• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji toksisitas akut oral jamu KP dan KPP pada tikus betina (kajian histologi) - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Uji toksisitas akut oral jamu KP dan KPP pada tikus betina (kajian histologi) - USD Repository"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Tara Asie

NIM : 058114112

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

UJI TOKSISITAS AKUT ORAL JAMU KP DAN KPP PADA TIKUS BETINA (KAJIAN HISTOLOGI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Tara Asie

NIM : 058114112

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

Tuhan dipihakku.

Tuhan dipihakku.

Tuhan dipihakku.

Tuhan dipihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang

Aku tidak akan takut. Apakah yang

Aku tidak akan takut. Apakah yang

Aku tidak akan takut. Apakah yang

dapat dilakukan manusia terhadap aku? (Maz 118: 6)

dapat dilakukan manusia terhadap aku? (Maz 118: 6)

dapat dilakukan manusia terhadap aku? (Maz 118: 6)

dapat dilakukan manusia terhadap aku? (Maz 118: 6)

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah

aku dan kenallah pikiran

aku dan kenallah pikiran

aku dan kenallah pikiran

aku dan kenallah pikiran----pikiranku; lihatlah, apakah

pikiranku; lihatlah, apakah

pikiranku; lihatlah, apakah

pikiranku; lihatlah, apakah

jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

(Maz

(Maz

(Maz

(6)
(7)

vii

Esa atas berkat, karunia, cinta, dan anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Uji Toksisitas Akut Oral Jamu KP Dan KPP Pada Tikus

Betina (Kajian Histologi)” untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm).

Semua kelancaran dan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Yesus Kristus atas semua anugrah dan berkat yang telah diberikan. “Dan

ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”

(Mat 28: 20b).

2. Papa, Mama, Kak Andry, dan Merry yang telah giat mengingatkan akan

Tuhan, berdoa, serta memberi dukungan dan cinta yang luar biasa kepada

penulis. “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan

menyia-nyiakan ajaran ibumu” (Ams 1: 1).

3. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

4. Ipang Djunarko, S.Si., Apt., selaku doses pembimbing yang telah

mempercayakan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini,

memberikan arahan dan mendampingi penulis selama proses penelitian dan

(8)

viii

5. Phebe Hendra, M. Si., Ph.D., Apt yang telah memberikan kesediaannya

sebagai dosen penguji dan memberikan saran, masukan, serta kritik yang

membangun.

6. dr. Fenty, M. Kes., Sp.PK yang telah memberikan kesediaannya sebagai

dosen penguji dan memberikan saran, masukan, serta kritik yang

membangun.

7. Mas Kayat, Mas Parjiman, Mas Heru (laboran Laboratorium Farmakologi

dan Toksikologi) Mas Sigit dan Mas Wagiran (laboran Laboratorium

Farmakognosi-Fitokimia) yang telah banyak membantu dalam proses

penelitian, dan telah menyediakan hewan uji dan fasilitas yang dibutuhkan.

8. Pak Dian di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian

Veteriner Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah membantu

membuatkan preparat histologi organ.

9. Prof. Drh. Kurniasih, MVSc., PhD., selaku Kepala Laboratorium Patologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang

telah membimbing penulis dalam melakukan pembacaan preparat histologi

organ dan telah banyak memberikan arahan, saran, dan masukkan kepada

penulis.

10. Ester, Donald, Wisely, Stella, Rony, Ratna “Asien”, Rizky “Blangkon”, Feri

D.S, Suster Bernadetta atas persahabatan yang telah diberikan selama ini

(9)

ix

12. Arga, Stevani, Thea, Vivin, Adria, Indah, Dhika, dan Fepty atas

persahabatan dan kebersamaan selama KKN.

13. Teman-teman FKK 2005, FKK 2006, ex kelas C 2005 yang selalu berbagi

kebersamaan.

14. Lappie (9 September 2008 - 18 Desember 2009) yang telah berjuang

bersama penulis untuk menyelesaikan tugas kuliah dan skripsi walaupun

kebersamaan ini hanya berlangsung setahun.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh

dari sempurna. Atas keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu

pengetahuan.

(10)

x

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum spektrum efek toksik produk jamu KP dan KPP berupa perubahan berat badan, gejala dan wujud efek toksik serta mekanisme yang memperantarai kematian hewan uji yaitu

tikus betina galur Wistar. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental

dengan rancangan analitik evaluatif yang bersifat prospektif.

Penelitian dilakukan dengan memejankan suspensi jamu KP dan KPP sebanyak 1 kali kemudian dilakukan pengamatan terhadap perubahan berat badan, gejala fisik yang ditimbulkan, mekanisme kematian hewan uji dan histologi organ.

Data yang diperoleh berupa perubahan berat badan dianalisis dengan General

Linear Model (GLM) Repeated Measure yang dilanjutkan dengan uji Post Hoc

dengan metode Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%. Data gejala toksik

digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan mekanisme penyebab kematian hewan uji. Data histologi digunakan untuk mengetahui wujud efek toksik berupa perubahan struktural jaringan yang ditimbulkan oleh jamu KP dan KPP.

Hasil penelitian menunjukkan berbeda tidak bermakna antara berat badan

tikus terhadap peningkatan dosis jamu KP dan KPP, tidak terdapat gejala toksik

pada pengamatan 24 jam dan 14 hari tetapi pada hari ke-2 pada dosis 3168 mg/kgBB jamu KP dan KPP tikus mengeluarkan tinja yang berair dengan warna kecoklatan. Mekanisme kematian pada tikus dilihat dari hasil pemeriksaan histologi, tidak dapat dijelaskan secara pasti. Perubahan yang terjadi pada beberapa organ seperti organ hati, usus, dan lambung dalam keadaan normal.

(11)

xi

experimental research for analytical prospective evaluation.

This research was carried out by orally suspensions jamu KP and KPP

once. The next observations were for body weight changes, physical symptoms, organ histological, and mechanisms that caused the death of tested animals. Data was obtained in the form of weight changes that were analyzed with General Linear Model (GLM) Repeated Measure and Post Hoc test that was followed with Scheffe method in 95% confidence level. The author used the toxic symptoms to evaluate mechanisms possibilities of the death of tested animals, and histological

data used to know the toxic effects that were caused by jamu KP and KPP.

The results showed that there were no significant differences between rat

weight of additional doses of jamu KP and KPP, there were no toxic symptoms in

24-hour observation and 14 days but on the second day at a dose of 3168

mg/kgBW jamu KP and KPP rat feced out watery brown color. The mechanism of

death in rat can not be explained clearly based on the result of histological observation. The changes that were occurred in several organs such as the liver, intestines, and stomach remained in the normal state.

(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian ... 3

B. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan umum ... 4

(13)

xiii

1. uazoma Ulmifolia Lamk ... 5

2. Camellia Sinensis ... 6

C. Toksikologi ... 7

1. Asas-asas toksikologi ... 7

2. Uji Ketoksikan Akut ... 9

D. Anatomi Fisiologi ... 11

1. Jantung ... 11

2. Paru-paru ... 12

3. Hati ... 12

4. Usus ... 13

5. Ginjal ... 14

6. Lambung ... 15

7. Limpa ... 16

8. Sistem Reproduksi ... 16

E. Histologi ... 17

F. Landasan Teori ... 18

G. Hipotesis ... 19

BAB III METODE PENELITIAN... 20

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20

(14)

xiv

1. Variabel penelitian ... 20

2. Definisi operasional ... 21

C. Bahan Penelitian ... 21

D. Alat dan Instrumen Penelitian ... 22

E. Tata Cara Penelitian ... 23

1. Penyiapan hewan uji ... 23

2. Pengujian toksisitas akut jamu KP dan KPP ... 23

3. Pengamatan ... 24

4. Pemeriksaan Histologi ... 24

F. Analisis Hasil ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Pengamatan Fisik Gejala-Gejala Toksik ... 26

B. Pemeriksaan Histologi ... 31

1. Jantung ... 32

2. Paru-paru ... 33

3. Hati ... 34

4. Usus ... 37

5. Ginjal ... 39

6. Lambung ... 40

7. Limpa ... 42

8. Uterus ... 44

9. Ovarium ... 46

(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 54

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Klasifikasi zat kimia yang sesuai dengan toksisitas relatif ... 10

Tabel II. Purata berat badan tikus betina hari ke-2 sampai ke14 setelah

pemejanan suspensi jamu KP dan KPP dosis tunggal p.o ... 27

Tabel III. Hasil pengujian statistik Post Hoc dengan metode LSD untuk

melihat pengaruh perubahan berat badan setelah pemejanan jamu KP

dan KPP ... 29

Tabel IV. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala-gejala toksik tikus betina pada 24

jam setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP secara

oral...30

Tabel V. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala-gejala toksik tikus betina pada

hari ke-14 setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP secara

oral...30

Tabel VI. Hasil pemeriksaan histologi beberapa organ tikus betina akibat

pemejanan suspensi jamu KP dan KPP, pengamatan 24 jam dan 14

(17)

xvii

Gambar 1. Grafik perubahan berat badan tikus betina setelah pemejanan jamu

KP selama 14 hari ... 28

Gambar 2. Grafik perubahan berat badan tikus betina setelah pemejanan jamu

KPP selama 14 hari ... 28

Gambar 3. Struktur mikroskopis organ jantung tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 33

Gambar 4. Struktur mikroskopis organ paru tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 34

Gambar 5. Struktur mikroskopis organ paru tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : pneumonia

interstisialis ... 34

Gambar 6. Struktur mikroskopis organ hati tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 37

Gambar 7. Struktur mikroskopis organ hati tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : nekrosis ... 37

Gambar 8. Struktur mikroskopis organ harti tikus betina perbesaran 40x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : kongesti ... 37

Gambar 9. Struktur mikroskopis organ usus tikus betina perbesaran 200x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 39

Gambar 10. Struktur mikroskopis organ usus tikus betina perbesaran 40x

(18)

xviii

Gambar 11. Struktur mikroskopis organ ginjal tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 40

Gambar 12. Struktur mikroskopis organ lambung tikus betina perbesaran 200x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 42

Gambar 13. Struktur mikroskopis organ usus lambung betina perbesaran 200x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : radang ... 42

Gambar 14. Struktur mikroskopis organ lambung tikus betina perbesaran 200x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : udem ... 42

Gambar 15. Struktur mikroskopis organ limpa tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 44

Gambar 16. Struktur mikroskopis organ uterus tikus betina perbesaran 400x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : normal ... 45

Gambar 17. Struktur mikroskopis organ uterus tikus betina perbesaran 200x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : estrus ... 45

Gambar 18. Struktur mikroskopis organ uterus tikus betina perbesaran 40x

pewarnaan haematoxyllin dan eosin. keterangan : radang ... 46

Gambar 19. Struktur mikroskopis organ ovarium tikus betina perbesaran 400x

(19)

xix

Lampiran 1. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Aquades Dosis 25 g/KgBB Pengamatan 24 Jam ... 55

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 49,5 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 56

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 198 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 57

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 792 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 58

Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 3168 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 59

Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 49,5 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 60

Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 198 mg/KgBB Pengamatan 24

(20)

xx

Lampiran 8. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 792 mg/KgBB Pengamatan 24

Jam ... 62

Lampiran 9. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 3168 mg/KgBB Pengamatan

24 Jam ...63

Lampiran 10. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Aquades Dosis 25 g/KgBB Pengamatan 14 Hari ... 64

Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 49,5 mg/KgBB Pengamatan 14

Hari ... 65

Lampiran12. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 198 mg/KgBB Pengamatan 14

Hari ... 66

Lampiran13. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 792 mg/KgBB Pengamatan 14

Hari ... 67

Lampiran14. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KP Dosis 3168 mg/KgBB Pengamatan 14

Hari ... 68

Lampiran15. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 49,5 mg/KgBB Pengamatan

(21)

xxi

Lampiran17. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 792 mg/KgBB Pengamatan 14

Hari ... 71

Lampiran18. Hasil Pemeriksaan Gejala Toksik pada Tikus Betina Setelah

Pemberian Suspensi Jamu KPP Dosis 3168 mg/KgBB Pengamatan

14 Hari... ... 72

Lampiran19. Data Penimbangan Berat Badan Tikus Betina Selama 14 Hari Akibat

Pemejanan Jamu KP Dan Jamu KPP ... 73

Lampiran20. Hasil Uji Statistik (General Linear Model (GLM) Repeated

Measure) Berat Badan Tikus Betina Perhari Akibat Pemejanan

Suspensi Jamu KP Dosis Tunggal Secara Peroral...75

Lampiran21. Hasil Uji Statistik (General Linear Model (GLM) Repeated

Measure) Berat Badan Tikus Betina Perhari Akibat Pemejanan

Suspensi Jamu KPP Dosis Tunggal Secara Peroral ... 76

Lampiran22. Hasil Pemeriksaan Histologi Organ Tikus Betina Setelah Pemejanan

(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pemanfaatan obat tradisional sebagai pemeliharaan kesehatan dan

pengobatan penyakit telah dilakukan sejak dahulu kala. Penggunaan obat

tradisional selama ini terutama didasarkan pada pengalaman yang diwariskan

secara turun-temurun. Warisan budaya bangsa ini dalam memanfaatkan tumbuhan

guna memelihara kesehatan dan mengobati penyakit masih tetap dipertahankan

sampai sekarang (Soedibyo, 1998).

Penggunaan obat tradisional di masyarakat Indonesia sampai saat ini

masih terus terpelihara dan masih bertahan dari generasi ke generasi. Obat

tradisional dianggap dan diharapkan berperan serta dalam usaha pencegahan,

pengobatan penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat.

Penggunaan obat tradisional dinilai memiliki efek samping yang relatif

lebih sedikit dari pada obat modern, dengan ketentuan jika obat tradisional yang

digunakan memenuhi persyaratan tepat bahan tanaman, tepat dosis, tepat waktu

penggunaan, tepat cara penggunaan, tanpa penyalahgunaan, tepat dalam hal

indikasi serta tepat dalam penelaahan informasi seputar obat tradisional tersebut

(Sari, 2006).

Salah satu obat tradisional adalah jamu. Obat tradisional yang berupa

jamu sudah banyak beredar di pasaran, diantaranya adalah buatan industri pabrik

(23)

alam dan bersifat alami. Jamu merupakan obat tradisional yang bahan bakunya

berupa simplisia yang belum mengalami standarisasi dan belum pernah diteliti.

Walaupun berasal dari alam dan bersifat alami namun penggunaan jamu yang

tidak mematuhi aturan akan membahayakan masyarakat itu sendiri (Harmanto,

dan Subroto, 2006). Keamanan dari penggunaan jamu ini berkaitan dengan

toksisitas dari efek yang tidak dikehendaki.

Salah satu produk jamu adalah jamu KP dan KPP yang merupakan

produk PT. Industri Jamu Borobudur Semarang dan diklaim mampu menurunkan

berat badan. Komposisi jamu KP yaitu jati belanda dan komposisi jamu KPP yaitu

jati belanda dan green tea. Menurut Suharmiati (2003) kandungan senyawa kimia

jati belanda ialah tanin, musilago, kafein. Kandungan senyawa kimia green tea

adalah catechin (Cabrera, Artacho, & Gimenez, 2006).

Meskipun merupakan produk obat tradisional tetapi penggunaan jamu

KP dan KPP secara berlebihan juga dapat menimbulkan risiko efek toksik

terutama bila didasari keinginan supaya berat badan cepat turun. Efek toksik yang

ditimbulkan dapat berupa efek toksik akut dan sub akut. Efek toksik akut terjadi

pada penggunaan yang melebihi dosis terapi dalam sekali pakai sedangkan efek

toksik sub akut terjadi pada penggunaan berulang dalam jangka waktu yang lama

walaupun dengan dosis terapi. Efek toksik ini dapat pula menimbulkan kerusakan

sel dan jaringan organ dalam tubuh.

