• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Respon bencana secara umum di bagi menjadi tiga periode yaitu kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rekonstruksi serta rehabilitasi. Masing-masing periode bencana memerlukan dukungan obat bergantung tipe atau jenis bencana, lokasi bencana serta perkembangan penyakit pada masing-masing periode.

Bencana alam Merapi terjadi pada akhir 2010 pada tanggal 26 Oktober dan 5 November 2010, disebut bencana alam Merapi terbesar selama 100 tahun terakhir. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tertanggal 9 Desember 2010, terdapat 386 orang meninggal, 115 orang melakukan perawatan rawat inap, dengan total pengungsi 17.090 orang. Jumlah pengungsi bersifat fluktuatif, maksimal pengungsi yang pernah dicapai sebanyak 399.403 orang yang tersebar ke dalam shelter-shelter pengungsian. Untuk Kabupaten Sleman sendiri selain terdapat empat shelter pengungsian terbesar yaitu posko pengungsian Maguwoharjo, Youth Centre, Purna Budaya dan GOR UNY, terdapat pula posko-posko kecil yang tidak luput dari koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Sementara 10 sebaran penyakit terbanyak yaitu ISPA, hipertensi primer, iritasi mata, cepalgia, myalgia, common cold, gastritis, dispepsi, dermatitis, dan faringitis akut (Mafilinda, 2010).

Dikemukakan (Danu, 2006) pada saat bencana kondisi infrastruktur rusak, sumber daya manusia lokal sangat kurang, bantuan melimpah ruah tetapi tidak terkoordinasi, tidak terinventarisasi dengan baik, sistem informasi tidak tertata, masing-masing membuat jaringan sendiri, sistem distribusi transportasi logistik tidak berjalan, pencatatan pelaporan tidak terkoordinasi, dan sisa obat donasi melimpah. Oleh karena itu, pada penanganan bencana perlu diperhatikan hal-hal berikut; pertama, dibutuhkan koordinasi yang baik, pada periode kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rekonstruksi serta rehabilitasi, kedua, diperlukan kecepatan dan mutu pelayanan yang optimal di segala bidang

(2)

meliputi kemampuan kepemimpinan dalam menangani persiapan pada masing-masing periode bencana, ketiga, keterampilan informatika dan komunikasi termasuk mengelola non govermental organization (NGO), dalam negeri dan internasional, keempat, dikembangkan sistem surveilains pasca bencana, sistem logistik bencana, sistem telekomunikasi dan informatika, sistem pendanaan dan pembiayaan, sampai komunikasi stakeholder termasuk logistik medik yang berupa obat dan perbekalan kesehatan (Trisnantoro, 2006).

Masalah yang sering dihadapi pada saat bencana dalam hal praktek donasi obat antara lain jumlah obat yang dikirim tidak sesuai dengan jenis bencana yang terjadi, jumlah obat yang dikirim melebihi keperluan pada saat bencana, obat yang dikirim tidak mempunyai dosis yang lazim digunakan oleh pihak penerima, sumber daya manusia untuk melakukan verifikasi terhadap obat sumbangan, dan koordinasi lintas sektor yang belum terjalin dengan baik. Hal-hal tersebut akan menyebabkan beberapa akibat antara lain penumpukan atau over stok obat, masalah dalam penyimpanan, masalah dalam pengamanan, dan masalah dalam penggunaan.

Dalam penelitian mengenai evaluasi praktek donasi obat pada gempa Yogyakarta dan sekitarnya, Wardani (2007) menunjukkan bahwa dalam praktek donasi obat pada masa emergensi, pihak donatur tidak dapat memenuhi peryaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Obat Dalam Situasi Bencana Depkes RI tahun 2003 dan Pedoman Donasi Obat WHO tentang permintaan kebutuhan obat, standar kualitas, pengemasan, nilai obat dan persyaratan biaya. Sementara menurut Maryetti (2005) pada penelitian mengenai evaluasi praktek donasi obat pasca tragedi bom bali menyatakan praktek donasi obat yang dilakukan oleh organisasi donasi obat bom bali belum melakukan semua fungsi yang harus dilakukan sesuai dengan Pedoman Donasi Obat WHO dan Pedoman Pengelolaan Obat Dalam Situasi Bencana Depkes RI tahun 2003 yaitu pada pihak donatur, terdapat 82,5% tidak melakukan komunikasi efektif sebelum pegiriman bantuan, 99% tidak mematuhi prosedur administrasi pengiriman bantuan, 100% tidak membayar biaya distribusi, dan 100% tidak membayar biaya penyimpanan. Sedangkan pada aitem obat

(3)

disebutkan 22,65% obat telah kadaluwarsa saat tiba di Bali, 8,2% obat masa kadaluwarsa kurang dari 1 tahun saat tiba di Bali, 80,32% obat tidak terdapat dalam Daftar Obat Esensial Nasional, 39,54% obat hanya ditandai dengan nama dagang tanpa nama generik, dan 1,5% obat ditandai dengan bahasa yang sulit dimengerti oleh tenaga kesehatan di Bali.

Di Aceh, evaluasi praktek obat donasi oleh pharmaciens Sans

Frontierses Comitee International PSF-CL, (2005a, 2005b, 2006), Directorate

General for Huminitarian Aid of Europen Commission-ECHO, WHO

bekerjasama dengan pemerintah Indonesia di tingkat pusat dan provinsi melakukan survey di rumah sakit, gudang farmasi dan puskesmas, diperoleh obat donasi sebesar 4.000 ton, berasal dari 53 donasi dalam negeri, 48 dari organisasi internasional dan 39 dari pemerintah negara asing. Sejumlah 60% obat yang didonasikan tidak tercantum dalam Daftar Obat Esensial Indonesia, 70% menggunakan bahasa asing terdiri dari bahasa Arab, Cina, Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Hindi, Jepang, Korea, Portugis, Rusia, Thai dan Turki, Pharmaciens Sans Frontieres (PSF), (2006). Sebesar 600 ton atau 17% obat donasi telah dimusnahkan, (Drug donations cause health and

economic problem, 2006).

Hasil studi Autier. et al., (2002) yang berjudul Drug Donations In

Post–Emegency Situations mencatat hal yang sama mengenai praktek donasi

obat yang tidak sesuai. Di Mozambique setelah 3 kali bencana banjir tahun 2000 dan 1 kali banjir pada tahun 2001, pada masa emergensi 12 bulan menerima donasi dengan estimasi 514 ton obat dengan populasi korban bencana 500.000 orang, berarti estimasi setiap orang korban bencana mendapatkan 1,03 kilogram obat. Jumlah estimasi obat yang tidak sesuai dan tidak dapat digunakan sebesar 128 ton. Di El Salvador terjadi bencana gempa bumi pada 13 Januari dan tanggal 13 Februari 2001, populasi 1.600.000 orang masa emergensi 3 bulan menerima estimasi jumlah 882 ton obat, perorang mendapat 0,55 kilogram obat. Jumlah obat yang tidak sesuai sebesar 326 ton obat. Di Timor Timur pasca konflik dimulai 1999 sampai dengan bulan April 2001 dengan populasi 850.000 orang korban, masa emergensi 18 bulan menerima 545 tons obat dengan

(4)

estimasi perorang korban bencana mendapat 0.64 kilogram obat. Obat yang tidak memenuhi syarat sebesar 27 ton. Disebutkan juga di Gujarat, India pada pasca bencana gempa pada Januari 2001 dengan penduduk korban bencana 1.500.000 orang mendapat obat donasi dengan estimasi 1.308 ton obat dihitung dengan korban perorang korban bencana tersebut mendapat 0,87 kilogram obat. Obat yang tidak sesuai dan tidak bisa digunakan sebesar 65 ton.

Pada tahun 1999 WHO telah mempublikasikan pedoman donasi obat yang berisi 4 prinsip dan 12 aitem teknis praktek donasi obat, yang tujuannya meningkatkan kualitas obat donasi dan bukan aturan baku internasional, namun dapat sebagai pedoman atau petunjuk dasar di tingkat nasional maupun internasional. Pedoman tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan, diadopsi dan diimplementasikan oleh pemerintah atau organisasi yang terkait. Indonesia sendiri telah membuat pedoman terkait donasi obat tahun 2003 yang mengadopsi pedoman WHO ini. Pedoman sumbangan obat tersebut berjudul

Guidelines for Drug Donation” yang mengandung empat prinsip yaitu :

1. Memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi penerima, berdasarkan kebutuhan.

2. Mengacu kepada keperluan dan sesuai dengan otoritas penerima, mendukung kebijakan pemerintah bidang kesehatan dan sesuai dengan administrasi yang berlaku.

3. Tidak boleh terjadi standar ganda penetapan kualitas. Kualitas salah satu aitem tidak diterima di negara donatur juga diperlakukan sama di negara penerima. 4. Komunikasi yang efektif antara negara donatur dan negara penerima,

sumbangan harus didasarkan permohonan dan sebaliknya tidak dikirimkan tanpa adanya pemberitahuan.

Pada bencana alam merapi di Kabupaten Sleman yang merupakan daerah dengan jumlah pengungsi terbanyak pada bencana alam Merapi. Berdasarkan informasi awal yang diperoleh peneliti, masalah yang di temukan terkait praktek donasi obat antara lain; obat donasi yang tidak tepakai, masa kadaluwarsa obat hampir habis, dan banyaknya penyakit ditempat pengungsian namun tanpa ada obat yang sesuai.

(5)

Oleh karena itu, penelitian untuk melihat bagaimana praktek donasi obat pada bencana alam Merapi di Kabupaten Sleman dirasa perlu untuk menggambarkan keadaan yang terjadi di saat bencana alam Merapi tersebut.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah praktek donasi obat untuk penanggulangan bencana alam Merapi di Kabupaten Sleman ? Apakah sudah sesuai dengan pedoman WHO tahun 1999 dan pedoman pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di saat bencana yang dikeluarkan oleh Direktoral Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI tahun 2003 ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujaun Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengevaluasi praktek donasi obat pada bencana alam Merapi di Kabupaten Sleman

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengevaluasi kesesuaian praktek donasi obat dengan pedoman donasi obat. b. Mengetahui pemanfaatan obat donasi pada bencana alam Merapi di

Kabupaten Sleman.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu tentang praktek donasi obat dan pedoman pelaksanaanya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan dalam praktek donasi obat pada saat bencana alam Merapi dan meminimalkan dampak negatif dari praktek donasi obat bencana.

3. Manfaat bagi Penyelenggara Pelayanan Kesehatan

Memberikan masukan tentang praktek donasi obat pada bencana alam Merapi. E. Keaslian Penelitian

(6)

Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi pengelolaan obat pada saat bencana telah dilakukan beberapa peneliti misalnya oleh Maryetty (2005) dalam tesis tersebut berjudul Evaluasi praktek donasi obat pasca Tragedi Bom Bali, yang terjadi pada 12 Oktober 2002, merupakan studi kasus di Rumah Sakit Sanglah Bali yang dijadikan sebagai rumah sakit koordinator perawatan korban bom Bali. Penelitian tersebut menitikberatkan pada evaluasi organisasi donasi, kesesuaian jumlah obat terhadap beban penyakit dan dampak yang ditimbulkan donasi terhadap pengelolaan obat. Hasil penelitian ditemukan bahwa organisasi donasi bom Bali belum melakukan semua fungsi sesuai dengan Pedoman Donasi Obat WHO dan Pedoman Pengelolaan Obat Dalam Situasi Bencana Depkes RI. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada jenis bencana yaitu bencana merapi dengan jenis penyakit, jumlah korban, luas bencana dan pola morbiditas dan data epidemiologi. Perbedaan lainnya adalah memfokuskan pengelolaan praktek donasi obat di Dinas Kesehatan Kabupaten dibandingkan dengan pedoman WHO dan Depkes RI 2003 dan pemanfaatan obat donasi pada bencana alam Merapi di Kabupaten Sleman.

Wardani (2007) dengan tesis berjudul evaluasi donasi obat untuk penanganan gempa Yogyakarta dan sekitarnya, 27 Mei 2006. Penelitian tersebut dilakukan di Dinkes Provinsi DIY yang merupakan koordinator bidang pengelolaan obat donasi di tingkat Provinsi dan juga melalui Dinkes Provinsi DIY dapat diketahui kondisi di Kabupaten dan Kota yang merupakan wilayah provinsi DIY. Penelitian tersebut menitikberatkan pada evaluasi praktek donasi obat gempa dan pengelolaan obat donasi pada gempa. Hasil penelitian ditemukan bahwa praktek donasi obat di wilayah Provinsi DIY belum memenuhi syarat pedoman donasi WHO dan Depkes. Juga Dikes Provinsi DIY telah melakukan pengelolaan obat donasi meliputi seleksi, pengadaan, distribusi dan penggunaan yang sesuai dengan kondisi bencana. Sedangkan pada penelitian ini menitikberatkan pada evaluasi praktek donasi obat dibandingkan dengan pedoman WHO tahun 1999 dan Depkes RI tahun 2003 dan pemanfaatan obat donasi pada bencana alam Merapi di Kabupaten Sleman.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam rangka menyelesaikan studi D3 Gizi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya Wahyu Widyawati (J300130034) mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Diwilayah Kecamatan Kauditann dari hasil penelitian yang telah disajikan diatas, terdapat hubungan yang erat pendapatan keluarga dari luar daerah bagi pembagunan

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka kebijakan publik dapat disimpulkan kebijakan publik adalah suatu instrumen yang dibuat oleh pemerintah yang

Teknologi Informasi digunakan manfaatnya dalam bidang usaha yaitu untuk jual beli online. Namun, restoran Laras Hati Magelang belum menggunakan Teknologi Informasi dalam

Sedangkan arah arus di perairan sekitar Pulau Kurudu pada saat pasang menuju surut di dominasi dari Tenggara sejajar dengan pantai menuju ke arah barat Laut, di mana