BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belajar 1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses
internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah‐ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasikan ranah‐ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu. (Dimyati dan Mudjiono,2006:18)
Pengertian belajar secara luas dapat diartikan sebagai kegiatan psiko‐fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian yang seutuhnya. Belajar akan membawa suatu perubahan‐perubahan pada individu‐individu yang belajar. Perubahan tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko‐fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. (Sardiman,2007:21)
Menurut Slameto (2010:2), belajar secara psikologis merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan‐perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Jadi pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”
2. Ciri‐Ciri Belajar
Jika hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri‐ciri belajar.
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
Ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang‐kurangnya individu merasa telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya.
b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan‐perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu sendiri.
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya untuk beberapa saat saja. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap dan permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar‐benar disadari.
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya
ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. (Djamarah,2002:15)
3. Jenis‐Jenis Belajar
Menurut Slameto (2010:5) jenis‐jenis belajar meliputi : a. Belajar Bagian (Part Learning, Fractioned Learning)
Belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajari sajak ataupun gerakan‐gerakan motoris seperti bermain silat.
b. Belajar dengan Wawasan (Learning by Insight)
Belajar wawasan merupakan proses mereorganisasikan pola‐pola tingkah laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan.
c. Belajar Diskriminatif (Discriminatif Learning)
Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
d. Belajar Global/Keseluruhan (Global Whole Learning)
Dalam belajar global, bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang sampai pelajar menguasainya; lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini sering juga disebut metode Gestalt.
e. Belajar Insidental (Incidental Learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu berarah‐tujuan (intensional). Sebab dalam belajar insidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Belajar disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak.
f. Belajar Instrumental (Instrumental Learning)
Salah satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah laku“. Di sini individu diberi hadiah bila ia bertingkah laku sesuai dengan tingkah laku
yang dikehendaki, dan sebaliknya ia dihukum bila memperlihatkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu. g. Belajar Intensional (Intentional Learning) Belajar dalam arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental. h. Belajar Laten (Laten Learning)
Dalam belajar laten, perubahan‐perubahan tingkah laku yang terlihat tidak terjadi secara segera. Dalam penelitian mengenai ingatan, belajar laten ini diakui memang ada yaitu dalam bentuk belajar insidental.
i. Belajar Mental (Mental Learning)
Belajar mental adalah belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan‐gerakan orang lain dan lain‐lain.
j. Belajar Produktif (Productive Learning)
Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip penyelesaian satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
k. Belajar Verbal (Verbal Learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui banyak latihan dan ingatan.
4. Prinsip‐Prinsip Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:42) belajar memiliki beberapa prinsip, yaitu :
a. Perhatian dan motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Di samping perhatian, motivasi juga mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
Kecenderunagn psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.
c. Keterlibatan langsung/berpengalaman
Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental, emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai‐nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan‐latihan dalam pembentukan keterampilan.
d. Pengulangan
Menurut teori Psikologi Daya, belajar adalah melatih daya‐daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya‐ daya tersebut akan berkembang.
e. Tantangan
Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut.
f. Balikan dan penguatan
Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat‐sifatnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. 5. Faktor‐Faktor Pengaruh Belajar Faktor‐faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi dua, yaitu : a. Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. 1) Faktor Jasmaniah, meliputi faktor kesehatan, dan cacat tubuh. 2) Faktor Psikologis, meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3) Faktor Kelelahan, meliputi kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat psikis). b. Faktor Ekstern, yaitu faktor yang ada di luar individu.
1) Faktor keluarga, meliputi cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah, meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. c. Faktor masyarakat, meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman
bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. (Slameto,2010:54)
6. Tujuan Belajar
Tujuan belajar ada tiga jenis, yaitu : a. Untuk mendapatkan pengetahuan
Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Pemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan.
b. Penanaman konsep dan keterampilan
Penanaman konsep atau merumuskan konsep, juga memerlukan keterampilan. Jadi soal keterampilan yang bersifat jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmaniah adalah keterampilan‐keterampilan yang dapat dilihat, diamati, sehingga akan menitikberatkan pada keterampilan gerak/penampilan tubuh sesorang yang sedang belajar. Sedangkan keterampilan rohani lebih abstrak, menyangkut persoalan‐ persoalan penghayatan, dan keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep.
c. Pembentukan sikap
Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati‐hati dalam pendekatannya. Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai‐nilai, transfer of values. (Sardiman,2007:26)
2.2. Hasil Belajar
Menurut Benyamin Bloom dalam Nana Sudjana (1995:22) hasil belajar adalah kemampuan‐kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Klasifikasi hasil belajar secara garis besar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu :
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,
jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
3. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerak refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Pelaku aktif dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran. Pelaku aktif pembelajaran adalah guru. Dengan demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat pra‐ belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terkait dengan bahan pelajaran. Tingkat perkembangan tersebut terwujud pada jenis‐jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. (Dimyati dan Mudjiono,2006:250)
Hasil belajar dinilai dengan ukuran guru, tingkat sekolah dan tingkat nasional. Dengan ukuran‐ukuran tersebut, seorang siswa yang keluar dapat digolongkan lulus atau tidak lulus. Kelulusannya dengan memperoleh nilai rendah, sedang, atau tinggi, yang tidak lulus berarti mengulang atau tinggal kelas, bahkan mungkin dicabut hak belajarnya. Dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil belajar berpengaruh pada tindak siswa dan tindak guru. Keputusan tentang hasil belajar merupakan umpan balik bagi siswa dan guru. (Dimyati dan Mudjiono,2006:251).
