BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mendengar banyaknya kasus kekerasan pada anak maupun remaja
dalam beberapa akhir ini membuat kita tersadar bahwa ternyata tidak hanya
orang dewasa saja yang dapat melakukan kekerasan. Tindakan kekerasan
yang biasanya terjadi adalah kekerasan fisik, psikis, verbal kekerasan tersebut
adalah bentuk tindakan bullying. Data pada komisi perlindungan anak indonesia (KPAI) bahwa terdapat 26 ribu pengaduan terkait dengan bullying
dari tahun 2011-2017.
Menurut Liu & Graves (dalam Saifullah, 2016) bullying terjadi pada semua tingkat usia, tetapi mulai meningkat pada akhir sekolah dasar, puncak
di sekolah menengah, dan umumnya menurun di sekolah tinggi. Bullying
mempengaruhi baik anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih sering
terlibat dalam agresi fisik. Perilaku bullying ini tidak hanya di indonesia saja menurut Camey & Marrel dalam (Kusanti, 2015) Bullying menjadi permasalahan yang sudah mendunia. Dari survei yang dilakukan di 35
negara oleh World Health Organisation (dalam Sandri, 2015) tentang perilaku sehat di sekolah pada tahun 2001 ditemukan fakta bahwa pelaku
bullying mencapai 11 %.
tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang
bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan
menimbulkan teror. Termasuk juga tindakan yang direncakan maupun yang
spontan, bersifat nyata atau hampir tidak kentara, di hadapan seseorang atau
di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik
persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif berulang yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bermaksud untuk
menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan orang lain.
Menurut Bernard & Milne (dalam Kustanti, 2015) bullying terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam
keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psikologis,
mengancam properti, reputasi, atau penerimaan sosial seseorang serta
dilakukan secara berulang dan terus menerus. Bullying didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan atau status oleh seseorang untuk melukai, mengancam,
atau mempermalukan orang lain.
Menurut Olweus and Solberg Works (dalam Bees, 2016) Bullying dapat bersifat fisik, verbal atau sosial. Tidak dikatakan bullying apabila dua siswa atau siswi berbeda atau bertengkar dengan kekuatan yang sama. tiga elemen
utama dari definisi bullying adalah niat untuk menyakiti korban, sifatnya berulang dan ketidakseimbangan kekuasaan antara korban dan pelaku. Selain
waktu dalam hubungan yang ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan
dan kekuasaan.
Menurut Thornburg ( dalam Suhartanti 2016) remaja adalah individu
yang berada pada masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa
dewasa yang ditandai dengan perubahan pesat baik secara biologis, kognitif,
serta sosial-emosional. membagi masa remaja menjadi 3 bagian, yaitu
“Remaja awal (usia 13-14 tahun) umumnya individu telah memasuki
pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), Remaja
tengah (usia 15-17 tahun) adalah individu yang sudah duduk di sekolah
mengengah umum (SMU), remaja akhir (usia 18-21 tahun) adalah individu
yang sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMU dan mungkin
sudah bekerja”. Menurut Olweus (dalam Karina 2013), remaja sebagai
pelaku bullying memiliki beberapa karakteristik diantaranya ; a) sikap positif terhadap kekerasan, b) impulsif, c) ingin mendominasi orang lain, d) kurang
memiliki empati.
Fenomena yang terjadi yaitu pelaku bullying adalah remaja yang
menginjak umur 13-21 tahun, hal ini mengacu pada pernyataan (Rigby, 2010)
perilaku agresif adalah ciri khas dari remaja, dan menurut Moffit (dalam
Sandri, 2015) menyatakan bahwa perilaku agresi, anti sosial, kejahatan dan
kekerasan yang serius meningkat pada usia remaja.
Peneliti memilih tempat penelitian di Pondok Pesantren Zam-Zam, hal
ini berdasarkan fenomena yang menarik, karena sebagai sekolah dan pondok
baik berupa fisik maupun non fisik, karena bullying dapat terjadi di pondok pesantren.
Hal ini didukung oleh penelitian ( Arofa, 2018) bahwa bullying tidak
hanya terjadi di lingkungan sekolah formal saja melainkan dapat terjadi pada
asrama atau pondok pesantren, diperkuat dengan kasus bullying ini terjadi
pada salah satu pondok pesantren di Jombang pada tahun 2016, seorang santri
berumur 15 tahun meninggal dunia diduga akibat di keroyok oleh teman satu
pesantren, dan di temukan luka lebam di seluruh tubuh korban.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh informasi mengenai
banyaknya permasalahan di dalam pondok pesantren zam – zam, seperti :
pengaturan santriwati baru atau yang masuk kelas takhasus (kelas penyamaan persepsi yang baru masuk ke pondok pesantren zam-zam), kurangnya guru BK untuk menangani sanriwati, santriwati yang memiliki masalah antar
santriwati ( seringnya aduan dari santriwati yang sedang terlibat masalah atau
kasus dengan senior/ kaka kelas yang berada di pondok, banyaknya kasus
seputar masalah kaka tingkat yang menyindir adik tingkat di dalam pondok)
Dari beberapa permasalahan yang muncul pada saat studi pendahuluan,
peneliti menentukan permasalah dalam pondok pesantren yaitu tentang
banyaknya kasus seputar masalah kaka kelas yang menyindir adik tingkat di
dalam pondok pesantren, hal ini didukung oleh penelitian dari (Ulfa, 2017),
senoritas yang dilakukan oleh siswa atau sekelompok siswa yang telah lebih
dulu ada di sekolah tersebut.
Menurut Olweus (dalam Karina 2013) karakterisik remaja yang
memiliki kecenderungan positif terhadap bullying diantaranya adalah ; a) Memiliki sikap positif terhadap kekerasan, b) Impulsif, c) Ingin mendominasi
orang lain, d) Kurang memiliki rasa empati. Kurangnya memiliki rasa empati
pada remaja yang memiliki kecenderungan sikap positif terhadap bullying
ternyata dapat di minimalisir dengan permaian tradisional.
Menurut Kurniati dalam (Nur, 2013) menunjukan bahwa permainan
anak tradisional dapat menstimulasikan anak dalam mengembangkan
kerjasama, membantu anak menyesuaikan diri, saling berinteraksi secara
positif, mengembangkan sikap empati terhadap teman, dan membantu
mengembangkan ketrampilan emosi dan sosial anak. Berdasarkan hasil
penelitian terdahulu mengenai permainan tradisional dijadikan sebagai
pendukung untuk menggunakan permainan tradisional untuk menurunkan
bullying
Indonesia memiliki berbagai macam permainan tradisional dari data
yang diperoleh terkait dengan permainan tradisional, indonesia memilliki 43
permainan. (dalam Iswinati 2008). Penelitian ini mengggunakan permainan
tradisional bentengan sebagai media untuk mennurunkan bullying. Pemainan bentengan memiliki aspek kompetensi sosial diantaranya ; a) problem
solving, b) pengendalian diri, c) empati, d) kerjasama. (dalam iswinarti 2017).
Bullying merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan ilmu psikologi. Untuk itulah peneliti tertarik untuk
meneliti apakah permainan tradisional “Bentengan” efektif dalam
menurunkan sikap Bullying pada remaja di Pondok Pesantren Zam- Zam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan, apakah permainan tradisional
“Bentengan” efektif dalam menurunkan sikap Bullying pada remaja di
Pondok Pesantren Zam- Zam?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah permainan tradisional “Bentengan” efektif dalam
menurunkan sikap Bullying pada remaja di Pondok Pesantren Zam- Zam.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan secara umum dapat menambah
wawasan pengetahuan bagi perkembangan psikologi khususnya dalam
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi, masukan dan menurunkan intensitas bullying bagi subjek. b. Bagi Keluarga
Keluarga diharapkan dapat memberikan arahan kepada subjek
agar dapat mengerti bahwa tindakan yang dilakukan merupakan
tindakan yang menyimpang, dan senantiasa memberikan