• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Cara paling langsung bagi masyarakat umum untuk mempelajari kawasan yang dilindungi adalah melihatnya sendiri (MacKinnon et al. 1990). Penting artinya bagi mereka untuk mendapat kesan pertama yang baik. Harus selalu diingat bahwa mendidik bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan akhir. Kawasan konservasi memerlukan dukungan dan penghargaan dari pengunjung, dan pengunjung perlu dibuat senang. Cara untuk menyampaikan hal tersebut pada masyarakat adalah melalu jasa informasi dan interpretasi.

Tilden (1975) mendefinisikan interpretasi alam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan benda-benda aslinya, melalui pengalaman langsung di lapangan dan dengan media ilustratif seperti, foto, slide, film dan sebagainya. Selanjutnya Sharpe (1982) menyatakan interpretasi adalah suatu mata rantai antara pengunjung dan sumber daya alam yang ada.

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa interpretasi dalam taman nasional berbeda dengan informasi. Interpretasi bukanlah sekedar daftar berisi fakta, melainkan mencoba mengungkapkan konsep, arti dan hubungan keterkaitan gejala alam. Interpretasi berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tujuan dan kebijakan taman serta berusaha mengembangkan perhatian bagi keperluan perlindungan. Interpretasi juga harus mendidik pengunjung untuk menghargai kawasan perlindungan bagi wilayah dan bangsa.

Menurut Ditjen PHPA (1988), interpretasi konservasi alam adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan kepada pengunjung kawasan konservasi alam dan merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan dan inspirasi serta promosi. Kegiatan interpretasi itu diselenggarakan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pengunjung dan dengan cara mempertemukan pengunjung dengan obyek-obyek interpretasi, sehingga pengunjung dapat memperoleh pengalaman langsung melalui panca inderanya seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman atau perabaan.

Muntasib (2003b) menyimpulkan bahwa interpretasi alam adalah suatu seni dalam memberikan penjelasan tentang suatu kawasan wisata alam kepada pengunjung sehingga dapat memberikan inspirasi, menggugah pemikiran untuk

(2)

mengetahui menyadari, mendidik dan bila mungkin menarik minat pengunjung untuk ikut melakukan konservasi. Kegiatan wisata alam dan ekowisata berkaitan erat dengan pembelajaran dan kesadaran lingkungan. Jika ekowisata dimaksudkan untuk mempromosikan suatu perjalanan yang bertanggung jawab maka penyelenggaraan ekowisata harus mempunyai bekal interpretasi dan pendidikan tentang kawasan yang akan ditawarkan.

2.1.1. Sejarah Perkembangan Interpretasi di Indonesia

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun maka tinjauan sejarah perkembangan interpretasi dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu (Muntasib 2003b) :

1. Periode 1980 - 1990

Merupakan periode peletakan dasar interpretasi di Indonesia. Usaha pengembangan interpretasi tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan mengikuti mata kuliah dan merasakan langsung bagi para dosen serta para pengelola taman wisata alam dan taman nasional yang sekolah atau berkesempatan mengikuti kursus di negara-negara barat, terutama di Amerika Serikat. Pada periode tersebut mulai dikenalkan mata kuliah di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Pendidikan Konservasi dan Interpretasi. Juga pada periode ini telah diterbitkan buku ”Pedoman Interpretasi Taman Nasional” oleh Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata (pada tahun 1988). Bahkan dalam struktur organisasi telah terdapat penugasan untuk interpretasi. Pelatihan-pelatihan interpretasi juga mulai diadakan di Pusdiklat Kehutanan. Beberapa taman nasional sudah pula mengembangkan berbagai program interpretasi serta tanda-tanda interpretasi di lapangan (papan nama, papan interpretasi, media interpretasi dan sebagainya).

2. Periode 1991 - 2000

Periode ini merupakan periode dorman dari interpretasi namun menjelang akhir 2000 dengan makin gencarnya pengembangan ekowisata, serta mulai disadarai oleh para pelaku ekowisata bahwa interpretasi merupakan salah satu kunci keberhasilan ekowisata, walaupun saat itu beberapa taman nasional mulai memiliki kegiatan-kegiatan berkaitan dengan interpretasi.

