• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAMPUR KODE GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS 1 SD NEGERI 3 GEROKGAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CAMPUR KODE GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS 1 SD NEGERI 3 GEROKGAK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

CAMPUR KODE GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI KELAS 1 SD NEGERI 3 GEROKGAK

Kd Letiraismayani,

,

I Ngh Suandi,

I Nym Sudiana

Jurusan Penddikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

email: letiraisma@gmail.com, Nengah_suandi@yahoo.com, sudiana195723@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bentuk campur kode pada guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, (2) mendeskripsikan jenis campur kode pada guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, dan (3) mendeskripsikan faktor penyebab campur kode guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah guru kelas 1 di SD Negeri 3 Gerokgak. Metode pengambilan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Metode observasi digunakan untuk mencari data bentuk dan jenis campur kode yang digunakan guru, sedangkan metode wawancara digunakan untuk mencari data faktor penyebab guru melakukan campur kode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk campur kode yang digunakan guru adalah bentuk kata, frasa, dan klausa. Jenis campur kode yang dilakukan guru adalah campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Faktor yang menyebabkan guru menggunakan campur kode adalah (1) faktor keterbatasan pengguna kode, (2) faktor pembicara dan pribadi pembicara, (3) faktor mitra bicara, (4) faktor fungsi dan tujuan, dan (5) faktor penggunaan istilah yang lebih populer.

Kata kunci: campur kode, pembelajaran, bahasa Indonesia

Abstract

This study aims to (1) describe the form of code-mixing the teacher in learning Indonesian in class 1 SD Negeri 3 Gerokgak, (2) describe the type of code-mixing the teacher in learning Indonesian in class 1 SD Negeri 3 Gerokgak, and (3) describe the causes of code-mixing in learning Indonesian teachers in class 1 SD Negeri 3 Gerokgak. This research uses descriptive qualitative research design. Subjects in this study is a first grade teacher at SD Negeri 3 Gerokgak. The data collection method is observation and interviews. Observation methods used to find the data forms and types of code-mixing used by teachers, while interviewing methods used to find the data factors causing the teacher did not mix code. The results showed that the mixed form of code used by teachers is a form of words, phrases, and clauses. Mixed types of code that teachers do is code-mixing and code-mixing into the outside. Factors that cause teachers to use mixed code is (1) the factors of limited user codes, (2) factors speaker and personal speaker, (3) factors conversation partner, (4) the factors of functions and objectives, and (5) use factors more popular term ,

(2)

2

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman, baik itu suku, budaya, agama, dan bahasa. Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Dengan bahasa, segala maksud dan tujuan dapat diungkapkan oleh manusia kepada sesamanya. Di Indonesia, terdapat tiga macam bahasa yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Ketiga bahasa tersebut memiliki kedudukan dan fungsinya masing-masing.

Masyarakat Indonesia yang berbeda suku, budaya, dan agama juga merupakan masyarakat bilingual. Bilingualisme atau kedwibahasaan merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Weinrich (dalam Setiawati, 2015:14) menyebutkan kedwibahasaan sebagai The practice of alternately using two language, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika dilihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai dua bahasa tersebut dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut. Kedwibahasaan tentu saja memengaruhi cara seseorang berbahasa. Pengaruh tersebut nantinya akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa. Salah satu akibatnya adalah terjadinya tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang digunakan dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur. Fenomena yang sering muncul terkait dengan banyak orang melakukan pergantian kode bahasa adalah campur kode dan alih kode.

Bali merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di Bali terdapat bahasa daerah yaitu bahasa Bali. Provinsi Bali memiliki penduduk yang cukup banyak. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2015 kepadatan penduduk Provinsi Bali mencapai 736,7 jiwa. Masyarakat Bali masih menggunakan bahasa ibu untuk berkomunikasi dengan

masyarakat sekitarnya yang juga memiliki bahasa ibu yang sama. Sementara itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang mereka gunakan untuk berkomunikasi.

