• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN DAN EVALUASI GEL ANTI-AGEING EKSTRAK TEMPE DENGAN PROPILENGLIKOL SEBAGAI CHEMICAL PENETRATION

ENHANCER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh : Irene Fitria Rosita Wardani

NIM : 108114054

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PEMBUATAN DAN EVALUASI GEL ANTI-AGEING EKSTRAK TEMPE DENGAN PROPILENGLIKOL SEBAGAI CHEMICAL PENETRATION

ENHANCER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh : Irene Fitria Rosita Wardani

NIM : 108114054

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Halaman Persembahan

Sometimes hurt is needed to make us grow, because life’s greatest lessons are usually taught through a little bit of

pain

Karya ini saya persembahkan kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus

Kristus, Mama, Kakak, Almamaterku, Rama, seluruh dosen dan

teman-teman yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Pembuatan dan Evaluasi Gel

Anti-Ageing Ekstrak Tempe dengan Propilenglikol sebagai Chemical Penetration

Enhancer‖ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.) di Universitas Sanata Dharma.

Semua kelancaran dan keberhasilan dalam proses penelitian dan penyusunan naskah skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang berupa dukungan doa, bimbingan, nasihat, kritik dan saran serta motivasi. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak waktu untuk mendampingi dan memberikan arahan kepada penulis selama penelitian maupun penyusunan naskah skripsi 3. Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji atas

ketersediaannya meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan, kritik dan saran kepada penulis

(9)

viii

5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang bersedia membagikan ilmunya kepada penulis selama kuliah

6. Segenap laboran dan karyawan, Mas Agung, Pak Musrifin, Pak Iswandi, Pak Wagiran, Pak Heru, Mas Bimo, Pak Parlan , Mas Kunto, Pak Otok dan Mas Darto atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian

7. Mama tercinta Agustina Dwi Ampuni dan kakak tersayang Lydia Mirna Wening Handayani dan seluruh keluarga atas dukungan, doa, motivasi, dan kasih sayang yang senantiasa diberikan kepada penulis

8. Christian Rama Yudha Prasetyo yang selalu menjadi sumber inspirasi, semangat dan motivasi untuk penulis serta kesabaran tak terhingga untuk selalu menyemangati

9. Via dan Juli sebagai teman satu tim atas bantuan, kerjasama, canda tawa, semangat, perselisihan dan dukungan selama penelitian maupun penyusunan skripsi ini, serta teman-teman angkatan 2010, khususnya FST 2010 A atas dukungannya

10.Orin, Ana, Ncis, Happy, Mia, Maria dan semua teman-teman yang tiada henti memberikan semangat, motivasi, dukungan, doa serta tidak capek mendengarkan keluh kesah dari penulis

11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis hingga selesainya skripsi ini.

(10)

ix

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Agustus 2014

(11)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xiv

(12)

xi

F. Chemical Penetration Enhancer ... 19

(13)

xii

2. Penetapan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku standar genistein dengan pelarut etanol ... 32

3. Penetapan kadar isoflavon genistein ekstrak tempe ... 33

4. Pemilihan formula dan eksipien ... 34

5. Pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 34

6. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 36

a. Uji daya sebar ... 35

b. Uji viskositas ... 35

c. Uji pH ... 35

7. Uji iritasi primer sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 35

(14)

xiii

a. Penetapan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku standar genistein dengan

pelarut bufer fosfat pH 7,4 ... 37

b. Uji penetrasi sediaan gel anti-geing ekstrak tempe secara in vitro ... 38

F. Analisis Hasil ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan ekstrak tempe ... 42

B. Penetapan kadar isoflavon genistein ekstrak tempe ... 44

C. Pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 49

D. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 51

1. Uji pH ... 52

2. Uji viskositas ... 52

3. Uji daya sebar ... 54

E. Uji penetrasi sediaan gel anti-ageing secara in vitro ... 55

F. Uji iritasi primer sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 71

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Senyawa isoflavon dalam tempe kedelai ... 18

Tabel II. Formula acuan gel ... 34

Tabel III. Formula gel anti-ageing ekstrak tempe ... 34

Tabel IV. Evaluasi reaksi iritasi primer ... 36

Tabel V. Kriteria Iritasi ... 36

Tabel VI. Data kurva baku genistein dengan pelarut etanol ... 47

Tabel VII. Hasil pengukuran konsentrasi genistein dalam ekstrak . 49 Tabel VIII. Hasil uji sifat fisis sediaan ... 52

Tabel IX. Data kurva baku genistein dengan pelarut bufer fosfat ... 56

Tabel X. Hasil uji penetrasi sediaan gel anti-ageing ... 60

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penampang melintang kulit manusia ... 7

Gambar 2. Lapisan epidermis kulit ... 8

Gambar 3. Jalur absorpsi obat melalui kulit ... 11

Gambar 4. Struktur propilenglikol ... 22

Gambar 5. Mekanisme propilenglikol sebagai enhancer ... 22

Gambar 6. Desain alat sel difusi Franz ... 24

Gambar 7. Skema sistem KCKT ... 25

Gambar 8. Hasil panjang gelombang maksimum genistein dengan pelarut etanol ... 46

Gambar 9. Hubungan konsentrasi genistein dengan AUC ... 48

Gambar 10. Hasil panjang gelombang maksimum genistein dengan pelarut bufer fosfat... 56

Gambar 11. Hubungan konsentrasi genistein dengan AUC ... 57

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data penimbangan tempe untuk ekstraksi ... 72

Lampiran 2. Data penimbangan bobot tetap ekstrak tempe ... 72

Lampiran 3. Spektra panjang gelombang pengamatan baku

genistein ... 73 Lampiran 4. Data penimbangan baku dan perhitungan kadar seri

larutan baku genistein dengan pelarut etanol ... 75 Lampiran 5. Penentuan kurva baku genistein dengan pelarut

etanol beserta data kromatogramnya ... 77 Lampiran 6. Persamaan dan grafik kurva baku genistein dengan

pelarut etanol ... 80 Lampiran 7. Data penimbangan, kromatogram serta perhitungan

kadar genistein dalam ekstrak tempe ... 81 Lampiran 8. Perhitungan kadar seri larutan baku genistein dengan

pelarut bufer fosfat pH 7,4 ... 84 Lampiran 9. Penentuan kurva baku genistein dengan pelarut

bufer fosfat pH 7,4 beserta data kromatogramnya ... 85 Lampiran 10. Persamaan dan grafik kurva baku genistein dengan

pelarut bufer fosfat pH 7,4 ... 89 Lampiran 11. Data uji sifat fisik sediaan gel anti-ageing ekstrak

tempe ... 90 Lampiran 12. Data uji iritasi primer sediaan gel anti-ageing

ekstrak tempe ... 91 Lampiran 13. Data perhitungan dan grafik hasil uji penetrasi

beserta data kromatogram yang dihasilkan ... 96 Lampiran 14. Hasil uji statistik menggunakan perangkat lunak

(18)

xvii

(19)

xviii INTISARI

Keberhasilan sediaan topikal dapat dilihat dari kemampuan zat aktif untuk berpenetrasi ke dalam kulit. Chemical penetration enhancer adalah senyawa yang dapat membantu penetrasi zat aktif ke dalam kulit, salah satunya propilenglikol. Penelitian mengenai pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dangan propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penetrasi zat aktif sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe dengan penggunaan chemical penetration enhancer propilenglikol pada konsentrasi 0%, 10%, 15% dan 20% .

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni dengan melihat respon jumlah kumulatif isoflavon genistein yang terpenetrasi ke dalam kulit selama 6 jam serta kecepatan penetrasi dengan metode uji sel difusi Franz secara in vitro. Analisis data dilakukan dengan menghitung jumlah kumulatif isoflavon genistein yang terpenetrasi ke dalam kulit dengan melihat nilai AUC yang dihasilkan pada sistem KCKT fase terbalik kemudian data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak R-2.14.0 untuk mengetahui signifikansi (p<0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji penetrasi in vitro, propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan penetrasi isoflavon genistein pada sediaan gel anti-ageing ke dalam kulit.

