• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.1.1 Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana

Dengan adanya kesepakatan internasional untuk mengurangi risiko bencana (disaster risk reduction), maka sejak beberapa dekade terakhir diperkenalkanlah konsep manjemen risiko bencana (disaster risk management). Berbagai lembaga internasional yang bergerak di bidang kebencanaan mulai menerbitkan guideline tentang manajemen risiko bencana. Salah satu guideline yang terkenal dan sering dijadikan rujukan adalah guideline yang diterbitkan oleh United Nation-International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) pada tahun 2004 yang berjudul Living With Disaster.

Di Indonesia sendiri, manajemen risiko bencana (disaster risk management) secara legal dikenal dengan istilah penanggulangan bencana yang telah dijadikan arusutama pasca penerbitan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Perpres No. 8 Tahun 2008 ditetapkan bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan di dalam proses penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh sebuah badan yang diberi nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada level nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada level daerah. Pembahasan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia akan disampaikan pada Bab II di dalam tesis ini.

1.1.2 Keterkaitan Perencanaan Penanggulangan Bencana, Perencanaan Pembangunan, dan Perencanaan Spasial

Salah satu tahapan terpenting di dalam proses penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah tahapan perencanaan penanggulangan bencana. Selain secara legal-formal perencanaan penanggulangan bencana memiliki keterkaitan dengan perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial, dalam

(2)

2 perspektif ontologi dan aksiologinya ketiga perencanaan juga memiliki kesamaan. Dalam perspektif ontologi, perencanaan penanggulangan bencana memiliki kesamaan dengan perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial, yaitu memiliki hakikat untuk:

1. To plan means to choose (merencana untuk memilih). 2. Planning for the future (merencana untuk masa datang).

3. Planning as a means of allocating resources (merencana untuk

mengalokasikan sumber daya).

4. Planning as a means of achieving goals (merencana sebagai alat untuk mencapai sasaran).

Keempat hakikat tersebut dalam ketiga jenis perencanaan pun sama-sama memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan setting lingkungannya.

Dalam persepektif aksiologinya, perencanaan penanggulangan bencana juga memiliki persamaan dengan perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial. Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana perencanaan pembangunan digunakan untuk merencanakan pembangunan pada berbagai dimensi terkait kehidupan manusia, seperti pembangunan dimensi fisik, sosial, ekonomi, dan politik. Contoh nyata dalam hal pembangunan dimensi fisik adalah perencanaan penanggulangan bencana juga memiliki fungsi untuk merencanakan pembangunan berbagai infrastruktur lingkungan yang dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Adapun dengan perencanaan spasial, persamaan perencanaan penanggulangan bencana memiliki persamaan karena risiko bencana juga bisa dipandang sebagai sebuah fenomena keruangan. Dengan alasan demikian, maka salah satu fungsi dari perencanaan kebencanaan adalah mengalokasikan ruang berdasarkan tingkatan risiko bencana yang melekat pada sebuah entitas keruangan.

1.1.3 Perdebatan Pendekatan dalam Dunia Perencanaan

Dalam ranah teori perencanaan, telah banyak perdebatan tentang penggunaan pendekatan yang tepat di dalam perencanaan pembangunan dan

(3)

3 perencanaan spasial. Berbagai pendekatan telah dikenalkan oleh banyak ahli yang dikelompokkan dengan banyak cara pula. Contohnya adalah Faludi (1973) yang mengelompokkan berbagai pendekatan dalam perencanaan menjadi tiga bagian, yaitu theory in planning, theory of planning, dan theory for planning. Beberapa pendekatan perencanaan tersebut lahir sebagai kritik terhadap pendekatan perencanaan lainnya yang dinilai memiliki banyak kelemahan di dalam perencanaan.

Dari sudut pandang paradigma yang digunakan, Allmendinger (2002) juga mencoba melihat berbagai pendekatan yang ada menjadi dua bagian, yaitu perencanaan yang menggunakan paradigma postivistik dan paradigma pos-positivistik. Paradigma pos-positivistik adalah paradigma baru yang muncul sebagai respon terhadap berbagai kekurangan dan kritik terhadap paradigma positivistik dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial. Selama beberapa dekade, tradisi dalam dunia perencanaan didominasi oleh paradigma positivistik ini. Adapun dari sudut pandang filosofi yang mendasari sebuah pendekatan perecanaan, Alexander (2000) membaginya menjadi berbagai tipe sesuai jenis rasionalitas yang dianut.

Dari sudut pandang aktor yang memutuskan tujuan perencananaan dan menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai pendekatan dalam perencanaan bisa digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu perencanaan teknokratik, perencanaan demokratik (community based), dan perencanaan kolaboratif. Selama beberapa dekade, tradisi di dalam dunia perencanaan didominasi oleh perencanaan teknokratik dalam berbagai bentuknya, seperti master planning, rational comprehensive planning, dan synoptic planning. Ciri utama dari perencanaan teknokratik adalah mengandalkan kepakaran di dalam perencanaan sehingga keterlibatan dan pendapat masyarakat di dalam proses perumusan rencana (tujuan perencanaan dan cara mecapai tujuan) dirasa kurang penting (Faisntein dan Fainstein, 2000). Karena adanya ciri tersebut tak jarang produk dari perencanaan teknokratik tidak menyentuh akar permasalahan sesungguhnya dari sebuah kota yang sering bersumber dari permasalahan sosio-kultural. Berdasarkan kritik

(4)

4 tersebut maka mulailah muncul pendekatan demokratik (Faisntein dan Fainstein, 2000) atau yang biasa disebut dengan pendekatan community based. Diantara bentuk perencanaan Community based adalah apa yang diperkenalkan oleh Davidoff (1965) sebagai Advocacy Planning. Perencanaan advokasi muncul sebagai respon terhadap pendekatan Rational-Comprehensive Planning yang digunakan secara resmi ketika itu. Davidoff (1965) menganggap bahwa perencanaan komprehensif waktu itu tidak menyentuh akar permasalahan sesungguhnya karena hanya berfokus pada perencanaan fisik. Menurut Davidoff (1965) akar permasalahan sesungguhnya adalah berbagai permasalahan sosial semisal ketidakadilan status sosial yang tidak tersentuh oleh Rational-Comprehensive Planning. Oleh karena itulah, Davidoff (1965) mendorong para perencana untuk mengadvokasi masyarakat untuk menyusun rencana sendiri yang murni berdasarkan pengetahuan dan subjektifitas masyarakat. Produk rencana yang disusun secara mandiri oleh masyarakat tersebut kemudian diadu dengan produk yang telah disusun oleh para teknokrat. Dengan kata lain, perencanaan advokasi menolak penggunaan rencana tunggal di dalam pembangunan.

Belakangan perencanaan Community based pun mendapatkan kritikan dari para teknokrat terkait validasi produk rencana yang dihasilkan yang hanya bergantung pada subjektifitas masyarakat. Kemudian dengan adanya kritik tersebut, mulai muncul pendekatan lainnya yang berupaya memadukan objektifitas para teknokrat dengan subjektifitas yang ada pada masyarakat. Pendekatan tersebut muncul dengan istilah perencanaan kolaboratif. Di lapangan perencanaan kolaboratif diterapkan dalam berbagai macam bentuk, seperti perencanaan partisipatif yang dikenalkan oleh Arnstein (1969), perencanaan konsensus yang dikenalkan oleh Woltjer (2000), dan perencanaan komunikatif yang dikenalkan oleh Habermas.

Di Indonesia sendiri, dalam tradisi perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial juga sempat didominasi oleh perencanaan teknokratik. Namun, dalam beberapa dekade terakhir juga telah mulai muncul pendekatan Community based dan kolaboratif. Pendekatan Community based muncul sebagai

(5)

5 hasil inisiasi berbagai LSM yang ada terhadap kekosongan perhatian pemerintah terkhusus dalam hal perencanaan pembangunan. Sedangkan perencanaan kolaborasi bahkan telah muncul dalam proses perencanaan formal seperti dalam musrenbang.

Perencanaan penanggulangan bencana, terkhusus tahapan pengkajian risiko bencana, yang relatif masih muda di Indonesia jika dibandingkan dengan perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial, terlihat masih menggunakan pendekatan teknokratik dalam prosesnya. Pendekatan teknokratik yang digunakan tersebut terlihat secara eksplisit dan inplisit dari berbagai panduan dan peraturan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah melalui BNPB. Ciri dari pendekatan teknokratik dalam Model Eksisting pengkajian risiko bencana akan disampaikan pada Bab IV di dalam tesis ini.

Penelitian ini berupaya menerapkan pendekatan kolaboratif di dalam Model Eksisting perencanaan penanggulangan bencana di Indonesia. Upaya penerapan model tersebut akan dibatasi pada tahapan terpenting dari perencanaan penaggulangan bencana, yaitu tahapan pengkajian risiko bencana. Pengkajian risiko becana adalah tahapan terpenting yang menentukan keberhasilan penanggulangan bencana. Berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BNPB No. 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, hasil dari pengkajian risiko bencana akan menjadi pertimbangan dalam kebijakan dan rencana penanggulangan risiko bencana. Pada tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana yang merupakan dasar bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana dan merupakan mekanisme untuk mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan.

Dengan adanya Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 pula, seluruh kabupaten yang ada di Indonesia mulai diwajibkan untuk melakukan pengkajian risiko bencana. Dengan demikian, penelitian ini menjadi penting dalam rangka penyiapan model yang lebih tepat dan akurat di dalam pengkajian risiko.

(6)

6 1.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah bagaimana bentuk model pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan perencanaan kolaboratif ?. Yang dimaksud dengan bentuk model mencakup tahapan, substansi, metode, dan aktor. Dengan demikian terdapat empat pertanyaan turunan dari pertanyaan utama di atas, yaitu:

1. Apa saja tahapan-tahapan yang harus dilalui pada model pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan perencanaan kolaboratif?

2. Apa saja substansi yang harus dibahas pada tahapan-tahapan tersebut? 3. Apa metode yang digunakan untuk membahas masing-masing substansi

pada tahapan-tahapan tersebut?

4. Siapa aktor yang perlu dilibatkan dalam setiap tahapannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu kepada pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tujuan utama dan tujuan turunan. Tujuan utama adalah merumuskan model pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan perencanaan kolaboratif yang bertitik tolak dari Model Eksisting yang telah dirumuskan oleh BNPB. Adapun tujuan sekunder adalah tujuan yang akan dicapai agar tujuan utama bisa tercapai pula, yaitu:

1. Merumuskan tahapan-tahapan yang harus dilakukan pada model

pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan perencanaan kolaboratif.

2. Merumuskan substansi yang harus dibahas pada tahapan-tahapan tersebut.

3. Menentukan metode yang digunakan untuk membahas masing-masing

substansi pada tahapan-tahapan tersebut.

(7)

7 1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritik penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan tentang penanggulangan bencana di zaman di mana risiko bencana terus meningkat sehingga sangat diperlukan model pengkajian risiko yang tepat. Adapun secara praktik, penelitian ini secara nyata akan memberikan masukan bagi BNPB dalam melakukan penganggulangan risiko bencana, terkhusus dalam proses pengkajian risiko bencana.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian dilakukan terbatas pada satu dari banyak tahapan dalam penanggulangan bencana, yaitu proses pengkajian bencana. Dibutuhkan penelitian lainnya untuk menemukan model penerapan pendekatan perencanaan kolaboratif dalam tahapan lainnya di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Selain itu, pemodelan dibatasi pada empat unit analisis yaitu: tahapan, substansi, metode, dan aktor dalam model. Penjelasan lebih lanjut mengenai keempat unit analisis tersebut akan disampaikan pada Bab III di dalam tesis ini.

1.6 Keaslian Penelitian

Belum ditemukan penelitian serupa yang memodelkan penggunaan pendekatan perencanaan kolaboratif di dalam pengkajian risiko secara khusus dan di dalam penanggulangan bencana secara umum. Terdapat sebuah penelitian di Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada, tentang pemodelan dalam bidang kebencanaan yaitu permusuan model ketahanan daerah terhadap bencana alam yang dilakukan oleh Darminto (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Empiris dalam Perumusan Model Ketahanan Daerah Terhadap Bencana Alam”.

Adapun penelitian tentang pemodelan pengkajian risiko pada bidang non-kebencanaan telah banyak dilakukan, di antaranya:

1. Penelitian yang berjudul “Pemodelan penilaian risiko (risk assessment) dalam perencanaan audit umum pada divisi audit intern Studi Kasus pada

(8)

8 PT Bank ABC Kantor Cabang Jakarta” yang dilakukan oleh Setyobudi

(2006) di Program Studi Magister Sains Akuntansi, Universitas

Diponegoro.

2. Disertasi yang berjudul “A Risk Management Model For The Tourism Industry In South Africa” yang ditulis oleh Shaw (2010) pada Program Doktoral Manajemen Parisiwisata, North-West University, Afrika Selatan.

1.7 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan akan menyesuaikan dengan sistematika penelitian yang akan dilakukan. Secara garis besar, pembahasan akan dibagi menjadi tujuh bab, dengan perincian masing-masing bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab I akan menjelaskan latar belakang, pertanyaan, tujuan, manfaat, batasan, keaslian, dan sistematika pembahasan penulisan. Tujuan utama ditulisnya Bab I adalah untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini diadakan dan menjelaskan posisi serta arah penelitian.

BAB II KAJIAN LITERATUR DAN KAJIAN BEST PRACTICE

Tujuan ditulisnya bab ini adalah untuk memberikan background knowledge, yang dituangkan dalam bentuk asumsi pemodelan, dalam melakukan pemodelan. Secara substansi sub-bab pertama dari bab ini akan membahas mengenai konsep risiko bencana, konsep manajemen risiko bencana, manajemen risiko bencana di Indonesia, dan pendekatan dalam dunia perencanaan. Adapun pada sub-bab kedua akan membahas tentang contoh best practice perencanaan kolaboratif dari dua tempat yang berbeda. Pada akhir sub-bab ini akan disimpulkan lesson learnt dari contoh best practice.

(9)

9 BAB III METODE PENELITIAN

Bab III akan menjelaskan metode yang akan digunakan dan tahapan-tahapan yang akan dilakukan di dalam proses penelitian. Selain itu bab ini juga akan menjelaskan pembatasan unit amatan dan unit analisis serta metode pengujian model yang akan diusulkan.

BAB IV MODEL EKSISTING PENGKAJIAN RISIKO BENCANA DAN KRITIKNYA

Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang penelitian, pemodelan yang akan dilakukan berangkat dari Model Eksisting pengkajian risiko bencana di Indonesia yang ditetapkan oleh BNPB. Bab IV ditulis bertujuan untuk mendeskripsikan Model Eksisting tersebut. Setelah dideskripsikan, di dalam bab ini juga akan dituliskan hasil penilaian yang menunjukkan digunakannya pendekatan teknokratik pada Model Eksisting tersebut. Terakhir, pada bab ini akan disampaikan pula mengenai berbagai kritik terhadap Model Eksisting dari kacamata pendekatan perencanaan kolaboratif serta potensi kelemahan Model Eksisting ketika diterapkan di lapangan.

BAB V ASUMSI PEMODELAN DAN MODEL USULAN

Bab ini akan berisi tentang analisis perumusan Model Usulan yang bertitik tolak dari Model Eksisting. Model Eksisting tersebut kemudian dimodifikasi dengan menggunakan asumsi pemodelan. Asumsi pemodelan akan dirumuskan di dalam bab ini yang merupakan kesimpulan dari kajian teoritik dan pelajaran yang didapat dari kajian best practice. Pada bagian akhir dari bab ini akan disampaikan model awal yang diusulkan oleh peneliti, yang mencakup tahapan, metode, substansi, dan aktor yang terlibat dalam model.

(10)

10 Model yang diusulkan oleh peneliti akan diuji melalui metode focus group discussion (FGD). FGD dilaksanakan dua kali dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait yang memiliki pengalaman dengan pengkajian risiko bencana. Bab ini akan menuliskan proses dan hasil dari pengujian model tersebut, sehingga pada akhir bab ini akan dituliskan model final yang diusulkan oleh peneliti (Model Terpilih).

BAB VII KESIMPULAN DAN PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari seluruh tahapan penelitian, penjelasan mengenati peluang praktik dari model terpilih, penjelasan hambatan penelitian, dan juga saran yang diberikan peneliti terkait model yang diusulkan. Saran di sini mencakup saran penerapan model yang mencakup prasyarat apabila Model Terpilih akan diterapkan, serta mencakup pula saran untuk penelitian lanjutan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi unit pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Desainer Busana dirumuskan dalam bentuk kalimat deskriptif yang menjelaskan secara singkat

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Secara garis besar komponen-komponen pembelajaran memiliki banyak komponen, diantaranya ada tujuan pembelajaran sebagai titik tolak untuk mencapai suatu pembelajaran, guru