Penilaian mengenai efek toksik ini dilihat berdasarkan potensi ketoksikan

dan spektrum efek toksik. Pernah dilaporkan potensi ketoksikan akut oral jamu

(24)

3

2009). Spektrum efek toksik berupa kondisi, wujud dan sifat efek toksik jamu KP

dan KPP masih belum diketahui sehingga pada penelitian ini dilakukan

penelusuran lanjutan untuk mengungkap gambaran umum tentang spektrum efek

toksik oral jamu KP dan KPP berdasarkan data histologi.

1. Permasalahan

a. Bagaimana pengaruh pemejanan jamu KP dan KPP pada masing-masing

kelompok perlakuan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol

terhadap perubahan berat badan tikus betina?

b. Apa saja gejala dan wujud efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan

jamu KP dan KPP?

c. Bagaimana mekanisme yang memperantarai efek toksik dan kematian

hewan uji akibat pemejanan jamu KP dan KPP berdasarkan pengamatan

histologi organ?

2. Keaslian penelitian

Penelitian tentang Potensi Ketoksikan Akut Jamu KP dan KPP pada

Tikus Betina sudah pernah diteliti oleh Djunarko dengan LD50 semu > 3168

mg/kgBB yang termasuk golongan sedikit toksik (Djunarko, 2009) namun

pemeriksaan histologinya belum pernah dilaporkan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis: diharapkan dapat dijadikan acuan untuk

penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan penggunaan jamu.

b. Manfaat praktis: diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat bagi

(25)

terhadap perubahan berat badan, mengetahui mekanisme yang

memperantarai efek toksik dan kematian hewan uji akibat pemejanan jamu

KP dan KPP yaitu berupa wujud dan sifat efek toksik berdasarkan data

histologi.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan pengujian ketoksikan akut jamu KP dan KPP pada tikus betina ini

meliputi:

1. Tujuan umum : mengungkap gambaran umum tentang spektrum efek toksik

oral jamu KP dan KPP.

2. Tujuan khusus :

a. Mengetahui pengaruh pemejanan jamu KP dan KPP pada masing-masing

kelompok perlakuan terhadap perubahan berat badan tikus betina.

b. Mengetahui gejala dan wujud efek toksik yang tak khas akibat pemejanan

jamu KP dan KPP.

c. mengetahui mekanisme yang memperantarai efek toksik dan kematian

hewan uji akibat pemejanan jamu KP dan KPP berdasarkan pengamatan

(26)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Obat Tradisional

Menurut Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan bab I

pasal 1 ayat (10) obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa

bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk

pengobatan berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat

pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi jamu,

obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Klaim khasiat jamu dibuktikan

berdasarkan data empiris. Klaim kasiat obat herbal terstandar dibuktikan secara

ilmiah/pra klinik. Klaim khasiat fitofarmaka harus dibuktikan berdasarkan uji

klinik (Anonim, 2004).

B.Jamu KP dan KPP

Produk jamu KP dan KPP ini berupa serbuk dalam kapsul yang diklaim

sebagai jamu penurun berat badan memiliki komposisi :

1. Guazuma ulmifolia Lamk

Bagian dari Guazuma ulmifolia Lamk yang digunakan adalah Guazuma

(27)

daerah untuk tanaman ini ialah jati belanda (Sumatra); jati londa, jatos landi

(Jawa) (Anonim, 1978).

Guazuma Folium merupakan daun tunggal, berbentuk bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm,

pangkal daun berbentuk jantung yang kadang-kadang tidak setangkup, ujung daun

meruncing, pinggir daun bergigi, permukaan daun kasar, warna hijau kecoklatan

sampai coklat muda, tangkai daun panjang 5 mm sampai 25 mm. Bentuk

tumbuhan ini berupa semak atau pohon, tinggi 10 m sampai 20 m dengan

percabangan ramping (Anonim, 1978).

Kandungan kimia utama dari daun jati belanda adalah tanin dan

musilago. Tanin bersifat sebagai astringen, dan musilago bersifat sebagai pelicin

atau pelumas (Suharmiati dan Maryani, 2003). Kandungan lain diantaranya adalah

beta-sitosterol, kafein, fredelin-3alpha-acetate, fredelin-3beta-ol (Duke, 1998).

2. Camellia sinensis

Bagian dari tanaman Camellia sinensis yang digunakan adalah Theae

folium dari familia Theaceae. Sebutan daerah untuk tanaman ini adalah teh (Anonim, 1989).

Theae folium merupakan daun tunggal berbentuk lonjong memanjang dengan pangkal runcing, bergerigi. Tangkai daun pendek, panjang 0,2 cm sampai

0,4 cm, panjang daun 6,5 cm sampai 15,0 cm, lebar daun 1,5 cm sampai 5,0 cm

(Anonim, 1989).

Polifenol utama yang terdapat dalam teh hitam dan teh hijau adalah

(28)

7

yaitu epicatechin (EC) (6.4%), epicatechin gallat (ECG) (13.6%),

epigallocatechin (EGC) (19%), dan epigallocatechin gallat (EGCG) (59%) (Cabrera et al, 2006).

C.Toksikologi

Menurut Loomis (1978), toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu. Menurut Lu

(1995), toksikologi di definisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme

efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistem biologi lainnya.

1. Asas-asas toksikologi

Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik suatu senyawa, ada

4 asas yang perlu di pahami dalam toksikologi yang meliputi kondisi efek toksik,

mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik (Donatus, 2001).

Kondisi efek toksik. Berbagai keadaan atau faktor yang mempengaruhi keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun di dalam tubuh sehingga

menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran serta

toksisitasnya atau keefektifan antaraksinya dengan sel sasaran. Kondisi efek

toksik antara lain kondisi pemejanan yang meliputi jenis pemejanan (akut,

subkronis, kronis), jalur pemejanan (intravaskuler dan ekstravaskuler), lama dan

kerapatan, dosis (Loomis, 1978).

Mekanisme aksi efek toksik. Secara umum mekanisme efek toksik racun dapat di jelaskan berdasarkan atas sifat dan tempat kejadian, sifat antaraksi

(29)

penyimpanan tubuh. Berdasarkan sifat dan tempat kejadian, mekanisme efek

toksik dibagi menjadi dua golongan yaitu mekanisme luka intrasel atau

mekanisme langsung dan mekanisme luka ekstrasel atau mekanisme tidak

langsung. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel diawali oleh aksi langsung zat

beracun di dalam sel sasaran. Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak

langsung, artinya zat beracun pada awalnya beraksi dilingkungan luar sel dengan

akibat terjadinya luka di dalam sel (Donatus, 2001).

Wujud efek toksik. Pada dasarnya wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Jenis efek toksik berdasarkan

perubahan biokimia meliputi respon dan kekacauan biokimia terhadap luka sel,

akibat antaraksi antara zat beracun dan tempat aksi tertentu yang bersifat tak

terbalikan, contohnya penghambatan respirasi sel dan gangguan pasok energi

(Lu,1995).

Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan dengan

antaraksi racun yang terbalikan dengan reseptor atau tempat aktif enzim, sehingga

mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu. Termasuk efek toksik jenis ini

diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf pusat, hiper

atau hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan

elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, dan hiper atau hipotermia

(Donatus,2001).

Jenis efek toksik berdasarkan perubahan struktural di antaranya

perlemakan sel yang bersifat terbalikkan, nekrosis sel, karsinogenesis,

(30)

9

Sifat efek toksik. Terdapat dua jenis sifat efek toksik, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan. Ciri khas sifat efek toksik yang terbalikkan adalah bila kadar

racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis, maka reseptor

tersebut akan cepat kembali normal, dan ketoksikan racun tergantung pada takaran

serta kecepatan absorpsi, distribusi dan eliminasi (Lu, 1995).

Ciri khas dari sifat efek toksik yang tak terbalikkan meliputi kerusakan

yang menetap, pemejanan berikutnya dengan racun akan menimbulkan kerusakan

yang sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik, dan

pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang akan

menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan

racun dengan takaran besar dalam jangka pendek (Donatus, 2001).

2. Uji ketoksikan akut

Pada dasarnya, uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji

toksikologi yang di rancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek

toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam

golongan uji ketoksikan tak khas adalah uji ketoksikan akut, sub kronis dan

kronis. Uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi yang di rancang untuk

mengevaluasi secara rinci efek khas sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis

hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan khas adalah uji potensiasi,

kekarsinogenikan, keteratogenikan, reproduksi, kulit dan mata, serta perilaku

(31)

Salah satu uji ketoksikan yang sering dilakukan adalah uji ketoksikan

akut. Uji ketoksikan akut merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang di

berikan dengan dosis tunggal pada satu atau lebih jenis hewan uji tertentu dan

pengamatannya dilakukan minimal 24 jam dengan tujuan untuk menetapkan

potensi ketosikan akut, yaitu kisaran dosis toksik atau dosis letal senyawa yang

diberi pada satu atau lebih hewan uji serta menilai berbagai gejala toksik yang

timbul, adanya efek toksik dan mekanisme yang memerantarai terjadinya

kematian hewan uji.

Dalam uji toksisitas ini ada 2 macam tolok ukur, yaitu kualitatif dan

kuantitatif. Tolok ukur kualitatif di wujudkan dengan penampakan gejala toksik

dari efek toksik senyawa uji, sedangkan kuantitatifnya berupa nilai dosis letal

median (LD50). Suatu penggolongan potensi ketoksikan menurut Loomis adalah

sebagai berikut :

Tabel I. Klasifikasi zat kimia yang sesuai dengan toksisitas relatif (Loomis, 1978)

Ketegori LD50

Luar biasa toksik (1 mg/kg atau kurang)

Sangat toksik (1-50 mg/kg)

Cukup toksik (50-500 mg/kg)

Sedikit toksik (0,5-5 g/kg)

Praktis tidak toksik (5-15 g/kg)

(32)

11

D.Anatomi Fisiologi 1. Jantung

Letak jantung didalam mediastinum berada diantara kedua paru. Jantung

terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar disebut epikardium, lapisan tengah

merupakan lapisan otot yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam

yaitu lapisan endotel disebut endokardium (Price and Wilson, 1995).

Fungsi utama jantung adalah sebagai pompa dalam sistem transport yang

bertanggung jawab membawa gas nutrisi, produk-produk sampah, dan zat-zat

lainnya dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya (Stine and Brown, 1996).

Bagian-bagian jantung secara normal berdenyut dengan urutan teratur:

kontraksi atrium (sistolik atrium) diikuti oleh kontraksi ventrikel (sistolik

ventrikel), dan selama diastolik keempat rongga jantung dalam keadaan relaksasi.

Struktur yang membentuk sistem penghantar adalah simpul sinoatrial (terletak

antara venacava superior dengan atrium kanan), lintasan antar simpul di atrium,

simpul atrioventrikular (terletak pada bagian posterior kanan septum antar

atrium), berkas His dan cabang-cabangnya, dan sistem Purkinje (Ganong, 2002).

Secara normal simpul atrioventrikular adalah satu-satunya lintasan yang

menghubungkan atrium dengan ventrikel. Simpul atrioventrikular dilanjutkan

dengan berkas His, yang memberikan cabang berkas kiri pada puncak septum

interventrikular dan berlanjut sebagai cabang berkas kanan. Cabang-cabang dan

fasikulus berjalan pada subendokardium turun pada kedua sisi septum dan

berhubungan dengan sistem Purkinje, yang seratnya menyebar ke semua bagian

(33)

2. Paru-paru

Struktur paru terbagi menjadi paru kanan dan paru kiri. Paru kanan

terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fisura oblikus dan horizontal.

Paru kiri hanya memiliki fisura oblikus sehingga tidak ada lobus tengah. Segmen

lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingula merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang

masuk dan keluar dari paru-paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh

kantung pleura yang longgar (Faiz and Moffat, 2002).

Fungsi paru adalah untuk pertukaran gas, karbondioksida, dikeluarkan

dari kapiler sentra alveolus, ditukarkan dengan oksigen yang masuk kapiler.

Fungsi ini dijalankan oleh tiga proses yang terjadi di paru, yaitu ventilasi, perfusi,

dan difusi (Chandrasoma and Taylor, 1995).

3. Hati

Secara anatomis hati terdiri dari lobus kanan yang besar, dan lobus kiri

yang lebih kecil. Keduanya dipisahkan di antero-superior oleh ligamentum

falsiforme dan di postero-inferior oleh fisura untuk ligamentum venosum dan

ligamentum teres. Pada klasifikasi anatomis, lobus kanan terdiri dari lobus kaudatis dan kuadratus. Akan tetapi, secara fungsional lobus kaudatus dan

sebagian besar lobus kuadratus merupakan bagian dari lobus kiri karena mendapat

darah dari arteri hepatika sinistra dan aliran empedunya menuju duktus hepatika

sinistra. Oleh karenanya, klasifikasi fungsional hati menyatakan bahwa batas

(34)

13

posterior dari kandung empedu menuju vena cava inferior (IVC) (Faiz and

Moffat, 2002).

Hati mempunyai banyak fungsi kompleks, diantaranya pembentukan

empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukkan urea, pembuatan

protein plasma, membuat sejumlah hormon polipeptida menjadi tidak aktif,

pengurangan dan konjugasi hormon korteks adrenalis dan steroid gonad,

detoksikasi banyak obat dan racun, dan fungsi yang berhubungan dengan

metabolisme lemak (Ganong, 2002).

4. Usus

Organ usus dibagi menjadi dua, yaitu usus halus dan usus besar. Usus

halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari pilorus

sampai katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki. Usus besar merupakan

tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari

sekum sampai kalanisani (Price and Wilson, 1995).

Mukosa usus halus mengandung nodulus limfatik soliter, dan nodulus

limfatik agregat pada bagian ileum. Selain itu pada bagian duodenum terdapat

kelenjar duodenum asinotubular kecil yang membentuk kumparan. Pada bagian

epitel usus halus mengandung beberapa jenis sel enteroendokrin dan valvulae

conniventes di membran mukosa. Pada bagian mukosa terdapat 20-40 vili per

milimeter persegi mukosa dengan panjang 0,5-1 cm yang dibungkus oleh satu

lapisan epitel kolumnar dan berisi jaringan kapiler dan pembuluh limfe (lakteal).

(35)

conniventes, vili, dan mikrovili kemampuan usus mengabsorpsi meningkat hingga

600 kali lipat (Ganong, 2002).

Fungsi utama usus besar adalah penyerapan air, Na+, dan mineral lain.

Dinding usus besar membentuk kantung-kantung menonjol keluar (haustra)

diantara taenia. Pada bagian mukosa usus besar tidak ditemukan adanya vili.

Kelenjar-kelenjar usus besar merupakan tonjolan mukosa ke dalam yang pendek

dan mensekresikan mukus. Terdapat folikel-folikel limfe soliter, terutama di

sekum dan apendiks (Ganong, 2002).

Bagian pertama makanan mencapai sekum dalam waktu sekitar 4 jam, dan

semua bagian yang tidak tercerna telah masuk kolon dalam 8 sampai 9 jam.

Rata-rata, sisa makanan yang pertama mencapai fleksura hepatika dalam 6 jam,

fleksura lienalis dalam 9 jam, dan kolon sigmoid dalam 12 jam. Dari kolon

sigmoid ke anus, pengangkutan lebih lambat. Sampai sebanyak 25% residu

makanan mungkin masih tetap direktum dalam 72 jam (Ganong, 2002).

5. Ginjal

Ginjal terletak di retroperitonem menempel ke dinding posterior

abdomen (Faiz and Moffat, 2002). Ginjal merupakan organ vital yang berperan

sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal

mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, asam dan basa dengan cara

menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, dan mengekskresikan

kelebihan sebagai urin. Ginjal juga mengekskresi sampah metabolisme seperti

urea, kreatinin, dan asam urat. Selain fungsi regulasi dan ekskresi ginjal juga

(36)

15

Tiap tubulus ginjal dan glomerulusnya membentuk satu kesatuan

(nefron). Tiap ginjal manusia memiliki kira-kira 1,3 juta nefron. Bagian tubulus

proksimal yang bergelung mengalirkan cairan filtrat ke dalam bagian yang lurus

yang membentuk awal dari ansa Henle. Tubulus proksimal berakhir di segmen

tipis pars desendens ansa Henle, yang epitelnya terdiri dari sel-sel yang tipis dan

gepeng. Nefron yang glomerulusnya berada di korteks bagian luar mempunyai

ansa Henle yang pendek, sedangkan yang glomerulusnya terletak di daerah

jukstamedularis korteks memiliki ansa Henle yang panjang sampai pada bagian

piramis medula. Panjang tubulus proksimal manusia kira-kira 15 mm dengan

diameter 55 µm (Ganong, 2002).

Beberapa tubulus distal bersatu membentuk duktus koligentes yang

panjangnya kira-kira 20 mm. Duktus koligentes akan melalui korteks dan medula

ginjal serta mengalirkan cairan filtrat ke dalam pelvis renalis yang berada di tiap

apeks piramis medula. Panjang tubulus distal kira-kira 5 mm (Ganong, 2002).

6. Lambung

Fungsi lambung dibedakan menjadi dua yaitu fungsi motoris dan fungsi

sekresi serta pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan,

pencampuran, dan pengosongan kimus (makanan yang bercampur dengan sekret

lambung) ke dalam duodenum. Fungsi pencernaan dan sekresi meliputi beberapa

hal antara lain: pencernaan protein oleh pepsin dan HCl; sintesis dan pelepasan

gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, absorpsi vitamin B12 dari usus

(37)

lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah

diangkut (Price and Wilson, 1995).

7. Limpa

Limpa berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di

bawah hemidiafragma kiri yang memisahkannnya dari costae ke 9, ke 10, dan ke

11. Limpa merupakan organ retikulo-endotelial yang sangat vaskular (Faiz and

Moffat, 2002).

Limpa adalah suatu penyaring darah yang membuang sferosit dan sel

darah merah abnormal lainnya. Organ ini juga mengandung banyak trombosit dan

berperan penting dalam sistem imun (Ganong, 2002).

8. Sistem reproduksi

Sistem reproduksi yang dimaksud adalah sistem reproduksi wanita.

Sistem reproduksi wanita meliputi ovarium, uterus dan vagina, serta vulva. Fungsi

utama sistem ini menghasilkan telur melalui peristiwa oogenesis; kemudian

penyediaan lingkungan yang cocok untuk terjadinya pembuahan telur oleh

spermatozoa dan perkembangan fetus serta penyedia makanan bagi janin (Leeson,

Leeson, Paparo, 1996).

Uterus terdiri atas: fundus (bagian yang terletak di atas pintu tuba

fallopi), korpus, dan serviks. Serviks terbenam dalam dinding anterior vagina

sehingga dibagi menjadi bagian supravaginalis dan vaginalis. Kavitas interna

serviks berhubungan dengan kavitas korpus pada os interna dan dengan vagina

pada os eksterna. Uterus terdiri atas dinding otot yang tebal (miometrium) dan

(38)

17

dengan cavum uterovesikalis dan permukaan atas kandung kemih di anterior.

Cavum rektouteria yang meluas ke bawah sejauh forniks posterior vagina,

merupakan batas posteriornya. Ligamentum latum adalah batas lateral utama

uterus (Faiz and Moffat, 2002).

Ovarium terletak di sebelah dinding samping pelvis dan ditahan pada

posisi ini oleh dua struktur: ligamentum latum yang melekat ke ovarium di

sebelah posterior oleh mesovarium; dan ligamentum ovarika yang menahan

ovarium ke kornuuterus. Masing-masing ovarium mengandung sejumlah folikel

promordial yang berkembang saat awal kehidupan fetus dan menunggu saat

pematangan menjadi ovum. Selain produksi ovum, ovarium juga

bertanggungjawab menghasilkan hormon seksual. Tiap ovarium dikelilingi oleh

kapsula fibrosa, yang disebut tunika albuginea (Faiz and Moffat, 2002).

E. Histologi

Istilah “histologi” berasal dari bahasa Yunani histos, yang berarti

jaringan, dan logia, yang berarti “ilmu yang mempelajari” atau pengetahuan. Jadi

secara harfiah histologi berarti pengetahuan atau ilmu mengenai jaringan, baik

tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Histologi bukan hanya mencakup pengetahuan

mengenai berbagai jaringan, tetapi juga berbagai sel dan sistem organ (Leeson et

al, 1996).

Ciri paling utama pada sajian jaringan adalah adanya sel-sel,

masing-masing diliputi membran, meskipun batas keseluruhannya tidak begitu jelas.

(39)

perbedaan fungsi dari jenis sel yang berbeda. Meskipun sel-sel berbeda dalam

struktur dan fungsinya, sebagian besar mempunyai kesamaan gambaran umum

(Leeson et al, 1996).

F.Landasan Teori

Suatu senyawa dikatakan beracun jika senyawa tersebut dapat

menyebabkan terjadinya gangguan fungsi, biokimia, dan/atau struktur sel

bersangkutan yang merupakan wujud efek toksik senyawa tersebut. Tingkat

keberbahayaan senyawa tersebut ditentukan oleh keberadaannya di tempat aksi

dan keefektifan antaraksinya dengan tempat aksi itu.

Penilaian mengenai efek toksik ini dilihat berdasarkan potensi ketoksikan

dan spektrum efek toksik. Potensi ketoksikan tersebut dinyatakan dengan nilai

LD50 sedangkan spektrum efek toksik berupa wujud dan sifat efek toksik dapat

diketahui berdasarkan data histologi.

Jamu KP dan KPP merupakan suatu jamu yang diklaim sebagai jamu

penurun berat badan. Komposisi jamu KP yaitu jati belanda dan komposisi jamu

KPP yaitu jati belanda dan green tea. Menurut Suharmiati (2003) kandungan

senyawa kimia jati belanda ialah tanin, musilago, kafein. Kandungan senyawa

kimia green tea adalah catechin (Cabrera et al, 2006). Tanin bersifat sebagai astringen yang dapat mengendapkan mukosa protein di dalam permukaan intestin

(usus halus) sehingga dapat mengurangi penyerapan makanan. Musilago bersifat

sebagai pelicin atau pelumas yang menyebabkan makanan sukar untuk di

(40)

19

edema dan pengelupasan lapisan mukosa usus (Anonim, 2005). Senyawa kafein dalam keadaan normal di absorpsi melalui lambung dan usus halus serta

termetabolisme di hati, tetapi bila digunakan pada konsentrasi tinggi dapat

menyebabkan kerusakan pada organ tersebut (Cabrera et al, 2006). Senyawa

katekin yang terkandung dalam green tea merupakan golongan polifenol yang jika

digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan perubahan struktur

jaringan pada organ usus (Cabrera et al, 2006).

Pendekatan senyawa kimia ini dilakukan untuk mengevaluasi batas aman

penggunaan jamu KP dan KPP berdasarkan tolak ukur kuantitatif dan kualitatif

yaitu menghubungkan nilai LD50 semu (>3168 mg/kgBB) dengan gejala toksik

yang berupa wujud dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan jamu

KP dan KPP. LD50 semu jamu KP dan KPP yang bersifat sedikit toksik tersebut

dapat berarti bahwa jika jamu tersebut digunakan melebihi dosis 3168 mg/kgBB

dapat menyebabkan gangguan struktur sel organ dalam tubuh serta memiliki

kemungkinan bersifat irreversible atau reversible dalam menyebabkan luka sel

atau jaringan. Berdasarkan pendekatan senyawa kimia yang terkandung dalam

komponen jamu KP dan KPP dengan tolak ukur dalam mengetahui tingkat

keparahan pengaruh toksik maka dapat diduga bahwa produk jamu tersebut

mempunyai efek toksik.

G.Hipotesis

Jamu KP dan KPP dapat menyebabkan perubahan struktur sel organ

(41)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental dengan rancangan

analitik evaluatif yang bersifat prosfektif. Penelitian ini termasuk eksperimental

karena subjek uji mendapatkan perlakuan jamu KP dan KPP. Rancangan

penelitian analitik evaluatif karena penelitian dilakukan untuk mengetahui

pengaruh pemberian jamu KP dan KPP terhadap perubahan berat badan, dan

spektrum efek toksik dari hewan uji kemudian mengevaluasi data histologi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 162 sampel preparat histologi dari

9 kelompok perlakuan jamu KP dan KPP yang terbagi menjadi 2 kelompok

preparat yaitu preparat histologi 24 jam dan preparat histologi hari ke-14.

B.Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

Variabel utama dalam penelitian ini meliputi:

a. Variabel bebas yang berupa dosis perlakuan jamu KP dan KPP.

b. Variabel tergantung berupa perubahan berat badan hewan uji dan spektrum

(42)

21

c. Variabel pengacau:

1) Variabel pengacau terkendali: kriteria hewan uji yaitu tikus betina

galur wistar, berusia 2 sampai 3 bulan yang diberikan perlakuan

secara oral sebanyak satu kali.

2) Variabel pengacau tak terkendali: kondisi patologis hewan uji.

2. Definisi operasional

a. Jamu KP dan KPP merupakan jamu penurun berat badan yang diproduksi

oleh PT. Industri Jamu Borobudur.

b. Komposisi jamu KP adalah Guazuma ulmifolia Lamk. (100%), sedangkan

jamu KPP adalah kombinasi Guazuma ulmifolia Lamk. (75%) dan

Camellia sinensis (25%).

c. Spektrum efek toksik adalah sistem biologi yang paling peka akibat

pemejanan suspensi jamu KP dan KPP yaitu pada organ jantung,

paru-paru, hati, usus, ginjal, lambung, limpa, uterus dan ovarium.

d. Histologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari adanya

perubahan struktur sel dan jaringan melalui pemeriksaan mikroskopik

yang dikarenakan adanya suatu penyakit.

C.Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jamu KP dan KPP diperoleh dari PT. Industri Jamu Borobudur

(43)

2. Hewan uji diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi, Universitas

Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Hewan uji yang digunakan adalah tikus

betina galur wistar dengan umur 2-3 bulan.

3. Pelarut untuk membuat suspensi jamu KP dan KPP adalah aquadest yang

diperoleh dari Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma (USD),

Yogyakarta.

4. Cairan untuk mengawetkan organ tikus yang diambil adalah formalin 10%,

yang diperoleh dari Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma (USD),

Yogyakarta.

5. Preparat histologi organ digunakan untuk mengamati perubahan struktur sel

dan jaringan melalui pemeriksaan mikroskopik.

D.Alat dan Instrumen Penelitian

Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Neraca atau timbangan elektrik merk Mettler Toledo AB 204.

2. Alat-alat gelas merk Pyrex Iwaki Glass, Japan.

3. Seperangkat alat bedah yang digunakan untuk membedah tikus

(44)

23

E.Tata Cara Penelitian 1. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus betina galur

wistar dengan umur 2-3 bulan yang berasal dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta.

2. Pengujian toksisitas akut jamu KP dan KPP

Sediaan jamu KP dan KPP yang berupa serbuk dalam kapsul, dibuat

suspensi dengan menggunakan aquades. Sebanyak 90 ekor tikus betina

dikelompokkan menjadi 9 kelompok untuk mendapatkan perlakuan jamu KP dan

KPP dengan dosis sebagai berikut :

a. Kelompok I diberi suspensi jamu KP dosis 49,5 mg/kgBB secara p.o.

b. Kelompok II diberi suspensi jamu KP dosis 198 mg/kgBB secara p.o.

c. Kelompok III diberi suspensi jamu KP dosis 792 mg/kgBB secara p.o.

d. Kelompok IV diberi suspensi jamu KP dosis 3168 mg/kgBB secara p.o.

e. Kelompok V diberi bahan pelarut yang digunakan yaitu aquadest secara p.o,

sebagai kontrol negatif.

f. Kelompok VI diberi suspensi jamu KPP dosis 49,5 mg/kgBB secara p.o.

g. Kelompok VII diberi suspensi jamu KPP dosis 198 mg/kgBB secara p.o.

h. Kelompok VIII diberi suspensi jamu KPP dosis 792 mg/kgBB secara p.o.

i. Kelompok IX diberi suspensi jamu KPP dosis 3168 mg/kgBB secara p.o.

(45)

3. Pengamatan

Dilakukan pengamatan yang meliputi perubahan berat badan dan gejala

toksik (perilaku dan aktivitas somatomotor, sistem saraf otonom, sistem

pernafasan, kardiovaskuler, sistem pencernaan, sistem reproduksi, kulit dan bulu,

mata dan membran mukosa) yang dilakukan setelah 24 jam pemejanan suspensi

jamu KP dan KPP selama 14 hari, pemeriksaan histologi organ-organ penting

yang diambil dari 3 ekor tikus betina secara acak (jantung, paru-paru, hati, usus,

ginjal, lambung, limpa, uterus dan ovarium) pada akhir masa uji untuk melihat

wujud dan sifat efek toksik yang ditimbulkan.

4. Pemeriksaan histologi

a. Pengambilan organ :

Histologi dilakukan dengan mengorbankan hewan uji dengan cara

dekapitasi (menarik kepala dan ekornya) kemudian dibedah pada bagian perut.

Selanjutnya organ jantung, paru-paru, hati, usus, ginjal, lambung, limpa, uterus

dan ovarium diambil kemudian dimasukkan kedalam wadah berisi formalin 10%.

b. Pembuatan preparat histologi

Dilakukan di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian

Veteriner Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Pemeriksaan preparat histologi

Dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta di bawah bimbingan Prof. Drh. Kurniasih,

(46)

25

F.Analisis Hasil

Analisis dan evaluasi hasil dalam penelitian ini meliputi:

a. Data penimbangan berat badan digunakan untuk mengetahui pengaruh

peningkatan dosis jamu KP dan KPP terhadap perubahan berat badan hewan

uji yang dianalisis menggunakan General Linear Model (GLM) Repeated

Measure yang dilanjutkan dengan uji Post Hoc dengan metode Scheffe.

b. Data gejala toksik yang teramati pada fungsi vital secara deskriptif kualitatif

digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan mekanisme penyebab kematian

hewan uji.

c. Data pemeriksaan histologi digunakan untuk mengevaluasi wujud dan sifat

(47)

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

pemberian jamu KP dan KPP terhadap perubahan berat badan hewan uji, wujud

dan sifat efek toksik serta mekanisme terjadinya kematian pada tikus betina akibat

pemejanan jamu KP dan KPP berdasarkan data histologi.

A. Pengamatan Fisik Gejala-Gejala Toksik

Data yang dikumpulkan dalam lingkup pengamatan ini berupa perubahan

berat badan serta gejala-gejala toksik yang muncul pada tikus selama 14 hari

setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP. Pengamatan terhadap purata

perubahan berat badan diperlukan untuk melihat pengaruh pemejanan jamu KP

dan KPP terhadap perubahan berat badan yang terjadi pada tikus betina.

Data perubahan berat badan yang diperoleh dari hari ke-2 sampai dengan

hari ke-14 dianalisis menggunakan perhitungan berdasarkan analisa General

Linear Model (GLM) Repeated Measure yang dilanjutkan dengan uji Post Hoc

(48)

27

Tabel II. Purata berat badan tikus betina hari ke-2 sampai ke14 setelah pemejanan suspensi jamu KP dan KPP dosis tunggal p.o

Kelom

(49)

Gambar 1. grafik perubahan berat badan tikus betina setelah pemejanan jamu KP selama 14 hari

Gambar 2. grafik perubahan berat badan tikus betina setelah pemejanan jamu KPP selama 14 hari

Berdasarkan tabel dan gambar tersebut, hasil analisis perubahan berat

badan tikus akibat pemejanan jamu KP dan KPP diperoleh nilai (p) 0,00 > 0,05.

(50)

29

ditimbulkan oleh jamu KP dan KPP pada setiap peringkat dosis terhadap

perubahan berat badan tikus betina. Untuk membuktikan hal tersebut selanjutnya

dilakukan uji Post Hoc menggunakan metode Scheffe.

Tabel III. Hasil pengujian statistik Post Hoc dengan metode Scheffe untuk melihat pengaruh perubahan berat badan setelah pemejanan jamu KP dan KPP

Jamu KP

TB : berbeda tidak bermakna (p>0,05) BB : berbeda bermakna (p<0,05) I : Jamu KP dosis 49,5 mg/kgBB

tersebut dapat diketahui bahwa jamu KP dan KPP tidak mempengaruhi perubahan

berat badan tikus betina.

Untuk mengetahui gejala toksik seperti perubahan perilaku dan aktivitas

somatomotor, sistem saraf otonom, sistem pernafasan, kardiovaskuler, sistem

pencernaan, sistem reproduksi, kulit dan bulu, mata dan membran mukosa yang

(51)

dilakukan pengamatan setelah 24 jam pemejanan yang dilanjutkan selama 14 hari.

Pengamatan setelah 24 jam dimaksudkan untuk mengetahui gejala toksik akut,

sedangkan pengamatan selama 14 hari dimaksudkan untuk mengetahui ada atau

tidaknya efek tertunda yang mungkin dapat disebabkan oleh pemejanan suspensi

jamu KP dan KPP.

Tabel IV. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala-gejala toksik tikus betina pada 24 jam setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP secara oral

Kelompok Perlakuan N Gejala toksik I Jamu KP dosis 49,5 mg/kgBB 10 - Keterangan: ( - ) tidak menunjukkan gejala toksik

Tabel V. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala-gejala toksik tikus betina pada hari ke-14 setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP secara oral

Kelompok Perlakuan N Gejala toksik I Jamu KP dosis 49,5 mg/kgBB 5 - Keterangan: ( - ) tidak menunjukkan gejala toksik

Hasil pemeriksaan kualitatif terhadap gejala-gejala toksik pada tikus

betina setelah pemberian suspensi jamu KP dan KPP pengamatan 24 jam dan 14

hari menunjukkan bahwa tidak ada gejala-gejala toksik yang timbul pada hewan

uji. Pada pengamatan hari ke-2 jamu KP dan KPP masing-masing pada dosis 3168

mg/kgBB menunjukkan adanya pengeluaran tinja yang berbentuk cairan dengan

(52)

31

dikatakan bahwa jamu KP dan KPP baru menimbulkan efek toksik tinja yang

berbentuk cairan setelah 2 hari pemejanan yaitu pada dosis 3168 mg/kgBB yang

merupakan dosis tertinggi. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian makanan

yang teratur pada hewan uji karena pada hari ke-3 sampai hari ke-14 hewan uji

tidak lagi menunjukkan efek toksik seperti pengeluaran tinja yang berbentuk cair.

B. Pemeriksaan Histologi

Pemeriksaan histologi dilakukan terhadap organ-organ vital hewan uji

yaitu jantung, paru-paru, hati, usus, ginjal, lambung, limpa, uterus, dan ovarium.

Hasil pemeriksaan organ-organ ini diperlukan untuk memperkirakan spektrum

efek toksik yang timbul setelah pemberian sediaan jamu KP dan KPP. Hasil

pemeriksaan histologi ini disajikan dalam dua bentuk yaitu pemeriksaan histologi

setelah 24 jam terpapar suspensi jamu KP dan KPP dan setelah 14 hari terpapar

suspensi jamu KP dan KPP. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada atau

tidaknya sifat efek toksik yang tertunda yang mungkin dapat disebabkan oleh

(53)

Tabel VII. Hasil pemeriksaan histologi beberapa organ tikus betina akibat pemejanan suspensi jamu KP dan KPP, pengamatan 24 jam dan 14 hari

Kelompok perlakuan

Hasil pemeriksaan histologi organ tikus betina Jantung

Paru-Keterangan: PI : Pneumonia Interstisialis DH : Degenarasi Hidropik

1) Jantung

Organ jantung merupakan suatu organ vital dalam tubuh yang berperan

penting dalam sistem sirkulasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan histologi yang

dilakukan pada organ jantung menunjukkan tidak terjadi perubahan pada organ ini

atau dapat dikatakan tetap dalam keadaan normal pada preparat 24 jam dan 14

hari setelah pemejanan jamu KP dan KPP. Tidak adanya perubahan yang terjadi

pada organ jantung menunjukkan bahwa jamu KP dan KPP tidak mempengaruhi

(54)

33

Gambar 3. Struktur mikroskopis organ jantung tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: normal

2) Paru-paru

Organ paru merupakan organ yang berperan penting dalam proses

respirasi, yaitu berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dengan

karbondioksida. Organ paru memiliki risiko terpapar zat beracun karena organ ini

berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Pada penelitian ini diketahui

bahwa pemejanan aquadest maupun suspensi jamu KP dan KPP (preparat 24 jam

dan 14 hari) menyebabkan kerusakan pneumonia interstisialis. Hal ini

kemungkinan terjadi karena kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga tikus

sudah menderita kerusakan paru sebelum pemejanan dilakukan.

Pneumonia interstisialis merupakan infeksi saluran pernafasan bagian

bawah yang disebabkan oleh infeksi virus dan mengakibatkan daya tahan tubuh

menurun sehingga bakteri dapat masuk dengan mudah dan memperparah kondisi

hewan uji. Infeksi ini ditandai dengan adanya penebalan jaringan inter-alveoli

karena infiltrasi sel radang mononuklear seperti limfosit, makrofag, dan sel

(55)

Gambar 4. Struktur mikroskopis organ paru tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: normal

Gambar 5. Struktur mikroskopis organ paru tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: pneumonia interstitialis

3) Hati

Organ hati merupakan organ yang berperan penting dalam proses

metabolisme. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan sekresi empedu,

metabolisme nutrien dan vitamin, inaktivasi beberapa zat, serta sintesis protein

plasma (Ganong, 2002). Hasil pemeriksaan histologi preparat 24 jam organ hati

kelompok kontrol mengalami degenerasi hidropik sedangkan pada semua

kelompok perlakuan pemejanan suspensi jamu KP dan KPP dosis 49,5 mg/kgBB;

(56)

35

dalam keadaan normal. Hal ini berarti bahwa pemejanan suspensi jamu KP dan

KPP tidak mempengaruhi fungsi hati dalam proses metabolisme selama 24 jam.

Degenerasi hidropik terjadi karena adanya akumulasi air dalam sel hati

yang mengakibatkan adanya gangguan sistem metabolik. Pada sel-sel yang

mengalami akumulasi air, sel-sel tampak membesar, lebih pucat dari normal dan

letaknya lebih berdesak-desakan, sitoplasma tampak keruh dan jika

pembengkakan cukup berat kadang-kadang ditemukan adanya vakuola. Hal ini

terjadi karena gangguan sistem metabolik dalam mempertahankan lingkungan ion

(Oktavianti, Harini, dan Handajani, 2005).

Pada pemeriksaan histologi organ hati preparat 14 hari kelompok VI

(jamu KPP dosis 49,5 mg/kgBB) 2 dari 3 organ hati tikus yang diamati secara

mikroskopik mengalami nekrosis, pada kelompok III (jamu KP dosis 792

mg/kgBB) 1 dari 3 organ hati tikus yang diamati secara mikroskopik mengalami

nekrosis, dan pada kelompok IX (jamu KPP dosis 3168 mg/kgBB) 1 dari 3 organ

hati tikus yang diamati secara mikroskopik mengalami kongesti. Nekrosis dan

kongesti yang terjadi pada kelompok III, IV, dan IX kemungkinan disebabkan

hewan uji telah mengalami kerusakan organ hati terlebih dahulu sebelum diberi

perlakuan jamu KP dan KPP karena kerusakan tersebut terjadi pada kelompok

perlakuan dengan dosis rendah dan kejadiannya tidak melebihi 50% populasi

hewan uji pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol,

kelompok I (jamu KP dosis 49,5 mg/kgBB), kelompok II (jamu KP dosis 198

(57)

(jamu KPP dosis 198 mg/kgBB), dan kelompok VIII (jamu KPP dosis 792

mg/kgBB), sel-sel hati dalam keadaan normal.

Nekrosis merupakan kerusakan sekelompok sel yang bersifat irreversible,

yang terjadi karena sel mengalami pembengkakan untuk kemudian mengalami

lisis. Inti sel yang mati biasanya menyusut, batasnya tidak teratur dan berwarna

gelap. Proses ini dinamakan piknosis, dan intinya disebut piknotik. Kemungkinan

lain, inti dapat hancur sambil meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang

tersebar di dalam sel. Proses ini disebut karioreksis. Akhirnya pada beberapa

keadaan, inti sel yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan tidak

tampak lagi, proses ini disebut kariolisis (Oktavianti et al, 2005).

Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan karena gangguan

sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi.

Pembendungan darah ini mengakibatkan vena sentralis mengecil sehingga aliran

darah yang mengangkut zat makanan dan oksigen bagi sel-sel hepar akan

terhambat, akibatnya sel-sel hepar akan mengalami degenerasi. Kongesti pada

hepar, dimulai dari vena sentralis yang kemudian meluas sampai sinosoid. Pada

sel hepar, terjadinya kongesti didahului dengan pembengkakan sel hepar yang

mengakibatkan sinosoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Sinosoid

adalah pembuluh darah kapiler yang merupakan percabangan dari vena porta dan

arteri hepatika yang dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer. Pembengkakan sel

disebabkan peningkatan permeabilitas sel, yaitu sel tidak mampu

mempertahankan homoestatis ion cairan sehingga terjadi perpindahan cairan

(58)

37

.

Gambar 6. Struktur mikroskopis organ hati tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: normal

Gambar 7. Struktur mikroskopis organ hati tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: nekrosis

(59)

4) Usus

Organ usus merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam

pencernaan makanan. Apabila terjadi gangguan pada organ ini, maka proses

penyerapan zat makanan akan terganggu dan ketersediaan zat bergizi akan

menurun sehingga secara tidak langsung akan menyebabkan gangguan kesehatan

yang bisa berupa malnutrisi (Ganong, 2002).

Hasil pemeriksaan histologi organ usus kelompok kontrol, semua

kelompok perlakuan jamu KP, dan jamu KPP dosis 49,5 mg/kgBB; dosis 198

mg/kgBB; dan dosis 3168 mg/kgBB tidak mengalami perubahan atau normal

selama 24 jam, sedangkan pada kelompok VIII (jamu KPP dosis 792 mg/kgBB) )

2 dari 3 organ usus tikus yang diamati secara mikroskopik mengalami radang.

Radang yang terjadi pada kelompok VIII kemungkinan disebabkan hewan uji

telah mengalami radang pada organ usus terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan

jamu KPP. Berdasarkan pendekatan kandungan senyawa kimia jamu KP dan KPP

diketahui dapat mempengaruhi struktur organ usus tetapi kerusakan tersebut

terjadi bukan pada kelompok dengan dosis perlakuan tertinggi selain itu

kerusakan ini teramati pada 2 preparat organ usus sehingga tidak dapat dikatakan

bahwa kerusakan ditimbulkan oleh pemejanan jamu KPP.

Menurut Wahyono, Hakim, Nurlaila, Sulistio, dan Ilyas, (2007), radang

atau inflamasi merupakan proses reaksi tubuh lokal berupa perubahan biokimiawi

dan morfologi jaringan pembuluh darah. Ini merupakan mekanisme pertahanan

aktif tubuh dalam membatasi kerusakan yang terjadi akibat suatu zat atau agen

(60)

39

Pada pemeriksaan histologi organ usus preparat hari ke-14 terhadap

kelompok kontrol dan semua kelompok perlakuan pemejanan suspensi jamu KP

dan KPP dosis 49,5 mg/kgBB; dosis 198 mg/kgBB; dosis 792 mg/kgBB; serta

dosis 3168 mg/kgBB, tidak menunjukkan kerusakan (dalam keadaan normal).

Gambar 9. Struktur mikroskopis organ usus tikus betina perbesaran 200x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: normal

Gambar 10. Struktur mikroskopis organ usus tikus betina perbesaran 40x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: radang

5) Ginjal

Organ ginjal merupakan organ ekskresi yang berperan penting dalam

proses filtrasi, sekresi, dan reabsorpsi. Berdasarkan hasil pemeriksaan histologi

(61)

organ ini atau dapat dikatakan tetap dalam keadaan normal pada preparat 24 jam

dan 14 hari setelah pemejanan jamu KP dan KPP. Tidak adanya perubahan yang

terjadi pada organ ginjal menunjukkan bahwa jamu KP dan KPP tidak

mempengaruhi fungsi ginjal dalam menyaring dan membersihkan darah dari

zat-zat sisa metabolisme kemudian mereabsorpsinya kembali serta menjaga

keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa.

Gambar 11. Struktur mikroskopis organ ginjal tikus betina perbesaran 400x pewarnaan haematoxyllin dan eosin. Keterangan: normal

6) Lambung

Organ lambung merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam

sistem pencernaan. Hasil pemeriksaan histologi preparat 24 jam pada organ

lambung kelompok kontrol dan semua kelompok perlakuan jamu KP dan KPP

menunjukan sel-sel lambung dalam keadaan normal. Pada pengamatan terhadap

preparat organ lambung hari ke-14 kelompok VII (jamu KPP dosis 198

mg/kgBB), dan kelompok VIII (jamu KPP dosis 792 mg/kgBB) 1 dari 3 organ

lambung tikus yang diamati secara mikroskopik mengalami radang, demikian pula

pada kelompok IX (jamu KPP dosis 3168 mg/kgBB) 1 dari 3 organ lambung tikus

Gambar

Tabel I. Klasifikasi zat kimia yang sesuai dengan toksisitas relatif (Loomis, 1978)
Tabel II. Purata berat badan tikus betina hari ke-2 sampai ke14 setelah pemejanan suspensi jamu KP dan KPP dosis tunggal p.o
Gambar 1. grafik perubahan berat badan tikus betina setelah pemejanan jamu KP selama  14 hari
Tabel III. Hasil pengujian statistik Post Hoc dengan metode Scheffe untuk melihat pengaruh perubahan berat badan setelah pemejanan jamu KP dan KPP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2013, persentase cakupan pelayanan kesehatan dasar/rujukan masyarakat miskin telah mencapai 100% dari target yang telah ditetapkan sebesar 100%, dimana seluruh warga

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Persetujuan pemberian kredit harus didasarkan atas penilaian menyeluruh terhadap semua fasilitas kredit yang telah diberikan atau akan diberikan secara bersamaan

ARS 1333 Teori dan Metode Perancangan 2 ARS 1432 Rekayasa Tapak dan Lingkungan ARS 1532 Studi Kelayakan Proyek dan RAB ARS 1632 Sejarah dan Teori Arsitektur Dunia ARS 0626 STARS

Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut Pengadilan Agama telah mendengar keterangan calon suami Pemohon bernama CALON SUAMI PEMOHON yang menyatakan benar

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat diambil simpulan bahwa: Berdasarkan tanggapan dan masukan pada uji coba lapangan terhadap 66 Mahasiswa dalam

Syaikh Muhammad Ath- Thahir bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung- patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena

Hasil uji lanjut statistik dengan t-test yang dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai t-hitung (68,537) lebih besar dari nilai t-tabel (1,990) yang berarti