Desa Gerokgak merupakan salah satu desa di Provinsi Bali, tepatnya di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Penduduk di desa tersebut pada umumnya masih menggunakan bahasa daerah (bahasa Bali) sebagai alat berkomunikasi sehari-hari. Anak-anak di desa tersebut sejak kecil sudah diajari bahasa Bali untuk berkomunikasi dalam pergaulan sehari-hari dan sebagian besar dari mereka baru mengenal bahasa Indonesia ketika mulai duduk di bangku sekolah. Mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bali secara bergantian. Dengan demikian, mereka berada pada situasi kedwibahasaan. Penguasaan terhadap lebih dari satu bahasa akan mengakibatkan kedwibahasaan dalam berkomunikasi. Dalam situasi kedwibahasaan, akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya campur kode. Chaer dan Agustina (2010:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.

Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Aslinda (2010:87) memperjelas bahwa campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.

(3)

3 Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Hal ini disebabkan oleh keterikatan penutur dengan bahasa yang digunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena campur kode memang sudah banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam situasi nonformal, dalam situasi formal pun campur kode sering terjadi, misalnya dalam proses pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses yang terjadi pada peserta didik. Pada proses tersebut terdapat perubahan dan perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Proses belajar di sekolah merupakan interaksi aktif yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa.

Penggunaan bahasa dalam interaksi belajar mengajar, pada dasarnya harus menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dipahami oleh peserta didik. Guru harus mampu memberikan informasi sesuai dengan pola-pola dan kaidah penggunaan bahasa yang mampu ditangkap dan dipahami pendidik dan peserta didik. Salah satu strategi agar informasi dapat ditangkap peserta didik, guru menggunakan lebih dari satu bahasa dalam interaksi pembelajaran. Hal ini didukung oleh pendapat Nababan (dalam Aslinda, 2010: 87) yang menyatakan bahwa kalau terdapat campur kode dalam situasi formal itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.

Mira, dkk. (2013) menyatakan bahwa jika penggunaan bahasa Indonesia dalam proses kegiatan belajar mengajar kurang efisien (contohnya di daerah-daerah tertentu) guru dapat menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar pembelajaran di Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan oleh belum sepenuhnya siswa mengerti bahasa Indonesia. Dengan demikian, tidak jarang ditemukan kasus campur kode guru dalam suatu proses pembelajaran sebagai alternatif untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Sekolah Dasar Negeri 3 Gerokgak adalah sekolah yang terletak di Desa Gerokgak, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Sekolah ini berjarak 43 kilometer dari pusat kota. Dari empat SD yang ada di Gerokgak, SD inilah yang letaknya paling pedalaman. Seperti keadaan sekolah desa pada umumnya, guru dan siswa di sekolah ini menggunakan bahasa ibu (bahasa Bali) sebagai alat berkomunikasi. Bahasa Bali dan bahasa Indonesia digunakan silih berganti tidak hanya pada saat istirahat tetapi juga saat jam pembelajaran berlangsung.

Kelas yang gurunya paling sering menyelipkan bahasa Bali dalam menyampaikan materi adalah guru kelas 1 (Ibu Nurjannah, S.Pd). Beliau mengakui bahwa sangat sulit bila mengajar sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia karena latar belakang siswa yang memang masih dominan menggunakan bahasa Bali dalam berkomunikasi. Sebagian besar anak-anak di sekolah ini tidak memulai pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK). Dari 48 siswa di kelas 1, hanya 4 orang siswa yang tamat dari Taman Kanak-kanak (TK). Hasil wawancara dengan guru kelas, kelas 1 yang sudah TK pun kadang masih sulit mengerti bila guru menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan sesuatu dan bahkan ada yang sama sekali belum bisa berbahasa Indonesia. Oleh sebab itu, terkadang guru memilih alternatif dengan mencampurkan atau menyelipkan bahasa Bali ketika mengajar.

Kesulitan yang dialami guru saat mengajarkan bahasa Indonesia adalah bagaimana cara menjelaskan materi atau

(4)

4 mendeskripsikan huruf menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam menjelaskan guru menggunakan campur kode agar siswa mampu memahami maksud guru. Salah satu contoh dalam pembelajaran menulis, para siswa dilatih untuk dapat menuliskan lambang-lambang tulis yang jika dirangkaikan salam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna. Pola pembelajaran menulis untuk siswa kelas 1 SD adalah dengan meminta siswa untuk menulis huruf atau kata yang diminta oleh guru. Guru membimbing siswa menulis sembari berusaha mendeskripsikan cara menulis huruf yang ditentukan. Selain itu, pada buku paket juga sudah tersedia contoh huruf dan kolom untuk menebalkan huruf-huruf yang akan ditulis.

Saat observasi awal, peneliti mendengar guru berkata sebagai berikut, “Kita mulai tulis dengan huruf besar, kalau menulis huruf “B”, ada dua belingan ke depan”. Kata belingan dalam bahasa Bali berasal dari kata “beling” yang memiliki arti “hamil”. Kata tersebut digunakan guru untuk mendeskripsikan huruf “B” yang memiliki dua buah lengkungan ke depan. Contoh tadi adalah campur kode ke dalam (inner code mixing) pada tataran kata. Selain campur kode pada tataran kata, peneliti juga menemukan khasus campur kode pada tataran frasa sebagai berikut, “Ada yang belum mengerjakan PR? De

melog-melog nanti tidak naik kelas”. Frasa de

melog-melog dalam bahasa Indonesia memiliki arti “jangan bohong”. Frasa tersebut diucapkan guru untuk memancing reaksi siswa agar jujur dalam mengerjakan tugas.

Penggunaan bahasa penting diperhatikan dalam kegiatan pendidikan, khususnya saat interaksi pembelajaran. Dengan memperhatikan penggunaan bahasa, maka proses belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien. Guru yang terampil menggunakan bahasa akan memudahkannya untuk menyampaikan materi dan membuat siswa paham dengan materi yang disampaikan. Akan tetapi, pada kelas awal, khususnya tingkat sekolah dasar, guru kesusahan bila sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Hal

tersebut dikarenakan latar belakang siswa yang masih dominan menggunakan B1 (bahasa Bali), selain itu guru kesulitan mencari atau menemukan tataran kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk menjelaskan materi, sehingga dalam mengajar guru melakukan campur kode agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti 1) bentuk campur kode guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, 2) jenis campur kode guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, dan 3) faktor penyebab campur kode guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak.

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut Djajasudarma (2006:10) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Ibu Nurjannah, S.Pd. guru kelas 1 di SD Negeri 3 Gerokgak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan metode wawancara. Metode observasi yang peneliti gunakan adalah metode observasi nonpartisipasi. Observasi dilakukan dengan bantuan instrumen observasi dan alat perekam. Peneliti berada di lingkungan SD Negeri 3 Gerokgak untuk mengadakan pengamatan dan pencatatan langsung, tetapi peneliti tidak terlibat langsung dalam aktivitas yang dilakukan subjek penelitian. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2006:160).

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman

(5)

5 observasi dan pedoman wawancara. Pedoman observasi digunakan untuk mendapatkan gambaran sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang pertama dan kedua yaitu bentuk dan jenis campur kode yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pedoman wawancara digunakan untuk memperoleh data mengenai rumusan masalah yang ketiga yaitu faktor-faktor yang memengaruhi guru menggunakan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Setelah pengumpulan data dilakukan, langkah selanjutnya adalah menganalisis data yang diperoleh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menarik simpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Teknik analisis data deskriptif kualitatif dapat dibagi menjadi beberapa langkah, yaitu identifikasi data, reduksi data, klasifikasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Dalam pengumpulan data di lapangan, tidak menutup kemungkinan data yang diperoleh berjumlah cukup besar atau data yang diperoleh bisa saja di luar dari masalah yang hendak dipecahkan sehingga data perlu diidentifikasi. Identifikasi data berarti memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan. Reduksi data adalah memilih data yang diperlukan dan menyisihkan data yang tidak diperlukan. Hal ini didukung oleh pernyataan Sugiyono (2013:338) bahwa mereduksi data berarti memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari temanya, serta polanya, dan membuang yang tidak perlu. Kegiatan reduksi data dilakukan dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.

Setelah diidentifikasi, data yang relevan diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah. Data digolong-golongkan berdasarkan sub-sub masalah kemudian dilakukan pengodean. Data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara disajikan dalam bentuk yang baik, dilanjutkan dengan mengklasifikasikan atau mengelompkkan data-data tersebut berdasarkan kategori-kategori tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

Setelah data digolongkan sesuai dengan rumusan masalah, kemudian data

diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ingin dipecahkan. Penyajian data pada penelitian ini adalah berupa uraian mengenai hasil pengumpulan data berdasarkan kategori rumusan masalah. Dengan demikian, dalam penelitian ini data mengenai bentuk dan jenis campur kode serta faktor penyebab campur kode yang dilakukan guru akan peneliti sajikan dengan teks yang bersifat naratif.

Langkah terakhir dalam menganalisis data adalah penarikan kesimpulan. Penarikan simpulan disesuaikan dengan temuan di lapangan yang disajikan dalam penyajian data dan berkaitan dengan rumusan masalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian mencakup tiga hal yaitu (1) bentuk campur kode yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, 2) jenis campur kode yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak, dan 3) faktor penyebab campur kode yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak.

Bentuk Campur Kode Guru dalam

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas I SD Negeri 3 Gerokgak

Dalam tuturan guru saat mengajar, terdapat 33 (58%) bentuk campur kode pada tataran kata, 14 (25%) bentuk frasa dan 10 (17%) bentuk klausa. Berikut ini diberikan analisis terhadap beberapa sampel data bentuk campur kode yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak.

Coba petek jumlah hurufnya!

Pada tuturan di atas, terdapat kata

petek yang merupakan bahasa Bali. Kata

petek memiliki arti ‘hitung’, dengan

demikian campur kode bentuk kata di atas termasuk ke dalam kata kerja. Maksud guru dalam tuturan di atas adalah meminta siswa untuk menghitung jumlah huruf yang saat itu ditulis guru pada papan tulis.

(6)

6

Alate ene, yang ini semuanya, jadilah ini.

Pada tuturan di atas, terdapat frasa

alate ene yang berasal dari bahasa Bali.

Frasa alate ene memiliki arti ‘alat ini’, dengan demikian campur kode bentuk frasa di atas termasuk ke dalam frasa benda. Maksud guru dalam tuturan di atas adalah memberitahu siswa bahwa alat yang ditunjukkan guru akan menjadi sebuah mainan.

Sing Ibu naikang yang masih ngeja-ngeja.

Pada tuturan di atas, guru menyelipan unsur klausa bahasa Bali yaitu

sing Ibu naikang. Sing Ibu naikang dalam

bahasa Indonesia memiliki arti ‘tidak Ibu naikkan’. Klausa di atas termasuk klausa verba. Jadi maksud guru dalam tuturan di atas adalah menanyakan bahwa siswa yang belum lancar membaca tidak guru naikakan kelasnya.

Dalam penelitian ini ditemukan bentuk campur kode yang dilakukan oleh guru terjadi dalam bentuk campur kode dengan penyisipan unsur yang berupa kata, frase, dan klausa. Penyisipan unsur yang berupa kata terdiri atas verba, adjektiva, nomina, adverbia dan kata tugas. Penyisipan campur kode berupa frasa terdiri atas frasa benda, kerja, sifat, dan bilangan. Sedangkan penyisipan campur kode berupa klausa terdiri atas klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan klausa depan.

Campur kode yang sering dilakukan oleh guru dan siswa yaitu campur kode dengan penyisipan unsur berupa kata. Hal ini sejalan dengan pendapat Jendra (dalam Suandi, 2014:173) yang menyatakan bahwa campur kode pada tataran kata merupakan campur kode yang paling banyak terjadi pada setiap bahasa. Campur kode bentuk kata paling banyak terjadi karena dalam mengajar menggunakan bahasa Indonesia, guru sering tidak menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk menyampaikan maksud dan tujuan, sehingga banyak kata-kata dari bahasa Bali yang diselipkan guru untuk mengutarakan maksudnya.

Jenis kata, frasa dan klausa yang paling banyak digunakan oleh guru adalah kata kerja. Hal ini terjadi karena guru lebih sering meminta siswa untuk melakukan sesuatu, sehingga dalam mengajar bentuk kata, frasa dan klausa kerja (verba) dalam bahasa Bali sering diselipkan guru baik disengaja maupun tidak disengaja.

Jenis Campur Kode Guru dalam

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak

Selain bentuk, peneliti juga mengamati jenis campur kode yang dilakukan oleh guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak. Dari tiga jenis campur kode yang diungkapkan Suandi, (2014:172) yaitu campur kode ke dalam, campur kode ke luar, dan campur kode campuran, hanya terdapat dua jenis campur kode yang dilakukan oleh subjek penelitian, yaitu campur kode ke dalam dan campur kode ke luar, yaitu penggunaan bahasa Bali dan bahasa Inggris.

Dalam tuturan guru kelas 1 dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD Negeri 3 Gerokgak terdapat 56 (98%) jenis campur kode ke dalam, 1 (2%) jenis campur kode ke luar dan tidak ditemukan jenis campur kode campuran.

Dalam peristiwa campur kode ke dalam yang digunakan subjek penelitian adalah memasukkan unsur bahasa Bali ketika berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

Di antara kedua jenis campur kode tersebut, jenis campur kode yang paling mendominasi adalah campur kode ke dalam, yaitu penggunaan bahasa Bali, sedangkan pada campur kode keluar yang digunakan guru berupa unsur bahasa Inggris hanya digunakan guru satu kali saat memberikan penguatan kepada siswa.

Campur kode ke dalam mendominasi tuturan guru karena latar belakang guru dan siswa yang lebih sering menggunakan bahasa Bali saat bertutur, sehingga dalam pembelajaran dengan sengaja maupun tidak sengaja guru menyelipkan unsur bahasa Bali, sedangkan bahasa Inggris bahkan sangat jarang digunakan, mengingat tingkat kelas yang

(7)

7 masih kelas awal dan belum mendapatkan mata pelajaran bahasa Inggris.

Berikut ini beberapa sampel data jenis campur kode ke dalam yang digunakan guru kelas 1 dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD Negeri 3 Gerokgak.

Ta, coba ulang ngae huruf M!

Pada tuturan di atas, terdapat kata

ngae yang berasal dari bahasa Bali. Kata

ngae memiliki arti ‘membuat’, dengan

demikian campur kode bentuk kata di atas merupakan jenis campur kode ke dalam. Maksud guru dalam tuturan di atas adalah meminta siswa untuk mengulang membuat huruf M.

Kalau lurus gini care angka satu. Pada tuturan di atas, terdapat kata

care yang memiliki arti ‘seperti’. Tuturan di

atas menyerap unsur dalam bahasa Bali sehingga termasuk jenis campur kode ke dalam. Kata care dimaksudkan guru untuk mengomentari tulisan siswa yang seperti angka satu.

Ya, dadi kisi-kisi dengan teman di belakang.

Pada tuturan di atas, terdapat frasa dadi kisi-kisi yang berasal dari bahasa Bali. Frasa dadi kisi-kisi memiliki arti ‘boleh berbisik’, dengan demikian campur kode bentuk frasa di atas termasuk jenis campur kode ke dalam. Maksud guru dalam tuturan di atas adalah menyarankan siswa agar bisa berbisik atau berdiskusi dengan teman di belakang.

Tulis tulisan ane memunyi kertas! Pada tuturan guru di atas, menyelipkan frasa ane memunyi yang memiliki arti ‘yang berbunyi’ frasa tersebut berasal dari bahasa Bali. Oleh sebab itu, tuturan di atas merupakan campur kode ke dalam yang dilakukan guru karena menyerap bahasa daerah saat bertutur menggunakan bahasa Indonesia.

Kalau teman kalian jatuh sepak bol,

kal nengneng dogen timpale?

Pada tuturan di atas terdapat klausa

kal nengneng dogen timpale yang

merupakan bahasa Bali. Klausa kal nengneng dogen timpale memiliki arti ‘mau dilihat saja temannya’, dengan demikian campur kode bentuk klausa di atas termasuk jenis campur kode ke dalam. Maksud guru dalam tuturan di atas adalah bertanya kepada siswa, kalau teman jatuh apakah hanya dilihat saja.

Dalam peristiwa campur kode ke luar yang digunakan subjek penelitian adalah memasukkan unsur bahasa Inggris ketika berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Berikut ini adalah jenis campur kode ke luar yang digunakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak.

Ya, good, good, good. Ada berapa kalimat di atas?

Tuturan di atas merupakan jenis campur kode ke luar karena menyerap bahasa Inggris berupa kata. Kata good dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘bagus’. Kata tersebut digunakan guru untuk memberikan penguatan kepada siswa yang telah benar menjawab pertanyaan. Kata good diulang sebanyak tiga kali untuk mengungkapkan pujian agar siswa lebih semangat lagi dalam belajar.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Pusparini (2015) yang berjudul “Campur Kode pada Guru Bahasa Indonesia Kelas VII di SMP Internasional Doremi Excelent” terdapat perbedaan yang signifikan yaitu pada hasil penelitian jenis campur kode guru yang menjadi subjek penelitian menunjukkan bahwa pencampuran kode yang ditemukan dalam tuturan guru dominan menyelipkan bahasa asing (bahasa Inggris) sedangkan dalam penelitian peneliti, serpihan bahasa daerah (bahasa Bali) lebih mendominasi dari pada bahasa asing. Oleh karena itu, hasil penelitian yang peneliti dapatkan dalam campur kode guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut.

(8)

8

Faktor-faktor Penyebab Guru Melakukan

Campur Kode dalam Pembelajaran

Bahasa Indonesia di Kelas I SD Negeri 3 Gerokgak

Seorang pembicara atau penutur sering melakukan campur kode untuk memperoleh keuntungan, manfaat atau maksud dari tindakannya tersebut. Begitu juga dengan seorang guru dan siswa. Seorang guru melakukan campur kode saat proses belajar mengajar berlangsung dengan maksud dan tujuan tertentu terhadap siswa sebagai mitra tuturnya.

Dari 13 faktor penyebab campur kode yang diungkapkan Suandi (2014: 175) hanya beberapa yang sesuai dengan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan subjek penelitian. Penyebab campur kode yang dilakukan oleh guru dipengaruhi oleh faktor (1) keterbatasan pengguna kode, (2) pembicara dan pribadi pembicara, (3) mitra bicara, (4) fungsi dan tujuan, dan (5) penggunaan istilah yang lebih populer.

Salah satu penyebab terjadinya peristiwa campur kode pada guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak saat mengajar bahasa Indonesia adalah keterbatasan pengguna kode. Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur melakukan campur kode karena tidak mengerti padanan kata, frase, klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya. Misalnya penutur yang sedang bertutur menggunakan kode dasar bahasa Indonesia kemudian terdapat kata-kata tertentu yang padanan kata-katanya susah dicari, sehingga penutur menggunakan bahasa Bali sebagai alternatif agar mitra tutur mengerti maskud penutur.

Ya, bagus. Namun masih ada yang

ngak-ngak nguk-nguk.

Tuturan di atas merupakan contoh penggunaan campur kode yang dilatarbelakangi oleh faktor keterbatasan pengguna kode. Kata ngak-ngak nguk-nguk, pada kalimat di atas merupakan kata yang diserap dari bahasa Bali. Kata tersebut tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Ngak-ngak nguk-nguk dimaksudkan guru untuk menyatakan murid yang masih belum bisa membaca dengan lancar.

Faktor pembicara dan pribadi pembicara merupakan salah satu faktor

yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa campur kode pada guru kelas 1 di SD Negeri 3 Gerokgak. Faktor pembicara dan pribadi pembicara diakibatkan karena kebiasaan pembicara menggunakan bahasa Bali, sehingga dalam mengajarpun guru dengan sengaja maupun tanpa sengaja menyelipkan bahasa Bali saat mengajar menggunakan bahasa Indonesia. Pembicara terkadang sengaja melakukan campur kode terhadap mitra bahasa karena dia memiliki maksud dan tujuan tertentu.

Baiklah anak-anak, hati-hati pulang,

de rengas di jalan!

Tuturan di atas merupakan contoh campur kode yang dilatarbelakangi oleh faktor pembicara dan pribadi pembicara. Frasa de rengas diungkapkan guru pada akhir pembelajaran. Guru secara refleks mengatakan de rengas karena kebiasaan guru menggunakan bahasa Bali untuk memperingatkan siswa agar berhati-hati saat perjalanan pulang.

Faktor pembicara dan pribadi pembicara, mitra bicara, dan fungsi dan tujuan juga muncul dalam penelitian yang dilakukan oleh Oktaria, Mira dkk. (2013) yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Tingkat Sekolah Dasar”. Pada penelitian ini, faktor pembicara dan pribadi pembicara dan faktor mitra bicara terjadi karena latar belakang guru dan siswa yang sama-sama terbiasa menggunakan bahasa Lampung sebagai alat berkomunikasi sehari-hari sehingga dalam pembelajaranpun terkadang terselip serpihan penggunaan bahasa Lampung.

Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat melakukan campur kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang memiliki latar belakang yang sama. Sama halnya dengan subjek penelitian yang peneliti teliti. Guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak mengakui bahwa kebiasaan Beliau melakukan campur kode karena mitra bicara, dalam hal ini siswa, memiliki latar belakang yang sama dengan guru, yaitu menggunakan bahasa Bali. Selain itu, siswa juga belum banyak yang mengerti bahasa Indonesia, sehingga

(9)

9 selama pembelajaran berlangsung, guru menyelipkan unsur-unsur bahasa Bali.

Alate ene, yang ini semuanya, jadilah

ini.

Pada tuturan di atas, guru terdapat frasa dalam bahasa Bali alate ene yang memiliki arti ‘alat ini’, kemudian diikuti oleh bahasa Indonesia ‘yang ini semuanya’. Hal tersebut dilakukan guru untuk mempermudah siswa memahami maksud guru. Sehingga guru menggunakan bahasa Bali terlebih dahulu kemudian mentraslit ke dalam bahasa Indonesia.

Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Faktor fungsi dan tujuan sering menjadi latar belakang guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak melakukan campur kode untuk menjelaskan materi, memerintah siswa melakukan sesuatu, dan memarahi siswa.

Nanti pas jam istirahat bersihkan

nggih, anak-anak!

Kata nggih pada tuturan di atas merupakan contoh penggunaan campur kode yang dilatarbelakangi oleh faktor fungsi dan tujuan. Pada tuturan tersebut guru bermaksud untuk meminta siswa membersihkan kelas saat jam istirahat, kemudian guru menyelipkan kata nggih bertujuan untuk memperhalus kalimat perintah guru.

Dalam kehidupan sosial, penggunaan kata-kata yang populer sering digunakan dalam percakapan. Penggunaan kata-kata populer dirasa dapat diterima dengan baik dalam masyarakat tutur. Penggunaan istilah yang lebih populer sesekali digunakan oleh guru saat memberikan penguatan kepada siswa. Guru menyelipkan istilah yang lebih populer saat mengajar untuk memberikan variasi penguatan saat siswa benar menjawab pertanyaan.

Ya, good, good, good. Ada berapa

kalimat di atas?

Pada tuturan di atas, guru menyelipkan kata good yang memiliki arti ‘bagus’ saat memberikan penguatan kepada siswa. Kata good dipilih guru selain untuk memberikan variasi penguatan, juga dirasa guru lebih populer bila menggunakan istilah asing dalam memberikan penguatan kepada siswa.

