SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Diyah Anggraeni NIM : 029114070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN TERHADAP ORGANISASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN PADA PETUGAS
PARAMEDIS PERAWATAN DI RSUD. WIROSABAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Diyah Anggraeni NIM : 029114070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
HALAMAN PERSEMBAHAN
When the times of my life seem ever so dark, I turn to the Lord. He comforts my
heart, his love and His Grace fill my every need and his promise trough Jesus
makes my life complete
Dedicated for :
• Tuhan Yesus Kristus yang selalu melimpahkan nikmat karunia di dalam
kehidupanku.
• Keluarga besar Antonius Sukirman • Keluarga Bapak R. Sarwono • Tante Florentina dan Om Ganis • My beloved person Abang Rinto
HALAMAN MOTTO
Barang siapa yang tidak tahu apa-apa, tentu tidak mencintai apapun, barang siapa tidak berbuat apa-apa, tentu juga tidak mengerti apaun. Dan barang siapa tidak mengerti apa-apa adalah tidak berguana. Tetapi barang siapa mengerti dan mencintai, mengamati, melihat….. Makin banyak pengetahuan yang melekat pada sesuatu, makin besar ia, makin besar pula cinta…….Barang siapa menganggap bahwa semuabuah-buahan menjadi matang bersamaan
dengan matangnya buah strawberry, berarti ia tidak tahu apa-apa tentang buah anggur.
Paracelcus
ABSTRAK
Diyah Anggraeni (2007). Hubungan Antara Komitmen Organisasi Dengan Kualitas Pelayanan Kesehatan Pada Petugas Paramedis Perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta: Jurusan Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif antara komponen-komponen dalam komitmen organisasi dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta. Penelitian ini memiliki hipotesis yang berbunyi: (1) Ada hubungan yang positif antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta; (2) Ada hubungan yang positif antara komitmen kontinuitas dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta; (3) Ada hubungan yang positif antara komitmen normatif dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paremedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta. Subjek yang dipakai dalam penelitian ini adalah petugas paramedis perawatan RSUD. Worosaban Yogyakarta yang berstatus pegawai tetap dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 70 orang.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah dengan menggunakan skala yang terdiri atas skala kualitas pelayanan kesehatan dan komitmen organisasi. Koefisien reliabilitas untuk skala kualitas pelayanan kesehatan sebesar 0,904, komitmen afektif adalah sebesar 0,800, untuk komitmen kontinuitas adalah sebesar 0,641, untuk komitmen normatif adalah sebesar 0,523. Untuk mengetahui hubungan antara komponen-komponen dalam komitmen organisasi dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta digunakan teknik korelasi product moment pearson dan tehnik korelasi spearman brown. Secara lebih rinci untuk mengetahui hubungan antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan kesehatan menggunakan tehnik korelasi spearman brown. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara komitmen kontinuitas dengan komitmen normatif dengan kualitas pelayanan kesehatan menggunakan tehnik korelasi product moment pearson.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa: (1) Ada hubungan yang positif antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta, koefisien korelasi yang didapat sebesar 0,265 dengan p=0,026, p<0,05 (2) Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara komitmen kontinuitas dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis RSUD Wirosaban Yogyakarta, koefisien korelasi yang didapat sebesar -0,035 dengan p=0,776, p> 0,05 (3) Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara komitmen normatif dengan kualitas pelayanan kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban Yogyakarta, koefisien korelasi yang didapat sebesar 0,226 dengan p=0,060, p>0,05.
ABSTRACT
Diyah Anggraeni (2007). The Relationship Between Oganization Commitment and Health Service Quality On Medical Care Officer Of RSUD. Wirosaban Yogyakarta : Deparment Of Psychology, Faculty Of Psychology, Sanata Dharma University.
The objective of the research is to find out wheather there is a positive relationship between each component of commitment organization and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakarta. The hypotesis are : (1) There is a significant positive relation between affective commitment and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakarta; (2) There is a significant positive relation between continuance commitment and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakarta; (3) There is a significant positive relation between normative commitment and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakarta. The subjects being used in research are the medical care officer or RSUD. Wirosaban Yogyakarta was full time official medical care. In addition, there are 70 people becoming the subject of the research.
The method used to collect data is by using scale, organization commitment and health service quality scale. The reliability coefficient of health service quality is 0,904; scale for affective commitment is 0,800, for continuance commitment is 0,641, for normative commitment is 0,523 The writer has been using pearson’s product moment correlation and spearman’s brown correlation in order to find out the relationship between each component of organization commitment and health service quality.
The result show, (1) there is a significant positive relationship between affective commitment and health service quality on medical care officer of RSUD, Wirosaban Yogyakarta r=0,266, p=0,026 P< 0,05 (2) there is non significant positive relationship between continuance commitment and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakarta r =-0,035, p = 0,776 p > 0,05, (3) there is non significant positive relationship between normative commitment and health service quality on medical care officer of RSUD. Wirosaban Yogyakrta r = 0,226, p=0,060 p > 0,05.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Bapa di surga atas segala rahmat, kasih setia, karunia
dan terang roh kudusnya yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penelitian ini merupakan suatu korelasi
pada para petugas paramedis perawatan sebagai subjek penelitian yang diajukan
untuk memnuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak sehingga karya ini dapat terwujud. Untuk itu
dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak
yaitu:
1. Bapak. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Bapak Minto Istana, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu memberi motivasi dan selalu sabar dalam membimbing penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi dan Ibu A. Tanti Arini, S.Psi, M.Si. selaku dosen
pembimbing akademik yang telah banyak membimbing dan mendampingi
penulis dalam studi.
4. Bapak dan ibu dosen yang dengan sabar memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Ibu Nanik, Mas Gandung, Pak Gik di sekretariat Fakultas Psikologi yang telah
banyak membantu selama masa kuliah.
6. Kedua orang tua saya yang selalu memberi semangat. Terima kasih atas segala
kesabaran dan pengertiannya selama ini.
7. RSUD Wirosaban, Bapak Dr. Mulyo Hartana, Sp. PD, selaku direktur rumah
sakit, Mba Siti, Pak Timur selaku staf diklat yang sudah sangat membantu
penulis selama penelitian dan seluruh petugas paramedis perawatan yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk mengisi skala.
8. Mba Deny, sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka, terima kasih
karena tidak bosan menanyakan kapan aku lulus.
9. Keluarga besar R. Sarwono yang telah membantu baik moril maupun materiil
selama saya studi.
10.Mbak Atun dan Mbak Rina yang selalu membantu mengotak-atik komputer.
11.My beloved “Abang Rinto yang selalu ada buatku melalui doamu, supportmu,
kebaikanmu, kesabaranmu,…..and specially your love……you’re my shoulder
to cry and my strenght to go……….
12.Keluarga Bapak. Ganis terima kasih atas dukungannya selama ini.
13.Sahabat-sahabatku Irna, Ria, Dewi, Sari, Phita, Siska, terimakasih atas doa
dan semangatnya.
14.Semua pihak yang tidak dapt disebutkan satu persatu, yang turut membantu
sehingga skripsi ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat melengkapi skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkannya, terutama bagi pembaca dan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan.