2.3. Pendidikan Kewarganegaraan ( PKn ) 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan menurut Zamroni dalam Tukiran Taniredja, dkk (2009:3) adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak‐hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai‐nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awarenes, attitude, political efficacy, dan political participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.
Berdasarkan penjelasan pasal 39 Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk
membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. (Tukiran Taniredja,dkk,2009:3)
2. Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan Undang‐Undang Dasar 1945. (Badan Standar Nasional Pendidikan,2006:1)
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Adapun tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi sebagai berikut :
a. Memiliki kemampuan berpikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan. b. Memiliki keterampilan intelektual dan keterampilan berpartisipasi secara demokratis dan bertanggung jawab. c. Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma‐norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Badan Standar Nasional Pendidikan,2006:1)
Rumusan tujuan tersebut sejalan dengan aspek‐aspek kompetensi yang hendak dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Aspek‐aspek kompetensi tersebut mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions). Hal tersebut analog dengan konsep Benjamin S. Bloom tentang pengembangan kemampuan siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Aspek kompetensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) menyangkut kemampuan akademik keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum, dan moral. Keterampilan kewarganegaraan (civic skills) meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Watak/karakter kewarganegaraan (civic disposition) sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substansial dan esensial karena dipandang sebagai muara dari pengembangan kedua dimendi sebelumnya.
Dengan demikian seorang warga negara pertama‐tama perlu memilki pengetahuan kewarganegaraan yang baik, terutama pengetahuan di bidang politik, hukum, dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya seorang warga negara diharapkan memiliki keterampilan secara intelektual maupun secara partisipatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, pengetahuan dan keterampilan itu akan membentuk suatu watak atau karakter yang mapan, sehingga menjadi sikap dan kebiasaan hidup sehari‐hari. Watak, karakter, sikap atau kebiasaan hidup sehari‐hari yang mencerminkan warga negara yang baik itu misalnya sikap religius, toleransi, jujur, adil demokratis, menghargai perbedaan, menghormati hukum, menghormati hak orang lain, memiliki semangat kebangsaan yang kuat, memiliki rasa kesetiakawanan sosial, dan lain‐lain. (Badan Standar Nasional Pendidikan,2006:2) 4. Materi / Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan Tabel 2.1 Ruang lingkup isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan No. DIMENSI KEILMUAN MATERI 1. POLITIK a. Manusia sebagai zoon politicon (mahluk sosial) b. Proses terbentuknya masyarakat politik c. Proses terbentuknya bangsa d. Asal‐usul negara e. Unsur‐unsur,tujuan, dan bentuk‐bentuk negara f. Kewarganegaraan
g. Lembaga politik h. Model‐model sistem politik i. Lembaga‐lembaga negara j. Demokrasi Pancasila k. Globalisasi 2. HUKUM a. Rule of law (negara hukum) b. Konstitusi c. Sistem hukum d. Sumber hukum e. Subyek, obyek, peristiwa, dan sanksi hukum f. Pembidangan hukum g. Proses hukum h. Peradilan 3. MORAL a. Pengertian nilai, norma, dan moral b. Hubungan antara nilai, norma, dan moral c. Sumber‐sumber ajaran moral d. Norma‐norma dalam masyarakat e. Implementasi nilai‐nilai moral Pancasila (Badan Standar Nasional Pendidikan,2006:3) 2.4. Kompetensi Dasar Kedaulatan Rakyat 1. Makna Kedaulatan Rakyat
Menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil (2005:6), kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam negara tersebut. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan penuh untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.
Kedaulatan mempunyai dua pengertian, yaitu kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam mengandung pengertian bahwa pemerintah (negara) berhak mengatur segala kepentinggan rakyat tanpa campur tangan negara lain,
sedangkan kedaulatan ke luar mengandung pengertian bahwa pemerintah (negara) berhak mengadakan hubungan atau kerja sama dengan negara lain untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi, negara yang berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan ke dalam dan ke luar. (Sunardi dan Mas’udi Asy,2006:2)
Pada dasarnya, kedaulatan mempunyai empat sifat yaitu :
a. Permanen, artinya kedaulatan itu bersifat tetap dan akan ada selama suatu negara masih berdiri.
b. Asli, artinya kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
c. Bulat, artinya kedaulatan itu tidak dapat dibagi‐bagi. Kedaulatan itu merupakan satu‐ satunya kekuasaan yang tertinggi dalam negara.