3. Periode 2000 - sekarang

Pada periode ini perhatian terhadap interpretasi mulai meluas bukan hanya di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perguruan-perguruan Tinggi Kehutanan, namun sudah meluas kepada berbagai kegiatan yang berkaitan

(3)

dengan wisata alam dan ekowisata. Apalagi dengan Deklarasi Quebec serta Tahun Ekowisata dan Pegunungan Nasional Tahun 2002 dan rekomendasi dari lokakarya tersebut salah satunya interpretasi sebagai prioritas untuk dikembangkan. Diharapkan pada periode ini mulai diteruskan sosialisasi tentang perlunya interpretasi bagi pengembangan wisata alam dan ekowisata.

2.1.2. Unsur-unsur Interpretasi

Unsur-unsur interpretasi ada tiga (Ditjen PHPA 1988), yaitu : a). Pengunjung

Beberapa hal yang berkaitan dengan pengunjung yang perlu dianalisis dan diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan interpretasi antara lain :

1). Tempat-tempat yang paling banyak mendapat perhatian pengunjung 2). Asal sebagian besar pengunjung

3). Distribusi musiman pengunjung

4). Persentase jumlah pengunjung yang melewati pintu utama dan pintu lainnya.

Informasi yang harus dikumpulkan untuk mengetahui karakteristik pengunjung dalam rangka penyusunan program interpretasi adalah :

1). Proporsi pengunjung nusantara dan mancanegara 2). Ukuran kelompok, distribusi umur dan tingkat pendidikan

3). Distribusi musiman kunjungan, waktu berkunjung, lama tinggal dan frekuensi kunjungan ulang

4). Jenis transportasi, tema dan media yang paling menarik bagi pengunjung. b). Pemandu Wisata

Kualitas tenaga pemandu wisata sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam interpretasi. Syarat pemandu wisata harus mempunyai kemampuan :

1). Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu (flora, fauna, sejarah, geologi atau budaya) yang berkaitan dengan obyek wisata 2). Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa

serta sekaligus mempraktekkannya

3). Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara baik dan benar. c). Obyek Interpretasi

Obyek interpretasi adalah segala yang ada di dalam kawasan bersangkutan dan digunakan sebagai obyek dalam menyelenggarakan interpretasi. Terdapat dua macam obyek interpretasi yaitu obyek sumberdaya alam, dan obyek sejarah dan budaya (Ditjen PHPA 1988). Agar program

(4)

interpretasi dapat berlangsung dengan baik, maka pemilihan dan penggunaan serta pemeliharaan obyek interpretasi perlu dilaksanakan.

Dalam pemilihan obyek interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat sumberdaya alam, sejarah dan budaya yang menjadi obyek interpretasi. Ciri-ciri utama obyek interpretasi yang harus diperhatikan adalah (FAO 1976, diacu dalam Rahmat 1996) :

a). Ciri-ciri geologis

1). Strata geologis yang representatif

2). Strata yang menunjukkan asal-usul suatu daerah

3). Tanda-tanda kehidupan prasejarah dan perkembangan evolusi yang berasosiasi dengan geologis

4). Ciri-ciri fisiografis seperti gua, jembatan alam, kawah, air terjun, danau, mata air dan delta sungai.

b). Ciri-ciri biologis

1). Flora dan fauna yang khas dan penting 2). Tapak di mana satwa sering terlihat

3). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan ekologis yang penting

4). Spesimen yang menarik/khusus seperti pohon raksasa, pohon berumur ratusan tahun dan tanaman hibrida

5). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan penting antara manusia dengan lingkungan seperti perubahan vegetasi dan artefak (benda-benda sederhana seperti alat atau perhiasan yang menunjukkan keindahan). c). Ciri-ciri Sejarah Manusia

1). Tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan manusia primitif seperti tapak budaya prasejarah, reruntuhan, artefak dan piktograf sistem tulisan kuno

2). Tanda-tanda yang menunjukkan adanya budaya suatu suku

3). Tapak, artefak dan dokumen yang berhubungan dengan sejarah penghuni

4). Tanda-tanda yang menunjukkan penggunaan sumberdaya pada masa lalu seperti perubahan vegetasi, bekas penggergajian, pertambangan dan peternakan.

2.1.3. Tipe Interpretasi

Menurut kegiatannya, Aldridge (1972), diacu dalam Muntasib (2003a) membagi interpretasi alam ke dalam empat tipe, yaitu :

(5)

a). Interpretasi tempat historis (bersejarah)

Merupakan seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya

b). Interpretasi tempat alami

Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batu-batuan, tanah, flora, fauna dan manusia

c). Interpretasi lingkungan hidup

Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d). Pendidikan pelestarian

Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni.