PENUTUP

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut 1) Campur kode yang dilakukan oleh guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak saat pembelajaran bahasa Indonesia terjadi dalam bentuk kata, frase, dan klausa. Campur kode bentuk kata yang muncul adalah jenis kata kerja, sifat, benda, keterangan, dan kata tugas. Campur kode berupa frasa terdiri atas frasa benda, kerja, sifat, dan bilangan. Campur kode berupa klausa terdiri atas klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan klausa depan. Di antara ketiga bentuk campur kode tersebut, yang paling sering muncul adalah campur kode bentuk kata. 2) Jenis campur kode yang digunakan oleh guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah jenis campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Jenis campur kode yang sering muncul atau serig digunakan oleh guru adalah jenis campur kode ke dalam. Hal itu terjadi karena guru dan siswa yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pertama, sehingga kebiasaan menggunakan bahasa Bali sering juga digunakan saat belajar mengajar. 3) Terdapat 5 faktor penyebab campur kode yang dilakukan oleh guru kelas 1 SD Negeri 3 Gerokgak dalam pelajaran bahasa Indonesia. Adapun kelima faktor tersebut adalah (1) faktor keterbatasan pengguna kode, (2) faktor pembicara dan pribadi pembicara, (3) faktor mitra bicara, (4) faktor fungsi dan tujuan, dan (5) faktor penggunaan istilah yang lebih populer.

Berdasarkan simpulan di atas, dapat dikemukakan saran sebagai berikut. 1) Kepada guru, memang tidak membuat komunikasi antara guru dengan siswa terhambat. Campur kode merupakan suatu peristiwa yang sulit dihindari bagi seorang yang dwibahasawan untuk memasukkan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang dikuasainya. Akan tetapi, sebaiknya guru khususnya yang mengajar di kelas awal meminimalkan penggunaannya dalam proses belajar mengajar untuk melatih siswa menggunakan bahasa yang benar. 2) Bagi peneliti lain, penelitian ini hanya

(10)

10 sebatas pada penggunaan campur kode pada guru kelas 1 di SD Negeri 3 Gerokgak saja. Dengan keterbatasan dan kekurangan ini, peneliti lain hendaknya dapat mengkaji hal yang lebih kompleks terkait penggunaan campur kode.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Aslinda dan Syafyahya, Leni. 2010.

Pengantar Linguistik. Bandung: PT Refika Aditama.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

http://bali.bps.go.id/ (diakses pada 21 Mei 2016).

Oktaria, Mira dkk. 2013. Alih Kode dan Campur Kode pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Tingkat Sekolah

Dasar. Lampung: Universitas

Lampung.

Setiawati, Firlisa Era. 2015. Bilingualisme dan Diglosia pada Tuturan Siswa

di SMP N 6 Negara. Singaraja: Undiksha.

Suandi, I Nengah. 2014. Bahan Ajar Sosiolinguistik. Singaraja: Undiksha. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian

Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

T. Fatimah, Djajasudarma. 2006. Metode

Linguistik: Ancangan Metode

Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian oleh Ismail dkk tahun 2012 terhadap 46 pasien psoriasis vulgaris dan 42 kontrol sehat menunjukkan bahwa visfatin serum meningkat pada kelompok

Dalam Perda Nomor 13 Tahun 2009 sebagai peraturan yang mengatur peralihan status badan usaha PD Flobamor menjadi PT dalam Pasal 6 telah mengatur bahwa dalam

Jumlah Sampel Keluarga Sejahtera 1 yang memiliki Balita di masing-masing Rukun Warga (RW) Desa Cibodas. No Rukun Warga

Masalah yang yang ingin diselesaikan penulis adalah bagaimana membuat materi trigonometri ini menjadi lebih mudah dipelajari oleh siswa Sekolah Menengah Atas kelas

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur novel Megamendung Kembar (MK); (2) latar belakang sosial budaya ditulisnya novel MK; (3) sosial

kemiskinan.Sehubungan dengan itu maka urgensi pelatihan ini adalah: (1) Meletakkan masyarakat sebagai penggerak pembangunan di tingkat desa dengan menggunakan modal yang

UMUR 1 TAHUN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DENGAN PEMBERIAN DOSIS PUPUK ANORGANIK TUNGGAL YANG BERBEDA.. PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan pengrajin keset dan sapu ijuk di Desa Plosokandang Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung adalah bahan baku karena