d. Tidak terbatas, artinya kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun. Sebab apabila kedaulatan itu terbatas, tentu saja sifat kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi akan lenyap. (Saronji Dahlan dan Asy’ari, 2006:158)
Teori‐teori kedaulatan dikemukakan oleh para ahli kenegaraan. Teori‐teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan. Raja atau penguasa mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan. Kehendak Tuhan menjelma ke dalam diri raja/penguasa. Teori ini pernah dianut oleh negara Jepang pada saat dipimpin Kaisar Tenno Heika sehingga dia dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari.
b. Teori Kedaulatan Raja
Teori ini merupakan penjabaran dari teori kedaulatan Tuhan. Kekuasaan tertinggi terletak di tangan Raja. Raja dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan di bumi dan mendapat kekuasaan langsung dari Tuhan. Kekuasaan raja mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Teori ini pernah diterapkan di negara Perancis saat dipimpin oleh Louis XIV.
Teori ini mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Negara sebagai lembaga tertinggi dengan sendirinyaa memiliki kekuasaan. Kedaulatan negara muncul bersama dengan berdirinya suatu negara. Teori ini pernah diterapkan di Jerman pada saat diperintah oleh Hitler.
d. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori ini, kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum. Hukum menurut teori ini adalah hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis, misalnya UUD dan peraturan perundang‐undangan. Pelaksanaan pemerintah dibatasi oleh norma sehingga tidak bersifat absolut. Teori ini dianut oleh negara Indonesia dengan model negara hukum modern.
e. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini mengajarkan bahwa kekuasaan negara tertinggi terletak di tangan rakyat. Sumber ajaran kedualatan rakyat adalah demokrasi. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut. Keabsolutan kekuasaan pemerintah perlu dibatasi dengan adanya pembagian kekuasaan seperti dalam ajaran trias politika. Ajaran ini menganjurkan agar kekuasaan pemerintahan negara dipisahkan menjadi tiga lembaga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat dan menetapkan undang‐undang. Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang‐undang. Sedangkan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang‐undang. (Sunardi dan Mas’ud Asy,2006:3)
Sistem negara yang menganut asas kedaulatan rakyat mempunyai ciri‐ciri yang tetap sebagai berikut :
a. Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut undang‐undang dasar.
b. Terdapat lembaga perwakilan rakyat sebagai badan yang mencerminkan kehendak rakyat.
c. Untuk mengisi keanggotaan lembaga tersebut dilaksanakan pemilihan umum dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Dadang Sundawa, dkk (2008:125) kedaulatan rakyat mengandung arti bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang‐undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat membawa konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kedaulatan rakyat berarti juga, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat berarti mereka yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahan terdiri atas rakyat itu sendiri dan memperoleh dukungan rakyat. Pemerintahan oleh rakyat mengandung pengertian, bahwa pemerintahan yang ada diselenggarakan dan dilakukan oleh rakyat sendiri baik melalui demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan.
Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat mengambil bagian secara pribadi dalam tindakan‐tindakan dan pemberian suara untuk membahas dan mengesahkan undang‐undang. Sedangkan demokrasi perwakilan, rakyat memilih warga lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat untuk membahas dan mengesahkan undang‐undang. (Dadang Sundawa,dkk,2008:126)
2. Peran Lembaga Negara Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.
Praktik kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara di Indonesia secara mendasar bersumber pada dua landasan. Pertama, Pancasila yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang kedua adalah UUD 1945 pasal 1 ayat 2, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang‐undang dasar. Dari ketentuan pasal 1 ayat 2 terkandung maksud bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, kedaulatan rakyat dijalankan oleh lembaga‐lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang terdiri atas :
a. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat di pusat a. Majelis Permusyawaratan Rakyat b. Dewan Perwakilan Rakyat c. Dewan Perwakilan Daerah d. Presiden dan Wakil Presiden e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Mahkamah Agung g. Mahkamah Konstitusi h. Komisi Yudisial b. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat di daerah a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
c. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat di desa yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD). (Saronji Dahlan dan Asy’ari,2006:172)
2.5. Metode Make‐a Match
Metode make‐a match adalah metode pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Situsai pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran tersebut akan lebih menarik dan siswa tidak merasa bosan dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal‐hal yang perlu dipersiapkan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode make‐a match adalah kartu‐kartu. Kartu‐kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan‐pertanyaan dan kartu‐kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaan‐pertanyaan tersebut. (Agus Suprijono,2010:94)
Langkah‐langkah pembelajaran dengan menggunakan metode make‐a match adalah
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review. Sebagian kartu berisi soal dan bagian lainnya berisi jawaban.
2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3. Setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegangnya. Setiap siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartunya (kartu soal dengan kartu jawabannya). 4. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu, diberi poin. 5. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya, demikian seterusnya.
6. Siswa diminta untuk membuat membuat kesimpulan dari kegiatan yang baru saja dilakukannya. Guru kemudian menutup pembelajaran.