diikuti oleh 5 (lima) pasangan calon Gubernur dan Wakil gubernur. Adapun kelima pasangan tersebut adalah pasangan calon dengan nomor urut 1, H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM – Ir. H. Soekirman. Pasangan calon dengan nomor urut 2 yaitu Drs. Effendi M.S. Simbolon-Drs. Djumiran Abdi. Pasangan calon dengan nomor urut 3, Dr. H.
1
Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly Nurzal, S.Ag. Pasangan calon dengan nomor urut 4, Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy Nainggolan. Dan yang terakhir pasangan calon dengan nomor urut 5 yaitu H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi.
Dari pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara, pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi yang juga merupakan incumbent berhasil memenangkan suara terbanyak dengan perolehan suara sebesar 1.604.337 atau 33% dari total suara sah. Kemudian pada urutan kedua diduduki pasangan calon Drs. Effendi M.S. Simbolon-Drs. Djumiran Abdi dengan perolehan suara 1.183.187 atau 24,34% dari total suara sah. Pada urutan ketiga adalah pasangan calon H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM–Ir. H. Soekirman dengan perolehan suara sebanyak 1.027.433 atau 21,13% dari total suara sah. Selanjutnya, pasangan Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy Nainggolan memperoleh suara sebanyak 594.414 atau 12,23% dari total suara sah. Dan yang terakhir pasangan calon Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly Nurzal, S.Ag dengan perolehan suara sebanyak 452.096 atau 9,30% dari total suara sah.
Kabupaten Labuhan Batu adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Ibu kota kabupaten ini terletak di Rantau Parapat. Kabupaten ini terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan, Rantau Selatan adalah satunya. Rantau Selatan merupakan kecamatan dengan mayoritas penduduk suku Batak. Dari keseluruhan jumlah penduduk, sebesar 59,66 % atau 34.572 jiwa merupakan penduduk bersuku
Batak. Pada tabel 1.1 berikut ini adalah persentase penduduk berdasarkan suku di Kecamatan Rantau Selatan.
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Berdasarkan Suku Di Kecamatan Rantau Selatan
No. Suku Bangsa Persentase (%)
1 Melayu 1,82 2 Batak 59,66 3 Minang 0,6 4 Jawa 34,18 5 Aceh 0,16 6 Lainnya 3,58
Sumber : BPS Kabupaten Labuhan Batu
Sebagai salah satu Kecamatan yang berada dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara, maka Kecamatan Rantau Selatan ikut melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013. Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara di Kecamatan Rantau Selatan, ada sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, yaitu kemenangan pasangan calon H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi. Dimana pasangan calon H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi yang tidak berafiliasi secara langsung dengan suku Batak justru berhasil memenangkan perolehan suara terbanyak di Kecamatan Rantau Selatan yang notabene mayoritas penduduknya bersuku Batak. Padahal jika dilihat dari seluruh pasangan calon yang ada, terdapat beberapa pasangan calon yang berasal dari suku Batak. Hal inilah yang menurut penulis menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013 di Kecamatan Rantau Selatan, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum adalah 45.100 jiwa. Dari keseluruhan DPT tersebut, hanya 22.588 orang yang menggunakan hak pilihnya, sedangkan 22.512 orang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013 di Kecamatan Rantau Selatan. Adapun pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak adalah pasangan calon dengan nomor urut 5 yaitu H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi yang memperoleh 8.037 suara. Selanjutnya pasangan calon dengan nomor urut 1 yaitu H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM–Ir. H. Soekirman berada di urutan kedua dengan perolehan suara sebanyak 6.734 suara. Selanjutnya di urutan ketiga terbanyak adalah pasangan calon dengan nomor urut 3 yaitu pasangan calon Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly Nurzal, S.Ag. dengan perolehan suara sebanyak 4.195 suara. Kemudian diikuti oleh pasangan dengan nomor urut 2 yaitu pasangan calon Drs. Effendi M.S. Simbolon- Drs. Djumiran Abdi dengan perolehan 2.112 suara dan yang terakhir adalah pasangan dengan nomor urut 4 yaitu pasangan calon Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy Nainggolan dengan perolehan 1.178 suara.
Adapun fenomena yang terjadi di Kecamatan Rantau Selatan adalah bentuk dari pola pemberian suara dalam pemilihan umum. Selanjutnya, pola pemberian suara dalam pemilihan umum dapat dianalisis dengan pendekatan perilaku pemilih. Perilaku pemilih menurut Surbakti adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (Pilkada)
secara langsung-pen. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu”.2
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perilaku pemilih masyarakat suku Batak di Kecamatan Rantau Selatan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perilaku Pemilih Masyarakat Batak Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 (Studi Kasus: Perilaku Pemilih Masyarakat Batak Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Rantau Selatan, Kabupaten Labuhan Batu).”
I.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.
Dari latar belakang penelitian tersebut, maka yang jadi rumusan masalah adalah: “Bagaimana perilaku pemilih masyarakat Batak di Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013?”
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat Batak di Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013.
I.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan penulis dalam meneliti fenomena politik yang terjadi, sehingga menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
b. Secara teoritis hasil penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat menambah khazanah kepustakaan politik di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
c. Sebagai rujukan bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
I.5 Kerangka Teori
Bagian ini merupakan unsur yang paling penting di dalam penelitian, karena pada bagian ini penelitian mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Teori menurut Masri Singaribun dan Sofian Efendi dalam Buku Metode Penelitian Sosial
mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.3
3
I.5.1 Partisipasi Politik
Tingkat partisispasi politik adalah faktor yang menentukan apakah pemilu ataupun Pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan pemilu ataupun Pilkada semakin tinggi.
Dalam analisa Modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai pertisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi dalam bidang politik khususnya dalam hal pengambilan keputusan-keputusan mengenai kebijakan umum.4
Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.
Herbert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan- kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.5
Berikut ini dikemukakan sejumlah “rambu-rambu” partisipasi politik:6
1. Partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan
4
Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal 367 5
Ibid. hal 367 6
orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya.
2. Kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternative kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah.
3. Kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
4. Kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah.
5. Mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok, kudeta, revolusi, dll.
Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari enzim yang sedang berkuasa.
Partisispasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu:7 1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input
politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintah.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan hanya berorentasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.
Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis (golput).
Kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan Gladiator meliputi:
a. Memegang jabatan publik atau partai b. Menjadi calon penjabat
c. Menghimpun dana politik
d. Menjadi anggota aktif suatu partai
e. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik. 2. Kegiatan transisi meliputi:
a. Mengikuti rapat atau pawai politik
7
b. Memberi dukungan partai atau calon
c. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik. 3. Kegiatan menoton meliputi:
a. Memakai symbol/identitas partai/organisasi politik b. Mengajak orang untuk memilih
c. Menyelenggarakan diskusi politik d. Member suara.
4. Kegiatan apatis/masa bodoh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah: 1. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak kewajibannya sebagai
warga negara.
2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpin.
Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu:8 1. Partisipasi politik aktif jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang
tinggi.
2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah.
I.5.2 Perilaku Pemilih
Pemilihan diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para konsestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada konsentan yang bersangkutan.9 Dinyatakan sebagai pemilih dalam Pilkada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih.
Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada umumnya. Konsituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam insitusi politik seperti partai politik dan seorang pemimpin.10
Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada secara langsung. Pemberian suara atau votting secara umum dapat diartikan sebagai; “Sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil”.11
Pemberian suara dalam Pilkada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Perilaku pemilih menurut Surbakti adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (Pilkada)
9
Firmanzah, 2007. Marketing politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hal 102 10Ibid. hal 105
secara langsung-pen. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu”.12
Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.
Perilaku pemilih juga sarat dan idelogy antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dibawa dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.
Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yaitu:13 1) Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologi sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika dan pendidikan Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai
social determinism approach.
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
12
Ramlan Surbakti, 1997. Partai, Pemilih dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 170 13 Muhammad Asfar, 2006. Pemilih, Perilaku Memilih, Jakarta : Pustaka Eureka, hal 137-144
dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologi (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek kata, pengelompokkan sosial seperti umur (tua-muda); jenis kelamin; (laki-perempuan); agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokkan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientsasi seseorang.