Yogyakarta, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kesehatan ... 11
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan ... 11
2. Kualitas Pelayanan Kesehatan ... 13
3. Aspek-Aspek Kualitas Pelayanan Kesehatan ... 16
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan ... 19
5. Profesi Pelayanan Rumah Sakit ... 22
B. Komitmen Organisasi ... 23
1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 23
2. Jenis-Jenis Komitmen Organisasi ... 26
3. Peran Penting Komitmen Organisasi ... 31
C. Dinamika Hubungan Antara Komitmen Organisasi Dengan Kualitas Pelayanan Kesehatan ... 32
D. Hipotesis Penelitian ... 37
E. Kerangka Pemikiran ... 38
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39
B. Variabel Penelitian ... 39
C. Definisi Operasional ... 40
1. Komitmen Organisasi ... 40
2. Kualitas Pelayanan Kesehatan ... 41
D. Subjek Penelitian ... 42
E. Alat Pengumpulan Data ... 43
F. Validitas dan Reliabilitas ... 50
1. Validitas ... 51
2. Analisis Aitem ... 51
3. Reliabilitas ... 52
G. Analisis Data ... 52
BAB IV. PERSIAPAN, PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian ... 54
B. Pelaksanaan Penelitian ... 55
C. Orientasi Kancah ... 55
D. Deskripsi Subjek Penelitian ... 56
E. Hasil Uji Coba dan Penelitian ... 57
1. Uji Kesahihan Aitem ... 58
2. Uji Validitas ... 63
3. Uji Reliabilitas ... 63
F. Analisis Data Hasil Penelitian ... 64
1. Uji Asumsi ... 64
2. Uji Hipotesis ... 67
G. Deskripsi Data Penelitian ... 71
H. Pembahasan ... 74
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82
B. Saran………... 82
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel.1 : Sebaran aitem skala kualitas pelayanan kesehatan ... 45
Tabel.2 : Sebaran aitem skala kualitas pelayanan kesehatan ... 47
Tabel.3 : Sebaran aitem skala komitmen terhadap organisasi ... 49
Tabel.4 : Sebaran aitem skala komitmen terhadap organisasi ... 50
Tabel.5 : Jumlah subjek tiap bangsal perawatan ... 57
Tabel.6 : Sebaran aitem skala kualitas pelayanan kesehatan setelah uji coba ... 59
Tabel.7 : Sebaran aitem skala kualitas pelayanan kesehatan setelah uji coba ... 60
Tabel.8 : Sebaran aitem skala komitmen organisasi setelah uji coba ... 62
Tabel.9 : Sebaran aitem skala komitmen organisasi setelah uji coba ... 62
Tabel.10 : One Sample Kolmogrov Smirnov ... 64
Tabel.11 : Uji linearitas kualitas pelayanan kesehatan dengan komitmen afektif ... 65
Tabel.12 : Uji linearitas kualitas pelayanan kesehatan dengan komitmen kontinuitas ... 66
Tabel.13 : Uji linearitas kualitas pelayanan kesehatan dengan komitmen normatif... 66
Tabel.14 : Uji hipotesis komitmen afektif dengan kualitas pelayanan kesehatan ... 67
Tabel.15 : Uji hipotesis komitmen kontinuitas dengan kualitas
pelayanan kesehatan ... 68
Tabel.16 : Uji hipotesis komitmen normatif dengan kualitas pelayanan kesehatan ... 70
Tabel.17 : Deskripsi skor penelitian teoritis ... 71
Tabel.18 : Deskripsi skor penelitian empiris... 72
Tabel.19 : Deskripsi data penelitian berdasarkan masa kerja ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Skala Penelitian ... 84
Lampiran B : Uji Validitas dan Reliabilitas ... 85
Lampiran C : Uji Normalitas dan Linearitas ... 100
Lampiran D : Uji Hipotesis ... 105
Lampiran E : Deskripsi Data Penelitian ... 106
Lampiran F : Data Penelitian ... 115
Lampiran G : Ijin Penelitian ... 116
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memberikan
peluang bagi masyarakat untuk memperoleh informasi atau pengetahuan yang
seluas-luasnya, tidak terkecuali di bidang pelayanan kesehatan. Akibatnya
masyarakat menjadi semakin tahu dan mampu menilai baik-buruknya suatu
pelayanan kesehatan. Di samping itu masyarakat juga mulai menyadari akan
pentingnya kesehatan. Perubahan pola piker ini membuat masyarakat menjadi
kritis sehingga terkadang muncul keraguan, ketidakpuasan terhadap pelayanan
kesehatan.
Dampak nyata tersebut memunculkan tuntutan masyarakat tentang
peningkatan dan profesionalisme yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Di
samping itu peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
membuat para pengguna jasa pelayanan kesehatan atau pasien tidak lagi merasa
puas dengan ungkapan seorang dokter yang mengatakan bahwa “dirinyalah yang
paling tahu tentang kesehatan si pasien”. Pasien menuntut pula informasi yang
jelas tentang kondisi kesehatannya dan kecenderungannya yang akan datang
(Wijono,1997). Oleh karena itu lembaga pelayanan kesehatan secara keseluruhan
diharapkan senantiasa menjaga kualitas pelayanannya yang dipandang dari sudut
pandang pemberi jasa pelayanan dan penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dewasa ini banyak sekali muncul permasalahan-permasalahan masyarakat
yang berkaitan dengan buruknya kualitas pelayanan kesehatan. Pasien-pasien
yang menjadi pengguna jasa banyak mengeluhkan kurangnya komunikasi yang
baik antara staf rumah sakit dengan pasien dalam hal diagnosis, prosedur medis,
maupun prognosa (Tylor dalam Smet, 1994). Keluhan umum lainnya adalah
bahwa pasien merasa diperlakukan seolah-olah mereka tidak ada atau individu
yang tergantung pada peran dokter tanpa bisa mendapatkan akses yang
seluas-luasnya tentang informasi medis (Sarafino dalam Smet, 1994). Kondisi ini muncul
karena adanya stigma dalam masyarakat bahwa petugas pelayanan kesehatan
adalah pihak yang paling tahu atas kepentingan pasien. Disamping itu banyak
terjadi variasi dalam praktek pelayanan kesehatan yang tidak layak atau tidak
dapat dibenarkan, misalnya permintaan tes diagnostik secara berlebihan,
peningkatan pemakaian prosedur-prosedur yang berbahaya dan pemberian
pengobatan yang tidak tepat. Variasi dalam praktek ini mengakibatkan penyediaan
pelayanan menjadi semakin komplek, membingungkan dan rawan terjadi
kesalahan (Murti, 2003). Munculnya berbagai permasalahan tersebut semakin
jelas menggambarkan fenomena perawatan medis yang cukup memprihatinkan
selama ini.
Wardono (2004), menambahkan bahwa pengelolaan pelayanan kesehatan
umumnya masih lemah dan masyarakat tidak menggunakan berbagai fasilitas
kesehatan secara efisien. Hal ini karena, sistem pelayanan yang ada selama ini
harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas
masih belum bisa terlaksana.
Sebuah survei pelayanan kesehatan di kota Yogyakarta semakin
mempertegas ketidakpuasan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Menurut
survei yang melibatkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai responden,
menyebutkan bahwa pelayanan di rumah sakit ini belum memuaskan.
Berdasarkan survei tersebut diketahui bahwa prosedur pelayanan dokter masih
dianggap belum memuaskan karena komunikasi dokter dengan pasien relatif
singkat (Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2006).
Berbagai permasalahan atau kasus yang muncul dalam bidang pelayanan
kesehatan menuntut masyarakat pengguna maupun penyedia jasa pelayanan untuk
memahami kembali hakikat pelayanan kesehatan. Pada dasarnya pelayanan
kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat (Saiffudin, 2002).
Sedangkan pelayanan kesehatan yang berkualitas berarti tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap
pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk dan di lain pihak merupakan
kesesuaian antara tata cara penyelenggaraan pelayanan dengan kode etik dan
standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1994).
Peran pelayanan kesehatan yang berkualitas sangat berguna bagi
mengatasi masalah secara tepat sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi
ataupun standar yang telah ditetapkan serta tercapainya derajat kesehatan
masyarakat. Disamping itu pelayanan kesehatan yang berkualitas memberikan
dampak pada pencegahan pemborosan biaya akibat diagnosa ataupun
pemeriksaan-pemeriksaan yang seharusnya tidak penting untuk dilakukan, serta
dapat memberikan kepuasan bagi pemberi pelayanan maupun penerima
pelayanan.
Sedangkan pelayanan kesehatan yang buruk dapat memuculkan peluang
terjadinya berbagai efek samping (side effect) karena penggunaan berbagai ilmu
dan kemajuan teknologi kedokteran yang kurang tepat dalam penerapannya,
seperti munculnya kasus-kasus malpraktek. Selain itu kebutuhan dan tuntutan
kesehatan masyarakat tidak akan mengalami peningkatan, karena mereka sudah
merasa kecewa dengan pelayanan yang ada (Saiffudin, 2002). Pendapat tentang
dampak dari kualitas pelayanan yang buruk juga dikemukakan oleh Effendi
(1988), yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan yang buruk akan
mengakibatkan ketimpangan dan akses pelayanan kesehatan hanya baik untuk
kelompok-kelompok masyarakat tertentu saja.
Rumah Sakit Umum Daerah sebagai wujud pelayanan kesehatan publik
diharapkan mampu berpartisipasi secara optimal untuk mewujudkan visi-misi
“Indonesia sehat 2010” dengan mengurangi peluang munculnya permasalahan
kesehatan akibat kualitas pelayanan yang buruk. Pada instansi atau organisasi
rumah sakit yang memberikan jasa pelayanan kesehatan ini, petugas pelayanan
menjadikan para petugas pelayanan kesehatan berada pada posisi yang crusial di
instansi tempatnya bekerja. Artinya para petugas pelayanan kesehatan ini,
khususnya tenaga paramedis perawatan yakni perawat dan bidan diharapkan
mampu memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan harapan pengguna
jasanya, sehingga mereka merasa dihargai sebagai individu yang menuntut
diperlakukan secara manusiawi.
Kualitas sumber daya manusia khususnya di rumah sakit perlu
ditingkatkan agar semakin maju, mandiri dan sejahtera yang pada gilirannya dapat
pula meningkatkan produktivitas di era persaingan bebas saat ini. Sejalan dengan
visi Departemen Kesehatan” Indonesia sehat 2010” maka salah satu strategi yang
harus dilakukan adalah meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara
profesional, sehingga masyarakat Indonesia memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan secara adil dan merata. Oleh karena itu seluruh
jajaran pekerja di rumah sakit mulai dari pimpinan, tenaga medis, perawat dan
tenaga non medis merupakan subjek yang harus peduli dan tanggap terhadap
kualitas pelayanan jasa (Djoyosugito, 2001).
Suatu organisasi yang secara sadar melangkah ke arah perbaikan kualitas
akan menghadapi tantangan dalam menciptakan suatu lingkungan yang
mendukung perubahan dalam sikap, perilaku, dan proses dalam rangka
menciptakan produk yang berkualitas secara konsisten. Kualitas rumah sakit
sebagai organisasi kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun faktor
yang paling dominan adalah sumber daya manusia (Kreitner & Kinicki, 1992).
faktor seperti pendidikan, ketrampilan, gizi, kesehatan, tingkat penghasilan,
jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, dan motivasi. Selain itu
sumber daya manusia yang tangguh berkualitas dituntut untuk memiliki komitmen
organisasi yang tinggi. Komitmen organisasi diperlukan sebagai salah satu
indikator kinerja karyawan. Karyawan-karyawan dengan komitmen tinggi
diharapkan akan memperlihatkan kinerja yang optimal.
Strategi profesional untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan
kesehatan akan juga tergantung pada kepemimpinan suatu organisasi atau
birokrasi pemerintah yang menciptakan suatu lingkungan yang mengirimkan
pesan-pesan yang sangat kuat ke seluruh organisasi. Pesan ini menyampaikan
serangkaian nilai inti dan komitmen yang mempengaruhi angkatan kerja untuk
secara terus menerus memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi. Maka
jelaslah bahwa komitmen terhadap organisasi memberikan dampak terhadap
outcome organisasi. Berkaitan dengan komitmen organisasi tersebut, organisasi
dipandang perlu memahami pentingnya komitmen organisasi terutama pada
perusahaan-perusahaan non profit yang skala gajinya tidak kompetitif
(Muchinsky,1987).
Kajian mutu pelayanan yang terkait dengan komitmen juga disampaikan
oleh Morgan (dalam Kotler,1994), bahwa pelayanan yang bermutu menuntut
adanya komitmen karyawan yang menyeluruh. Artinya, seorang karyawan dalam
memberikan pelayanan akan melibatkan faktor eksternal maupun internal dalam
dirinya. Komitmen ini dapat tumbuh jika terjadi kesepakatan yang adil antara
karyawan untuk bekerja dengan baik dan meningkatkan daya saing organisasinya.
Yudhawati (2005) dalam studinya tentang hubungan antara persepsi gaya
kepemimpinan tranformasional, transaksional, dan komitmen organisasional
dengan mutu pelayanan pramuniga Matahari Dept. Store Magelang, menyebutkan
bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi dan gaya
kepemimpinan transformasional dan mutu pelayanan, dan komitmen
organisasional dengan mutu pelayanan.
Menurut Allen & Mayer (1997), bahwa komitmen organisasi yang turut
mendukung outcome organisasi bukanlah merupakan satu konstruk, tetapi terdiri
atas tiga komponen penyusun. Komponen ini meliputi refleksi orientasi perasaan
terhadap organisasi (Affective Commitment), pertimbangan untung rugi jika
meninggalkan organisasi (Continuance Commitment), dimensi moral terhadap
organisasi (Normatif Commitment). Komitmen afektif mengarah pada ikatan
emosional terhadap organisasi, identifikasi nilai, terlibat dan menikmati
keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Komitmen kontinuitas mengarah
pada kecenderungan untuk terlibat dalam aktivitas organisasi yang didasarkan
pada kebutuhan rasional atau pertimbangan atas apa yang harus dikorbankan bila
karyawan akan menetap di organisasi. Sedangkan komitmen normatif merupakan
perasaan wajib yang ada pada diri karyawan untuk tetap tinggal di dalam
organisasi atas dasar norma yang ada dalam diri karyawan. Dengan demikian,
ketiga komponen komitmen organisasi menjelaskan sifat hubungan antara
mempunyai dimensi psikologis, hasil kinerja dan antesenden yang berbeda-beda,
serta berdiri sendiri satu dengan yang lainnya.
Komitmen organisasi ini merupakan dimensi penting yang digunakan
untuk mengevaluasi kekuatan para pekerja untuk bertahan pada suatu perusahaan.
Komitmen ini juga dapat menguatkan kemampuan karyawan dalam melaksanakan
kewajiban pekerjaannya dengan sebaik-baiknya, bukan untuk kepentingan sendiri,
tetapi untuk pelanggan dan organisasi (Setiadi, 2002). Dengan demikian karyawan
akan memunculkan kinerja atau pelayanan yang baik demi terlaksananya visi dan
misi organisasi tempat mereka bekerja. Selain itu dengan komitmen yang kuat
akan menimbulkan hal-hal positif, yaitu terjaganya kekayaan intelektual
organisasi dan dimanfaatkannya kekayaan intelektual yang optimal.
Berbagai alasan tersebut diatas mendorong penulis untuk mengkaji
kembali akan pentingnya penelitian mengenai komitmen organisasi terhadap
kualitas pelayanan kesehatan yang ditampilkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD). Melalui kajian tersebut diharapkan dapat mengungkap pentingnya
komitmen organisasi pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan berguna bagi
kebijaksanaan pelayanan kesehatan publik.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah berikut ini.
”Apakah secara empirik ada hubungan komponen-komponen dalam komitmen
perawatan di RSUD. Wirosaban?“ Secara lebih rinci masalah yang ingin diteliti
adalah:
1. Apakah ada hubungan antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban?
2. Apakah ada hubungan antara komitmen kontinuitas dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban?
3. Apakah ada hubungan antara komitmen normatif dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban?
C. Tujuan Penilitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana hubungan
komponen – komponen dalam komitmen organisasi dengan kualitas pelayanan
yang ditampilkan oleh petugas paramedis perawatan di RSUD. Wirosaban. Secara
lebih rinci tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Hubungan antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan kesehatan pada
petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban
2. Hubungan antara komitmen kontinuitas dengan kualitas pelayanan kesehatan
pada petugas paramedis perawatan RSUD. Wirosaban
3. Hubungan antara komitmen normatif dengan kualitas pelayanan kesehatan
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Praktis
a. Bagi para pembuat kebijakan pelayanan kesehatan di lingkup rumah
sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
penyempurnaan kebijakan pelayanan kesehatan di RSUD Wirosaban
demi terciptanya pelayanan yang lebih baik di masa mendatang
b. Bagi pelaku organisasi di lingkup rumah sakit, hasil penelitian ini
dapat memberikan referensi dalam upaya memajukan organisasi yang
sehat dan berkualitas melalui pengelolaan komitmen petugas
pelayanan kesehatan terhadap organisasi.
2. Secara Teoritis
a. Bagi perkembangan psikologi industri dan organisasi, hasil penelitian
ini dapat menjadi salah satu acuan atau referensi dalam
mengembangkan studi tentang komitmen organisasi dalam pelayanan
publik.
b. Bagi pihak-pihak terkait atau para praktisi pelayanan kesehatan
kesehatan publik, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengetahuan yang berguna untuk memperkaya konsep-konsep tentang
komitmen organisasi dan kualitas pelayanan kesehatan publik dalam
A. Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan
Masyarakat Indonesia yang semakin kritis, semakin menuntut
perbaikan pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan bangsa, salah
satunya adalah pelayanan kesehatan. Pada umumnya masyarakat
memaknai pelayanan kesehatan sebagai setiap pemberian jasa di bidang
kesehatan baik yang bersifat mencegah atau menyembuhkan penyakit oleh
dokter, bidan maupun rumah sakit.
Saiffudin (2002) mendefinisikan pelayanan kesehatan sebagai setiap
upaya yang diselenggarakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Definisi yang
serupa, dikemukakan oleh Banta dalam Cookfair (1989) yang
menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan adalah aktivitas dan pelayanan
kemasyarakatan yang dirancang untuk melindungi atau memulihkan
kesehatan individu, keluarga, kelompok, atau komunitas.
Berbeda dengan kedua tokoh tersebut, Lumenta (1989) memperjelas
unsur interaksi antara ahli pelayanan kesehatan dengan individu yang
membutuhkan. Menurutnya pelayanan kesehatan adalah kegiatan
makrososial yang berlaku antara pranata atau lembaga dengan suatu
populasi tertentu, masyarakat dan atau komunitas. Definisi ini mencakup
aktivitas tentang pelayanan medis, yakni segala upaya dan kegiatan
pencegahan dan pengobatan penyakit, peningkatan dan pemulihan
kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara ahli
pelayanan medis dengan individu yang membutuhkan. Definisi senada
dijabarkan oleh Departemen Kesehatan RI yang menyebutkan bahwa,
pelayanan kesehatan merupakan suatu upaya atau kegiatan pencegahan
dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan dan
pemulihan kesehatan yang dilaksanakan antara para ahli pelayanan medis
dan individu yang membutuhkan (Depkes RI, 1988).
Hodgetts dan Cascio dalam (Azwar,1996) membedakan bentuk dan
jenis pelayanan menjadi 2 macam, yaitu pelayanan institusional atau
individual dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan jenis
institusional atau individual ditandai dengan cara pengorganisasian yang
bersifat sendiri atau bersama-sama dalam satu organisasi. Bentuk
pelayanan ini untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
dengan sasaran utama perseorangan dan keluarga. Berbeda dengan
pelayanan institusional, pelayanan kesehatan masyarakat ditandai dengan
cara pengorganisasian secara bersama-sama dalam satu organisasi. Bentuk
pelayanan ini untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan
bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya atau kegiatan yang
dilakukan oleh petugas pelayanan kesehatan untuk mencegah, memulihkan
penyakit, serta menjaga dan meningkatkan kesehatan dengan sasaran
individu, kelompok, keluarga, maupun masyarakat.
2. Kualitas Pelayanan Kesehatan
Setiap lembaga pelayanan kesehatan selalu berupaya untuk
memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas. Meskipun demikian,
upaya yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan kesehatan
terkadang berbenturan dengan persepsi masyarakat pengguna jasa.
Akibatnya pelayanan yang berkualitas sukar untuk diupayakan. Oleh
karena itu penyelenggara pelayanan kesehatan perlu memahami pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Pemahaman tentang kualitas pelayanan
kesehatan menjadi langkah awal yang penting untuk dikaji secara
berkelanjutan untuk memberikan kepuasan kepada pasien, petugas profesi
kesehatan, manajer kesehatan maupun pemilik institusi kesehatan.
Pengertian kualitas pelayanan kesehatan adalah tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang disatu pihak dapat menimbulkan
kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk
dan dilain pihak merupakan kesesuaian antara tata cara penyelenggaraan
pelayanan dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah
persyaratan minimal yakni keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk
dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu. Ada
3 komponen standar pelayanan minimal yaitu; a) standar masukan,
meliputi jenis, jumlah, kualifikasi tenaga pelaksana, jenis dan jumlah dan
spesifikasi sarana; b) standar lingkungan berupa garis-garis besar
kebijakan, pola organisasi serta sistem manajemen yang harus dipatuhi
oleh setiap pelaksana pelayanan kesehatan; c) standar proses terkait
dengan tindakan medis dan non medis. Sedangkan standar penampilan
minimal yakni penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diterima
oleh publik dan mengarah pada unsur keluaran.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Sugiyanto (1999), yaitu
mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan rumah
sakit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan
dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit
secara wajar, efisien, efektif, serta diberikan secara aman dan memuaskan
sesuai dengan norma, etika hukum dan sosial budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah maupun
masyarakat konsumen.
Berbeda dengan pemahaman kualitas pelayanan yang diberikan oleh
tokoh-tokoh diatas yang lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan
pemahaman tentang kualitas pelayanan kesehatan yang ditinjau dari
berbagai sudut pandang yaitu :
a. Pasien dan masyarakat, kualitas pelayanan berarti ketanggapan petugas
dalam memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi dengan
pasien, keprihatinan serta keramahtamahan petugas dalam melayani
pasien dan atau kesembuhan penyakit yang sedang diderita pasien.
b. Petugas kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan berarti kesesuaian
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu
dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.
c. Manajer atau administrator, kualitas pelayanan kesehatan yaitu
efisiensi pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan, dan atau
kemampuan menekan beban biaya operasional.
Sedangkan Donabedian (1980), yang mendasari pemahamannya
dengan nilai-nilai etika dan tradisi profesi kesehatan, mendefinisikan
kualitas pelayanan kesehatan sebagai suatu pelayanan yang diharapkan
untuk memaksimalkan suatu ukuran yang inklusif demi kesejahteraan
pasien serta keseimbangan antara keuntungan yang diraih dan kerugian
yang semuanya merupakan penyelesaian proses atau hasil dari pelayanan
di seluruh bagian-bagian.
Bertolak dari uraian diatas, kualitas pelayanan kesehatan merupakan
kepuasan bagi pasien atau masyarakat konsumen dan sesuai dengan tata
cara penyelenggaraan pelayanan, kode etik, serta standar pelayanan profesi
yang telah ditetapkan, tanpa mengabaikan kebutuhan para pengguna
pelayanan maupun pihak penyelenggara jasa pelayanan kesehatan.
3. Aspek-Aspek Kualitas Pelayanan Kesehatan
Dalam teori tentang atribut pelayanan kesehatan diperoleh
karakteristik, ciri-ciri, serta dimensi teoritik yang membentuk atribut
pelayanan kesehatan dan menjadi dasar perumusan indikator perilaku yang
operasional. Menurut Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1998),
mengemukakan bahwa kualitas pelayanan terdiri atas lima dimensi pokok
yaitu:
a. Reliabilitas; berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk
memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat
kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu
yang disepakati.
b. Daya tanggap; berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para
karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan
mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan
kemudian memberikan jasa secara cepat.
c. Jaminan; yaitu perilaku karyawan dapat menumbuhkan kepercayaan
pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa
karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan
ketrampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau
masalah pelanggan.
d. Empati; yakni perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan
bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian
personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang
nyaman.
e. Bukti fisik; berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan
dan material yang digunakan oleh perusahaan, serta penampilan
karyawan.
Program menjaga kualitas pelayanan memang membutuhkan
pemahaman dari berbagai aspek. Brown dalam (Wijono,1997)
menjabarkan aspek pelayanan menjadi 8 (delapan) aspek yaitu:
a. Kompetensi teknis, yaitu kemampuan, ketrampilan dan penampilan
petugas, manajer, dan staf pendukung untuk mengikuti standar
pelayanan yang telah ditetapkan dalam hal kepatuhan, ketepatan,
kebenaran dan konsistensi pelayanan kesehatan.
b. Akses terhadap pelayanan, yakni kemudahan masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa terhalangi oleh kondisi
geografis, sosial, ekonomi, budaya, organisasi atau hambatan bahasa.
c. Efektivitas, yaitu sejauhmana prosedur pelayanan yang diberikan oleh
petugas sesuai dengan norma pelayanan kesehatan, petunjuk klinis dan
d. Hubungan antar manusia, berkaitan dengan kualitas interaksi antara
petugas dan pasien, manajer dan petugas, serta antara tim kesehatan
dengan masyarakat.
e. Efisiensi, yakni optimalisasi daya dan upaya yang dimiliki oleh
petugas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan hasil pelayanan yang
baik.
f. Kelangsungan pelayanan, berarti klien atau pasien akan menerima
pelayanan lengkap sesuai dengan kebutuhan tanpa mengulangi
prosedur diagnosa dan terapi yang tidak perlu.
g. Keamanan, yakni mengurangi resiko cidera, infeksi, atau bahaya lain
yang berkaitan dengan pelayanan.
h. Kenyamanan, berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak
berhubungan langsung dengan efektivitas klinis, seperti penampilan
fisik dari fasilitas kesehatan yang disediakan, personil dan peralatan
medis maupun non medis.
Berdasarkan dua pendekatan tersebut, dapat dilihat bahwa untuk
menilai kualitas pelayanan bersifat multi dimensi. Dimensi penilaian
tersebut dapat digolongkan menjadi kompetensi penyelenggara pelayanan
kesehatan, keamanan pelayanan, hubungan antar manusia, penampilan
fisik dari fasilitas kesehatan, efektifitas dan efisiensi pelayanan, akses
pelayanan, dan kelangsungan pelayanan.
Dalam penelitian ini, dimensi pelayanan yang dikemukakan oleh
dikarenakan dimensi-dimensi tersebut dianggap mewakili kondisi
pelayanan dalam lingkup rumah sakit jika dibandingkan dengan dimensi
pelayanan kesehatan yang dikemukakan oleh Zeithaml, Berry dan
Parasuraman .
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
Suatu organisasi yang secara sadar melangkah ke arah perbaikan
kualitas akan menghadapi berbagai tantangan. Organisasi yang bergerak di
bidang jasa pelayanan, untuk mencapai visi dan misinya dapat dilihat dari
tingkat kinerjanya. Pada hakikatnya kinerja ini didukung oleh berbagai
faktor yang bersangkutan dalam rangka mencapai visi dan misi tersebut.
Wolper (2001), menegaskan bahwa organisasi yang berupaya menciptakan
produk yang berkualitas secara konsisten tergantung pada komitmen dan
kesungguhan elemen organisasi, rancangan dan arah organisasi, serta
proses-proses dalam organisasi. Komitmen yang berhubungan langsung
dengan kualitas kinerja hanya ditemukan pada komitmen terhadap
pekerjaan, karir, dan organisasi (Aryee & Tan, 1992; Allen & Meyer,
1991). Pandangan yang senada juga diungkap oleh Yudhawati (2005),
yang menyebutkan bahwa pelayanan yang bermutu dipengaruhi oleh
komitmen organisasi dalam memberikan produk yang terbaik bagi
konsumennya. Sedangkan Susskind dkk (2003), menjelaskan bahwa
terdapat dua variabel yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan
perilaku, mood dan perasaan. Variabel yang lainnya adalah variabel
kontekstual yaitu lingkungan perusahaan, struktur organisasi,
kepemimpinan dan karyawan.
Dalam pandangan Tjiptono dan Chandra (2005), kualitas jasa
dipengaruhi oleh faktor-faktor potensial, diantaranya :
a. Berbagai macam persoalan sehubungan dengan interaksi antara
penyedia jasa dan pelanggan jasa, seperti tidak trampil dalam melayani
pelanggan, tutur kata karyawan yang kurang sopan, dan raut muka
karyawan yang kurang ramah.
b. Intensitas tenaga kerja yang tinggi, berkenaan dengan keterlibatan
karyawan secara intensif dalam penyampaian jasa dapat pula
menimbulkan masalah kualitas, yaitu berupa tingginya variabilitas jasa
yang dihasilkan.
c. Dukungan terhadap pelanggan internal yang kurang memadai,
misalnya karyawan frontline yang berperan sebagai ujung tombak
membutuhkan dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen
(operasi, pemasaran, keuangan, dan SDM) agar dapat memberikan jasa
secara efektif.
d. Kesenjangan komunikasi antara penyedia jasa dan pelanggan, seperti
penyedia jasa memberikan janji berlebihan, penyedia tidak selalu dapat
memberikan informasi terbaru, serta penyedia jasa tidak
e. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama, pelanggan
merupakan individu yang unik dengan preferensi, perasaan, dan emosi
masing-masing sehingga dalam interaksi dengan penyedia jasa, tidak
semua pelanggan bersedia menerima jasa yang seragam.
f. Perluasan atau pengembangan jasa.
Steers (1985), berpendapat bahwa kualitas pelayanan suatu
organisasi dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, karakteristik
lingkungan, karakteristik pekerja, serta kebijakan dan praktek manajemen.
Sedangkan Moenir (2000), menyebutkan beberapa faktor pendukung
pelayanan umum seperti faktor kesadaran, faktor aturan, faktor organisasi,
faktor pendapatan, faktor kemampuan dan ketrampilan, serta faktor sarana
dan prasarana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah komitmen terhadap
organisasi, interaksi penyedia jasa dan pelanggan (perlakuan terhadap
pelanggan, komunikasi), kemampuan organisasi atau manajerial
(kebijakan dan praktek manajemen, sarana dan prasarana), serta
karakteristik organisasi.
Komitmen terhadap organisasi dalam penelitian ini dianggap sebagai
salah satu variabel yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
kesehatan dengan pertimbangan adanya perubahan pola pikir dan
kesadaran masyarakat akan penilaian suatu bentuk pelayanan jasa, serta
memiliki orang –orang yang berkomitmen kuat dalam mencapai visi misi
dan memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Dengan demikian
konsep komitmen terhadap organisasi menjadi substansi penting untuk
dikaji secara mendalam.