(20)

xix ABSTRACT

The success of the topical preparation can be seen from the ability of active ingredients to penetrate into the skin. Chemical penetration enhancers are substances which can help active ingredient penetrates into the skin, one of which is propyleneglycol. Research about formulation and evaluation of gel anti-ageing of tempe extract with propyloneglycol as chemical penetration enhancer aim to observe the effect of penetration of active ingredient gel anti-ageing of tempe extract by using chemical penetration enhancer propyleneglycol at concentration 0%, 10%, 15%, and 20%.

This research was a purely experimental study by looking the response of cumulative amount of isoflavon genistein which is penetrated into the skin for six (6) hours and the flux of penetration by testing Franz cells diffusion in vitro. The data analysis is done by counting the cumulative amount of genistein isoflavon which is penetrated into the skin by looking the result of AUC in HPLC reversed phase system then the result was analyzed statistically using R-2.14.0 software to determine the difference response (p-value < 0,05)

Based on the result of study penetration in vitro, propyleneglycol as chemical penetration enhancer showed significant effect toward increase penetration of isoflavone genistein in gel anti-ageing into the skin.

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesadaran untuk berpenampilan lebih baik, salah satunya memiliki kulit wajah yang sehat dan tampak muda sudah menjadi suatu kebutuhan dan berdampak pada kualitas hidup seorang wanita. Kelainan-kelainan kulit akibat proses penuaan yang dulu dianggap bukan suatu masalah yang penting, saat ini sering dikeluhkan dan dikhawatirkan masyarakat. Akhir-akhir ini banyak orang terutama kaum wanita mulai mengeluhkan tentang tanda-tanda terjadinya penuaan dini pada kulit, mulai dari timbulnya kerutan kulit wajah, wajah kendur dan wajah kusam yang terjadi pada usia yang relatif muda (Cunnningham, 2003; Jusuf, 2005).

(22)

disebabkan oleh faktor dari luar tubuh salah satunya adalah radikal bebas (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2003; Baumann dan Saghari, 2009).

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson dan Thompson, 2000), untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Radikal bebas akan sangat reaktif menyerang sel-sel tubuh yang normal serta molekul-molekul alami tubuh seperti lipoprotein, asam lemak tak jenuh, protein, serta unsur DNA tubuh termasuk karbohidrat untuk mendapatkan pasangan elektron (Prakash, 2001; Frei ,1994; Trevor, 1995). Reaksi ini akan berlangsung secara terus-menerus sehingga akan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit termasuk penuaan dini, oleh karena itu tubuh membutuhkan suatu senyawa yang mampu menangkap radikal bebas agar tidak menyebabkan penuaan dini, yaitu senyawa antioksidan (Kikuzaki, dkk, 2002; Sibuea, 2003; Halliwell, 2000).

(23)

antioksidan dari luar tubuh untuk menghancurkan radikal bebas (Prakash, 2001; Frei, 1994; Trevor, 1995). Antioksidan dari luar tubuh dapat dipenuhi dengan adanya sediaan topikal yang mengandung senyawa antioksidan yang dapat menghancurkan radikal bebas.

Senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan salah satunya adalah isoflavon yang berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Penyebaran isoflavon terbatas pada kelompok tanaman kacang-kacangan (leguminosae) seperti kedelai dan produk olahannya (Harbone, 1996; Markham,1988). Isoflavon di alam ditemukan dalam bentuk glikosida berupa daidzin, genistin, glisitin, acetyldaidzin, dan acetylgenistin, selain bentuk glikosida isoflavon juga ditemukan dalam bentuk aglikonnya yaitu daidzein, genistein, dan glisitein (Wuryani, 1992). Perubahan senyawa isoflavon dalam bentuk glikosida menjadi aglikon salah satunya disebabkan oleh proses perendaman dan fermentasi pada pembuatan tempe. Pada penelitian ini digunakan tempe kedelai dimana aktivitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dalam kedelai karena mengalami proses fermentasi yang menghasilkan senyawa aglikon yang menurut Murakami dkk (1984) aktivitas antioksidan ditentukan oleh bentuk struktur bebas (aglikon) dari suatu senyawa. Kedelai sendiri memiliki kandungan isoflavon yang cukup tinggi, yaitu 5,1-5,5 mg isoflavon total/gram (Alrasyid, 2007).

(24)

impermeabilitas kulit secara sementara agar isoflavon dapat berpenetrasi ke dalam stratum corneum. Chemical penetration enhancer adalah suatu senyawa yang

dapat membantu penetrasi zat aktif (obat) ke dalam kulit atau permeasi melalui kulit dengan mengurangi permeabilitas barier kulit secara sementara (Songkro, 2009). Bahan–bahan yang dapat digunakan sebagai chemical penetration

enhancer antara lain: air, sulfoksida, azone, pyrrolidones, asam-asam lemak,

alkohol dan glikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Songkro, 2009). Pada penelitian ini akan digunakan propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer dengan perbandingan konsentrasi 0%, 10%, 15% dan 20%

Sediaan anti-ageing dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk gel berbasis senyawa hidrofilik. Isoflavon tergolong dalam senyawa semipolar yang diharapkan dengan diformulasikan dalam bentuk sediaan gel berbasis hidofilik isoflavon tidak terikat kuat pada basis sehingga isoflavon akan lebih mudah untuk terpenetrasi ke dalam stratum corneum. Bentuk sediaan gel memiliki berbagai keuntungan, seperti memiliki konsistensi yang lembut, dapat menyebar dengan baik, memberi sensasi dingin saat dipakai dengan adanya kandungan air yang tinggi sehingga nyaman dipakai, serta mudah saat pembersihannya sehingga akan mudah diterima oleh masyarakat (Mitsui, 1997).

1. Rumusan masalah:

Bagaimana pengaruh propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer dengan konsentrasi 0%, 10%, 15% dan 20% terhadap penetrasi

(25)

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai pembuatan gel dengan isoflavon sebagai zat aktifnya telah dilakukan oleh Lulu (2010) dengan judul ―Optimasi Formula Gel Anti-Ageing Ekstrak Etil Asetat Isoflavon dengan Carbopol 940 Sebagai Gelling

Agent dan Propilen Glikol Sebagai Humektan: Aplikasi Desain Faktorial‖.

Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai ―Pembuatan dan

Evaluasi Gel Anti-Ageing Ekstrak Tempe Propilenglikol sebagai Chemical Penetration Enhancer‖ belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoretis

Menambah informasi yang berguna bagi ilmu pengetahuan terutama di bidang farmasi mengenai bentuk sediaan gel anti-ageing dari ekstrak tempe.

b. Manfaat metodologis

Menambah informasi yang berguna terutama di bidang farmasi mengenai upaya pengembangan dan aplikasi formula gel ekstrak bahan alam serta penggunaan chemical penetration enhancer propilenglikol dalam formulasi gel ekstrak tempe.

c. Manfaat praktis

(26)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Membuat gel anti-ageing dengan menggunakan bahan yang mudah didapatkan yaitu ekstrak tempe

2. Tujuan khusus

Mengetahui pengaruh propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer pada konsentrasi 0%, 10%, 15% dan 20% terhadap penetrasi

(27)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Kulit

Kulit merupakan organ tubuh manusia yang paling luas, dimana luas permukaan kulit orang dewasa adalah ± 2 m2 yang setiap cm2 luas kulit mengandung 200-250 kelenjar keringat dan 10-70 folikel rambut (Benson dan Watkinson, 2012). Fungsi primer dari kulit adalah sebagai barrier antara tubuh dan lingkungan luar, seperti paparan radiasi sinar ultraviolet (UV), senyawa kimia, benda asing, mikroorganisme serta mencegah kehilangan kelembaban kulit dan nutrisi tubuh. Kulit juga memiliki peran dalam menjaga homeostatis, mengatur suhu tubuh dan tekanan darah, selain itu kulit juga berfungsi sebagai indra peraba (Benson dan Watkinson, 2012).

(28)

Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar yang berfungsi sebagai barrier kulit. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan sel dengan tebal sekitar 0,1-0,3 mm (Mitsui, 1997). Secara histologis lapisan epidermis terdiri dari lima lapisan yaitu lapisan tanduk (stratum corneum), lapisan lusidum, lapisan granulosum, lapisan spinosum dan lapisan basal (Tranggono dan Latifah, 2007). Struktur sel epidermis akan selalu memperbarui lapisannya dengan pembentukan lapisan sel baru keratinosit pada stratum basal.

Gambar 2. Lapisan epidermis kulit (Anonim, 2014)

Stratum corneum berada pada lapisan paling luar dari epidermis.

Lapisan ini terdiri dari keratin, protein yang tidak larut air yang dapat membantu menjaga hidrasi kulit dengan mencegah penguapan kandungan air (Allen, 2002). Stratum corneum merupakan lapisan sel kulit mati yang memiliki kelembaban yang rendah (10-30%). Lapisan ini sangat menentukan suatu sediaan dapat memberikan efek terapeutik. Lapisan ini memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap berbagai senyawa kimia dan biologi.

Lapisan tanduk

Lapisan lusidum Lapisan granulosum

(29)

Ketahanan ini disebabkan oleh adanya jembatan disulfida (menyusun serat keratin α) dan ikatan kovalen antarmolekul (Mitsui, 1997; Alache,

Devissague dan Hermann, 1993).

Stratum lucidum berada dibawah stratum corneum yang merupakan

kumpulan dari droplet-droplet cairan minyak yang disebut eleidin. (Jellinek, 1970). Ketika nukleus sel dan organel lain pada stratum lucidum berintegrasi, keratinasi akan meningkat dan sel akan menjadi lebih kompak. Stratum granulosum berada di antara stratum lucidum dan stratum spinosum yang

terdiri dari 1-3 sel skuamosa. Sel pada lapisan ini memiliki inti yang berupa keratohyalin yang berfungsi untuk memantulkan sinar yang mengenai kulit,

dan akan membentuk keratin (Jellinek, 1970).

Stratum spinosum merupakan lapisan yang terdiri dari sel kuboid,

(30)

2. Dermis

Dermis terdiri atas jaringan pengikat dan serabut kolagen yang menentukan elastisitas kulit. Lapisan ini mengandung banyak ujung saraf yang mendukung indra peraba dan panas, di dalamnya terdapat folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebaceous, kelenjar apocrine dan pembuluh darah (Jellinek, 1970). Dermis tersusun atas matriks ekstraseluler yang disintesis dan disekresikan oleh fibroblast. Fibroblast inilah yang membentuk kolagen, elastin dan matriks protein lainnya yang menentukan elastisitas dan kekencangan kulit (Mitsui, 1997).

3. Hipodermis

Hipodermis terdiri dari jaringan pengikat yang mengandung banyak sel adiposa. Sel adiposa ini berfungsi sebagai pelindung organ dari benturan mekanik. Sel adiposa juga berfungsi sebagai tempat cadangan lemak (Jellinek, 1970).

(31)

1. Absorpsi transepidermal

Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum corneum yang dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu transeluler dimana zat aktif akan melewati korneosit dan daerah yang kaya akan lemak. Difusi obat secara transeluler sering dianggap sebagai rute polar yang melalui membran yang didominasi keratin yang terhidrasi tinggi untuk difusi zat aktif yang bersifat hidrofilik, sedangkan jalur interseluler (paraseluler) merupakan jalur difusi zat aktif yang melalui ruang antarsel (korneosit). Rute difusi obat secara interseluler dalam penetrasi obat tergantung pada partisi obat dan berdifusi sampai matriks lemak interseluler (Benson dan Watkinson, 2012).

2. Absorpsi transappendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya zat aktif melalui folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea karena adanya pori-pori yang memungkinkan zat aktif berpenetrasi (Benson dan Watkinson, 2012).

Gambar 3. Jalur absorpsi obat melalui kulit (Fox dkk, 2011).

Rute permeasi obat melalui kulit : (1) difusi interseluler; (2) difusi transeluler; (3) difusi transappendageal

keratinosit

Lipidlamellae

(32)

Penetrasi zat aktif di dalam kulit, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Koefisien partisi zat aktif: Banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya lipofilisitas zat aktif akan meningkatkan penetrasi ke dalam kulit dengan nilai log P yang optimal adalah 2-3.

2. Ukuran molekul: Ukuran dan bentuk molekul zat aktif akan mempengaruhi penetrasi zat aktif tersebut ke dalam kulit. Masuknya zat aktif melalui kulit termasuk dalam mekanisme difusi pasif, molekul yang berukuran kecil akan lebih mudah masuk ke dalam kulit. Zat aktif dalam sediaan topikal dianjurkan untuk memiliki ukuran molekul kurang dari 500 Da.

3. Kelarutan: Kelarutan zat aktif pada interseluler akan mempengaruhi koefisien difusi di dalam stratum corneum. Komponen lipofilik akan meningkatkan solubilitas pada interseluler dan meningkatkan fluks. Zat aktif yang dapat terpenetrasi idealnya memiliki kelarutan dalam lipid (koefisien difusi tinggi) tetapi juga memungkinkan larut dalam air untuk memaksimalkan fluks. 4. Kondisi kulit: Kondisi kulit seperti kelembaban kulit, keadaan kulit, suhu

kulit, usia, dan jenis kelamin akan mempengaruhi penetrasi zat aktif ke dalam kulit.

5. Bahan peningkat penetrasi (enhancer): Adanya bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan mengubah sifat fisikokimia lapisan tanduk sehingga akan mengurangi daya tahan difusi. 6. Hidrasi: Meningkatnya hidrasi pada stratum corneum akan meningkatkan

(33)

Sifat kulit yang impermeable akan mencegah kehilangan air dari dalam tubuh dan mencegah masuknya obat ke dalam tubuh serta absorpsi sistemik zat aktif yang memberikan efek terapetik. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memfasilitasi penetrasi obat untuk masuk ke dalam kulit, salah satunya dengan peningkat penetrasi secara pasif yang dapat dicapai dengan cara:

1. Meningkatkan aktivitas termodinamik obat pada formulasinya

2. Menggunakan senyawa kimia atau chemical penetration enhancer (senyawa peningkat penetrasi) yang akan berinteraksi dengan substansi kulit untuk meningkatkan fluks zat aktif (Benson dan Watkinson, 2012).

B.Penuaan Kulit

Proses penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri, mempertahankan struktur serta fungsi normalnya yang terjadi secara perlahan. Penuaan kulit adalah suatu proses biologis kompleks yang mengenai berbagai lapisan kulit, sehingga mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit (Yaar dan Gilchrest, 2003). Proses penuaan kulit terdiri atas 2 keadaan yang saling berkaitan, yaitu:

(34)

2. Penuaan ekstrinsik, merupakan penuaan yang terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh, seperti paparan sinar matahari, polusi udara dan radikal bebas. Proses penuaan ini dapat dicegah (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2003; Baumann dan Saghari, 2009).

Radikal bebas merupakan salah satu penyebab yang memberikan konstribusi besar pada penuaan kulit. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson dan Thompson, 2000). Elektron ini akan mencari pasangan elektron yang lain dengan cara menariknya dari molekul lain sehingga akan menyebabkan senyawa menjadi tidak normal dan akan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel penting dalam tubuh (Anies, 2009). Pada kulit, radikal bebas akan merusak lemak dan membran sel yang kemudian akan menyebabkan kulit kehilangan elastisitas jaringan kolagen dan otot sehingga mulai timbul keriput (Anies, 2009).