2) Pendekatan Psikologis
Pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa Barat, pendekatan Psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di Unversitas Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini juga disebut sebagai Mazhab Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini adalah Angust Campbell.
Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variabel- variabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang.
Penganut pendekatan ini menjelaskan sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam
mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu – isu dan orientasi terhadap kandidat.
3) Pendekatan Rasional
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasikan dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politik pun maka masyrakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar – besarnya dan menekan kerugian.
I.5.2.1 Orientasi Pemilih
1. Orientasi Policy –Problem Solving
Ketika memilih seorang kontestan dari kacamata “Policy-Problem-Solving” yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional (daerah) dan kejelasan-kejelasan program kerja partai-partai politik atau kontestan pemilu yang arah kebijakannya tidak jelas cenderung tidak dipilih.14
2. Orientasi Ideologi
Pemilih yang cenderung mementingkan ideologi suatu partai atau kontestan, akan mementingkan ikatan “ideologi” suatu partai atau kontestan, akan menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kontestan pemilu, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kontestan tersebut.
I.5.2.2 Jenis-Jenis Pemilih 1) Pemilih rasional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi yang tinggi terhadap Policy-Problem-Solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilihan dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dengan program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang ditawarkan sang calon atau partai politik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang terjadi.
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan Ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan pemilu.
2) Pemilih kritis
a) Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai atau kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan.
b) Bisa juga terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang melatar belakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilihan jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem partai ideologi dengan kebijakan yang dibuat.
3) Pemilih tradisional
Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu. Kebijakan seperti yang berhubungan dengan masalah ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye, pemilihan jenis ini memiliki loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh seorang kontestan pemilu atau partai politik yang merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa ditawarkan lagi.
4) Pemilih skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih ini juga tidak menjadikan
sebuah kebijakan menjadi suatu hal penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama saja, tidak ada perubahan yang berarti yang terbagi bagi kondisi daerah/negara.
Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kontestan pemilu nanti harus bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut, yaitu tentunya melalui kampanye. Karena dengan memahami jenis pemilih yang ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi semakin kuat. Mereka harus mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang ada. Untuk itu mereka pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh ataupun hal-hal yang membuat setiap jenis pemilih diatas maupun mendukung mereka dalam pemilu (Pilkada) nanti. Dengan lahirnya UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6/2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana disebutkan dimuka, akhirnya pilkada langsung yang menggunakan asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, pilkada langsung layaknya disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter demokratis.
I.5.3. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Sejak Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkadasung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan:
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.
Dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” masyarakat didaerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendimanisir kehidupan demokrasi di Tingkat Lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada kritisisme dan rasioanalitas rakyar sendiri.15
Dengan lahirnya UU No.32/2004 dan PP No.6/2005, sebagaimana disebutkan dimuka, akhirnya pilkada langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan. Dengan pemilihan langsung, yang menggunakan asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, pilkada langsung layak disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang hamper memenuhi parameter demokratis.
15 Joko J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar, hal 1-2
I.5.3.1 Parameter Demokrasi Pilkada
Mekanisme pemilihan Kepala Daerah disebut Demokrasi apabila memenuhi beberapa parameter. Mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington dan Bingham Powel (1978). Parameter untuk mengenai terwujudnya suatu demokrasi apabila:
1. Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur; 2. Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan;
3. Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; dan 4. Akuntabilitas publik.
Dibawah ini dijelaskan masing – masing parameter tersebut :16 1. Pemilihan Umum
Rekrutmen jabatan politik atau publik dan harus dilakukan dengan pemlihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur, dan adil. Pemilu merupakan gerbang pertama yang harus dilewati karena dengan pemilu lembaga demokrasi dapat dibentuk. Kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji-janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberikan ganjaran atau human (reward and punishment) dalam pemilihan mendatang. Penjabat yang tidak dapat memenuhi janji-janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih, sebaliknya pejabat yang berkenan di hati masyarakat akan di pilih kembali.
2. Rotasi kekuasaan
Rotasi kekuasaan juga merupakan parameter demokrasi tidaknya suatu rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengadalkan bahwa kekuasaan atau jabatan politik tidak bisa dipegang terus-menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang berkuasa terus-menerus atau satu partai politik mengendalikan roda pemerintahan secara dominan dari waktu kewaktu sistem itu kurang layak disebut demokratis. Dengan kata lain, demokrasi memberikan peluang rotasi kekuasaan atau rotasi pejabat politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik yang lain.
3. Rekrutmen Terbuka
Demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak dalam peluang yang sama. Oleh karena itu dalam mengisi jabatan politik, seperti Kepala Daerah sudah seharusnya peluang untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan kompetisi yang wajar sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Dinegara-negara totaliter dan otoriter, rekrutmen politik hanyalah merupakan domain dari seseorang atau sekelompok orang kecil.
4. Akuntabilitas Publik
Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggung jawabkan kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik. Seorang Kepala Daerah atau pejabat politik lainnya harus dapat menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan A, bukan kebijkan B, mengapa menaikkan pajak dari pada melakukan efesiensi dalam
pemerintahan dan melakukan pemberantasan KKN. Apa yang mereka lakukan terbuka untuk dipertanyakan kepada publik. Demikian pula yang dilakukan kepada keluarga kepada keluarga terdekatnya, sanak saudaranya bahkan teman dekatnya seringkali dikaitkan dengan kedudukan atau posisi pejabat tersebut. Hal itu karena pejabat publik merupakan amanah dari masyarakat, maka ia harus dapat menjaga, memelihara dan bertanggung jawab dengan amanah tersebut.
Selain itu pilkada langsung dapat disebut sebagai praktik politik demokrasi apabila memenuhi bebrapa prisipinsial, yakni menggunakan asas-asas yang berlaku dalam rekruitmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan pemilihan Presiden Wakil Presiden, yakni azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber dan Jurdil).
1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti Pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. 3. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menetukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap
warga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberika suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak adakan diketahui oleh pihak mana pun dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.
5. Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta Pilkada, Pengawas Pilkada, Pemantau Pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapatkan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecenderungan pihak manapun.17
Gagasan pilkada langsung itu dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah yang telah dimulai. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Robert A. Dahl, disamping untuk menghindari Tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain, diantaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan.
Pilkada secara langsung itu memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik.
I.6 Metedologi Penelitian I.6.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya.
Menurut Sugiyono, metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.18
I.6.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Labuhan Batu. Tepatnya di Kecamatan Rantau Selatan. Alasan pemilihan lokasi penelitian merupakan daerah tempat
peneliti bertempat tinggal, sehingga akan lebih mudah bagi penelitian mendapatkan data baik masyarakat maupun dari instansi yang terkait dengan penelitian nantinya. Selain itu pemilihan lokasi penelitian dikhususkan di kecamatan Rantau Selatan karena daerah tersebut merupakan Kecamatan dengan jumlah masyarakat Batak terbesar di Kabupaten Labuhan Batu, sehingga akan lebih mudah bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih masyarakat Batak pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013.
I.6.3 Populasi dan Sampel 1.6.3.1 Populasi
Populasi berdasarkan dari kata bahasa Inggris yaitu “Population” yang berarti jumlah penduduk. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dsb, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian. Maka yang menjadi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Batak yang menggunakan hak piliknya di Kecamatan Rantau Selatan. Dari 45.100 jiwa yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya 22.588 yang menggunakan hak pilihnya. Maka populasi dalam penelitian ini adalah 22.588 jiwa.
1.6.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakreristik yang dimiliki oleh populasi. Untuk menetukan jumlah sampel dalam penelitian ini, penulis menggunakan rumus Taro Yamane , yaitu:
Keterangan : = Ukuran sampel
= Ukuran populasi
= Presisi sebesar 10% dengan tingkat kepercayaan 90%
= 99,56 (100 responden)
Maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 99,56 yang kemudian dibulatkan menjadi 100 responden guna memudahkan penelitian ini. Sedangkan untuk menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 100 orang dari 109 TPS yang terdapat di 9 desa di Kecamatan Rantau Selatan. Penulis menggunakan teknik sampling acak proporsional dan sampelnya dinamakan sampel acak proporsional.19 Dengan rumus :
n1 x n n =
N Dimana :
n1 = jumlah populasi tiap TPS
n = jumlah sampel pada populasi awal N = jumlah populasi keseluruhan
Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka dapat ditentukan berapa jumlah sampel untuk tiap desa/kelurahan di Kecamatan Rantau Selatan. Diketahui bahwa besar persentase suku batak di Kecamatan Rantau Selatan adalah 59,66% seperti
tertera pada tabel 1.1. Maka perhitungan untuk menentukan jumlah sampel di tiap desa/kelurahan adalah : 1. Lobu Sona 534 x 59,66% = 318,59 318,59 x 100 = 1,03 (Sampel 1 orang) 13476 2. Sidorejo 1812 x 59,66% = 1081,04 1081,04 x 100 = 8,02 (Sampel 8 orang) 13476 3. Sigambal 1864 x 59,66% = 1112,06 1112,06 x 100 = 8, 25 (Sampel 8 orang) 13476 4. Danobale 2021 x 59,66% = 1205,73 1205,73 x 100 = 8,95 (Sampel 9 orang) 13476 5. Perdamean 3267 x 59,66% = 1949,09 1949,09 x 100 = 14,46 (Sampel 15 orang) 13476
6. Ujung Bandar 2369 x 59,66% = 1413,35 1413,35 x 100 = 10,49 (Sampel 11 orang) 13476 7. Bakaran Batu 4629 x 59,66% = 2761,66 2761,66 x 100 = 20,49 (Sampel 21 orang) 13476 8. Urung Kompas 2810 x 59,66% = 1676,45 1676,45 x 100 = 12,44 (Sampel 12 orang) 13476 9. Sioldengan 3282 x 59,66% = 1958,04 1958,04 x 100 = 14,53 (Sampel 15 orang) 13476
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat jumlah sampel untuk penelitian ini secara rinci, seperti pada tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2 Jumlah Sampel Di Desa/Kelurahan Di Kecamatan Rantau Selatan
No Nama Kelurahan/Desa Jumlah Sampel
1 Lobu Sona 1 2 Sidorejo 8 3 Sigambal 8 4 Danobale 9 5 Perdamean 15 6 Ujung Bandar 11 7 Bakaran Batu 21 8 Urung Kompas 12 9 Sioldengan 15 Total Sampel 100
1.6.3.3 Teknik Penarikan Sampel
Untuk menentukan objek penelitian yang tepat, maka penulis menggunakan teknik penarikan sampel berikut ini :
a. Proporsional Stratified Sampling
Teknik ini digunakan karena populasi yang dijadikan sampel terbagi atas beberapa TPS. Dengan menggunakan teknik ini setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besarnya strata.20 Dalam penelitian ini sampel terdiri dari 9 strata. Jadi memungkinkan populasi kecil terpilih menjadi sampel.
b. Purposive Sampling
Penarikan sampel dengan teknik ini adalah penarikan sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian, dimana sampel yang digunakan harus sesuai
20 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, Hal. 159
dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Kriteria sampel adalah pemilih batak di Kecamatan Rantau Selatan yang memberikan suara pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
I.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, dipergunakan dua sumber pengumpulan data yaitu: pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.
1. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data primer dalam penelitian ini berasal kuesioner yang dibagikan dan hasil wawancara kepada responden berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian (Library Research) dan pencatatan dokumen antara lain dengan mengumpulkan data dari buku, literatur, jurnal, majalah, Koran, internet dan sumber lain yang dianggap relevan dengan masalah yang ditelit
I.7 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.
BAB II DESKRIPSI KECAMATAN RANTAU SELATAN
Bab ini berisi data gambaran umum Kecamatan Rantau Selatan.
BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
Bab ini berisikan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan mengenai dan analisis data-data yang diperoleh.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan.