PEMAKNAAN ABDI DALEM TERHADAP MANFAAT YANG DIDAPATKAN DARI KERATON YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Yohanes De Deo Yustiananta NIM: 06 9114 056
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
PEMAKNAAN ABDI DALEM TERHADAP MANFAAT YANG DIBERIKAN DARI KERATON YOGYAKARTA
Oleh:
Yohanes De Deo Yustiananta NIM: 069114056
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Skripsi,
iii SKRIPSI
PEMAKNAAN ABDI DALEM TERHADAP MANFAAT YANG DIDAPATKAN DARI KERATON YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Yohanes De Deo Yustiananta NIM: 069114056
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal: 13 Juni 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi ………
Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. ………
Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. ………
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Dekan,
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“SUGIH TANPA BANDA,
SEKTI TANPA AJI,
NGLURUG TANPA BALA,
MENANG TANPA NGASORAKE.”
“KEKAYAAN TANPA KEMEWAHAN,
KESAKTIAN TANPA AJIAN,
MENYERANG TANPA PASUKAN,
MENANG TANPA MERENDAHKAN.”
Karya tulis ini saya persembahkan kepada:
Kebudayaan masa lalu yang mempunyai nilai-nilai luhur,
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 2013 Peneliti,
vi
PEMAKNAAN ABDI DALEM TERHADAP MANFAAT YANG DIDAPATKAN DARI KERATON YOGYAKARTA
Yohanes De Deo Yustiananta
ABSTRAK
Kebanyakan orang biasanya dalam bekerja berusaha untuk mendapatkan gaji yang setimpal dengan beban kerjanya. Namun di Yogyakarta ada sekelompok orang yang bernama Abdi Dalem yang mengkontribusikan diri kepada di Kerataon Yogyakarta dengan manfaat yang sangat jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemaknaan Abdi Dalem terhadap manfaat didapatkan dari Keraton Yogyakarta. Penelitian ini mengunakan tiga subjek yang merepresentasikan tiga jenis Abdi Dalem
yang ada di keraton yogyakarta yaitu Abdi Dalemkaprajan, Abdi Dalemprajurit dan Abdi Dalem punakawan. Data penelitian diambil dengan cara wawancara semi-terstruktur. Penelitian ini menggunakan analisa data dengan metode penelitian kualitatif fenomenologi. Kredibilitas diperoleh dengan cara verifikasi data dengan membagikan salinan deskripsi tekstural struktural dari pengalaman responden kemudian tiap responden diminta untuk secara seksama memeriksa deskripsi tersebut. Dari hasil penelitian terhadap tiga jenis Abdi Dalem dapat ungkap bahwa meskipun terdapat banyak manfaat yang didapatkan namun ada manfaat yang utama yang didapatkan oleh Abdi Dalem yaitu ketentraman. Dan ketentraman tersebut dimaknai sebagai penerimaan abdi terhadap keberadaan sistem budaya Jawa yang dimiliki oleh pihak Keraton Yogyakarta. Dengan kata lain ketentraman tersebut muncul karena adanya kestabilan status quo
antara kelompok interior (abdi dalem) dengan kelompok superior (Keraton Yogyakarta).
vii
THE MEANING OF ABDI DALEM (PALACE SERVANT) TOWARD THE BENEFITS OBTAINED FROM THE YOGYAKARTA PALACE
Yohanes De Deo Yustiananta
ABSTRACT
People who work are usually trying to get rewards commensurate with their workload. But in Yogyakarta there are some group of people who called abdi dalem (Palace Servant) which dedicated their self for Yogyakarta Palace. Their be rewarded by Yogyakarta palace that below to Yogyakarta regional minimum salary rate. This study aims to know the meaning of abdi dalem toward benefit obtained from the Yogyakarta Palace. This study uses three types of subjects that represent of tshree abdi dalem who exist in the Yogyakarta palace, there is abdi dalem kaprajan, abdi dalem prajurit, abdi dalem prajurit. Data were collected by semi-structured interviews. This study use phenomenological qualitative research methods. Credibility is obtained by verification of data is done by distributing copies of a structural-textural description of the experience of respondents. Then each respondent was asked to carefully examine the description. From the results of a study of three types of abdi dalem said that although there are some benefits earned but there is peaceful feeling that’s be the primary reward that obtained by abdi dalem. Peaceful feeling has interpreted as acceptance of the existence of Javanese culture system owned by the Sultan of Yogyakarta. In other words, the tranquility arise because of the stability of the status quo between the interior (abdi dalem) with the superior group (Yogyakarta Palace).
viii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
NAMA : YOHANES DE DEO YUSTIANANTA
NIM : 069114056
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Pemaknaan Abdi Dalem Terhadap Manfaat yang dapatkan dari Keraton Yogyakarta
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 13 Juni 2013 Yang menyatakan,
ix
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ini
ditulis karena ketertarikan peneliti akan nasib keberlangsungannya kebudayaan
Jawa. Salah satu warisan kejayaan Nusantara, yang sudah ada beratus tahun
yang lalu dan kini mencoba bertahan di zaman moderen serba praktis dan
pramatis. Peneliti prihatin atas tergerusnya nilai-nilai kebijaksanaan lokal pada
generasi muda, hal ini menumbuhkan rasa sayang kepada kebudayaan yang
luhur karena perlahan mulai pudar menuju lenyap. Oleh Karena itu karya ini
dibuat sebagai usaha peneliti untuk mengangkat kembali minat generasi muda
untuk menyadari sejarah peradabannya. Selain itu karya tulis ini juga merupakan
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
Peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini berkat dukungan dan bantuan
dari orang lain. Oleh karena itu, dengan segenap hati peneliti mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Seluruh pejabat fakultas karena telah memberikan kemudahan bagi
mahasiswa untuk menyelesaikan studi. Bapak C. Siswa Widiyatmoko,
M.Psi. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
dan dosen pembimbing akademik sekaligus Kaprodi Fakultas
Psikologi USD Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Psi.
2. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi.
x
3. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma, yang tidak bisa
peneliti sebutkan satu persatu, yang telah mentransferkan segala
pengetahuan dan pemahaman mengenai kejiwaan manusia.
4. Keluarga yang selalu mendukung dengan segala cara, Ibu, Bapak, mas
Ernest, mbak Tika, Mbak Dita, kedua ponakanku Eleanor dan Max.
5. Kepada Debora Ratri, seorang yang terkasih, yang telah mengerakkan
penulis untuk terus bergerak dari masa lalu dan mendorong untuk
menerima tugas-tugas perkembangan hidup selanjutnya.
6. Masbrow Simplex, yang telah menjadi teman diskusi tentang
kehidupan dan pengalaman-pengalaman spiritual selama 3 tahun
terakhir.
7. Keluarga Besar Tumindak Ngiwa (TN), sebuah keluarga yang terlahir
dari tema-teamn tanpa ikatan sedarah dari berbagai generasi. Mas
Win, mas Iwil, Indro, Eva, Sari, mas Abu, mas Kopet, Pak Wok, Tino,
mas Peyek, Bembi dan teman-teman yang lain yang tidak sebutkan
satu-persatu karena begitu banyak orang yang pernah berdinamika di
Tumindak Ngiwa, matur nuwun.
8. Kepada Pak Jaya yang telah menjadi teman diskusi yang memperkaya
pikiran yang make sense maupun yang common sense.
9. Anak-anak mahasiswa angkatan 2006, 2005, 2007, 2008 yang terlalu
banyak untuk disebutkan satu persatu, terima kasih atas tahun-tahun
yang penuh dinamika pengalaman, suka dan duka yang bersama
xi
10. Warung Omah Sapen, terima kasih atas penghiburan yang tidak
pernah terduga, tempat diman penulis terdampar diantara anak-anak
mahasiswa arsitektur Atmajaya yang tidak hanya guyub tapi
produktif, Tia, Mia, mbak Alit, Bagas, Budi, Yer, dan teman-teman
yang lain.
11. Kepada mbah L, Mbah P, dan mbah S yang bersedia untuk
membagikan pengalaman mengenai Abdi Dalem dan segelintir
kebudayaan Jawa.
Yogyakarta, 31 Mei 2013
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTODANPERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR SKEMA ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
xiii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Makna dan Makna Hidup ... 8
1. Makna ... 8
2. Makna Hidup (Meaning of Life) ... 10
3. Pemaknaan terhadap Pekerjaan ... 13
B. Pengertian Abdi dan Abdi dalem Keraton Yogyakarta ... 15
1. Abdi ... 15
2. Pengertian Abdi Delem ... 15
3. Motivasi atau Faktor Pendorong Menjadi Abdi dalem ... 17
4. Kewajiban Abdi Dalem ... 23
5. Manfaat yang didapatkan Abdi Dalem dari Keraton Yogyakarta... 27
C. Teori Justifikasi Sistem ... 31
D. Kerangka Penelitian ... 38
BAB III. METODE PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Fokus Penelitian ... 43
C. Definisi Operasional ... 43
D. Subjek Penelitian... 44
E. Metode Pengumpulan Data ... 44
F. Metode Analisis Data ... 47
xiv
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Pelaksanaan Penelitian ... 50
1. Persiapan Penelitian ... 50
2. Pelaksanaan Penelitian ... 53
B. Profil Subjek ... 55
1. Subjek I (Abdi Dalem Kaprajan)` ... 54
2. Subjek II (Abdi Dalem Prajurit) ... 55
3. Subjek III (Abdi Dalem Punakawan) ... 56
C. Hasil Penelitian ... 58
1. Subjek I (Mbah S) ... 58
2. Subjek II (Mbah P) ... 64
3. Subjek III (Mbah S) ... 71
D. Pembahasan .. ... 73
1. Dinamika Pemaknaan Manfaat ... 73
2. Dinamika Pemaknaan Abdi Dalem terhadap Manfaat yang Diberikan oleh Keraton Yogyakarta ... 80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Keterbatasan Penelitian ... 86
C. Saran ... 87
1. Bagi Kaum Akademisi... 87
xv
DAFTAR PUSTAKA ... 88
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jenjang Kepangkatan Abdi Dalem Punakawan dan
Kaprajan Berdasarkan Pranatan
Kalenggahan No. 01/Pran/KHPP/XII/2004 ... 29
Tabel 2 Tabel Interview Guide ... 45
xvii
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Kerangka Penelitian ... 38
Skema 2 Alur Tema Utama Subjek I ... 82
Skema 3 Alur Tema Utama Subjek II ... 83
Skema 4 Alur Tema Utama Subjek III ... 84
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel 1: Tema Subjek I (Mbah L) ... 92
Lampiran 2 Tabel 2: Analisis Subjek I (Mbah L)... 85
Lampiran 3 Tabel 3: Tema Subjek II (Mbah P). ... 108
Lampiran 4 Tabel 4: Analisis Subjek II (Mbah P)... 110
Lampiran 5 Tabel 5: Tema Subjek III (Mbah S) ... 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan sebagian masyarakat Indonesia masih di bawah garis
kemiskinan.Masih banyak komponen masyarakat Indonesia kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan dasar.Menurut data pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2006, diperkirakan 17,8% jumlah
penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan 49.0%
penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari AS$ 2 atau
sekitar Rp 20.000,00 per hari. Selain itu jumlah penganguran di Indonesia
sebanyak 9,75% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kondisi
kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, masyarakatIndonesia
berusaha untuk meningkatkan kesejateraan mereka sendiri. Ada berbagai
macam profesi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Petani dan buruh adalah profesi yang paling banyak ditekuni
dari sekian banyak profesi yang ada (BPS, 2009).
Namun perkembangan ekonomi Indonesia yang lambat di
tambah dengan perkembangan globalisasi yang cepat membuat
kebutuhan dan keinginan masyarakat semakin tinggi. Fenomena
Indonesia karena ketidaksesuaian antara pendapatan dengan kebutuhan
hidup. Eksesnya sering terjadi protes sebagai bentuk ketidakterimaan
mereka atas ketidaksesuaian antara pendapatan dan kebutuhan dasar
masyarakat. Protes semacam ini sering dilakukan oleh kaum pekerja dan
buruh terhadap kebijakan upah minimum yang di tentukan oleh
Pemerintah. Mereka menuntut atas kesesuaian antara upah mereka
berkerja dengan Kebutuhan Layak Hidup (KHL) mereka (Ridwan, 2013).
Kebutuhan hidup layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang
harus dipenuhi seseorang pekerja untuk dapat hidup layak baik secara
fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan satu bulan (Kementrian Tenaga
Kerja, 2005). Kebutuhan Layak Hidup (KHL) dikeluarkan melalui UU No.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan KHL
sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum seperti yang di atur dalam
pasal 88 ayat 4. Komponen standar Kebutuhan Hidup Layak sendiri terdiri
dari makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan,
transportasi, rekreasi dan tabungan (Kementrian Tenaga Kerja, 2012).
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) resmi tahun 2013 di provinsi
Yogyakarta sebesar Rp 1.046.514,56. Perhitungan tersebut didapatkan
berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan kondisi mikro kecil dan
menengahdi Yogyakarta (http://www.mediaindonesia.com/read/ 2012
/10/05/353468/289/101/Biaya-Hidup-Layak-di-Yogyakarta-Rp1-jutaan,
diakses 16 Januari 2013, 10.00 WIB). Sedangkan Upah Minimun Provinsi
Dari data diatas amat logis jika para pekerja dan buruh menuntut upah
yang lebih layak, minimal mampu menutup Kebutuhan Layak Hidup.
Pada saat ini era globalisasi menekankan efektivitas dan efisiensi di
segala hal. Nilai-nilai efektivitas dan efisiensi ini dapat membuat suatu
masyarakat menjadi semakin maju. Dalam masyarakat yang belum siap
dengan adanya globalisasi maka akanada ekses negatif bagi kehidupan
masyakat. Nilai ini efektivitas dan efisiensi di segala hal ini jika terlalu
mendominasi dalam kehidupan manusiaakan menyebabkan munculnya
sikap pragmatis dan materialistis dalam berperilaku. Dampak negatifnya
dari sikap pragmatis dan materialistis ini membuat manusia cenderung
berfokus pada hasil bukan pada proses sehingga semuanya diukur dari
sesuatu yang bersifat material. Kebutuhan-kebutuhan utama manusia pun
hanya terbatas pada kebutuhan pokok yang bersifat material.Namun
keterpenuhan kebutuhan material tak menjamin seseorang bahagia.
Di tengah kondisi Indonesia yang dinamis itu masih ada
sekelompok orang, yang dikenal sebagai abdi dalem yang masih bertahan
pada prinsip-prinsip tradisional. Jika dihitung dengan perhitungan nalar
ekonomis amatlah tidak masuk akal untuk mampu hidup di zaman
globalisasi.Mereka diberikan manfaat yang relatif kecil oleh Keraton
Yogyakarta, jauh dari UMP Yogykarta tahun 2013 sebesar Rp 981.765,00,
namun mereka harus hidup dengan standar Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) di Yogyakarta. Mereka rela memberikan kontribusi pada Keraton
dan pekerja yang sering menuntut kenaikan upah, abdi dalem dengan suka
rela memberikan kontribusi mereka pada Keraton Yogyakarta
meskipunimbalanyang diberikan Keraton Yogyakarta kepada mereka tidak
seberapa.Merekadengan suka rela memberikan kontribusinya bagi Keraton
Yogyakarta karena mencari sesuatu yang bersifat rohani bukan material.
Menurut sumber dari Parentah Hageng (bagian Keraton
Yogyakarta yang mengurusi abdi dalem) diperkirakan jumlah seluruh abdi
dalem saat ini sekitar 3000-an orang. Jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk Yogyakarta yang berjumlah sekitar 3.000.000 orang, maka
dapat diperkirakan bahwa penduduk Yogyakarta yang berstatus sebagai
abdi dalem hhanya sekitar 0,1 %. Prosentase ini menunjukan bahwa abdi
dalem belum atau setidaknya kurang menarik sebagai pilihan profesi
penduduk Yogyakarta pada umumnya (Sudaryanto, 2008).
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta secara umum dapat di artikan
sebagai pembantu atau pengurus Keraton Yogyakarta. Abdi Dalem sendiri
tidak merasa ada paksaan untuk menjadi abdi dalem.P elaku Abdi dalem
itu sendiri merupakan abdi budaya, tidak bisa diartikan sebagai pembantu
atau batur. Mereka merupakan orang yang mengabdikan dirinya untuk
kerabat karadah Keraton dan mengabdikan sepenuh hati untuk Sultan
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan aturan yang ada. Abdi dalem keraton
Yogyakarta dibagi menjadi tiga, yakni abdi dalem keprajan dan abdi
dalem Punokawan dan abdi dalem Prajurit. Yang membedakan antara
derajat yan lebih tinggi dibandingkan dengan abdi dalem punakawan dan
abdi dalem prajurit. Abdi dalem keprajan biasanya pegawai aktif atau
pensiunan, sedangkan abdi dalem punokawan dan prajurit mayoritas
berasal bukan pegawai (PNS).
Ada beberapa penelitian tentang abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Penelitian ini adalah kelanjutan dari salah penelitian tentang abdi dalem
Keraton Yogyakarta yang berjudul “Kebermaknaan Hidup pada Abdi
Dalem Punakawan Keraton Yogyakarta.” Hasil penelitian tersebut
mengatakan bahwa abdi dalem punakawan Keraton Yogyakarta mengabdi
bertujuan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman hidup dan
kebahagiaan rohani. Para Abdi Dalem percaya pada mitologi Jawa yang
mengatakan bahwa Keraton merupakan sumber kehidupan yang
mendatangkan berkah, ketentraman hidup, kebahagiaan rohani, dan
pandangan terhadap Sultan Yogyakarta sebagai wakil Tuhan yang
menjalankan perannya di dunia. Karena kepercayaan pada mitos atau
nilai-nilai tersebut dan menghayati dengan sungguh-sungguh, mereka
merasakan kebahagiaan rohani dan ketentraman hidup. Dari penelitian
tentang abdi dalem sebelumnya peneliti berkesimpulan bahwa makna
hidup mereka sebagai abdi Keraton Yogyakarta lebih bersifat spiritual
yaitu mencari ketentraman hidup dan mengabdi pada budaya. Meskipun
demikian penelitian terdahulu belum mengungkap secara mendalam
bagaimana abdi dalem memaknai imbalan dari Keraton yang relatif kecil
dari tahun-ke tahun. Tahun 2012 Kebutuhan Layak Hidup di provinsi
Yogyakarta sebesar Rp 862.390,76 pada tahun 2013 meningkat menjadi
Rp 1.046.514,00.
Berdasarkan fakta-fakta diatas maka fenomena kontribusi abdi
dalem kepada keraton Yogyakarta amatlah menarik untuk
diteliti.Fenomena kontribusi abdi dalem kepada keraton Yogyakarta, jika
dihitung secara nalar matematis terasa tidak seimbang antara kewajiban
dengan hak yang dialami olehpara abdi dalem. Fenomena tersebut
semakin menarik karena di zaman globalisasi, patokan material dan
pragmatisme sebagai ekses nilai efisiensi dan efektitivas menjadi ukuran
kesejahteraan manusia. Dengan alasan itulah maka peneliti tertarik untuk
mengambarkan dinamika pemaknaan abdi dalem Keraton Yogyakarta
terhadap manfaatyang didapatkan dari Keraton Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pemaknaan abdi dalemt erhadap manfaat yang
didapatkan dari Keraton Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pemaknaan Abdi Dalem terhadap manfaat yang
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh gambaran
pemaknaan Abdi Dalem terhadap manfaat yang didapatkan dari
Keraton Yogyakarta.
b. Menyajikan fakta-fakta dan wacana tentang khasanah kearifan
lokal dibelahan dunia timur yaitu Indonesia pada khususnya
peradaban manusia Jawa untuk perkembangan ilmu psikologi,
terutama psikologi sosial budaya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk sarana refleksi bagi
Abdi Dalem itu sendiri dalam memahami memaknai manfaat
yang didapatkandari Keraton Yogyakarta yang tidak seberapa
di tengah kebutuhan hidup di provinsi Yogyakarta yang
semakin meningkat.
b. Hasil penelitian ini dapat bergunabagi para pembaca hasil
penelitian untuk mengenal dan lebih memahami cara hidup
dan cara pandang Abdi Dalem sebagai representasi dari orang
Jawa yang masih kental kultur Jawanya. Terutama untuk
memahami cara pandang Abdi Dalem dalam memaknai
manfaat yang mereka dapatkan dari Keraton Ngayogyakarta
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Makna dan Makna Hidup 1. Makna
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia (1998), kata makna
dideskripsikan sebagai arti. Sedangkan kata pemaknaan dideskripsikan
sebagai menjadikan sesuatu bermakna.
Victor Frankl (Bastaman, 1996), mengatakan bahwa manusia
berusaha memahami eksistensi kehidupannya melalui pemaknaan dari
berbagai pengalaman hidupnya. Ada 3 prinsip yang menjadi landasan
pemikiran Frankl mengenai peencarian manusia terhadap eksistensinya
melalui pemaknaan hidup yaitu;
a. Kebebasan Berkehendak
Manusia pada dasarnya memiliki kebebasan.Namun
kebebasan ini bukanlah kebebasan yang tak terbatas, melainkan
kebebasan dalam batas-batas tertentu. Manusia tidak mungkin
terlepas dari kondisi biologis, kondisi psikologis, kondisi sosial,
maupun kondisi kesejarahannya, jadi bukan kebebasan dari
(freedom from) kondisi kondisi tersebut (Bastaman dalam
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992) manusia bebas
untuk tampil di atas determinan-determinan somatik dan psikis dari
keberadaannya sehingga ia memasuki dimensi baru, dimensi noetik
atau dimensi sprititual, suatu dimensi tempat kebebasan manusia
terletak dan dialami. Dari situ manusia sanggup mengambil sikap
bukan saja terhadap dunia tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
b. Kehendak Hidup Bermakna (Will to Meaning)
Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi
utama pada diri manusia.Hasrat inilah yang memotivasi setiap
orang untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan
penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan
dihayati secara bermakna. Hasrat untuk hidup bermakna tersebut
tidak saja nyata bagi manusia tetapi juga penting, untuk itu keliru
jika hasrat ini dikatakan sebagai sesuatu yang hayalki dan artifisial
(Bastaman,1996). Frankl sengaja mengunakan istilah “the will to
meaning” bukan “the drive for meaning, karena makan dan
nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push to drive), tetapi seakan akan
menarik (to pull) dan menawari (tooffer) manusia untuk
memenuhinya (Bastaman dalam Sukmono, Djohan dan Ellyawati,
2000). Hasrat untuk hidup bermakna mendambakan seseorang
menjadi pribadi yang berharga dan berarti (being somebody)
dengan kehidupan yang sarat dengan kegiatan-kegiatan yang
Dari uraian di atas maka pemaknaan dapat dikatakan
sebagai hasil inti sari pengamalan-pengalaman hidup seorang
individu.
c. Makna Hidup (Meaning of Life)
Menurut pendapat Frankl (dalam Bastaman, 1996), makna
hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Bila
makna hidup ini ditemukan dan dipenuhi maka seseorang akan
merasakan hidup berarti dan berharga dan akhirnya akan
menimbulkan kebahagiaan (happiness).
Dari uraian di atas maka pemaknaan dapat dikatakan
sebagai hasil inti sari pengamalan-pengalaman hidup seorang
individu dalam usahanya untuk menemukan eksistensinya.
2. Makna Hidup (Meaning of Life)
Menurut Yallom (dalam Bastaman 1996), pengertian makna
hidup secara langsung mengarah pada pencarian tujuan hidup, yaitu
hal-hal yang perlu atau ingin dicapai dan dipenuhi oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya.Keterikatan di antara makna hidup dan tujuan
hidup tak dapat dipisahkan sehingga untuk tujuan praktis maka kedua
pengertian tersebut tidak dapat dibedakan (Bastaman, 1996).
Makna hidup menurut Frankl (dalam Sukmono, Djohan dan
Ellyawati, 2000) tidak hanya bersumber dari agama atau realisasi
pengalaman-pegalaman kehidupan seseorang. Makna hidup cenderung
bersifat khas dan unik bagi setiap individu, sehingga makna hidup dari
setiap orang dapat berbeda-beda. Bahkan individu dapat menarik
pemaknaan yang berbeda dari berbagai momen kehidupannya.
Sebagimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Alfian dan
Suminar, 2003) makna hidup memiliki beberapa karakteristik,
diantaranya:
- Makna hidup bersifat unik dan personal, sehingga tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan
sendiri.
- Makna hidup bersifat spesifik dan kongkrit, hanya dapat
ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata
sehari-hari, serta tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan
idealistis maupun renungan filosofis.
- Makna hidup member pedoman dan arah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan .
- Makna hidup juga diakui sebagai sesuatu yang bersifat
mutlak, semesta dan paripurna
Frankl mengemukakan tiga cara untuk menemukan makna
hidup dalam berbagai situasi kehidupan yaitu (1) dengan memberikan
sesuatu yang berkenaan dengan hasil kreasi atau pekerjaan, (2) dengan
mengalami sesuatu atau berdinamika dengan orang lain, dan (3)
individu berpengang pada nilai-nilai tertentu sebagai pedoman untuk
menemukan makna dan menyederhanakan pengambilan
keputusannya. Nilai –nilai yang dijadikan pedoman tersebut menurut
Frankl dapat dibagi menjadi 3 kategori nilai yaitu nilai kreatif, nilai
pengalaman, dan nilai sikap (Schutlz, 1991).
Individu dalam menemukan makna dari pengalaman hidupnya
dapat merealisasikan 3 nilai tersebut yaitu: (1) nilai-nilai kreatif, yang
diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif, (2) nilai-nilai
eksperensial atau penghayatan, melalui sikap terbuka, menerima diri
atau menyerahkan diri kepada pengalaman-pengalaman kehidupan,
dengan cara menemukan keindahan, kebenaran lewat cinta, (3)
nilai-nilai bersikap, yaitu ketika individu menunjukkan keberanian dan
kemuliaan menghadapi penderitaan (Schutlz, 1991).
Pada akhirnya individu yang menemukan makna dalam
kehidupannya akan mencapai keadaaan transendensi diri. Ketika
individu mentransendensikan diri, individu tersebut akan melihat
dirinya yang otentik, yang membuat pilihan, yang unik dan istimewa
menegaskan tanggung jawabnya (Rakhmat dalam Setiawati, 2001).
Uraian tentang ciri-ciri dan komponen kehidupan bermakna
diatas dapat disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup adalah
penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, diyakini
kebenarannya dan memberikan nilai khusus, serta dapat dijadikan
dirinya sendiri dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kepuasan
batin.
3. Pemaknaan terhadap Pekerjaan
Menurut Frankl (1965) memahami manusia haruslah bergerak
dari psikoanalsis (instingtif) ke analisis yang lebih bersifat
eksistensial. Analisis eksistensial cenderung mengunakan fakta bahwa
manusia dapat secara sadar memahami tanggung jawabnya sebagai
manusia. Manusia yang sadar akan eksistensialnya adalah manusia
yang sadar akan tanggung jawabnya, sehingga menurut Frankl melihat
kesadaran akan tanggung jawab individu dapat menjadi titik permulaan
dari analisis eksistensial. Frankl (1965) berpendapat bahwa dalam
memahami eksistensi seseorang ada 2 cara yaitu (a) Analisa
Eksistensial Umum dan (b) Analisa Eksistensial Khusus. Analisis
eksistensial umum berusaha untuk memahami manusia dalam
menyadari eksistensi mereka dalam lingkup (a) pemaknaaan terhadap
hidup, (b) pemaknaan terhadap penderitaan, (b) pemaknaan terhadap
pekerjaan, (c) pemaknaan terhadap cinta.
Dalam pemaknaan terhadap pekerjaan, Frankl (1965)
berpendapat bahwa manusia yang sadar akan eksistensinya akan selalu
bertanya tentang pekerjaan yang dilakukannya sebagai bentuk
aktualisasi diri. Menurutnya individu yang mengalami kondisi
menganggur akan mengalami kehampaan eksistensi. Individu tersebut
padakecemasan. Akibatnya maka individu tersebut akan mencari
pelarian ke hal yang lain. Namun individu yang bekerja pun tidak akan
luput dari kecemasan jika pekerjaan yang dijalani tidak dimaknai, dan
lebih cenderung mengutamakan hasil pekerjaan daripada proses
bekerja. Individu yang berkerja tanpa memaknai pengalamannya akan
mengalami kejenuhan.
Frankl (dalam Koeswara, 1992) berpendapat bahwa dalam
nilai-nilai daya cipta (kreatif), aktivitas kerja merepresentasikan
wilayah di mana keunikan individu tampil dalam hubungannya dengan
masyarakat dan penemuan individu pada makna hidupnya.Pekerjaan
dapat mengantarkan individu kepada makna jika perkerjaan itu
merupakan usaha memberikan sesuatu nilai kepada
hidupnya.Kemudian Bastaman (1996), berpendapat bahwa
penghayatan hidup secara bermakna mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut; (a) Mampu menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh
semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.(b) Bagi
Individu tugas-tugas dan perkerjaan sehari-hari merupakan sumber
kepuasan dan kesenangan tersendiri sehingga mampu mengerjakan
dengan semangat dan bertanggung jawab. (c) Bagi individu menjalani
hari demi hari mampu menemukan beranekaragaman perngalaman
baru dan hal-hal menarik yang semuanya menambah pengalaman
Dari uraian diatas maka makna kerja dapat disimpulkan sebagai
intisari dari pengalaman individu dalam usahanya untuk mencari eksistensi
diri berdasarkan nilai-nilai daya kreatif dan pekerjaan.
B. Pengertian Abdi dan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta 1. Abdi
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1988), pengertian abdi berarti
orang bawahan, pelayan atau hamba.
2. Perngertian Abdi Dalem
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta adalah semua orang, baik
laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan
Keraton Yogyakarta, lebih dari sekedar pembantu rumah tangga.
Mereka mencakup juga aparat pemerintahan yang mendukung seluruh
aktivitas di Keraton Yogyakarta.Pada zaman pemerintahan Hamengku
Buwono VIII, Abdi Dalem Kraton Yogyakarta secara umum dibagi ke
dalam dua golongan.Pertama adalah Abdi Dalem perempuan, yang
biasa disebut Abdi Dalem Keparak, dan kedua adalah Abdi Dalem
laki-laki.Khusus Abdi Dalem laki-laki tidak ada sebutan khusus, cukup
dengan sebutan Abdi Dalem. Abdi Dalem adalah orang-orang yang
dengan suka rela memberikan pelayanannya pada keraton, Sultan dan
keluarga keraton.Mereka menyiapkan hampir semua kebutuhan
keseharian Sultan dan menjalankan upacara tradisional Jawa baik di
berdasarkan pelayanan fungsionalnya. Abdi Dalem tidak sekedar
pesuruh atau pembantu, tapi merupakan ujung tombak dalam
mempromosikan keraton, mensosialisasikan sejarah keraton, dan
mentransformasikan pernak-pernik keraton pada masyarakat. Abdi
Dalem merupakan living monument (monument hidup). Ia menjadi
saksi hidup dari rangkaian sejarah yang terukir dari zaman ke zaman,
hingga saat ini. Keterkaitan Abdi Dalem dengan kraton sudah
berlangsung lama yaitu sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan
sejak itulah istilah Abdi Dalem lahir (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja
edisi XIV 2003).
Bagi mereka imbalan berupa gaji bukanlah ukuran sehingga
mereka tertarik menjadi Abdi Dalem. Bagi mereka, pengakuan sebagai
Abdi Dalem oleh pihak Kraton Yogyakarta merupakan anugerah
karena mereka bisa ngabehi dan lelabuh kepada raja atau sering
disebut Ngarso Dalem.Untuk menjadi Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta terbuka bagi siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.
Bagi laki-laki yang ingin mendaftarkan diri menjadi Abdi Dalem bisa
mendaftarkan diri di kantor Kawedanan Ageng Punokawan Puraraksa,
sedang bagi wanita mendaftarkan diri di kantor Keparak Sebelum
diangkat menjadi Abdi Dalem kraton, calon yang memenuhi syarat
harus menempuh masa magang terlebih dahulu selama kurang lebih
dua tahun. Dalam masa pengabdiannya selama magang tersebut
syarat dan bekerja dengan baik mempunyai kesempatan untuk diangkat
secara resmi menjadi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Pengangkatan
seorang magang menjadi Abdi Dalem resmi di Keraton Yogyakarta,
ditandai dengan surat kekancingan yang ditandatangani langsung oleh
Sri Sultan yang sedang berkuasa. Surat kekancingan yang dikeluarkan
tersebut hanya bersifat sementara. Surat kekancingan yang asli baru
akan dikeluarkan pada saat Tingalan Dalem Sri Sultan yang berkuasa
pada saat itu (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian Abdi Dalem tersebut dapat
disimpulkan bahwa Abdi Dalem ialah semua orang yang bekerja untuk
mendukung seluruh aktivitas kraton yang pengangkatannya ditandai
dengan surat kekancingan yang ditandatangani oleh Sri Sultan yang
sedang berkuasa pada masanya (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja
edisi XIV 2003).
3. Motivasi atau Faktor Pendorong Menjadi Abdi Dalem a. Ketentraman atau Ketenangan Hidup
Fenomena Kehidupan masyarakt Jawa yang
menitikberatkan pada kesederhanaan, harmoni selaras dengan alam
akhir-akhir ini semakin ditinggalkan.Hal ini karena orang lebih
cenderung mengutamakan kehidupan duniawi daripada rohani.Para
Abdi Dalem yang masih kental filsafat hidup kejawaannya tidak
mau larut dalam kehidupan duniawi yang hanya memikirkan materi
yaitu memperkaya rohani atau kehidupan batin.Dalam Upaya
mewujudkan kehidupan batin tersebut ketentraman dan ketenangan
jiwa menjadi utama. Pengabdian mereka terhadap Keraton
umumnya dilandasi pemikiran akan perlunya ketentraman dan
ketenangan dalam hidup. Walaupun rejeki dari Keraton jumlahnya
kecil namun mereka percaya bahwa aka nada suatu jalan lain untuk
mendapatkan rejeki, baik melalui keterampilan maupun
jasa/kepandaian yang mereka punyai.
Kebanyakan para Abdi Dalem ini menjadi menyadari bahwa
urip mung mampir ngombe (hidup manusia itu ibarat hanya
numpang minum) sehingga mereka dalam hidupnya dapat tenang
dan tentram.Sikap dan pandangan yang seperti ini mengakibatkan
mereka menjadi narima ing pandum. Hal ini selaras dengan
peribahasa Jawa yang menyatakan bahwa bandhaiku mung titipan,
anak titipan lan nyawa gadhuhan (harta itu hanya titipan, anak
titipan dan nyawa pinjaman). Dengan begitu, Abdi Dalem
memahami bahwa seseorang akan kaya atau miskin itu sudah
suratan takdir masing-masing individu. Keadaan hidup berbeda
antara orang satu dengan lainnya itu merupakah sunatulah (Hukum
Allah). Prinsip nerima ing pandum (menerima takdir secara iklas)
ini tampaknya menjadi motor pengerak dan motivator mereka
sehingga hari dan pikiran akan menjadi tenang dalam menghadapi
b. Berkah
Berkah atau sawab (Jawa) adalah kata kunci untuk
memahami motivasi dan pendorong Abdi Dalem dalam mengabdi
di kraton.Berkah sifatnya abstrak tetapi nilainya begitu kuat dan
dijadikan pengangan para Abdi Dalem. Mereka bekerja karena
mengharapkan berkah dari sultan.Berkah merupakan sesuatu yang
sifatnya non material, yaitu berupa kedamaian dan ketentraman
hidup. Berkah selalu dicari dalam hidup orang Jawa, karena hal ini
berarti ada pengaruh yang akan menuntun manusia untuk hidup
tenang, kecukupan, dan selamat.
Para Abdi Dalem meyakini, bahwa apabila seseorang telah
mendapat berkah dari sultan, maka masalah kecukupan materi tidak
lagi menjadi prioritas mereka.Ketentraman hati dan keselamatan
itulah yang mereka cari karena hal ini nilainya lebih tinggi dari
pada masalah materi. Jika dilihat dari gaji, maka dapat dikatakan
tidak akan cukup untuk ongkos perjalanan pulang pergi dari rumah
ke Keraton. Semua Abdi Dalem menyatakan bahkan masalah gaji
yang besar bukan merupakan tujuan tetapi ketentraman hati dan
keselamatan merupakan hal lebih penting sebagai modal utama
hidup.Seseorang tidak akan mampu menjalani hidup dengan baik
jika hatinya tidak semeleh (iklas pada takdir), tenang, dan
berkah sultan akan membawa implikasi pada keselamatan dan
kebahagiaan hidupnya (Sudaryanto, 2008).
c. Mempertahankan Identitas Diri dan Pelestarian Budaya
Salah satu alasan menjadi Abdi Dalem adalah agar mereka
dapat memahami dan menjalani sopan santun (unggah-ungguh)
menurut budaya Jawa. Para Abdi Dalem ini menyadari bahwa
sekarang ini sopan santun yang bersumber dari budaya Jawa sudah
mulai luntur dan banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa itu
sendiri.Padahal sopan santun yang ada di kalangan orang Jawa itu
sebenarnya sangat halus dan mempunyai nilai luhur. Hal ini
dikarenakan orang Jawa selalu berpegang pada rasa dalam sikap
dan tindakannya (wong Jawa kuwi papaning rasa).
Sopan santun atau tatakrama (suba sita) tidak dapat
dipisahkan dengan masalah budi pekerti.Orang Jawa dikatakan
berbudi pekerti luhur bila mampu menerapkan tatakrama secara
baik dan benar. Jika penerapan tatakrama kurang tepat, maka dapat
dikatakan bahwa seseorang itu sudah tidak atau belum berjiwa
Jawa (wong Jawa ning ora njawani atau ilang Jawane). Sebagai
orang Jawa hendaknya mau merendahkan diri, merasa bodoh, dan
berwatak menerima.Hal ini tidak berarti bodoh itu tidak tahu, orang
yang tahu dirinya bodoh sesungguhnya seseorang itu cerdas.
Apalagi didasari watak dan perilaku mau mengakui diri, mau
menimpa kepada manusia itu sesungguhnya kehendak Tuhan.
Dengan bersikap begitu, maka pasrah merupakan bagian budi
pekerti dasar yang sangat ensensial dalam kehidupan.
Identitas diri orang Jawa yang berdasarkan pada perasaan
dan mau menjalani kehidupan apa adanya sebagaimana yang
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa ini dalam perkembangan
menemui erosi budaya dari budaya Instan (pragmatis). Atmosfer
Yogyakarta yang mulanya bernuansa spiritual telah didesak oleh
semangat pragmatism. Hal-hal yang menyangkut kepentingan fisik
(materi) menjadi penting. Predikat Yogyakarta sebagai kota budaya
menjadi tergoncang. Menurut Joyokusumo semakin lama budaya
instan semakin merasuki generasi muda, banyak yang bersifat
dhahirriyah, bersifat kulit semata.Para pemuda inipun dalam
memahami budaya Islam atau Jawa juga bersifat kulit belaka.Sikap
hidup, tatakrama dan budi pekerti yang merupakan warisan masa
lalu (heritage) tersebut.Jika dimungkinakan dikompromikan
dengan budaya pendatang. Dengan demikian nantinya akantampak
suatu pacific penetrationantara kedua budaya yang ada
(Sudaryanto, 2008).
d. Tanah Magersari
Motivasi menjadi Abdi Dalem yang lain adalah karena
mereka menempati tanah milik sultan (Sultan Ground). Hal ini
mengajarkan adanya balas budi. Ada suatu kewajiban bagi
seseorang yang telah menerima kebaikan untuk mbales budi.
Pembalasan kebaikan kepada orang lain, seseorang tidak harus
diperhitungkan secara kaku tentang kesetaraan nilai suatu kebaikan.
Nilai budaya Jawa mengajarkan bahwa membalas kebaikan
hendaknya disesuaikan dengan kemampuan yang menerima
bantuan
Para Abdi Dalem yang mendapat kebaikan dari sultan untuk
mengunakan tanah sultan baik sebagai tempat kediaman maupun
sebagai lahan pertanian merasa berhutang budi pada Keraton.
Dalam hutang budi ini orang akan merasa tidak enak jika belum
dapat membalas kebaikan pihak yang memberi. Masalah tersebut
mengindikasikan bahwa pengaruh nafsu kebendaan dan
mementingkan pribadi masih terkendali.
Apabila diamati hubungan antara Abdi Dalem dengan
Keraton didominasi interaksi yang bersifat resiprokal. Para pihak
secara timbal balik masing-masing mempertukarkan sumber daya
(exchange of resources) yang dimilikinya. Abdi Dalem
memberikan tenaga dan pikiran pada keraton sedangkan keraton
memberikan tanah magersari kepada Abdi Dalem untuk digunakan
sebagai tempat tinggal atau lahan usaha.Interaksi timbal balik ini
sejalan dengan prinsip tolong-menolong yang menjadi dasar
indung ini sudah sewajarnya membantu dan membalas kepentingan
atau keperluan pemiliknya. Menurut Hadikusuma Abdi Dalem
sebagai pengguna tanah magersari tersebut, sudah selayaknya
mempunyai kewajiban moral untuk membalas kebaikan pihak
Keraton (Sudaryanto, 2008).
e. Meneruskan Tradisi Orangtua
Biasanya Abdi Dalem bertempat tinggal tidak jauh dari
lokasi Keraton Yogyakarta. Abdi Dalem menyatakan bahwa
pengabdiannya dilakukan dalam rangka menjaga nama baik
keturunan serta kebiasaan yang telah turun temurun dari nenek
moyangnya menjadi Abdi Dalem (Sudaryanto, 2008).
4. Kewajiban Abdi Dalem
a. Caos
Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan
peraturan atau kaedah melainkan merupakan perimbangan
kekuasaan dalam bentuk hal individu di satu pihak yang tercermin
pada kewajiban pada pihak lain. Kalau ada hak maka ada
kewajiban, tanpa ada hak tentunya tidak ada kewajiban. Kewajiban
atara satu Abdi Dalem dengan Abdi Dalem yang lain berbeda dan
sangat bervariasi. Hal tersebut tergantung kepada kelompok, tugas,
dan pangkat yang dimiliki Abdi Dalem. Bagi Abdi Dalem
Punakawan terdapat dua tipe atau jenis, yaitu Punakawan caos dan
sesuai aturan pada umumnya, yaitu sowan atau kerja normal 12
hari sekali dan datang pada Hari Selasa Wage saat wiyosipun
dalem.Bagi para Abdi Dalem Punakawan Tepas berkerja di kantor
pemerintahan Keraton, maka sowan atau datangnya datangnya
setiap hari, contohnya seperti membersihkan museum kereta
Keraton atau di bagian administrasi pemerintah Keraton
Yogyakarta. Pada saat Abdi Dalem caosatau menjalankan tugas,
maka mereka diwajibkan memakai pakaian mataraman/ Jawa
(pranakan). Bagi Abdi Dalem kaprajan, jika masih aktif sebagai
PNS maka kewajibannya hanya caos (datang) dalam
upacara-upacara adat yang dilakukan oleh pihak keratin; seperti syawalan,
labuhan, siraman pusaka, Selasa Wage (penobatan Sultan), dan
Mauludan atau Grebegan. Jika sudah pension atau tidak aktif
sebagai PNS dan diminta membantu di kantor (tepas) pemerintahan
Keraton, maka selain diwajibkan mengikuti upacara-upacara adat
tersebut diwajibkan juga caos atau sowanbakti lebih intensif lagi.
Pada abdi dale mini paling tidak mempunyai kewajiban datang ke
Keraton 1-3 kali dalam seminggu dari jam 09.00 sampai dengan
12.00 WIB (Sudaryanto, 2008).
b. Presensi
Untuk mengetahui Abdi Dalem datang atau tidak, maka
pihak Keraton dapat melihat daftar presensi yang
diketahui oleh atasannya (pengirit) atau teman pada waktu tugas
yang dipercaya oleh atasan untuk memberikan presensi bagi Abdi
Dalem yang datang.Dalam hal ini presensi cukup penting, karena
bukti kedatangan ini sangat signifikan terhadap kelancaran
kenaikan pangkat. Jika sudah menduduki pangkat selama lima
tahun dan persyaratan yang berkaitan dengan ketaatan, kedisiplinan
maupun tata kramanya memadai, maka Abdi Dalem tersebut pada
prinsipnya berhak mengajukan kenaikan pangkat (weling ngunjuk).
Adapun kenaikan pangkat ini diajukan oleh kedua kelompok,
bukan oleh Abdi Dalem sendiri.Dengan demikian, masalah presensi
merupakan hal yang esensial dalam pembuktian tentang ketaaan
dan kedisiplinan pada Keraton bagi para Abdi Dalem (Sudaryanto,
2008).
c. Mengikuti Upacara Adat
Sebagai penjaga dan penyangga budaya Keraton, maka
keberadaan Abdi Dalem sama penting nilainya dengan
berlangsungnya upacara adat. Raja atau kerabat Keraton sendiri
tidak mampu melaksanakan upacara adat tanpa keikutsertaan para
Abdi Dalem. Dalam kaitan ini proses pelembagaan terhadap
upacara adat Keraton hendaknya terus dijalankan agar norma
tersebut diterima oleh para pihak. Adapun proses agar berbagai
upacara adat menjadi melembaga, maka norma itu perlu diketahui,
upacara adat ini idealnya tidak hanya dilembagakan
(institutionalized) tetapi lebih dari itu yaitu diperlukan
diinternalisasikan (internalized). Upacara adat yang dilakukan oleh
pihak Keraton adalah: Gerebeg Besar (Hari Raya ‘Idul Adha),
Gerebeg Mulud (memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW),
Gerebeg Syawal (Hari Raya ‘Idul Fitri), Siraman Pusaka
(membersihkah pusaka Keraton, Labuhan (membuang barang ke
tempat yang dianggap suci, yaitu laut atau gunung).
Berbagai macam upacara adat tersebut, secara moral wajib
dihadiri oleh semua Abdi Dalem Keraton, baik Abdi Dalem
Punakawan maupun Abdi Dalem Kaprajan. Apabila Abdi Dalem
tidak aktif datang pada upacara adat ini dapat dikatakan masalah
kepatuhannya pada Keraton dipandang masih kurang memadai.
Akibatnya nanti akan berpengaruh terhadap proses kelancaran
kenaikan pangkat para Abdi Dalem. Pihak Keraton memandang
sangat penting keterlibatan para Abdi Dalem dalam upacara ini,
karena diharapkan agar Abdi Dalem ini memahami dan
menjalankan ajaran Pangeran Samber Nyawa yang dikenal sebagai
Tri Darma, yaitu mulat sarira, hangrasa wani (Introspeksi),
rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki) dan wajib melu
5. Manfaat yang didapatkan Abdi Dalem dari Keraton Yogyakarta a. Gaji
Gaji terendah Abdi Dalem berpangkat jajar caos sebesar Rp.
8.000,00, untuk Abdi Dalem berpangkat bupati caos menerima
sekitar Rp. 34.000,00 ditambah uang makan sekali sehari sebesar
Rp. 150,00 sekali caos (bekerja), sedangkan gaji tertinggi yang
diberikan kepada Abdi Dalem sebesar Rp.40.000,00 untuk Abdi
Dalem yang berpangkat bupati tepas seseorang yang sudah menjadi
Abdi Dalem Kraton Yogyakarta kedudukannya berlaku selama dia
masih hidup atau masih kuat dan tidak mengenal masa pensiun.
Abdi Dalem yang dari sisi usia sudah tidak kuat menjalankan
tugasnya namun masih menunjukkan kesetiaan kepada keraton
digolongkan menjadi Miji Sadana Mulya. Golongan ini
mendapatkan 45 persen gaji dengan kalenggahan tetap.Bagi yang
tidak melaksanakan tugas atau mengabaikan kewajiban
digolongkan ke dalam Miji Tumpukan.Untuk golongan ini
mendapatkan 25 persen gaji dengan kedudukan yang tetap, tetapi
tidak ada pekerjaan. Status ini akan berlangsung sekitar enam
bulan. Apabila selama enam bulam tidak ada klarifikasi atau
perbaikan maka pangkat dan kedudukan yang bersangkutan akan
mencemarkan nama kraton (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi
XIV 2003).
b. Jaminan Kesehatan, Asuransi Kematian, dan Tunjangan Pendidikan
Keraton Yogyakarta memberikan hak dan jaminan kepada
para Abdi Dalem yang dibagi dalam tiga bidang, yaitu Banda
Kasmolo atau jaminan kesehatan, Banda Pralaya atau semacam
asuransi jiwa dan Banda Pasinaon atau bantuan dana bagi
anak-anak Abdi Dalem untuk sekolah Bagi Abdi Dalem yang sakit dan
berobat di rumah sakit pemerintah akan mendapatkan jaminan
biaya dari keraton. Abdi Dalem yang sakit dan berobat di rumah
sakit pemerintah ini hanya diberikan bagi mereka yang sakit tidak
menahun sebesar seratus persenBagi Abdi Dalem yang meninggal
akan mendapat jaminan sebesar Rp. 100.000,00, sementara jika
istri Abdi Dalem yang meninggal akan mendapat bantuan dana
sebesar Rp. 25.000,00. Banda Pasinaon diberikan kepada Abdi
Dalem yang anak-anaknya membutuhkan bantuan dana untuk
proses belajar mengajar. Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman
yang diangsur tanpa bunga, yang besar pinjamannya disesuaikan
dengan kedudukan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta memberikan
gaji pada Abdi Dalem sesuai dengan jenjang kepangkatannya
c. Jenjang Karier
Jika dilihat dari jenjang kepangkatannya terdapat
(kalenggahan) terdapat sebelas macam yang berhak disandang oleh
abdi dalam, baik Abdi Dalem Punakawan maupun Kaprajan.
Adapun macan atau Jenis kepangkatan tersebut adalah jajar, bekel,
luruh , penewu, wedana, riyo bupati anom, bupati anom, bupati
sepuh, bupati kliwon, bupati nayoko, dan Kanjeng Pangeran Haryo
(KPH). Penetapan pangkat dan gelar itu merupakan hak prerogative
sultan tepati dalam prosedur pelaksanaannya melalui dan diketahui
terlebih dahulu oleh adik sultan. Berbagai jenjang kepangkatan
Berdasarkan tabel di atas, para Abdi Dalem mempunyai
kesempatan menyandang pangkat dari jajar sampai KPH.Pada
umumnya masa magang (calon Abdi Dalem) berkisar antara 2-5
tahun dan masa ini dijadikan pertimbangan tentang kedisiplinan
serta kesetiaannya pada Keraton Yogyakarta.Kenaikan pangkat dari
satu pangkat ke pangkat lainnya kurang lebih 4-5 tahun.Walaupun
demikian jika Sultan sedang berkenan, maka kepangkatan seorang
Abdi Dalem dapat dipercepat maupun melompat (Sudaryanto,
2008).
d. Gelar
Para Abdi Dalem selain berhak menyandang suatu pangkat
tertentu juga mempunyai hak untuk mendapatkan gelar nama yang
diselaraskan dengan bidang pekerjaan atau keahliannya. Pemberian
gelar nama ini diberikan kepada Abdi Dalem atas nama Sultan yang
diketahui dan ditandatangani oleh kepala bagian kerjanya
(Kawedanan atau tepas) dan Parentah Hageng Kraton
(Sudaryanto, 2008).
e. Tanah Magersari
Tanah magersari dapat diberikan oleh Keraton Yogyakarta
kepada Abdi Dalem sebagai balas jika Abdi Dalem keraton
mempunyai kontribusi yang besar bagi keraton.Namun manfaat
Keraton karena untuk mendapatkan atau memakai tanah magersari
ini biasanya diperhitungkan atau melalui pertimbangan khusus
Sultan yang berkuasa pada saat itu (Sudaryanto, 2008).
C. Teori Justifikasi Sistem
Teori Justifikasi sistem (System Justification Theory) adalah teori
sosial yang mencoba menjelaskan fenomena sosial yang ada pada
masyarakat timur, terlebih asia. Teori sosial ini berkembang atas
kebutuhan yang terjadi pada penelitian-penelitan sosial yang dilakukan di
daerah timur. Pada teori justifikasi sistem mencoba untuk menjelaskan
sistem sosial yang tidak equal antara kelompok superior dengan interior.
Ketidaksamaan antara hal dan kewajiban pada mesyarakat menurut teori
justifikasi tidak diperdebatkan apalagi diusahakan untuk setara, alih-alih
malah kelompok interior berusaha untuk memelihara situasi ketimpangan
tersebut (Josh, 2009).
Sistem justifikasi memberi gambaran bahwa ada rasionalisasi atau
penjelasan terhadap sistem yang tidak setara yang sudah ada menyangkut
hubungan antar kelompok. Kelompok yang berstatus rendah dapat
menerima posisi interior sebagai sesuatu yang sah dan menjadi skema
kognisi. Pengakuan tersebut tidak hanya diterima secara pasif, namun
dinilai sebagai status quo yang dinilai sudah stabil. Perbedaan status
merupakan sesuatu yang alami, tidak dapat dihindari dan hasil dari proses
yang diakui sehingga segala upaya untuk menentang ketidaksamaan dapat
Teori justifikasi sistem dalam perkembangannya terpengaruh oleh
teori psikologi sosial yang lain:
a. Cognitive Dissonance Theory
Teori ini berkedudukan sebagai salah satu teori psikologi
sosial yang paling sering digunakan. Teori ini menjelaskan
bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk memelihara
kosistensi kognitif dalam rangka mempertahankan gambaran
diri yang positif. Teori justifikasi sistem adalah pengembangan
dari kerangka berpikir teori disonansi kognitif, intinya
pembenaran sistem tidak terlepas dari upaya untuk
mempertahankan gambaran diri positif dari sistem sosial yang
ada (Josh, 2009).
b. Social Identity Theory
Dalam teori indentitas sosial, orang digambarkan pada
situasi konfik antar kelompok yang mengancam identitas
kelompok sosial mereka, sehingga orang akan berusaha
melakukan pembenaran seperti menstereotipekan dan
mediskiminasikan kelompok diluar mereka agar memelihara
atau mempertahankan gambaran positif kelompok mereka. Hal
ini diistilahkan sebagai ingroup favoritism. Teori justifikasi
sistem mengunakan kerangka berfikir ini secara langsung
mengarahkan pada pada penentuan outgroup favoritismdiantara
merupakan hubungan diantara kedua teori. Sehingga teori
justifikasi teori dipengaruhi oleh teori identitas sosial untuk
menentukan kelompok mana yang berperan sebagai outgroup
favoritsmdiantara kelompok-kelompok sosial yang ada.
Orang-orang dalam yang menerima outgroup favoritismakan
mendapatkan lebih banyak gambaran positif lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok lain dan kelompok dimana ia
berada (Josh, 2009).
c. Social Dominance Theory
Teori ini salah satu teori selain teori justifikasi sistem
yang berusaha untuk menjelaskan fenomena pembenaran sistem
sosial. Social dominance theoryberfokus pada motif orang
dalam mempertahankan gambaran positif kelompok dengan cara
mendukung kelompok berdasarkan ketidaksetaraan antar
kelompok. Orang akan cenderung untuk menonjolkan atau
merendahkan kelompok-kelompok sosial dalam suatu hirarki
berdasarkan gambaran positif kelompok-kelompok yang ada.
Teori dominasi sosial berfokus pada motif pembenaran
kelompok sosial, sementara teori justifikasi sosial lebih
cenderung berusaha membenarkan sistem sosial diantara
d. Belief In a Just World
Teori ini secara luas menjelaskan bahwa orang
mempunyai kepercayaan bahwa dunia itu secara umum sudah
adil dan mendapatkn imbalan yang pantas sesuai dengan
perilaku manusia yang ada. Teori ini berkembang dengan
asumsi bahwa orang mempunyai keyakinan bahwa mereka dapat
mengendalikan perilaku dan imbalan yang mereka dapatkan dari
perilaku tersebut. Teori justifikasi sosial mempertahan kerangka
berpikir bahwa dunia ini telah adil, namun tidak setuju dengan
asumsi bahwa apa yang didapatkan oleh orang sesuai dengan
perilaku yang telah dilakukan. Beda dengan teori believe in a
just world, justifikasi sosial lebih mengarahkan proses berpikir
bahwa orang mempunyai keinginan untuk mendapatkan status
quoyang adil dan sah. (Josh, 2009)
e. False Consiousness
Dalam melihat fenomena outgroup favoritsm yang
menjadi komponen justifikasi sistem, ahli teori sangat
terpengaruh dari teori marxism-feminist untuk menguatkan
adanya ideologi yang memperngaruhi perilaku yang
membenarkan sistem sosial yang ada.Secara praktis dapat
dikatakan bahwa konsep false conciousness, kelompok dominan
dalam suatu masyarakat percaya bahwa mereka telah digariskan
sehingga dapat menjelaskan mengapa anggota kelompok yang
lebih rendah kadang kala melawan dalam konteks outgroup
favoritsm. (Josh, 2009)
Dari penjelaskan mengenai teori-teori psikologi sosial yang
mempengaruhi teori justifikasi sosial tersebut dapat disimpulkan bahwa
teori justifikasi sosial ini berkembang dari teori-teori sosial sebelumnya
yang berusaha menjelaskan dinamika hubungan antar kelompok sosial.
Teori justifikasi sosial menjadi alternatif teori untuk menjelaskan
fenomena sistem sosial yang cenderung berusaha untuk mempertahankan
status qou yang ada seperti fenomena hubungan antara Abdi Dalem
keraton sebagai representasi dari kaula alit masyarakat mataram dengan
kelompok superior yaitu keraton Yogyakarta yang berperan sebagai
kelompok pemimpin atau outgroup favoritsm. Dengan mengetahui segala
teori yang memperngaruhi maka teori justifikasi sosial menemukan ciri
khasnya. Ciri khas ini dapat dibedakan dengan teori sosial yang lain
dengan cara melihat aspek-aspek pembangun teori justifikasi sosial ini.
Aspek-aspek yang menjadi karakter teori justifikasi sosial menurut Josh
(2009) antara lain;
a. Rasionalisasi dari keadaan status quo
Salah satu aspek utama dari teori justifikasi sistem
menjelaskan bahwa orang termotivasi untuk membenarkan
keadaan status quo dan melihat bahwa hal tersebut sebagai
ini para ahli bahwa untuk mendapatkan keadaan status quo
tersebut, orang akan mencoba memastikan bahwa keadaan
mereka sesuai atau nyaman dengan status quo yang akan
mereka dapatkan. Cara lain untuk merasionalisasi status quo
adalah dengan mempergunakan stereotipe, jika orang merasa
bahwa kelompok mereka lebih tinggi statusnya maka mereka
akan mempunyai stereotipe bahwa lebih nya lebih nyaman
pada kelompoknya, dan kurang nyaman dengan dengan status
kelompok yang lebih rendah. Begitu pula sebaliknya jika orang
merasa berada di kelompok yang statusnya lebih rendah maka
mereka akan menstereotipe kurang nyaman dengan
kelompoknya dan akan mempunyai stereotipe bahwa lebih
nyaman dengan kelompok lain yang lebih tinggi statusnya.
b. Outgroup favoritsm
Dalam outgroup favoritsm, orang mempunyai motivasi
untuk menghargai secara positif kelompok diluar
kelompoknya. Justifikasi sistem berusaha untuk menjelaskan
bahwa kadang kala orang tidak sadar telah mengakui
ketidaksetaraan, mereka mempunyai kecenderungan untuk
membenarkan sistem sosial yang berada dalam keadaan status
quo dan percaya bahwa keadaan tersebut adil dan sah, beberapa
tersebut dan meninternalisasikan ketidaksetaraan di antara
kelompok-kelompok tersebut.
c. Depressed Entitlement
Justifikasi sistem memberikan gambaran bahwa pelabelan
yang menekan yang didapatkan oleh kelompok yang lebih
rendah yang telah berlangsung terus menerus menyebabkan
kelompok interior menerima kelemahannya dan mengakui
bahwa ada kelompok lain yang lebih maju, sehingga perlahan
kondisi pelabelan yang menekan ini justru dipertahankan
untuk mendapatkan status quo.
d. Motif Ego, motif kelompok, dan motif justifikasi sistem
Motif justifikasi sistem adalah keinginan orang-orang untuk
melihat bahwa sistem atau status quo bersifat sah dan adil.
Perkembangan justifikasi sistem dalam suatu masyarakat tidak
bisa terlepas dari perkembangan motif ego dan motif kelompok
dari kelompok-kelompok yang ada. Bagi kelompok yang
mempunyai kedudukan tinggi akan merasakan bahwa motif
atau pandangan positif (self esteem) ego dan kelompok mereka
akan meningkat jika sistem yang ada (status quo) diakui oleh
kelompok-kelompok yang lebih rendah kedudukannya
dibandingkan mereka. Sedangkan bagi kelompok yang lebih
rendah dengan adanya sistem justifikasi, motif ego dan motif
Abdi Dalem (kelompok Interior)
Abdi dalem m engont ribusikan, t enaga dan pikiran kepada Kerat on
Keraton Yogyakarta (kelompok Superior)
M anfaat yang didapatkan dari
Keraton
“ Bagaim ana Abdi Dalem m em aknai m anfat yang didapat kan dari Kerat on Yogyakart a“ dipertanyakan oleh mereka karena selalu membandingkan diri
mereka dengan kelompok lain yang lebih maju (superior).
Dari penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa teori
justifikasi sistem mencoba mengambarkan bahwa fenomena kesenjangan
status yang cenderung sering terjadi di belahan bumi timur adalah sesuatu
yang alami, dan diakui secara sadar. Teori ini menarik untuk ditempatkan
sebagai kaca mata untuk melihat fenomena hubungan antara pihak Keraton
sebagai kelompok superior dan Abdi Dalem sebagai perlambang kawula
alit yang diposisikan sebagai kelompok interior.
D. Kerangka Penelitian
Dari penjabaran mengenai pemaknaan, Abdi Dalem, manfaatyang
didapatkan dari keraton, dan teori sosial justifikasi sistem dalam rangka
untuk mengambarkan dinamika pemaknaan Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta terhadap manfaat yang didapatkandari Keraton Yogyakarta
maka peneliti membuat kerangka penelitian yang digambarkan melalui
skema berikut:
Untuk mengetahui pemaknaan Abdi Dalem terhadap
manfaatdidapatkan dariKeraton Yogyakarta, pertanyaan utama dalam
penelitian ini adalah bagaimana Abdi Dalem memaknai manfaat yang
didapatkan Keraton Yogyakarta? Sedangkan sub pernyataan yang akan
mendukung pertanyaan utama adalah:
1. Bagaimana Abdi Dalem memposisikan diri dalam tata
masyarakat Yogykarta?
2. Apa saja pengalaman-pengalaman yang dialami Abdi Dalem