C. Antioksidan

(35)

berasal dari luar tubuh seperti makanan maupun vitamin yang mengandung antioksidan. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih elektronnya kepada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan pada sel-sel tubuh (Hugson dan Levi, 2000).

Sumber senyawa antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Pratt, 1992). Senyawa antioksidan alami dapat diperoleh dari tanaman atau hewan seperti tokoferol, vitamin C, beta karoten, flavonoid dan senyawa fenolik. Antioksidan alami ini tersebar pada beberapa bagian tanaman seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk sari. Senyawa antioksidan alami dari tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organic polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, dan kalkon sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Pratt, 1992; Shahidi dan Naczk, 1995).

D. Isoflavon dan Tempe

(36)

Markham, 1988). Isoflavon dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis, seperti anti hemolisis, antioksidan, antifungi dan antikanker (Iskandar dan Priatni, 2008). Isoflavon mempunyai kemampuan antioksidan dan mencegah kerusakan akibat radikal bebas dengan mekanisme mendonorkan ion Hidrogen dan bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Astuti, 2008).

Isoflavon di alam ditemukan dalam bentuk glikosida berupa daidzin, genistin, glisitin, acetyldaidzin, dan acetylgenistin. Selain bentuk glikosida isoflavon juga ditemukan dalam bentuk aglikonnya yaitu daidzein, genistein, dan glisitein (Wuryani, 1992). Isoflavon dalam bentuk aglikon dilaporkan memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan dalam bentuk glikosida. Glukosida isoflavon akan melalui proses hidrolisis sehingga akan menghasilkan isoflavon dalam bentuk aglikon (Iskandar dan Priatni, 2008).

Kedelai (Glysin max L.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan isoflavon yang cukup tinggi, yaitu 5,1-5,5 mg isoflavon total/gram (Alrasyid, 2007). Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida, sedangkan yang dominan pada produk kedelai yang mengalami fermentasi adalah aglikon (Coward dkk, 1993). Senyawa-senyawa isoflavon dalam kedelai berada dalam bentuk glikosida isoflavon, yaitu genistin, daidzin dan glisitin dan dalam bentuk aglikon isoflavon, yaitu genistein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon), daidzein (7,4’-dihidroksi isoflavon) dan glisitein (6-metoksi-7,4’

-dihidroksi isoflavon). Senyawa isoflavon yang terkandung dalam biji kedelai 99%

(37)

menjadi aglikon isoflavon dan glukosa. Selama proses fermentasi dengan adanya jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae yang menghasilkan enzim β -glikosidase, ikatan –O- glikosida pada isoflavon terhidrolisis sehingga terbentuk

senyawa gula dan aglikon bebas dari isoflavon (Prawiroharsono, 2009, Restuhadi, 1993, Kasmidjo, 1990, Koswara, 1995).

Tempe kedelai merupakan salah satu makanan tradisional asli Indonesia yang sangat disukai oleh penduduk Indonesia dan sering dijumpai sebagai makanan dalam menu sehari-hari (Ariani, 1997). Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan rasa yang spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji-bijian. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara biji-biji. Sedangkan rasa yang spesifik disebabkan oleh terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai selama fermentasi (Kasmidjo, 1990).

(38)

Tabel I. Senyawa isoflavon dalam tempe kedelai (Ariani dan Hastuti, 2009)  Kelarutan : Tidak larut

dalam air

Senyawa isoflavon yang ditemukan dalam tempe kedelai antara lain faktor-2 (6,7,4’-trihidroksi isoflavon), daidzein (7,4’-trihidroksi isoflavon ), glisitein (6-metoksi-7,4’-trihidroksi isoflavon ) dan genistein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon). Genistein dan daidzein dijumpai pada kedelai bahan baku tempe

(39)

E. Maserasi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Metode ekstraksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu cara dingin yang meliputi maserasi dan perklorasi, sedangkan ekstraksi cara panas meliputi refluks, sokhletasi, digesti, infudasi, dan dekok.

Maserasi adalah suatu proses perendaman simplisia dengan pelarut tertentu yang sesuai. Proses ini memungkinkan peresapan pelarut ke dalam bahan obat yang berada dalam bentuk halus sehingga zat-zat yang mudah larut akan terlarut. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari tertentu yang nantinya akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terlarut dan larutan ini akan terdesak keluar karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel. Maserasi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pengaduk yang berputar secara terus-menerus dalam waktu 6-24 jam (Depkes RI, 1986).

F. Chemical Penetration Enhancer

Chemical penetration enhancer adalah suatu senyawa yang dapat

(40)

iritasi, tidak menyebabkan alergi, harus memberikan onset yang cepat, durasi dari aktivitasnya dapat diprediksi, harus kompatibel secara kimia maupun fisika dengan zat aktif dan eksipien yang digunakan, setelah dibersihkan dari kulit stratum corneum secepat mungkin dapat kembali normal berfungsi sebagai barrier kulit (Songkro, 2009 dan Sinha, 2000).

Chemical penetration enhancer mempunyai beberapa mekanisme kerja,

yaitu:

1. Mengacaukan atau merusak urutan struktur dari lemak stratum corneum 2. Berinteraksi dengan protein intraseluler

3. Meningkatkan partisi dari zat aktif, coenhancer atau solven dalam stratum corneum (Patel, 2011).

Chemical penetration enhancer merupakan senyawa inaktif yang dapat berpartisi dan berdifusi hingga membran dan berinteraksi dengan komponen pada stratum corneum. Chemical penetration enhancer akan mengacaukan susunan

(41)

formamida (DMF), propilenglikol, gliserol dan lain-lain (Williams dan Barry, 2004; Benson dan Watkinson, 2012).

G. Propilenglikol

Propilenglikol banyak digunakan dalam sediaan topikal, terutama sebagai plasticizer, humektan, solven dan bahan penstabil (Rowe dkk, 2009).

Propilenglikol bersifat higroskopis yang mampu menarik kandungan air dari lingkungan luar serta akan menahan kelembaban pada permukaan kulit (Baumann dan Saghari, 2009). Propilenglikol berupa cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau dengan rasa manis dengan viskositas yang lebih rendah dari gliserin.

Berdasarkan Material Safety Data Sheet, propilenglikol bersifat tidak mengiritasi kulit. Propilenglikol juga berfungsi sebagai penetration enhancer namun jika penggunaannya secara tunggal, propilenglikol kurang efektif sebagai penetration enhancer. Kombinasi propilengllikol dan penetration enhancer

lainnya dapat memberikan efek yang sinergis dalam meningkatkan penetrasi zat aktif (Lanucea, Arellano, Santoyo dan Ygartua, 2001).

Propilenglikol mempunyai mekanisme kerja sebagai chemical penetration enhancer dengan meningkatkan fluiditas pada lipid sehingga difusi obat pada lipid

bilayer akan meningkat. Propilenglikol akan melarutkan gugus polar pada α

(42)

Gambar 4. Struktur propilenglikol (Anonim, 2014)

Gambar 5. Mekanisme propilenglikol sebagai enhancer (Benson dan

Watkinson, 2012).

H. Gel

Gel adalah bentuk sediaan semisolid yang terdiri dari suatu dispersi partikel anorganik kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel merupakan sistem dispersi yang minimal terdiri dari 2 fase yaitu sebuah fase padat dan sebuah fase cair. Hidrogel adalah sediaan semisolid yang mengandung bahan polimer yang mempunyai kemampuan untuk mengembang dalam air tanpa larut dan bisa menyimpan air dalam strukturnya. Sistem ini dianggap cocok untuk aplikasi pada kulit dengan fungsi kelenjar sebasea yang berlebihan. Setelah kering hidrogel akan membentuk lapisan yang

(43)

tipis, elastis, transparan dengan daya lekat yang tinggi dan tidak akan menyebabkan penyumbatan pada kulit (Voigt, 1994). Keuntungan sediaan gel dibandingkan dengan sediaan topikal yang lainnya adalah gel akan mudah merata jika dioleskan pada kulit, memberi sensasi dingin, tidak menimbulkan bekas pada kulit dan mudah dicuci (Zatz, 1996).

I. Uji Penetrasi Kulit secara In Vitro

Uji daya penetrasi dan pelepasan zat aktif melalui kulit secara in vitro merupakan salah satu cara yang paling mudah dalam penentuan absorpsi dan penetrasi obat melalui kulit. Formulasi sediaan topikal yang baik akan memberikam pelepasan zat aktif yang optimal. Kecepatan pelepasan zat aktif tergantung pada aktivitas termodinamik zat aktif terkait formulasi (Witt dan Bucks, 2003). Absorpsi obat ke dalam atau melalui kulit tergantung pada beberapa faktor, antara lain komposisi dari formulasi yang akan dibuat, tipe dan kondisi kulit, dan faktor-faktor lainnya seperti suhu, kelembaban.

Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan penilaian bioavaibilitas zat aktif pada kulit dengan mengukur kecepatan dan jumlah zat aktif yang menembus kulit maupun yang tertahan pada kulit. Uji penetrasi kulit secara in vitro yang sudah banyak digunakan adalah sel difusi Franz, yang terdiri atas

(44)

Gambar 6. Desain alat sel difusi Franz (Benson dan Watkinson, 2012).

J. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi adalah teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam analisis, baik analisis kualitatif, kuatitatif maupun preparative. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam dan fase gerak yang akan dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan elusi. Salah satu sistem kromatografi adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), dimana KCKT ini merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Rohman, 2007).

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri dari delapan komponen pokok, yaitu wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom, detector, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan computer atau perekam (Rohman, 2007).

(45)

Gambar 7. Skema sistem KCKT (Snyder, 2010).

K. LANDASAN TEORI

Penuaan adalah suatu proses yang terjadi pada seluruh makhluk hidup yang meliputi seluruh organ tubuh termasuk kulit. Penuaan kulit sendiri adalah suatu proses biologis yang terjadi pada kulit yang akan mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penuaan pada kulit adalah karena adanya radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga radikal bebas ini akan bereaksi dengan molekul yang ada di sekitarnya untuk mencapai kestabilannya. Radikal bebas akan sangat reaktif menyerang sel-sel tubuh serta molekul tubuh yang normal untuk mendapatkan pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus-menerus yang akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit termasuk penuaan dini pada kulit, sehingga tubuh membutuhkan senyawa yang mampu menangkap radikal bebas yaitu antioksidan (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2003; Prakash, 2001; Frei ,1994; Trevor, 1995).

sampel

pompa injektor

(46)

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi pada radikal bebas sehingga kerusakan sel dapat dihambat, Salah satu senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah isoflavon, dimana isoflavon berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Astuti, 2008). Penyebaran senyawa isoflavon terbatas pada tanaman kacang-kacangan seperti kedelai dan produk olahannya. Tempe merupakan salah satu produk olahan kedelai yang mengalami proses fermentasi yang menyebabkan terjadinya perubahan senyawa isoflavon dalam bentuk glikosida menjadi bentuk aglikon, dimana menurut Murakami, dkk (1984) aktivitas antioksidan ditentukan oleh bentuk struktur bebas (aglikon) dari suatu senyawa.

Penelitian ini menggunakan isoflavon yang terdapat dalam tempe yang akan diformulasikan dalam bentuk sediaan gel anti-ageing karena sediaan gel lebih mudah merata ketika dioleskan pada kulit, memberi sensasi dingin, mudah dicuci sehingga akan nyaman saat digunakan dibandingkan bentuk sediaan yang lainnya. Keberhasilan sediaan topikal dapat dilihat dari kemampuan zat aktif untuk dapat terpenetrasi ke dalam stratum corneum, untuk membantu penetrasi zat aktif ke dalam stratum corneum dibutuhkan senyawa yang dapat mengurangi impermeabilitas barier kulit secara sementara yaitu chemical penetration enhancer. Chemical penetration enhancer harus aman, tidak toksik dan tidak

(47)

dimana propilenglikol relatif lebih aman dibandingkan dengan chemical penetration enhancer yang lainnya. Propilenglikol memungkinkan untuk

digunakan sebagai chemical penetration enhancer sehingga meningkatkan penetrasi isoflavon genistein sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe.

L. Hipotesis

(48)

28 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental murni karena subjek uji (formula gel anti-ageing) diberikan perlakuan yaitu komposisi chemical penetration enhancer yang berbeda-beda.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perbandingan konsentrasi propilenglikol yang digunakan sebagai chemical penetration enhancer.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisik gel anti-ageing ekstrak tempe yang meliputi daya sebar, viskositas gel serta pH

sediaan dan jumlah kumulatif serta kecepatan penetrasi zat aktif gel anti-ageing ekstrak tempe ke dalam kulit.

3. Variabel pengacau terkendali

(49)

4. Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah suhu dan kelembaban udara ruang dalam proses pembuatan dan penyimpanan gel, kondisi patologis hewan uji serta subjektivitas penulis dalam pengamatan.

C. Definisi Operasional

1. Ekstrak tempe adalah cairan hasil ekstraksi dari tempe dengan menggunakan metode ektraksi secara maserasi.

2. Anti-ageing adalah senyawa yang bekerja sebagai antioksidan yang membantu menghentikan, memperlambat atau mencegah timbulnya penuaan pada kulit akibat adanya radikal bebas di dalam tubuh.

3. Gel anti-ageing ekstrak tempe adalah sediaan setengah padat yang dibuat dari ekstrak tempe sesuai dengan formula yang telah ditentukan yang berfungsi untuk mencegah penuaan dini pada kulit.

4. Chemical penetration enhancer adalah bahan atau senyawa yang dapat membantu penetrasi zat aktif ke dalam kulit atau permeasi melalui kulit dengan mengurangi reversibilitas barierr kulit.

5. Sifat fisik gel adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas fisik suatu sediaan gel yang antara lain meliputi daya sebar, viskositas dan pH sediaan

(50)

7. Sel difusi Franz adalah alat uji yang digunakan untuk mengetahui penetrasi suatu zat aktif.

D. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi glassware (Iwaki TE-32 Pirex Japan Unmderli), alat maserasi (Innova 2100 platform shaker), Vaccum Rotary Evaporator (Janke-Kulken), hand mixer (Miyako HM 620),

Blender (Miyako BL 152), Viskometer Rion VT-04, indikator pH universal

Merck, neraca analitik (Mettler-Toledo AB204 dengan kepekaan 0,1 mg), sel difusi Franz, seperangkat alat KCKT dengan detektor ultraviolet (Shimadzu LC-2010C), kolom C18 merek Knauer (No order 25EE181KSJ (B115Y620); Dimension (250 x 4,6 mm); Packing (Kromasil 100-5 C18); Batch No (002014)), seperangkat komputer (merek Dell B6RDZ1S Connexant system RD01-D850 A03-0382 JP France S.A.S, spektrofotometer UV-Vis (OPTIMA), alat ultrasonicator Refsch, millipore, syringe, kertas saring Whatman 0,45 μm, Horizontal double plate dan perangkat lunak R-2.14.0. 2. Bahan penelitian

(51)

farmasetis, ethanol kualitas p.a (E. Merck), metil paraben kualitas farmasetis, metanol kualitas p.a (E. Merck), dan baku pembanding genistein.

E. Tatacara Penelitian 1. Pembuatan ekstrak tempe

Tempe kedelai segar yang didapatkan dari SUPERINDO Babarsari merek MUCHLAR dipotong dadu kemudian diblender hingga didapatkan ukuran yang lebih halus. Sebanyak 150 g tempe yang sudah halus dilarutkan dengan menggunakan 300 mL (1:2) Petroleum Eter (PE) kemudian dimaserasi selama 24 jam. Hasil maserasi disaring kemudian diambil residu padat sedangkan larutan PE dibuang setelah itu residu padat yang didapatkan dikeringkan. Residu padat yang telah kering kemudian dimaserasi dengan menggunakan etanol 96% sebanyak 300 mL selama 3 hari. Hasil maserasi kemudian disaring sehingga didapatkan residu padat dan larutan berwarna kuning kecoklatan. Residu padat dibuang dan larutan yang berwarna kuning kecoklatan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak kental kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 50C selama 1 jam dan ditimbang bobotnya. Hal ini dilakukan berulangkali hingga didapatkan bobot tetap.

(52)

2. Penetapan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku standar genistein dengan pelarut etanol

Larutan stok dibuat dengan melarutkan 1,0 mg baku genistein ke dalam 1,0 mL etanol sehingga didapatkan konsentrasi 1000 µg/mL. Dibuat larutan intermediet baku genistein dengan mengambil 0,50 mL larutan stok dan diencerkan dengan etanol hingga 5,0 mL sehingga didapatkan konsentrasi 100 µg/mL. Pembuatan larutan seri kurva baku dilakukan dengan mengambil masing-masing 5,0; 25,0; 50,0; 250,0 dan 500,0 µL larutan intermediet kemudian masing-masing diencerkan dengan etanol hingga 5,0 mL sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 0,10; 0,50; 1,0; 5,0 dan 10,0 µg/mL. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan milipore dan didegassing selama 15 menit.

(53)

3. Penetapan kadar isoflavon genistein ekstrak tempe

Ekstrak kental yang sudah didapatkan ditimbang sebanyak 1,0 g dan dilarutkan dalam 15 mL aquadest kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah untuk dilakukan ekstraksi cair-cair. Etil asetat sebanyak 15 mL ditambahkan ke dalam corong pisah dan digojog kuat kemudian didiamkan, setelah terbentuk dua fase, yaitu fase etil asetat dan fase air, fase etil asetat diambil sedangkan fase air diekstraksi dengan menggunakan 10 mL etil asetat. Langkah ini diulangi sebanyak dua kali.

(54)

4. Pemilihan formula dan eksipien

Formula standar yang digunakan mengacu pada International Journals of Pharmaceutical Compounding: Gel Compounding di dalam Lulu,

(2010) dengan formula sesuai Tabel II

Tabel II Formula acuan

Formula modifikasi yang akan digunakan adalah sebagai berikut sesuai dengan Tabel III

Tabel III. Formula gel anti-ageing ekstrak tempe

Formula I II III IV

5. Pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe

(55)

kemudian dihomogenkan menggunakan mixer skala kecepatan satu selama 2 menit, setelah campuran homogen kemudian ditambahkan parfume.

6. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe

a. Uji daya sebar. Uji daya sebar sediaan gel dilakukan pada jam ke 48 jam dan 72 jam setelah pembuatan, dengan cara: Menimbang gel sebanyak 1,0 g kemudian diletakkan ditengah horizontal double plate. Di atas gel diletakkan horizontal double plate yang lain dan diberi beban dengan total 125 g dan didiamkan selama 1 menit kemudian dicatat diameter penyebarannya.

b. Uji viskositas. Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskometer seri VT 04 RION – Japan dengan cara: Gel dimasukkan ke dalam wadah kemudian dipasang pada portable viskotester. Viskositas gel diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas. Uji ini dilakukan pada jam 48 jam dan 72 jam setelah pembuatan

c. Uji pH. Uji pH dilakukan dengan menggunakan indikator pH universal pada jam ke 48 jam dan 72 jam setelah pembuatan.

7. Uji iritasi primer sediaan gel anti-ageing

Uji iritasi primer sediaan gel dilakukan dengan menggunakan metode Draize Rabbit Models dengan menggunakan hewan uji kelinci albino.

(56)

kemudian area tersebut ditutup dengan kasa atau perban dan dibiarkan selama 4 jam. Setelah 4 jam, kasa dibuka dan diamati terjadinya eritrma dan edema pada interval waktu 24 jam, 48 jam dan 72 jam dan diberikan skor sesuai Tabel IV.

Tabel IV. Evaluasi Reaksi Iritasi Kulit (Lu, 1995)

Jenis Iritasi Skor

Eritema Tanpa eritema 0

Eritema hampir tidak Nampak 1

Eritema berbatas jelas 2

Eritema moderat sampai berat 3

Eritema berat (merah bit) sampai sedikit membentuk kerak

4

Edema Tanpa edema 0

Edema hampir tidak Nampak 1

Edema tepi berbatas jelas 2

Edema moderat (tepi naik ± 1mm) 3 Edema berat (tepi > 1mm dan meluas ke luar daerah pejanan)

4

Indeks iritasi primer untuk sediaan juga dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Indeks iritasi primer =

(3.1) Nilai akhir indeks iritasi primer dicocokkan dengan kriteria sesuai dengan tabel V:

Tabel V. Kriteria Iritasi (Lu,1995)

Indeks Iritasi Kriteria iritasi senyawa kimia

0 Tidak mengiritasi

<2 Kurang merangsang

2-5 Iritan moderat

(57)

8. Uji penetrasi dan penetapan kadar isoflavon yang terpenetrasi

a. Penetapan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku standar genistein dengan pelarut buffer fosfat pH 7,4

Larutan stok dibuat dengan melarutkan 1,0 mg baku genistein ke dalam 1,0 mL etanol sehingga didapatkan konsentrasi 1000 µg/mL. Dibuat larutan intermediet baku genistein dengan mengambil 0,50 mL larutan stok dan diencerkan dengan larutan bufer fosfat pH 7,4 hingga 5,0 mL sehingga didapatkan konsentrasi 100 µg/mL. Pembuatan larutan seri kurva baku dilakukan dengan mengambil masing-masing 5,0; 25,0; 50,0; 250,0 dan 500,0 µL larutan intermediet kemudian masing-masing diencerkan dengan larutan bufer fosfat pH 7,4 hingga 5,0 mL sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 0,10; 0,50; 1,0; 5,0 dan 10,0 µg/mL. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan milipore dan didegassing selama 15 menit.

(58)

menggunakan sistem KCKT fase terbalik dengan fase diam Oktadesilsilika dan fase gerak metanol : aquabidest (7:3). (Orhan, 2010).

b. Uji penetrasi sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe secara in vitro Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan metode sel difusi Franz. Uji ini menggunakan membran abdomen kulit mencit jantan galur Swiss usia 2-3 bulan. Mencit dibius dengan menggunakan eter hingga mati dan bulu pada bagian abdominal dicukur dengan hati-hati. Kulit bagian perut yang telah bersih dari bulunya disayat kemudian lemak pada bagian subkutan dihilangkan hingga bersih. Hasil sayatan tersebut direndam dalam larutan fisiologis NaCl 0,9% untuk mengembalikan kondisi kulit seperti semula selama penyimpanan sebelum kulit digunakan kemudian disimpan dalam suhu 4⁰C. Kulit yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan larutan medium bufer fosfat pH 7,4 agar mengalami pengkondisian terlebih dahulu.

(59)

pengadukan dengan menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 250 rpm.

Pengujian sampel dilakukan selama enam jam dan dilakukan pencuplikan pada jam ke 0,5; 1; 2; 3; 4; 5 dan 6. Sampel diambil sebanyak 600 µL dari kompartemen reseptor dengan menggunakan syringe, setelah dilakukan pengambilan cuplikan sampel dari kompartemen reseptor, cairan medium reseptor ditambahkan kembali sebanyak 600 µL. Sampel disaring dengan menggunakan millipore dan dianalisis dengan menginjekkan sampel sebanyak 20 µL ke dalam sistem KCKT fase terbalik dengan detektor UV sehingga akan didapatkan kromatogram sampel dan nilai AUC. Dari hasil AUC ini didapatkan konsentrasi genistein yang terpenetrasi ke dalam kulit.

F. Analisis Hasil

Analisis hasil dalam penelitian ini dilakukan dengan menentukan jumlah kumulatif genistein yang terpenetrasi melalui kulit dan penentuan kecepatan penetrasi (fluks) genistein melalui kulit. Hasil kromatrogram sampel yang telah didapatkan dari tiap-tiap formula dianalisis dengan melihat nilai AUC yang dihasilkan pada peak yang muncul. Nilai AUC ini kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku yang telah didapatkan sehingga akan diketahui konsentrasi genistein yang terpenetrasi melalui kulit.

(60)

(3.2) dengan:

Q = Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2)

Cn = Konsentrasi zat aktif pada cuplikan ke – n (µg/mL)

V = Volume kompartemen reseptor pada sel difusi Franz (mL)

= Jumlah konsentrasi zat aktif pada cuplikan pertama hingga sebelum cuplikan ke – n

S = Volume sampling (mL)

A = Luas area membran difusi (cm2)

(Thakker dan Chern, 2003). Penentuan kecepatan penetrasi tiap satuan waaktu (fluks) dapat dihitung berdasarkan hukum Fick I:

(3.3)

dengan:

J = Fluks (µg.cm-2. Jam-1) S = Luas area difusi (cm2)

(61)

Penentuan kecepatan penetrasi juga dapat ditentukan dengan membuat grafik jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg.cm-2) terhadap waktu (jam) sehingga didapat slope (kemiringan garis) dari hubungan antara jumlah kumulatif genistein yang terpenetrasi per luas area difusi terhadap waktu.

Data jumlah kumulatif isoflavon genistein yang terpenetrasi yang diperoleh dari tiap-tiap formula kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk untuk melihat normalitas distribusi data, sedangkan untuk kesamaan

(62)

42 variasi kandungan aktif karena pengaruh pembuatan, lingkungan penyimpanan dan iklim yang berbeda. Tempe didapatkan dari supermarket Superindo Babarsari dengan merk ―Muchlar‖ produksi Yogyakarta. Tempe yang akan digunakan dipastikan berwarna putih dan tidak busuk. Tempe segar yang sudah didapatkan kemudian diperkecil ukurannya untuk meningkatkan luas permukaan tempe dimana semakin besar luas permukaan sampel maka kesempatan untuk melakukan kontak dengan cairan penyari akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan berlangsung lebih maksimal.

(63)

berulang sehingga terjadi kesinambungan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel.

Pada penelitian ini, sampel tempe dimaserasi terlebih dahulu dengan menggunakan petroleum eter sebagai cairan penyari pertama untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang bersifat non polar yang terdapat pada tempe, dimana PE merupakan pelarut yang bersifat non polar sehingga dapat melarutkan senyawa non polar yang terdapat dalam sampel. Setelah itu hasil residu padatnya dimaserasi kembali dengan menggunakan etanol 96%. Etanol 96% diketahui mampu mengekstrak isoflavon, etanol merupakan salah satu pelarut yang sesuai untuk mengisolasi senyawa-senyawa organik polar. Menurut Susanto, dkk, 1998, metanol merupakan pelarut optimum untuk mengekstraksi isoflavon dari kedelai, namun penggunaannya untuk skala komersial masih perlu dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik, sehingga pada penelitian ini dipilih pelarut Etanol 96% karena kepolarannya mendekati metanol serta relatif lebih aman dan tidak toksik dibandingkan dengan metanol. Hasil proses maserasi diperoleh filtrat berwarna kuning kecoklatan. Filtrat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50˚C hingga didapatkan ekstrak yang lebih pekat atau hampir semua etanol teruapkan. Ekstrak ini selanjutnya disimpan dalam oven dengan suhu 50˚C untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa hingga

(64)

B. Penetapan kadar isoflavon genistein ekstrak tempe

Isoflavon genistein dalam penelitian ini digunakan sebagai senyawa penanda karena genistein merupakan kandungan isoflavon terbesar di dalam ekstrak tempe dibandingkan senyawa yang lainnya, sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan kadar isoflavon yang terhitung dari kadar genistein yang terukur. Hal ini dilakukan sebagai langkah standarisasi kandungan kimia dari sediaan gel yang akan dibuat agar dapat diketahui terlebih dahulu kandungan genistein dari ekstrak tempe yang akan dimasukkan ke dalam sediaan.

(65)

teruapkan dan hanya tersisa isoflavon genistein saja, setelah semua etil asetat menguap, genistein yang telah didapatkan dilarutkan dalam etanol.

Penetapan kadar isoflavon genistein dalam ekstrak tempe dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fase terbalik dimana kromatografi cair kinerja tinggi merupakan suatu metode yang digunakan dalam pemisahan dan analisis campuran senyawa kimia. Pemisahan pada kromatografi cair kinerja tinggi berdasarkan pada perbedaan afinitas atau interaksi antar zat analit dengan fase diam dan fase gerak, zat analit akan terdistribusi pada fase diam dan fase gerak berdasarkan koefisien partisinya. Penetapan kadar isoflavon genistein dalam ekstrak tempe dilakukan dengan metode KCKT fase terbalik karena komponen di dalam ekstrak tempe sangat banyak dengan kadar pada masing-masing komponen sangat kecil, sehingga dibutuhkan metode yang sensitif dan selektif. Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode yang sangat baik untuk digunakan dalam analisis kuantitatif dengan konsentrasi senyawa yang sangat kecil. Sistem KCKT fase terbalik merupakan sisem KCKT yang menggunakan fase diam yang lebih non polar dibandingkan dengan fase geraknya. Fase diam yang digunakan pada penelitian ini adalah Oktadesilsilika (ODS atau C18), sedangkan fase gerak yang digunakan pada penelitian ini adalah metanol:aquabidestilata (7:3).

(66)

panjang gelombang maksimum pada 261 nm, sehingga pada penelitian ini pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan mengukur serapan senyawa pada rentang 200-400 nm. Pada penentuan panjang gelombang, digunakan baku genistein dengan dua konsentrasi yang berbeda dengan tujuan untuk melihat kenaikan respon serapan terhadap kenaikan konsentasi. Panjang gelombang maksimum genistein yang diperoleh pada kedua konsentrasi adalah 261 nm sehingga panjang gelombang inilah yang digunakan pada sistem KCKT fase terbalik. Tujuan pemilihan panjang gelombang maksimum sebagai panjang gelombang pada sistem KCKT adalah agar senyawa dapat memberikan serapan yang optimum dan dapat dideteksi oleh detektor pada sistem KCKT.

Gambar 8. Hasil panjang gelombang maksimum genistein dengan

pelarut etanol

Penetapan kadar genistein dalam ekstrak etanol dilakukan dengan metode KCKT dengan kondisi sebagai berikut:

Kolom : Knauer (R) C-18 (non polar) Panjang Kolom : 250mm; 4,6 mm

(67)

Fasa Gerak : metanol : aquabidest (70:30) Kecepatan Alir : 0,7 mL/menit

Volume Injeksi : 20 L

Detektor : sinar UV pada panjang gelombang 261 nm Suhu Oven : 25C

Setelah didapatkan panjang gelombang maksimum dilakukan pembuatan kurva baku dan penetapan kadar genistein dalam ekstrak tempe dengan menggunakan metode KCKT dengan hasil di bawah ini:

Tabel VI. Data kurva baku genistein dengan pelarut etanol

Konsentrasi (µg/mL)

Repetisi I Repetisi II Repetisi III

AUC AUC AUC

0,1007 17665 18913 17107

0,5035 98868 104044 117564

1,007 206957 297777 211963

5,035 1015177 1016834 1011310

10,07 2170437 2183964 2345630

A -16242,695 12597,193 -28736,778

B 214780,72 2128880,083 230151,463

R 0,9995 0,9983 0,9975

Seri kurva baku dipilih berdasarkan rentang dimana konsentrasi genistein dan AUC yang menunjukkan nilai linearitas yang baik, yang dinyatakan dalam koefisien korelasi (r). Menurut Snyder et. al (1997) linearitas yang baik adalah apabila nilai koefisien korelasinya (r) ≥ 0,999.

(68)

paling baik sesuai dengan persyaratan nilai koefisien korelasinya (r) ≥ 0,999. Dari tabel yang tertera di atas digunakan persamaan kurva baku pada repetisi I untuk menetapkan kadar isoflavon genistein dalam ekstrak tempe karena mempunyai nilai koefisien korelasi (r) 0,9995 yang sudah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kadar genistein dengan AUC yang dihasilkan semakin proporsional. Berikut gambar hubungan antara konsentrasi genistein dengan AUC:

Gambar 9. Hubungan konsentrasi genistein dengan AUC

(69)

Tabel VII. Hasil pengukuran konsentrasi isoflavon genistein dalam ekstrak

Replikasi III 1097469 5,185 51,85

Rata-rata 45,06

SD 1,07

C. Pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe

Pada pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe dibuat dengan menggunakan formula standar dari International Journals of Pharmaceutical Compounding yang telah dimodifikasi. Formula gel anti-ageing pada

penelitian ini menggunakan carbopol 940 sebagai gelling agent. Gelling agent merupakan faktor yang penting dalam pembuatan gel karena memberikan struktur matriks 3 dimensi yang dapat membantu penjeratan molekul zat aktif. Menurut Rowe, 2006 carbopol dapat digunakan sebagai gelling agent dengan kosentrasi 0,5-2%, pada penelitian ini digunakan carbopol 940 dengan konsentrasi 1% b/v. Sebelum digunakan, carbopol dikembangkan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan untuk memaksimalkan hidrasi dan mencapai viskositas serta kejernihan yang maksimum.

(70)

terbentuk struktur house of card dari carbopol yang akan membentuk sistem matriks gel tersebut.

Gel anti-ageing yang diformulasikan dalam penelitian ini menggunakan gliserin sebagai humektan. Penggunaan humektan bertujuan untuk menghindari pengeringan gel serta bertujuan untuk melembabkan kulit pada saat gel diaplikasikan. Humektan memiliki banyak gugus hidroksil yang dapat menarik lembab dai udara. Humektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserin yang bersifat meningkatkan viskositas dari sediaan gel, namun gliserin biasanya menimbulkan rasa berat dan tacky ketika diaplikasikan sehingga perlu digunakan kombinasi humektan lain. Propilenglikol dalam sediaan gel anti-ageing yang dibuat pada penelitian kali ini digunakan sebagai senyawa peningkat penetrasi yang akan memfasilitasi zat aktif untuk dapat menembus stratum corneum. Dalam formula gel anti-ageing yang dibuat dalam penelitian ini digunakan bahan pengawet metil paraben dengan konsentrasi 0,05 %, hal ini telah sesuai dengan keputusan Kepala BPOM RI, 2003 dimana penggunaan pengawet paraben dan turunannya dalam produk kosmetik tidak lebih dari 0,4% untuk ester tunggal dan 0,8% untuk ester campuran, sehingga dapat dikatakan bahwa sediaan gel anti-ageing yang dibuat dalam penelitian ini aman digunakan.

(71)

10,0 mL untuk dimasukkan ke dalam sediaan gel 200 g, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelarutan isoflavon genistein dalam air sehingga diharapkan ekstrak isoflavon genistein dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan gel selain itu dengan ditambahkannya etanol diharapkan akan memberikan sensasi dingin pada saat gel diaplikasikan pada kulit. Gel anti-ageing yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki warna kuning bening dan

jernih. Warna kuning tersebut disebabkan oleh penambahan ekstrak isoflavon karena ketika dilakukan optimasi pada pembuatan basis gel tanpa ekstrak, gel yang didapatkan berwarna putih jernih, sehingga gel yang dibuat pada penelitian ini dapat dikatakan memenuhi syarat untuk disebut sebagai sediaan gel.

D. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe

Suatu sediaan yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat harus memiliki sifat fisika dan kimia yang baik. Sifat kimia yang diukur pada penelitian ini adalah pH sedangkan sifat fisika yang diukur dalam penelitian ini adalah daya sebar dan viskositas sediaan. Hasil uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing esktrak tempe yang didapatkan dalam penelitian ini adalah

(72)

Tabel VIII. Hasil uji sifat fisis sediaan

Formula pH viskositas sediaan ± SD Daya sebar sediaan ± SD Jam 48 jam 72 jam 48 jam 72 jam 48 jam 72

Perubahan pH pada sediaan gel mengindikasikan adanya bakteri atau fungi yang tumbuh pada sediaan. pH sediaan yang diamati yaitu 48 jam setelah pembuatan dan 72 jam setelah pembuatan, hal ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pH yang terjadi selama masa penyimpanan sebelum gel diuji penetrasinya. Perubahan pH dapat mempengaruhi viskositas sediaan yang nantinya juga akan mempengaruhi kecepatan pelepasan zat aktif dari basisnya. Uji pH sediaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan indikator pH universal. Semua formula gel anti-ageing yang dibuat dalam penelitian ini memiliki pH 6 dan tidak

mengalami perubahan pH selama penyimpanan sebelum gel diuji penetrasinya. Nilai pH sediaan gel anti-ageing sebesar 6 ini sudah sesuai dengan nilai range pH kulit yang menurut Heather, dkk (2012) kulit memiliki rentang pH antara 5-6,5, sehingga sediaan gel anti-ageing yang dibuat dalam penelitian ini aman untuk digunakan pada kulit.

2. Viskositas

(73)

tinggi ataupun tidak terlalu rendah akan memudahkan gel untuk dituang dan diaplikasikan pada kulit serta viskositas yang tidak terlalu tinggi akan meningkatkan pelepasan zat aktif dari sistem gel sehingga dapat menghasilkan efek yang diinginkan. Viskositas gel berbanding terbalik dengan daya sebar, dimana semakin besar daya sebar suatu sediaan gel maka viskositas sediaan akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya semakin kecil daya sebar sediaan maka viskositas sediaan akan semakin besar. Suatu sediaan gel yang baik harus memiliki viskositas yang optimal. Viskositas sediaan semisolid menurut Garg, dkk (2002) adalah 200-300 d.Pa.s. Pengukuran viskositas sediaan gel pada penelitian ini dilakukan 48 jam dan 72 jam setelah pembuatan karena sediaan telah mengalami relaksasi atau sudah menata diri menjadi suatu konsistensi yang stabil sehingga dapat memberikan respon yang sebenarnya.

Gambar

Gambar 1. Penampang melintang kulit manusia (Anonim, 2014)
Gambar 2. Lapisan epidermis kulit (Anonim, 2014)
Gambar 3. Jalur absorpsi obat melalui kulit (Fox dkk, 2011).
Tabel I. Senyawa isoflavon dalam tempe kedelai (Ariani dan Hastuti, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyetujui untuk memberikan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ( Non-Exclusive Royalty-Free Right) kepada Universitas Muhammadiyah Purwokerto atas KTI saya yang berjudul

bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat 2 huruf d, dan pasal 7 Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua pada

Hasil penelitian pada table 4 menunjukkan bahwa dividend yield berpengaruh terhadap penilaian saham dengan pendekatan price earnings ratio terlihat dari nilai p

menyelesaikan tugas akhir ini yang dilaksanakan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama..

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu yang telah orang lakukan. dengan cara penginderaan terhadap objek

Realisasi Belanja Negara sampai dengan akhir Juni 2018 mencapai sebesar Rp944,01 triliun, atau sekitar 42,51 persen dari pagu, meningkat 5,67 persen jika dibandingkan

Pejabat yang membidangi kepegawaian paling rendah eselon III Sekretariat Direktorat Jenderal yang membidangi pengendalian ekosistem hutan kepada Sekretaris Direktorat

Proses penghitungan timer dilakukan pada bagian layanan interupsi dengan proses perhitungan mundur dari nilai awal yang sebelumnya telah dimasukkan melalui keypad. Selama