2.1.4. Metode Interpretasi

Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi berdasarkan 2 (dua) faktor yaitu obyek interpretasi dan pengunjung (Ditjen PHPA 1988).

Menurut Berkmuller (1981), metode interpretasi terbagi atas :

a). Dengan pemandu (Guided Trails/GT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan pemandu

b). Pemanduan sendiri (Self Guided Trails/SGT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan tanda (Sign in Place, Audio Trail, Leaflet dan Marker Trail).

Sharpe (1982) menganjurkan agar metode SGT digunakan dalam keadaan frekuensi pengunjung tinggi dan ketersediaan pemandu terbatas.

Sedangkan menurut Soedargo et al. (1989), secara garis besar metode interpretasi lingkungan terdiri dari :

a). Pelayanan langsung (personal service), yaitu dilakukan langsung oleh petugas interpretasi kepada pengunjung

b). Pelayanan tidak langsung (non-personal service), yaitu dilakukan melalui suatu media di mana petugas interpretasi tidak berhubungan langsung dengan pengunjung.

2.1.5. Sarana Interpretasi

Menurut Muntasib (2003a), sarana interpretasi terdiri dari : a). Jalan setapak interpretasi

(6)

1) Jalan setapak yang memerlukan kehadiran pemandu wisata alam

2) Jalan setapak yang tidak memerlukan kehadiran pemandu wisata alam tetapi lengkap dengan petunjuk-petunjuk (guided trails)

b). Wisma cinta alam, yang merupakan tempat transit terprenting dari suatu kawasan karena disini pengunjung mendapat sambutan dan mendapat bekal informasi yang dibutuhkan

c). Pusat informasi, yang sebenarnya merupakan tempat transit kedua dari pengunjung untuk lebih memperjelas atau melengkapi informasi yang sudah didapatkan di wisma cinta alam

d). Jalur interpretasi, yang merupakan jalur khusus yang digunakan untuk orang-orang yang memeasuki kawasan dengan lingkungan yang sangat menarik untuk tujuan menghargai nilai-nilai kawasan yang dipandu oleh petugas kawasan tersebut

e). Bumi Perkemahan, yaitu tempat menikmati alam dengan santai, bermalam dalam tenda di tempat terbuka.

2.1.6. Program Interpretasi

Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat rekreasi itu sendiri. Intinya, bahwa program interpretasi menghubungkan sumberdaya alam atau budaya suatu areal dengan pengunjung yang menggunakan berbagai macam variasi.

Sedangkan menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu tertentu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi adalah garis-garis besar cerita yang akan menjadi tuntunan dalam pelaksanaan interpretasi. Demikian pula dijelaskan bahwa “materi interpretasi” adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan yang akan menjadi isi dan maksud interpretasi yang diprogramkan tersebut. Selain itu dijelaskan pula bahwa media interpretasi adalah alat untuk berkomunikasi dengan pengunjung dalam rangka penyelenggaraan interpretasi seperti foto, poster, slide, video, brosur, booklet dan leaflet.

2.2. Perencanaan Interpretasi 2.2.1. Sasaran Perencanaan

(7)

lokasi yang ada, maka menurut Bradley, diacu dalam Sharpe (1982) seharusnya suatu perencanaan memiliki ciri-ciri berikut :

a. Dapat dipergunakan

Program yang direncanakan terutama perkembangan fasilitas interpretasi, harus dapat dilaksanakan oleh semua orang. Perhatian utama ditujukan pada keselamatan pengunjung dan pemisahan penggunaan jalan angkutan umum dengan yang bukan angkutan umum, terutama dalam hal interaksi dengan subyek interpretasinya.

b. Efisien

Fasilitas yang dipergunakan seharusnya efisien dari segi pelayanan, penggunaan dan pembiayaan serta penggunaannya dapat membantu program interpretasi.

c. Dapat mengungkapkan keindahan

Menyediakan suatu paket yang bervariasi tetapi kompak pada sebuah karakteristik yang ada, indah dan sensitif serta menimbulkan bayangan atau gambaran dari subyek interpretasinya.

d. Fleksibel (lentur) dan selektif

Perencanaan interpretasi merupakan suatu proses dinamis, maka diperlukan kesederhanaan, fleksibilitas dan pemilihan sasaran dari perencanaan interpretasi. Fasilitas yang mendukung dapat dipilih sesuai dengan program yang disusun, tema yang baru atau teknik-teknik yang baru, bisa dikembangkan apabila fasilitas yang mendukung sudah tersedia. Pesan interpretasi sebaiknya berkembang, sehingga pengunjung dapat lebih tertarik, mengerti, merenungkan dan mengevaluasi sesuai dengan apa yang harus didapatnya. Program yang bagus akan selalu dipilih oleh pengunjung.

e. Kerugian atau kerusakan yang sekecil mungkin pada komunitas dan kebudayaan

Dilema dari pengembangan suatu kawasan wisata adalah tekanan pengunjung yang dapat menimbulkan kerusakan alam dan kebudayaan. Maka perencanaan interpretasi harus memperhitungkan supaya tekanan yang ditimbulkan oleh pengunjung sekecil mungkin, misalnya tumbuhan atau binatang dapat dilihat dari tempat-tempat tertentu yang tidak akan menimbulkan kerusakan, namun pengunjung tetap terpuaskan. Terutama untuk jenis-jenis yang langka dan jarang.

(8)

f. Penggunaan sumberdaya yang optimum

Problem utama dalam penyusunan perencanaan interpretasi adalah cara penempatan kegiatan manusia dengan sumberdaya yang ada, supaya seoptimum mungkin bisa ditunjukkan, nyaman tetapi sekecil mungkin menimbulkan kerusakan sumberdaya, sehingga selalu diperlukan perbaikan-perbaikan dari program-program yang sudah ada atau menyusun program yang baru sama sekali.

g. Partisipasi publik

Diperlukan pula pendapat umum atau saran-saran dari publik untuk menyusun suatu perencanaan program interpretasi. Sebagai suatu kritik sekaligus sebagai acuan dalam penyusunan program selanjutnya.

2.2.2. Prospektus Perencanaan

Grater (1976), diacu dalam Muntasib (2003a) mengatakan bahwa sebelum menyusun perencanaan program interpretasi disusun dulu suatu “prospektus” yang merupakan suatu perencanaan akhir tentang apa yang dipikirkan dan direncanakan oleh interpreter. Prospektus ini bisa panjang ataupun pendek, tetapi yang penting adalah mudah dimengerti dan merupakan suatu data dasar untuk perkembangan interpretasi.

Garis besar prospektus adalah sebagai berikut :

a. Tinjauan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasinya b. Pernyataan tentang ringkasan tujuan program interpretasi c. Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh :

1). Pernyataan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasikan untuk dapat membuat ruang lingkup perencanaannya

2). Pernyataan tentang ringkasan tujuan dari program interpretasi 3). Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi :

a. Lingkungan

1). Cuaca dan iklim

2). Lokasi

3). Letak geografis

4). Sejarah alam (geologi, biologi dan ekologi) 5). Nilai sejarah

6). Nilai arkeologi

(9)

b. Pengunjung 1). Asal 2). Tingkat ekonomi 3). Latar belakang (a). Umum (b). Peneliti 4). Pola kunjungan

5). Aktivitas interpretasi, melalui biro perjalanan atau suatu organisasi.

4). Program Interpretasi

a. Sekarang (memilih aktivitas dan fasilitas yang teliti)

1). Pusat pengunjung

2). Tempat pemberhentian

3). Tanda-tanda interpretasi

4). Peralatan pelayanan sendiri (self-guiding devices), 5). Pelayanan personal :

(a). Jalan kaki, mendaki, wisata

(b). Penugasan di tempat asalnya (on-site assignment) (c). Penugasan di luar tempat aslinya (off-site assignment)

(d). Demonstrasi

(e). Panggung terbuka dan program api unggun. e. Fasilitas audio visual

f. Publikasi untuk publik :

1). Folder, peta dan sebagainya

2). Publikasi yang berhubungan dengan lokasi dan menggunakan gambar-gambar

3). Petunjuk atau pemandu dengan booklet atau leaflet 4). dan lain-lain.

g. Perpustakaan :

1). Dapat digunakan oleh umum sepuas-puasnya 2). Bagaimana cara penggunaannya

h. Koleksi buku-buku

Tipe daftar dan garis besar dari koleksi yang ada (biologi, geologi, historis, sejarah dan sebagainya).

(10)

dibuat tingkatan perencanaan interpretasi dan programnya 7). Peningkatan keahlian staf

a. Saat ini

b. Rencana peningkatan keahlian selanjutnya.

8). Perkiraan harga untuk rencana program sebagai suatu tindak dari fasilitas dan aktivitas yang diberikan pada poin 5

9). Peta lokasi secara keseluruhan dengan garis besar fasilitas dan aktivitas yang jelas.

Prospektus ini akan menggambarkan perkembangan semua program interpretasi untuk seluruh wilayah atau kawasan dan merupakan suatu garis besar. Prospektus ini sebaiknya dibuat untuk paling sedikit 3 tahun atau setiap tahun fiskal, sehingga dapat digunakan juga pegangan bagi kelompok-kelompok yang ikut menangani, misalnya arsitektur lansekap, arsitek, teknisi dan sebagainya. Prospektus ini merupakan inti program interpretasi.

2.2.3. Tahap Perencanaan

Menurut Sharpe (1982) tahapan-tahapan dalam perencanaan interpretasi yaitu :

Tahap 1. Menentukan tujuan

Tujuan adalah pemandu untuk tindakan-tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan interpretasi.

Tahap 2. Inventarisasi dan pengumpulan data

Tujuan dalam tahap inventarisasi ini adalah mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumberdaya serta keindahan alam. Aspek-aspek yang diidentifikasi antara lain : fisik, biologi dan lingkungan budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar, yang berfungsi dalam efektivitas penyampaian informasi interpretasi. Selain itu, inventarisasi ini diperlukan sebagai sebuah pertimbangan dalam pemakaian lahan dan kesempatan untuk memasukkan kegiatan interpretasi di dalamnya.

Teknik-teknik inventarisasi yang digunakan tergantung terhadap sumber informasinya. Sebagai prosedur standar adalah : mencari literatur yang terbaru, menguji kembali data yang telah dipetakan, wawancara terhadap pengelola, masyarakat dan orang-orang yang sudah berpengalaman di lapangan.

Tahap 3. Analisis

(11)

kondisi yang berbeda untuk seluruh elemen yang mencakup alam dan sistem budaya. Dalam analisis data, informasi-informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan kritik dan saran untuk pengembangan rencana interpretasi dan disusun dalam sistem yang interaktif.

Hal lain yang diperlukan dalam tahap analisis yaitu mengidentifikasi potensi dan tema-tema interpretasi. Dasar tema bisa saja berupa seputar ciri khusus dari suatu daerah, atau yang sifatnya lebih umum dan unik.

Tahap 4. Sintesa dan alternatif perencanaan

Tahap ini merupakan tahapan untuk memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasikan masing-masing penerapannya. Rancangan dan ide imajinatif menjadi penting, penyediaan selang pemilihan antara alternatif yang sama baiknya dengan basis untuk seleksi program.

Tahap 5. Perencanaan

Tahap dan proses perencanaan menitikberatkan pada pemilihan alternatif, yaitu sesuatu yang lebih memuaskan untuk semua kepentingan. Dalam tahap ini perencana harus melakukan perbaikan yang diperlukan dan mulai melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh, termasuk pendugaan secara terperinci dan dampak implementasinya.

Tahap 6. Implementasi

Mencakup kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemilihan cara dan tempat pelaksanaan interpretasi. Langkah ini bertujuan untuk melaksanakan penyampaian cerita sekaligus memecahkan masalah yang timbul.

Tahap 7. Evaluasi dan perbaikan rencana

Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan dalam melihat kelanjutan dari suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumberdaya serta dampak program terhadap para pengguna.

Gambar 2 Bagan alir tahapan perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982)

Sintesis Rencana Implementasi

Analisis Inventarisasi & Pengumpulan Data Masukan Evaluasi Tujuan Umpan Balik

(12)

Knapp dan Benton (2004) menyimpulkan 4 hal pokok sebagai syarat suatu interpretasi alam yang berhasil, yaitu :

a). Harus berhubungan dengan pengunjung

b). Harus mencoba mencapai tujuannya melalui teknik-teknik yang inovatif c). Memenuhi kebutuhan dasar program interpretasi

d). Lebih menjangkau masyarakat luas.

Hal tersebut sejalan dengan Rachmawati dan Muntasib (2002) yang menyatakan bahwa dalam menyusun interpretasi maupun berbagai program interpretasi, pelibatan masyarakat sekitar maupun pengunjung sangatdiperlukan sehingga perencanaan maupun program yang disusun dapat dipergunakan oleh pengunjung.

Menurut Ditjen PHPA (1988), hal-hal yang perlu disiapkan dalam sebuah interpretasi adalah :

a. Rencana satuan atau unit interpretasi

Satuan unit interpretasi yang pokok meliputi : 1). Lokasi interpretasi

Lokasi interpretasi merupakan bagian dari kawasan yang digunakan untuk kegiatan interpretasi. Perencanaan lokasi interpretasi sangat berkaitan dengan analisa potensi sumberdaya alam, situs, topografi, keselamatan dan kenyamanan pengunjung serta analisa pengunjung kawasan yang bersangkutan.

2). Jalan setapak interpretasi

Dalam perencanaannya jalan setapak interpretasi harus lengkap dengan obyek-obyek interpretasi.

3). Papan informasi dan pal-pal interpretasi

Papan informasi dan pal-pal informasi ini meliputi : papan penunjuk arah, papan nama, papan informasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk papan), dan pal-pal interpretasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk pal-pal).

4). Pusat informasi

Pusat informasi ini harus dapat berfungsi sebagai pengubah alam pikiran pengunjung dari suasana luar ke dalam lingkungan kawasan yang dikunjungi. Di dalam pusat informasi disajikan materi mengenai kondisi dan segala sesuatu yang sedang terjadi dalam kawasan yang dikunjungi.

(13)

b. Rencana kegiatan

Rencana kegiatan dalam interpretasi disusun dengan melaksanakan beberapa hal pokok, yaitu :

1). Menyiapkan tinjauan terhadap maksud, tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan yang bersangkutan sebagai materi dasar interpretasi keseluruhan.

2). Mengumpulkan dan menganalisa data tentang obyek-obyek interpretasi dan data tentang pengunjung. Data obyek interpretasi hendaknya mencakup seluruh potensi alam, dan potensi sejarah serta budaya yang dapat diungkap.

3). Mengidentifikasi kebutuhan tenaga untuk penugasan, unit interpretasi yang digunakan dan sarana lain yang diperlukan.

4). Menyiapkan materi interpretasi untuk masing-masing program interpretasi. c. Rencana penugasan

Rencana penugasan yang perlu disiapkan meliputi : penjadwalan, pokok-pokok masalah spesifik yang akan dikomunikasikan, penyusunan skenario cerita, dan penentuan personil untuk pelaksanaan interpretasi.

2.2.4. Obyek Interpretasi

Menurut kegiatannya, Soewardi (1978), diacu dalam Rahmat (1996) membagi interpretasi alam ke dalam 4 (empat) tipe, yaitu :

a. Interpretasi tempat historis (bersejarah)

Menjelaskan hal-hal masa lampau dalam hubungannya dengan tata lingkungan dan kondisi sosial

b. Interpretasi tempat alami

Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batu-batuan, tanah, flora, fauna dan manusia

c. Interpretasi lingkungan hidup

Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d. Interpretasi pendidikan pelestarian

Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni.

2.3. Taman Nasional

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Dephut 1990), taman nasional adalah

(14)

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. MacKinnon et al. (1993) mengutarakan bahwa taman nasional adalah kawasan alami dan berpemandangan indah yang dilindungi atau dikonservasi secara nasional atau internasional serta memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi. Kawasan tersebut relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan yang dilindungi. Ciri taman nasional adalah : 1) Adanya karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Terdapat spesies tertentu yang endemik, terancam punah atau langka; 3) Merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman spesies; 4) Terdapat lanskap atau daerah yang bergeofisik dengan nilai estetik seperti gletser, mata air panas, dan lainnya; 5) Berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, air tanah dan iklim; 6) Memiliki fasilitas wisata alam; dan 7) Terdapat peninggalan budaya.

Fungsi taman nasional sesuai dengan Strategi Konservasi Sedunia (IUCN 1991, diacu dalam Roslita 2001) adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga kehidupan 2. Perlindungan keragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga

mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah)

3. Pemanfaatan spesies atau ekosistem secara lestari, yang mendukung kehidupan penduduk serta menopang sejumlah industri.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, taman nasional merupakan salah satu bentuk Kawasan Pelestarian Alam, selain Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Dephut 1998). Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas : a). zona inti; b). zona pemanfaatan; c). zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

(15)

b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kawasan hutan Gunung Merbabu ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135 / Menhut-II / 2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 5.725 Ha. Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan alih fungsi kawasan hutan lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani dan TWA Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah menjadi sebuah taman nasional.

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara). Kawasan ini mempunyai fungsi yang penting baik secara ekologis, hidrologis, ekonomis maupun sosiokultural. Selain sebagai habitat berbagai flora dan fauna. Gunung Merbabu merupakan daerah tangkapan air yang sangat besar pengaruhnya bagi ketersediaan air pada daerah-daerah yang berada di bawahnya. Kawasan hutan di lereng Gunung Merbabu telah mengalami degradasi karena penjarahan dan perambahan (BKSDA Jawa Tengah 2006).

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. UPT Taman Nasional dipimpin oleh seorang Kepala. UPT Taman Nasional melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UPT Taman Nasional menyelenggarakan fungsi-fungsi

(16)

(Dephut 2007) :

a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional

b. Pengelolaan kawasan taman nasional

c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional d. Pengendalian kebakaran hutan

e. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya

g. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan

h. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional

i. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Klasifikasi UPT Taman Nasional adalah sebagai berikut (Anonim 2007): a. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai

Besar Taman Nasional;

b. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II yang disebut dengan Balai Taman Nasional.

2.3.1. Konsep dan Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Setyono (2003) menyatakan bahwa untuk lebih mengoptimalkan program ekowisata di taman nasional maka konsep pengembangan ekowisata tersebut harus bertumpu pada hal-hal sebagai berikut :

- Pengembangan ekowisata disesuaikan dengan kondisi kawasan taman nasional itu sendiri dengan memprioritaskan unggulan atau spesifikasi dari potensi kawasan tersebut, dan unggulan tersebut harus siap untuk dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di kawasan taman nasional tetap mengacu kepada fungsi utama taman nasional sebagai wahan penelitian, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta sistem penyangga kehidupan

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional harus mampu memicu pertumbuhan industri pariwisata alam yang ramah lingkungan, memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan mendorong

(17)

perluasan, pemerataan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang memerlukan perhatian dan kontribusi semua instansi dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata pada kenyataannya di lapangan masih mengandalkan fenomena alam yang kurang bisa dijual, sehingga bila perlu melakukan modifikasi sedikit yang tujuannya untuk meningkatkan daya jual tanpa mengurangi nilai kealamian dari kawasan tersebut

- Mengadakan kolaborasi dengan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjadi suatu ekosistem pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, melalui berbagai program kerjasama dan pelibatan masyarakat lokal baik secara langsung atau tidak langsung dalam pengelolaan ekowisata di taman nasional.

2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) mula-mula dikenal pada awal tahun 1980-an (Puntodewo et al. 2003). Sejalan dengan berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, Sistem Informasi Geografis (SIG) berkembang sangat pesat pada era 1990-an.

Aronoff (1991), diacu dalam Roslita (2001) mengutarakan definisi SIG adalah sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan dan memanipulasi informasi geografis. Empat komponen dasar SIG : 1) Masukan data (data input), komponen pengubah data yang ada (existing) menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; 2) Manajemen data (data management); 3) Manipulasi dan analisis (manipulation and analysis); dan 4) Keluaran (output). Bentuk hasil dari SIG sangat beragam kualitas, kecepatan dan kemudahannya, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy. Sistem Informasi Geografis adalah alat yang mampu menangani data spasial. Pada SIG, data yang berformat dijital dalam jumlah besar dapat dikelola dan diubah dengan cepat dan biaya rendah per unit.

Sejalan dengan Aronoff, Puntodewo et al. (2003) menyatakan bahwa secara harafiah, SIG dapat diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang

(18)

bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis.

Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu system koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, tren, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya.

SIG merupakan alat bantu dalam perencanaan, yang akan mempermudah perencana untuk melakukan berbagai analisis tata ruang yang menggunakan fungsi-fungsi pemodelan peta seperti penelusuran data, tumpang tindih peta. Selain SIG, alat bantu lainnya yang dapat digunakan dalam pembangunan dan peremajaan basis data dari SIG dan mendukung aplikasi SIG seperti penjejakan (tracking), pengumpulan data (inventory) adalah GPS (Global Positioning

System). Menurut Abidin (1998), diacu dalam Roslita (2001), kegunaan GPS

untuk SIG antara lain : sebagai pengkorelasi data, untuk ground truthing, sebagai pedijitasian bumi, untuk pemanggilan data dan analisa.