5. Profesi Pelayanan Rumah Sakit
Dalam administrasi pemerintah, penggolongan profesi pelayanan
kesehatan dibagi menjadi 4 (empat) golongan (Lumenta, 1989) :
a. Tenaga paramedis perawatan
Tenaga paramedis perawatan merupakan tenaga-tenaga
pelayanan kesehatan yang merupakan lulusan fakultas kedokteran
program studi keperawatan, perawat umum lulusan sekolah perawat
kesehatan atau akademi perawatan. Selain itu tenaga paramedis
perawatan termasuk juga lulusan lama seperti bidan, perawat gigi,
perawat dan tenaga paramedis lain yang langsung melayani, merawat
dan mengasuh pasien dalam rumah sakit.
b. Tenaga paramedis non perawatan
Tenaga paramedis non perawatan yaitu orang-orang yang
melayani atau merawat pasien secara tidak langsung. Tenaga
paramedis non perawatan ini meliputi asisten apoteker, asisten
analis, asisten rontgen, fisioterapis, penyuluh kesehatan, dan
c. Tenaga medis
Tenaga medis merupakan tenaga pelayanan kesehatan yang
berpendidikan tinggi, seperti ahli radiologi, ahli patologi, atau
seumumnya dokter umum, dokter spesialis atau dokter keluarga yang
berperan sebagai penyuluh kesehatan atau sebagai ahli pembimbing
sosial.
d. Tenaga non medis
Tenaga non medis ialah tenaga pelayanan kesehatan yang
berpendidikan non dokter seperti apoteker, ahli biologi, ahli
sosiologi medis, ahli ekonomi kesehatan, dan ahli biostatik.
Penelitian ini melibatkan tenaga paramedis perawatan, yakni
tenaga-tenaga pelayanan kesehatan yang merupakan lulusan fakultas kedokteran
program studi keperawatan, perawatan umum lulusan sekolah perawat
kesehatan atau akademi perawatan. Pemilihan profesi pelayanan golongan
ini atas dasar bahwa perawat adalah petugas pelayanan kesehatan yang
langsung merawat pasien, serta selaku pihak yang paling banyak
berinteraksi langsung dengan para pasien.
B. Komitmen Organisasi
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi
perilaku manusia dalam organisasi telah berperan dalam membentuk
misi serta tujuan organisasi. Komitmen organisasi merupakan suatu
bentuk internalisasi nilai-nilai organisasi ke dalam nilai-nilai individu,
kesediaan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya, serta
keinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaannya (Miner, 1988).
Bentuk komitmen ini menekankan pada keterlibatan individu kepada
organisasi sehingga akan berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam
organisasi tersebut. Riggio (2003), mengartikan komitmen organisasi
sebagai perasaan dan sikap karyawan tentang seluruh organisasi kerjanya.
Steers (1985), memperjelas definisi komitmen organisasi sebagai
ketertarikan individu terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasi.
Unsur ketertarikan individu juga menjadi perhatian Luthans (1995),
yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap yang
menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan
bagaimana seorang anggota organisasi mengekspresikan perhatian mereka
pada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Menurut Luthans, sikap
loyalitas dapat diindikasikan dengan tiga hal yaitu; (1) keinginan kuat
seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasi, (2) kemauan untuk
mengerahkan usahanya untuk organisasi, (3) keyakinan dan penerimaan
terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Ivancevich dan Mattenson (1999), menambahkan bahwa komitmen
karyawan terhadap organisasinya meliputi tiga sikap yaitu; (1) rasa
terhadap pengenalan tujuan organisasi, (2) rasa keterlibatan dalam
Berbeda dengan pandangan tokoh-tokoh diatas, Allen dan Meyer
(1997), berasumsi bahwa komitmen organisasi bukan merupakan satu
konstruk, menurut mereka komitmen organisasi dibagi menjadi tiga
komponen. Komponen ini meliputi refleksi orientasi perasaan terhadap
organisasi (Affective Commitment), pertimbangan untung rugi jika
meninggalkan organisasi (Continuance Commitment), dimensi moral
terhadap organisasi (Normatif Commitment). Komitmen afektif mengarah
pada ikatan emosional terhadap organisasi, identifikasi nilai, terlibat dan
menikmati keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Komitmen
kontinuitas mengarah pada kecenderungan untuk terlibat dalam aktivitas
organisasi yang didasarkan pada kebutuhan rasional atau pertimbangan
atas apa yang harus dikorbankan bila karyawan akan menetap di
organisasi. Sedangkan komitmen normatif merupakan perasaan wajib yang
ada pada diri karyawan untuk tetap tinggal di dalam organisasi atas dasar
norma yang ada dalam diri karyawan.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka komitmen organisasi
merupakan sikap anggota terhadap organisasi yang ditandai dengan
loyalitas dan identifikasi diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Komitmen pada organisasi ini dapat bersifat pasif yang ditandai dengan
kesetiaan anggota terhadap organisasinya dan juga bersifat aktif yang
ditandai dengan kemauan pribadi anggota organisasi untuk memberikan
segala sesuatu yang ada pada dirinya guna membantu merealisasikan
2. Jenis-Jenis Komitmen Organisasi
Menurut Steers & Porter (1983), bentuk komitmen terhadap
organisasi meliputi komitmen sebagai suatu perilaku dan komitmen
sebagai suatu sikap. Komitmen sebagai suatu perilaku menekankan pada
suatu proses dalam mengambil keputusan-keputusan oleh karyawan yang
membuat mereka tidak dapat berpaling dari organisasi tanpa mengalami
kerugian yang berarti. Sedangkan komitmen sebagai suatu sikap melihat
komitmen dari seberapa jauh karyawan mengidentifikasikan diri dengan
organisasi dan berharap bisa tetap bekerja didalamnya.
Allen & Meyer sebagai salah satu tokoh yang mencetuskan teori
komitmen organisasi berasumsi bahwa komitmen organisasi tidak
merupakan satu konstruk. Mereka membagi komitmen organisasi menjadi
tiga komponen utama yang disebut sebagai “ Three component model of
commitment” yang meliputi komitmen afektif, kontinuitas, dan normatif.
Disamping itu, masing-masing komponen memiliki konseptualisasi yang
jauh berbeda satu sama lain dari konstruk komitmen (Allen & Meyer,
1990; Luthans, 1995).
Secara umum ketiga komponen organisasi menjelaskan hubungan
antara karyawan dengan organisasi, namun sifat hubungannya berbeda.
Artinya masing-masing komponen mempunyai dimensi psikologis dan
antesenden yang berbeda-beda, serta berdiri sendiri satu dengan yang lain.
Dengan kata lain ketiga komponen komitmen ini memandang komitmen
antara karyawan dengan organisasi dan mempunyai pengertian dalam
kaitannya dengan keputusan untuk meneruskan atau menghentikan
keanggotaannya dalam organisasi (Allen & Meyer, 1993). Secara spesifik
mereka menjelaskan bahwa:
" Employee with strong affective commitment remain because they want to, those with strong continuance commitment because they need to, and those with strong normative commitment because they feel they ought to do so.”
Dengan demikian, ketiga komponen komitmen organisasi
menunjukkan tingkatan-tingkatan psikologis yang berbeda dan mengarah
pada perbedaan perilaku, termasuk didalamnya konsekuensi yang berbeda
terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan perilaku (Meyer & Smith,
1993). Menurut Meyer & Herscovitch (2001), komponen-komponen
dalam komitmen akan memiliki karakteristik hubungan yang berbeda,
sehingga akan berpengaruh pada perilaku yang berbeda pula. Mereka juga
menambahkan bahwa profil komitmen pekerja yang beranekaragam akan
memberikan pula perbedaan pada perilaku pekerja. Secara lugas Meyer &
Herscovitch (2001), juga menambahkan bahwa kekuatan relasi antara
salah satu komponen komitmen dengan perilaku akan lebih besar jika
komponen komitmen yang lainnya melemah.
Di samping itu Allen & Meyer (1990) juga menyatakan bahwa
kesediaan pegawai untuk berperan serta mewujudkan tujuan organisasi
akan secara berbeda dipengaruhi oleh komitmen dasar dalam diri mereka,
dimana mereka yang mempunyai rasa memiliki (Affective commitment)
dibandingkan dengan mereka yang merasa membutuhkan untuk memiliki
sesuatu (Continuance commitment) atau jika dibandingkan dengan meraka
yang diharuskan memiliki sesuatu (Normatif commitment).
Komponen komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen &
Meyer (1990); Gellataly & Goffin (2001); Meyer & Herscovitch (2001)
secara detail dijelaskan sebagai berikut ini:
a. Komitmen Afektif (Affective Commitment)
Komitmen yang bersifat afektif, mengarah pada ikatan emosional
terhadap organisasi sehingga karyawan yang berkomitmen tinggi
mengidentifikasikan nilai, terlibat dan menikmati keanggotaannya di
dalam organisasi tersebut. Karyawan yang memiliki komitmen afektif
akan tetap tinggal dalam suatu organisasi lebih disebabkan karena
keinginannya untuk tinggal karena adanya kesesuaian antara nilai
pribadinya dengan nilai-nilai organisasi.
Komitmen terbentuk sejak masuk ke dalam suatu organisasi dan
berkembang semakin kuat bersamaan dengan tumbuhnya sikap
kesadaran serta keterikatan emosional karyawan. Proses pembentukan
komitmen afektif dikembangkan berdasarkan prinsip pertukaran
berupa pelaksanaan sistem reward dan punishment sebagai timbal
balik untuk kontribusi keterlibatan karyawan terhadap perusahaan.
Komitmen afektif ini dipengaruhi oleh pemenuhan harapan
individu yang berupa kesesuaian antara harapan-harapan yang ingin
karyawan yang berupa pemberdayaan dan melibatkan diri karyawan
dengan proses kerja sesuai kemampuan dan bidang kerja. Disamping
itu sikap positif karyawan terhadap relasi, organisasi, supervisi,
promosi, pengembangan karir dan keamanan kerja.
Secara spesifik Allen & Meyer (1990), menyatakan bahwa
komitmen afektif dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
daya tarik pekerjaan (job challenge), kejelasan peran (role clarity ),
kejelasan tujuan (goal clarity), kesulitan tujuan (goal difficulty),
penerimaan terhadap gagasan karyawan (management receptiveness),
ikatan antar karyawan (peer cohesion), perasaan dibutuhkan
(organizational dependability), perlakuan adil (equity), perasaan
dipentingkan (personal importance), umpan balik (feed back), dan
tingkat partisipasi (participation).
b. Komitmen Kontinuitas (Continuance Commitment)
Komitmen yang bersifat kontinuitas, mengarah pada
kecenderungan untuk terlibat dalam aktivitas organisasi yang
didasarkan pada kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini
terbentuk atas dasar untung rugi atau pertimbangan atas apa yang harus
dikorbankan bila karyawan akan menetap pada organisasi.
Dua hal pokok yang berperan dalam pembentukan komitmen
kontinuitas yaitu; (1) pengorbanan pribadi, berupa pertimbangan
untung rugi bila meninggalkan organisasi; dan (2) karyawan belum
sesuai keinginan. Allen & Meyer (1990) menjabarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi komitmen kontinuitas meliputi transfer
ketrampilan dari organisasi (skill), pendidikan formal (education),
kesempatan untuk pindah ke organisasi lain jika keluar dari organisasi
yang bersangkutan (realocate), perasaan seberapa besar mereka telah
berinvestasi pada organisasi bersangkutan (self investment), pensiun
yang hilang kalau keluar dari organisasi bersangkutan (pension),
berapa lama seseorang menginvestasikan dirinya pada komunitas
organisasi tersebut (community) dan kesempatan mendapatkan
organisasi lain yang lebih baik (alternative).
c. Komitmen Normatif (Normatif Commitment)
Komitmen normatif adalah perasaan wajib yang ada pada diri
karyawan untuk tetap tinggal berada dalam organisasi. Komitmen yang
bersifat normatif ini didasarkan pada norma yang ada dalam diri
karyawan, berisikan keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap
organisasi.
Komitmen normatif dipengaruhi oleh dukungan sosial yang
berupa dukungan rekan kerja dan atasan serta suasana kondusif dalam
hubungan interpersonal, dan penghargaan organisasi yang berupa
legitimasi jabatan, keamanan, kenyamanan, serta sistem gaji yang
1. Peran Penting Komitmen Organisasi
Pada masa sekarang ini ada satu landasan sukses untuk keunggulan
bersaing bagi suatu lembaga atau perusahaan, yaitu bagaimana mengelola
faktor sumber daya manusia di lingkungan tersebut. Lembaga atau
perusahaan yang berusaha mencapai keunggulan bersaingnya menggunakan
strategi melalui sumber daya manusia, dimana tenaga kerja yang
berkomitmen tinggi pada suatu perusahaan akan mampu mengungguli
perusahaan-perusahaan yang menggunakan strategi bersaing lainnya
(Pfeffer,1996). Jadi komitmen yang kuat pada karyawan merupakan
keunggulan tersendiri bagi lembaga atau perusahaan, serta dapat
menimbulkan hal-hal positif seperti terjaganya kekayaan intelektual yang
dimiliki dengan optimal. Artinya komitmen terhadap organisasi menguatkan
kemauan karyawan dalam melaksanakan kewajiban pekerjaannya dengan
sebaik-baiknya bukan untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk pelanggan
dan organisasi.
Pentingnya komitmen organisasi yang tinggi pada karyawan bagi
organisasi kerjanya, dikemukakan oleh Mathieu dan Zajac (1990), yang
menyatakan bahwa dengan adanya komitmen yang tinggi pada karyawan,
perusahaan akan mendapatkan dampak positif seperti meningkatnya
produktivitas, kualitas kerja dan kepuasan kerja, serta menurunnya tingkat
keterlambatan, absensi dan pindah kerja. Menurut Luthans (1995), ada
hubungan positif antara komitmen terhadap organisasi dan hasil yang
Pada dasarnya, karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi
menganggap bahwa pencapaian organisasi menjadi hal yang penting
baginya. Sebaliknya, karyawan dengan komitmen organisasi rendah
memberikan perhatian yang rendah pada tujuan organisasi dan cenderung
berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadi (Meiyanto dan
Santhoso,1999). Steers dan Porter (1983), menambahkan bahwa karyawan
yang memiliki komitmen tinggi akan menunjukkan kinerja yang baik dan
mampu memberikan pelayanan yang baik. Selain itu, komitmen yang tinggi
membuat karyawan mematuhi segala norma dan peraturan, mau bekerja
keras dan mempunyai keinginan untuk tetap menjadi karyawan di organisasi
tempatnya bekerja.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya komitmen yang tinggi dari karyawan akan membentuk ikatan
psikologis karyawan dengan organisasi, maka keinginan untuk berpartisipasi
penuh demi pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud dan akan
berdampak positif bagi karyawan maupun organisasi atau perusahaan.
C. Dinamika Hubungan Antara Komitmen Organisasi dengan Kualitas Pelayanan
Pencapaian pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan prinsip
utama dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalam visi dan misi Indonesia sehat
2010 disebutkan bahwa gambaran masyarakat Indonesia yang ingin dicapai ke
pelayanan kesehatan bermutu secara adil dan merata. Azwar (1994), menjelaskan
bahwa, pelayanan yang berkualitas merupakan tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien
sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk dan dilain pihak merupakan
kesesuaian antara tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan kode
etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
Peran serta organisasi penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
mewujudkan visi dan misi maupun pelayanan yang berkualitas dapat dilihat dari
tingkat kinerja komponen pendukung organisasi. Pada dasarnya kinerja tersebut
didukung oleh berbagai faktor. Wolper (2001), menjabarkan bahwa organisasi
yang berupaya menciptakan produk yang berkualitas secara konsisten akan
tergantung pada komitmen dan kesungguhan elemen organisasi, rancangan dan
arah organisasi, serta proses-proses dalam organisasi. Sedangkan Steers (1985),
berpendapat bahwa kualitas pelayanan suatu organisasi dipengaruhi oleh
karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, serta
kebijakan dan praktek manajemen. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas pelayanan, salah satu faktor yang dikaji adalah komitmen. Komitmen
yang berhubungan langsung dengan kualitas kinerja seseorang hanya ditemukan
pada komitmen terhadap pekerjaan, karir, dan organisasi (Aryee & Tan, 1992;
Allen & Meyer, 1991).
Penelitian ini membatasi diri pada komitmen terhadap organisasi.
Bentuk komitmen ini menjadi penting karena perubahan lingkungan yang radikal
khususnya sumber daya manusianya. Pengelolaan aspek manusia dalam
organisasi diyakini mempunyai keyakinan alamiah dalam merespon perubahan
yang cepat dan strategi bersaing yang tinggi (Setiadi, 2001). Menurut Allen &
Meyer komitmen terhadap organisasi ini terdiri atas tiga komponen yaitu
komitmen afektif, komitmen kontinuitas, dan komitmen normatif. Ketiga
komitmen tersebut memiliki konseptualisasi yang berbeda satu dengan yang
lainnya serta berdiri sendiri. Komitmen afektif mengacu pada ikatan emosional
terhadap organisasi, internalisasi nilai-nilai organisasi dan menikmati
keanggotaannya dalam organisasi. Komitmen kontinuitas mengarah pada
pertimbangan untung rugi atas apa yang harus dikorbankan bila menetap di
organisasi. Sedangkan komitmen normatif mengacu pada perasaan wajib yang ada
pada diri individu untuk tetap tinggal di organisasi atas dasar norma yang ada
pada diri karyawan.
Pada dasarnya komitmen terhadap organisasi merupakan sikap anggota
terhadap organisasi yang ditandai dengan loyalitas dan identifikasi diri terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi. Loyalitas dan identifikasi nilai ditunjukkan
dengan dukungan terhadap perusahaan berupa sikap kerja yang efisien. Sikap
kerja ini hanya akan terwujud jika karyawan bisa memahami dan mengikuti
standar perusahaan yang berupa kebijakan, peraturan dan sebagainya (Davis &
Newstrom, dalam Hapsari 2001). Dalam bidang pelayanan jasa, sikap kerja yang
efisien akan mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan. Menurut Wijono (1997),
pelayanan yang dilandasi oleh sikap kerja yang efisien akan memberikan
sumber daya, biaya maupun waktu pelayanan. Dampak positif dari kondisi
tersebut yaitu masyarakat pengguna jasa pelayanan dapat menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu seperti yang tertuang dalam visi misi Indonesia sehat
2010.
Sejumlah penelitian tentang komitmen organisasi menunjukkan
hubungan dengan hasil kinerja maupun mutu pelayanan dalam bidang jasa. Hasil
kajian Yudhawati (2005), tentang hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan
transformasional, transaksional, dan komitmen organisasional dengan mutu
pelayanan pramuniaga di Matahari Departemen Store Magelang memaparkan
bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi dan gaya
kepemimpinan transformasional dengan mutu pelayanan, dan komitmen
organisasional dengan mutu pelayanan. Menurut Morgan dalam Kotler, (1994)
untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu menuntut komitmen karyawan yang
menyeluruh.
Mathiew & Zajac (1990), mengatakan jika mayoritas karyawan memiliki
komitmen yang tinggi maka efektivitas organisasi akan meningkat seperti
meningkatnya produktivitas, kualitas kerja, kepuasan kerja, menurunnya tingkat
keterlambatan, absensi dan pindah kerja. Sedangkan Steers (1983), menambahkan
bahwa komitmen terhadap organisasi juga berhubungan dengan tingkat kehadiran
kerja para karyawan, menurutnya karyawan yang berkomitmen akan lebih
termotivasi untuk memfasilitasi pencapaian tujuan organisasi meskipun karyawan
tersebut tidak terlalu menikmati pekerjaannya. Di samping itu komitmen terhadap
karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi memiliki tingkat
kecenderungan yang rendah untuk meninggalkan organisasi tempatnya bekerja,
mematuhi segala norma dan peraturan serta akan berusaha keras menampilkan
kinerja sesuai visi misi organisasi. Kondisi tersebut jika diterapkan dalam dunia
pelayanan kesehatan akan didapat penampilan pelayanan kesehatan yang prima
dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebaliknya, karyawan dengan komitmen
terhadap organisasi yang rendah cenderung memberikan perhatian yang rendah
pada tujuan organisasi dan cenderung berusaha untuk memenuhi kebutuhan
pribadi (Meiyanto & Santoso, 1999).
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, komitmen terhadap
organisasi akan mempengaruhi sejumlah usaha karyawan selama bekerja,
terutama dalam hal performansi kerja karyawan. Komitmen terhadap organisasi
yang tinggi akan membuat karyawan menggunakan upaya terbaiknya dalam
bekerja, memiliki kecenderungan untuk menampilkan tingkat performansi kerja
yang tinggi, memiliki masa jabatan lama, serta kualitas kerja yang berkualitas dan
efisien. Jika dikaitkan dalam bidang pelayanan kesehatan, karyawan atau petugas
pelayanan kesehatan yang memiliki komitmen tinggi memiliki identifikasi
nilai-nilai pribadinya dengan perusahaan dan berupaya menampilkan pelayanan yang
berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa pelayanan
kesehatan. Sedangkan komitmen terhadap organisasi yang rendah akan
memunculkan kondisi yang sebaliknya.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teori komitmen terhadap organisasi dan kualitas
pelayanan kesehatan, serta didukung oleh penelitian sebelumnya, maka hipotesis
yang diajukan penelitian ini adalah ada hubungan positif komponen-komponen
komitmen organisasi dengan kualitas pelayanan kesehatan, secara lebih rinci :
1. Ada hubungan positif antara komitmen afektif dengan kualitas pelayanan
kesehatan
2. Ada hubungan positif antara komitmen kontinuitas dengan kualitas pelayanan
kesehatan
3. Ada hubungan positif antara komitmen normatif dengan kualitas pelayanan
E. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut ini:
Petugas Merasa terlibat Sosialisasi
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Jenis penelitian
korelasional ini merupakan jenis penelitian yang berbentuk hubungan antara dua
variabel atau lebih dan bertujuan untuk menyelidiki variasi pada satu variabel
berkaitan dengan variasi pada yang satu atau lebih variasi yang lain berdasarkan
koefisien korelasi (Azwar, 2001). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel komitmen terhadap organisasi
(komitmen afektif, komitmen kontinuitas, komitmen normatif) dengan kualitas
pelayanan kesehatan
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian atau
apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel-variabel dalam
penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas : komitmen terhadap organisasi yang terdiri atas
komitmen afektif, kontinuitas, dan normatif
b. Variabel tergantung : kualitas pelayanan kesehatan.