2.4.1. Fungsi dan Kegunaan SIG

SIG bukan sekedar sebagai alat atau tools dalam membuat peta, kelebihan atau kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam menganalisa suatu data geografis, walaupun produk-produk SIG sering disajikan dalam bentuk peta (Prahasta 2002).

Aronoff (1989), diacu dalam Nanggara (2005) mengklasifikasikan fungsi analisis dari SIG sebagai berikut :

a. Pemeliharaan dan analisis spasial

Terdiri dari konversi format, transformasi geometrik, transformasi antara dua proyeksi peta, konflaksi, edge matching, mengedit elemen grafik dan penipisan garis koordinat.

b. Pemeliharaan dan analisis dari data atribut

Fungsi pengeditan data atribut dan fungsi query atribut c. Analisis integrasi data spasial dan data atribut

Klasifikasi pencarian keterangan, operasi overlay, operasi tetangga dan fungsi

(19)

d. Format keluaran

Anotasi peta, label, penentuan tekstur dan jenis garis serta simbol grafik.

Maryadi (2003) menyatakan SIG dapat digunakan untuk melakukan zonasi daerah tujuan wisata berdasarkan fungsi kawasan. Dengan SIG dapat dipetakan daerah-daerah yang rawan berdasarkan kondisi lingkungannya : curah hujan, kemiringan lereng, serta jenis tanah. Penggabungan informasi ini bertujuan untuk kepentingan keamanan wisatawan maupun untuk mencegah kerusakan lingkungan. Sehingga walaupun suatu kawasan dijadikan daerah tujuan wisata namun kemampuan lingkungan untuk tetap menerima wisatawan perlu diperhatikan sehingga keberlanjutan pemanfaatan tetap terjaga.

2.4.2. Komponen SIG

Komponen SIG menurut Prahasta (2002) adalah sebagai berikut :

a. Perangkat keras, berkaitan dengan peralatan yang dipakai. Dalam hal ini perangkat keras yang sering digunakan adalah komputer, mouse, digitizer,

printer, plotter dan scanner

b. Perangkat lunak, berkaitan dengan sistem operasi SIG yang mengandung program-program yang mengawasi jalannya operasi-operasi sistem

c. Data dan informasi geografis, SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan.

2.4.3. Perangkat Lunak ArcView

ArcView merupakan salah satu perangkat lunak SIG dan pemetaan yang

telah dikembangkan oleh ESRI (Prahasta 2002). Salah satu versi dari perangkat lunak ini adalah ArcView GIS 3.3. ArcView memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query (pertanyaan) basisdata spasial maupun non-spasial, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Kemampuan ArcView secara umum antara lain sebagai berikut : a. Pertukaran data : membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format

perangkat lunak SIG lainnya

b. Melakukan analisis statistik dan operasi matematis c. Menampilan informasi (basisdata) spasial maupun atribut d. Menjawab query spasial maupun atribut

e. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG f. Membuat peta tematik

g. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG lainnya dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView.

Referensi

Dokumen terkait

Suli Barat Pembangunan Jalan dan Jembatan (DAU) Belanja Modal Konstruksi 46.728.000 1 paket Suli Barat APBD 110 1.03.01 DINAS BINA MARGA Pengkerikilan Jalan Ruas Pasar Bonepute

Terkait dengan terbatasnya data dan informasi biologi udang di Teluk Cempi, perlu dilakukan kajian nisbah kelamin, sebaran panjang dan berat, hubungan panjang dan berat, TKG,

Melakukan pekerjaan rutin teknis untuk memastikan sarana dan prasarana pendukung kerja tersedia dalam kondisi yang bersih dan rapih, antara lain: membersihkan

Mes- kipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat

REFOLIS ISKANDAR Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pemeriksaan dengan keadaan anastesi (Examination under anesthesia / EUA) diperluan pada semua pasien untuk mendapatkan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh. Lokasi

Sebagian warga masyarakat Desa lepelle, Kecamatan robatal, Kabupaten sampan berprofesi sebagai pembudidaya puyuh. Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk