• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk kelas Dicotyledoneae, Ordo Caricales, Famili

Caricaceae dan Genus Carica. Pepaya merupakan tanaman herba dengan daun yang

terletak pada ujung tanaman (roset). Semua bagian tanaman mengandung getah, daunnya tersusun secara spiral melingkari batang, lembaran daun bercelah-celah menjari. Batangnya tidak bercabang, bulat silindris dengan diameter sekitar 10 cm sampai dengan 30 cm dan dapat mencapai ketinggian antara 2 m sampai dengan 10 m (Villegas, 1997). Berdasarkan bunganya tanaman pepaya dapat digolongkan atas tiga tipe utama yaitu tanaman yang berbunga jantan, betina dan bunga hermaprodit (sempurna).

Buah pepaya mempunyai sifat yang sangat khas yaitu merupakan buah buni, kulit luar tipis, daging buah tebal dengan rongga besar ditengah berasal dari bakal buah yang menumpang serta biji yang menempel pada daging buah (Pantastico, 1989). Buah mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi. Buah yang dihasilkan dari bunga betina berbentuk bulat, licin dan bertangkai pendek. Buah dari bunga hermaprodit berbentuk agak lonjong, berdaging tebal, berbiji banyak. Saat masak kulit buah berwarna kekuningan atau jingga (Villegas, 1997). Bobot buah bervariasi antara 350-500 g tergantung pada lokasi tumbuhnya. Bobot buah pepaya dari bunga hermaprodit sekitar 350 g sedangkan dari bunga betina dapat mencapai bobot 500 g, sedangkan di Indonesia rata-rata untuk bobot buah pepaya solo sekitar 300 g (Yon, 1994).

Pepaya termasuk jenis tanaman tropis basah dan memerlukan cahaya penuh. Buah pepaya yang mendapat cahaya penuh atau diproduksi pada musim kemarau akan memiliki penampilan yang lebih menarik, yaitu warna kulitnya kuning cerah dan penampilannya mulus. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman pepaya adalah 22o-26oC, suhu minimal 15oC dan suhu maksimal 43oC dengan curah hujan 1500-2000 mm/tahun.

(2)

Dalam menentukan standar mutu buah pepaya digunakan Standar Nasional Indonesia SNI 01–4230–1996. Pepaya malang segar digolongkan dalam 4 ukuran yaitu kelas A, B, C dan D berdasarkan berat tiap buah.

Kelas A : Berat per buah 2.5 kg – 3.0 kg Kelas B : Berat per buah 1.8 kg – 2.4 kg Kelas C : Berat per buah 1.5 kg – 1.7 kg Kelas D : Berat per buah < 1.5 kg atau > 3 kg

Pada Tabel 1 di bawah ini dapat dilihat kriteria mutu buah pepaya malang segar berdasarkan SNI 01-4230-1996.

Tabel 1. Kriteria mutu buah pepaya malang segar (SNI 01–4230–1996)

No Kriteria mutu Mutu I Mutu II Mutu III

1 Tingkat ketuaan warna kulit

(jumlah strip warna jingga) 13 strip 2-3 strip 1 strip

2 Kebenaran kultivar 97% 95% 90%

3 Keseragaman ukuran berat 97% 95% 90%

4 Keseragaman ukuran bentuk 97% 95% 90%

5 Buah cacat dan busuk 0% 0% 0%

6 Kadar kotoran 0% 0% 0%

7 Serangga hidup/mati 0% 0% 0%

8 Tingkat kesegaran segar100% segar<25% segar>25% Salah satu jenis pepaya yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1. Pepaya IPB 1 (Gambar 1) yang lebih dikenal dengan nama Arum memiliki kulit buah yang berwarna hijau muda, berubah menjadi kuning pada bagian ujungnya ketika mulai matang. Daging buah matang berwarna kuning sampai jingga kemerahan serta memiliki aroma yang khas.

(3)

Bentuk buah lonjong, ukuran buah kecil, panjang buah ± 14 cm, diameter buah ±10 cm, dan bobot per buah ±500 g (Dirjen Hortikultura, 2005). Pepaya IPB 1 berasal dari indukan pepaya eksotika yang diperoleh dari rangkaian penelitian pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh Pusat Kajian Buahan Tropis (PKBT) IPB (Pusat Kajian Buah-Buahan Tropis 2004).

Lembaga Pemasaran Pertanian Persekutuan Malaysia (2004) mengeluarkan standar pengkelasan ukuran untuk pepaya eksotika MS 1145.

Kelas XL (lebih besar) berat per buah >850 g Kelas L (besar) berat per buah 651-850 g Kelas M (sedang) berat per buah 451-650 g Kelas S (kecil) berat per buah 250-450 g.

Kader (1992b) menyatakan buah dan sayuran yang telah dipanen akan tetap hidup karena masih meneruskan reaksi-reaksi metabolisme dan masih mempertahankan sistem fisiologis sebagaimana saat masih melekat pada pohon induknya. Ryall dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa selama proses pematangan, buah mengalami perubahan yang jelas yaitu kenaikan kadar gula, penurunan zat pati pada buah apel, pear, dan pisang, kenaikan kadar minyak/lemak pada buah alpukat, perubahan tekstur, penurunan kadar tanin dan rasa sepat, perubahan warna pada kulit dan daging buah, turunnya rasa asam

diikuti perubahan karoten. Juga terjadi perubahan laju produksi CO2 dan produksi etilen,

pelunakan kulit daging buah, penurunan bobot, serta penurunan kadar air (Dominguez dan Vendrell, 1993; Moya-Leon dan Jhon, 1994).

Buah yang matang mengalami banyak perubahan fisik dan kimia setelah dipanen, hal ini dapat mempengaruhi kualitas buah untuk dikonsumsi. Pada buah-buahan klimakterik, selama proses pematangan akan terjadi peningkatan respirasi dan produksi etilen sebelum mencapai penuaan. Proses respirasi dan transpirasi berpengaruh terhadap susut bobot buah. Selain dapat mengurangi bobot buah, kandungan air dari jaringan buah dapat mengakibatkan perubahan penampakan buah. Selain transpirasi, hidrolisis pati juga dapat menurunkan kandungan air buah. Buah yang banyak kehilangan

(4)

air menjadi tidak menarik, teksturnya jelek dan mutu atau kandungan gizinya menurun (Kader, 1992a).

Perubahan warna kulit buah merupakan salah satu parameter dalam menentukan tingkat kematangan buah pepaya. Wills et al., (1989) menyatakan bahwa selama

penyimpanan buah pepaya mengalami perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning atau jingga. Hal ini disebabkan oleh penurunan klorofil dan terbentuknya karotenoid dalam jaringan buah. Karotenoid yang terdapat dalam buah atau sayuran terdiri atas karoten, xantofil, dan likopen.

Karbohidrat utama yang terdapat pada buah pepaya adalah gula. Jenis gula yang dominan adalah sukrosa (48.3%), glukosa (29.8), dan fruktosa (21.9%) (Villegas, 1997). Pada saat buah pepaya masak, kadar gula dalam buah meningkat, hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis polisakarida menjadi gula (Kader, 1992a). Selama pematangan kandungan total padatan terlarut (TPT) cenderung meningkat karena adanya metabolisme polisakarida dalam dinding sel. Arriola (1980) melaporkan bahwa pada buah pepaya matang terjadi peningkatan baik kandungan asam maupun TPT, namun kandungan gula jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan asam organiknya sehingga rasa manis lebih dominan.

Perubahan lain yang terjadi selama proses pematangan adalah perubahan tekstur buah. Pantastico (1989) menyatakan bahwa selama penyimpanan buah akan mengalami pembongkaran protopektin tidak larut menjadi asam pektat dan pektin yang mudah larut, sehingga ketegaran dinding sel menurun dan buah menjadi lunak atau masak. Arriola (1980) menyatakan bahwa buah pepaya pada saat mentah memiliki tekstur buah yang keras tetapi setelah matang buah menjadi lunak karena protopektin dalam buah terhidrolisis menjadi pektin. Pepaya mengalami kenaikan kandungan total pektin selama pematangan dan mencapai maksimum 2 hari sebelum buah matang. Almora et al.,

(2003) menyatakan bahwa kekerasan pepaya menurun selama proses pematangan, enzim hydrolitik aktif sejalan dengan kerusakan dinding sel dan penurunan tingkat kekerasan.

(5)

2.2. Penyimpanan

Penyimpanan adalah salah satu bentuk tindakan penanganan pascapanen yang selalu terkait dengan faktor waktu, tujuan menjaga dan mempertahankan nilai komditas yang disimpan. Peranan penyimpaann antara lain dalam hal penyelamatan dan pengamanan hasil panen, juga memperpanjang waktu simpan, terutama untuk komoditas hortikultura. Selain itu penyimpanan juga dapat menghindarkan banjirnya produk ke pasar, memberi kesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayur-sayuran sepanjang tahun.

Penyimpanan adalah suatu cara menempatkan suatu komoditi di dalam ruangan pada suhu dan kelembaban optimal untuk menunggu proses selanjutnya. Jangka waktu penyimpanan juga tergantung dengan aktivitas respirasi, ketahanan terhadap kehilangan air dan tanggapan terhadap mikroorganisme perusak. Kondisi lingkungan penyimpanan yang diinginkan dapat diperoleh dengan cara pengendalian suhu, sirkulasi udara, kelembaban dan komposisi atmosfir. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah pengendalian laju transpirasi dan respirasi (Pantastico, 1989). Penyimpanan selain dilakukan pada suhu ruang bisa juga dilakukan di dalam lemari pendingin.

Penyimpanan dingin adalah penyimpanan di bawah 15oC dan di atas titik beku. Pendinginan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air, penurunan laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins, 1971). Apabila buah-buahan didinginkan, maka proses respirasi yang menyebabkan kehilangan CO2

dapat dikurangi, tetapi peroses penguapan air justru dapat menajdi cepat terutama bila kelembaban relatif udara di bawah keadaan optimal (85-90%). Proses pendinginan yang kurang tepat akan menyebabkan buah-buahan mengalami kerusakan dingin yang disebut ”chilling injury” (Winarno, 2002).

Chilling injury adalah kerusakan karena penyimpanan suhu rendah yaitu di bawah

suhu optimal yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau coklat pada kulit buah. Chilling

injury terjadi karena adanya kerusakan mitokondria sehingga produksi adenosin tri

posphat (ATP) menurun, terakumulasinya senyawa etilen yang akan merangsang sintesa lignin (penyebab mengerasnya jaringan daging buah), timbulnya rasa pahit akibat terakumulasinya senyawa penol, meningkatnya asam organik chlorogenat dan

(6)

menurunnya vitamin C (Potter, 1978). Tiap-tiap jenis buah-buahan mempunyai batas ketahanan tertentu pada suhu dingin. Buah-buahan tropik umumnya sensitif terhadap suhu dingin (Kays, 1991).

Pepaya merupakan buah yang relatif lebih mudah rusak dibandingkan dengan buah-buahan lainnya karena mempunyai kulit yang tipis (Broto et al., 1994). Jagtiani et al., (1998) menyatakan buah pepaya sensitif terhadap suhu rendah, dan chilling injury

terjadi pada suhu dibawah 7oC. Gejala chilling injury pada buah pepaya terjadi setelah 14

hari penyimpanan pada suhu 5oC untuk buah hijau dan 21 hari untuk 60% buah menguning (Seymour et al., 1993). Pada buah pepaya ciri-ciri chilling injury adalah buah

menjadi kehilangan flavour (rasa dan aroma) dan tampak keriput (Desroiser, 1988).

Model Matematika Laju Perubahan Mutu

Selama penyimpanan, mutu produk akan berubah karena adanya pengaruh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara. Melalui model matematika, pengamat dapat mengandaikan dan menduga laju perubahan mutu yang akan terjadi pada kondisi tertentu. Untuk menyusun model perubahan mutu diperlukan beberapa pengamatan parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa, misalnya hasil uji kimiawi, uji fisik, uji organoleptik dan uji mikrobiologis (Syarief dan Halid, 1991).

Suhu merupakan faktor eksternal terpenting untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan suatu produk hasil pertanian (Tijsjenks et al., 2001).

Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin cepat laju reaksi berbagai senyawaan kimia, sehingga dalam membuat model pendugaan laju perubahan mutu selama penyimpanan, selalu memperhitungkan faktor suhu. Kondisi suhu ruangan penyimpanan, selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu (Syarief dan Halid, 1991). Jika diasumsikan faktor waktu adalah tetap, maka untuk menduga konstanta laju perubahan mutu dapat menggunakan persamaan Arrhenius yaitu :

RT E e k

(7)

dimana : k adalah konstanta penurunan mutu, k0 adalah konstanta (tidak tergantung pada

suhu), E adalah energi aktivasi, T adalah suhu mutlak (oC+273) dan R adalah konstanta gas (8.314 joule/mol.K).

Besarnya nilai pendugaan perubahan mutu dapat dihitung dengan persamaan :

y = yawal – kt (2)

dimana : y adalah mutu hasil pendugaan, yawal adalah mutu pengamatan awal, k adalah

konstanta laju perubahan mutu dan t adalah lama penyimpanan (hari).

2.3. Pemeraman

Pemeraman diartikan sebagai suatu usaha mengatur proses pematangan sehingga tidak hanya mengandalkan proses pematangan alami semata. Pemeraman dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar akan suatu buah yang matang optimum pada suatu periode yang terjadwal, dalam artian mempercepat atau memperlambat proses pematangan tersebut.

Pengontrolan pematangan relatif mudah dilakukan, terutama untuk buah-buahan klimakterik, yakni dengan jalan mengatur waktu terjadinya puncak klimakterik. Secara teoritik, pengontrolan pematangan dilakukan dengan perlakuan suhu ruang penyimpanan pada suatu tingkat tertentu tanpa menimbulkan kerusakan buah-buahan tersebut. Suhu ruangan pematangan yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Buah yang diperam pada suhu tinggi akan berwarna kusam dan daging buah rusak, sedangkan pada suhu rendah, pematangan akan berlangsung lama.

Metode lain untuk mempercepat pematangan adalah dengan memberikan etilen yang berefek fisiologis terhadap buah-buahan. Etilen (C2H4) merupakan gas hasil

metabolisme aktif yang dikeluarkan oleh buah yang matang dan berfungsi sebagai pemicu

(trigger) pematangan (Seymour et al., 1993). Pemberian etilen berpengaruh nyata

terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak klimakterik. Kader (1989) menerangkan bahwa baik kelompok buah klimakterik maupun non klimakterik, akan memberikan respon terhadap pemberian etilen, walau efeknya berbeda. Pada buah-buahan klimakterik, konsentrasi etilen pada tingkat kritis buah tersebut akan mempercepat tercapainya puncak klimakterik, tanpa berpengaruh terhadap tingginya puncak klimakterik

(8)

yang ditandai dengan meningkatnya penyerapan O2. Pada buah non klimakterik, efek

pemberian etilen adalah menaikkan laju respirasi yang mengakibatkan naiknya laju pematangan buah tersebut. Efek ini sangat erat kaitannya dengan konsentrasi etilen yang diberikan tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik tersebut.

Pantastico (1989) menyatakan bahwa pada buah-buahan klimakterik, etilen hanya menggeser sumbu waktu, tidak merubah bentuk kurva respirasi, dan tidak menimbulkan perubahan pada zat utama yang terkandung. Semakin besar konsentrasi etilen yang diberikan sampai pada suatu tingkat kritis, semakin cepat pemacuan respirasi. Pembentukan etilen terjadi pada saat praklimakterik dan meningkat konsentrasinya pada saat puncak klimakterik, seperti dinyatakan pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Waktu pencapaian klimakterik dengan produksi etilen selama penyimpanan (Winarno, 2002)

Mekanisme pengaruh etilen terhadap laju respirasi, diterangkan oleh Haard dan Salunkhe (1975), dimana etilen menginduksi perubahan dalam permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan pergerakan adenosine triphosphate (ATP) meningkat

sehingga akan mempercepat beberapa reaksi yang meningkatkan laju respirasi.

Secara umum kondisi optimum pemeraman buah-buahan adalah suhu ruang pemeraman berkisar antara 18-25oC dengan kelembaban relatif 90-95% dan konsentrasi penggunaan etilen sebesar 10–100 ppm dengan lama perlakuan 24-72 jam tergantung pada jenis dan tingkat kematangan buah. Konsentrasi gas CO2 harus kurang dari 4%

yang ditentukan dengan mengatur pembukaan ventilasi pada selang waktu 12 jam (Reid, Puncak klimakterik Produk CO2 Produk etilen Etilen CO2 Waktu klimaterik

(9)

normal dapat menghambat proses pematangan buah. Jika jumlah CO2 lebih banyak,

kelebihannya akan mensubstitusi etilen sehingga pematangan menjadi terhambat. Buah yang dapat diperam ialah golongan buah klimakterik yaitu buah dengan pola respirasi yang diawali peningkatan secara lambat, kemudian meningkat dan menurun lagi setelah mencapai puncak (Gambar 3). Kematangan optimum buah, dimana buah memiliki kualitas rasa (eating quality) paling maksimal terjadi di sekitar puncak klimakterik

(Sutrisno, 1994). Menurut Haard dan Salunkhe (1975), pemeraman (ripening) buah

merupakan perlakuan terhadap buah dengan tujuan untuk mempercepat proses dan menyeragamkan kematangan buah. Selama proses pematangan, warna, rasa, tekstur dan aroma buah mengalami perubahan.

Gambar 3. Fase dari periode klimakterik (Watada et al., 1984, diacu dalam Sutrisno,

1994)

Linskens dan Jackson (1995) menyebutkan bahwa selama pematangan buah, terjadi banyak perubahan yang sebagian besar merupakan penurunan seperti pecahnya klorofil, hidrolisis pati dan meluruhnya dinding sel, dan beberapa komponen seperti susunan karotenoid dan antosianin, sintesis aroma dan susunan etilen.

Puncak klimakterik Pasca klimakterik Peningkatan klimakterik Pra-klimakterik Pra-klimakterik minimum Tingkat produksi CO2 atau C2H4 Waktu

(10)

2.4. Respirasi

Respirasi adalah proses metabolisme dengan menggunakan O2 dalam pembakaran

senyawa makromolekul seperti karbohidrat, protein yang menghasilkan CO2, air dan energi. Laju respirasi buah merupakan petunjuk aktivitas metabolisme jaringan dan berguna sebagai petunjuk daya simpan buah dan sayuran. Pada buah klimakterik laju respirasi meningkat selama pematangan dan mencapai maksimum pada akhir tahap proses pematangan (Kays, 1991).

Respirasi merupakan suatu proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein dan lemak) menjadi bahan sederhana dan produk akhirnya berupa CO2, H2O dan energi. Kehilangan cadangan makanan selama respirasi berarti kehilangan

nilai gizi makanan (nilai energi) untuk konsumen, berkurangnya kualitas rasa, khususnya rasa manis dan kehilangan berat kering ekonomis (khususnya bagi komoditas yang akan didehidrasi). Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kal energi

Dari persamaan di atas, dapat diketahui bahwa glukosa diperlukan untuk proses respirasi. Glukosa diperoleh dari cadangan makanan yang disimpan dalam bentuk buah, umbi dan lain sebagainya. Menurut Ryall dan Pentzer (1982), respirasi dapat dijelaskan dengan persamaan sederhana, dimana setiap respirasi 180 gr glukosa mengkonsumsi 192 gr O2 dan menghasilkan 264 gr CO2, 108 gr air dan 673 kalori energi. Besar kecilnya

respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang diserap,

CO2 yang dihasilkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul.

Dengan memodifikasi model respirasi pada Kays (1991), maka model respirasi pada sistem penyimpanan dingin dan pemeraman dalam ruangan tertutup dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4. Pada sistem tersebut diatas, buah akan tetap melakukan proses metabolisme termasuk respirasi selama penyimpanan dan pematangan. Proses respirasi akan mengoksidasi substrat untuk menghasilkan energi, air metabolik, dan karbondioksida. Hal tersebut akan mengakibatkan pengurangan substrat buah,

(11)

Menurut Kays (1991) suhu menimbulkan efek yang menentukan dalam laju metabolisme produk pasca panen, nilai Q10 respirasi berkisar antara 2.0-2.5 saat suhu

5°C hingga 25°C. Dengan kata lain, setiap peningkatan suhu 10°C, maka laju respirasi dapat meningkat 2.0-2.5 kali lipat. Namun pada skala suhu 30°C-35°C, nilai Q10 dapat

menurun dan laju reaksi cenderung terhambat dikarenakan denaturasi enzim. Sedangkan suhu buah umumnya sedikit lebih tinggi dari suhu ruang penyimpanan akibat panas respirasi, dimana perbedaan suhu tersebut cukup kritis dalam penentuan laju metabolisme produk. Di lain pihak, penyimpanan pada suhu rendah dapat menekan terjadinya respirasi dan transpirasi sehingga proses pematangan berjalan lambat dan susut berat menjadi minimal.

Gambar 4. Model fisik proses respirasi sistem pemeraman pada ruang pemeraman tertutup (Kays, 1991)

Komposisi gas yang utama dalam mempengaruhi respirasi, diantaranya adalah oksigen, karbondioksida, dan etilen (Kays, 1991). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa komposisi O2 rendah dan CO2 tinggi akan menghambat laju respirasi, seperti 3%

aCxHy0z + bO2 ---Æ cCO2 + dH2O + energi

- Substrat + Energi kimia

+ CO2 + Metabolic water

+ CO2 + Panas - O2 C2H4 Ruang pemeraman tertutup Volume bebas ruangan Buah T (oC), RH

(12)

O2 dan 5% CO2 (McGlasson, 1972). Sedangkan, menurut Salunkhe et al., (1991), etilen

menginduksi perubahan dalam permeabilitas membran mitokondria sehingga pergerakan ATP meningkat dan laju respirasi pun meningkat. Etilen dapat mempercepat proses respirasi dan pembentukannya sekaligus didorong laju respirasi.

2.5. Hubungan Etilen dengan Pematangan Buah

Menurut Abeles (1973) etilen adalah suatu gas hidrokarbon dengan ikatan rangkap dan memiliki berat molekul 28.05, merupakan suatu gas tidak berwarna dengan bau manis seperti eter. Disamping itu etilen mudah terbakar dengan batas ambang antara 2.75-28.60% di udara dan dapat larut dalam air sekitar lima kali daripada di udara. Dalam fase gas pada konsentrasi 1 ppm dan temperatur 0oC, kemolaran etilen dalam air adalah

10.1x10-9 dan 4.43x10-9 pada temperatur 25oC.

Etilen adalah suatu gas yang digolongkan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan karena dapat memenuhi syarat yakni dihasilkan oleh tumbuhan, bersifat mobil dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik. Etilen tidak hanya berperan dalam proses pematangan tetapi juga proses pertumbuhan, seperti pada sistem pembungaan, akan dapat mempercepat proses pemekaran kuncup. Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu ruang berbentuk gas dihasilkan oleh buah dan sayuran selama proses pematangan dan bisa mempercepat proses pematangan. Etilen adalah suatu gas yang dalam kehidupan tanaman dapat digolongkan sebagai hormon aktif dalam proses pematangan. Pembentukan etilen terjadi pada saat praklimakterik dan meningkat konsentrasinya pada saat puncak klimakterik (Winarno, 2002).

Etilen disintesa di dalam mitokondria, yaitu pada saat warna buah berubah dari hijau menjadi kuning, hal ini dibuktikan karena pada mitokondria yang diambil dari buah yang masih hijau tidak menghasilkan etilen, sedang pada mitokondria dari buah yang telah kuning terdapat etilen. Keadaan tersebut diperkuat dengan diketahuinya adanya zat penghambat pembentukan etilen di dalam buah tomat, yaitu “orthodihydric phenole” (phenolic), dimana jumlahnya menurun selama proses pematangan buah (Winarno, 2002).

(13)

biasanya aktivitas respirasi itu meningkat dengan ditandai oleh meningkatnya penyerapan oksigen. Dengan adanya etilen, proses respirasi akan berlangsung segera dan ikut dalam proses reaksi pematangan. Perbandingan respirasi dengan produksi etilen tidak tetap, dimana semakin matang buah, produksi etilen semakin menurun.

Menurut Burg (2004) jumlah CO2 yang tinggi merupakan penghambat kerja etilen

sebab gas ini menunda kematangan buah dengan menggantikan etilen dari tempat reseptornya. Oksigen justru dibutuhkan untuk mengaktifkan kerja etilen sehingga jika konsentrasi O2 diturunkan menjadi 2-5% maka produksi etilen dapat berkurang menjadi

setengahnya. Usaha mengurangi konsentrasi etilen akan mengakibatkan tertundanya kematangan dan mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan. Pada buah klimakterik respon etilen hanya berpengaruh pada saat fase pre-klimakterik, sedangkan pada buah non klimakterik aktivitas respirasi dan pematangan dapat dipercepat pada semua fase tahap pematangan.

2.6. Teknologi Near Infrared (NIR)

Dasar teori spektroskopi adalah interaksi energi radiasi dan materi. Bila senyawa organik menyerap radiasi maka elektron akan tereksitasi dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Berbagai teknik spektroskopi banyak digunakan dalam analisis biologis, antara lain spektroskopi UV-VIS, asorpsi atom, infra merah, fluorensi, dan massa (Winarno et al., 1973). Spektroskopi NIR merupakan salah satu teknik

spektroskopi yang menggunakan wilayah panjang gelombang infra merah pada spektrum elektromagnetik (sekitar 780 sampai 2500 nm). Hal yang utama dari kisaran NIR ini adalah dapat digunakan untuk analisis komponen dan mendeteksi kualitas (Mohsenin, 1984). Setelah dipancarkan maka radiasi ini akan diserap oleh semua bahan organik dan informasi utama yang dapat diekstrak adalah stretching dan bending ikatan kimia CH,

OH, dan NH yang merupakan ikatan dasar dari semua ikatan kimia bahan organik.

Komposisi jaringan tanaman atau hewan sangat ditentukan oleh jenis-jenis ikatan antara atom-atom atau sekelompok atom yang membangun jaringan tersebut. Informasi mengenai sekelompok atom tersebut dapat dilihat melalui bentuk bentuk spektra yang berbeda, dimana bila sampel materi organik diradiasi, ikatan secara kontinu bervibrasi

(14)

yang menyebabkan peregangan dan pembelokan. Hal ini selanjutnya menimbulkan semacam gelombang pada ikatan tersebut pada suatu frekuensi tertentu yang merupakan karakteristik dari kelompok fungsional tersebut. Frekuensi cahaya yang dipancarkan bila sesuai dengan gelombang vibrasi dari ikatan kimia, maka frekuensi tersebut akan diabsorbsi. Sebaliknya bila tidak sesuai, frekuensi tersebut akan direfleksikan (dipantulkan) atau ditransmisikan (diteruskan). Proses tersebut sama dengan yang terjadi ketika suatu objek yang berwarna yang disinari dengan cahaya putih (Foley et al., 1998).

Radiasi NIR (750-2500 nm) diabsorbsi terutama oleh ikatan C-H, N-H dan O-H yang merupakan komponen utama di dalam senyawa organik jaringan tanaman dan hewan. Komponen kimia tersebut menentukan jumlah ikatan-ikatan yang ada dan selanjutnya menentukan panjang gelombang dan jumlah cahaya yang diabsorbsi (Osborne et al.,

1993; Folley et al., 1998). Dalam prakteknya sulit mengukur jumlah cahaya yang

diabsorbsi, namun dapat ditentukan secara tidak langsung dengan mengukur reflektannya. Hubungan antara absorbansi (A) dengan reflektan (R) menurut Williams dan Norris (1990) dinyatakan dengan rumus A = log (1/R).

Menurut Osborne et al., (1993), keunggulan dari gelombang NIR dalam analisis

khususnya bahan makanan yaitu gabungan antara kecepatan, tingkat ketepatan dan kemudahan dari percobaan yang dilakukan. Menurut Mohsenin (1984) metode NIR dapat mengukur besarnya parameter optik (reflektan, trasmitan atau absorban) akibat interaksi antara panjang gelombang cahaya (photon) dengan molekul dan materi. Pada saat radiasi NIR mengenai bahan organik, sekitar 4% akan dipantulkan kembali oleh permukaan luar (regular refraction) dan proporsi radiasi lainnya sekitar 96% masuk kedalam produk yang

selanjutnya mengalami penyerapan (absorption), pemantulan (reflection), penyebaran

(scattering) dan penerusan (transmitten).

Penyerapan panjang gelombang tertentu oleh kandungan kimia tertentu ditunjukkan oleh terjadinya puncak-puncak gelombang pada kurva absorpsi NIR, semakin besar kandungan kimia suatu bahan pertanian maka penyerapan akan semakin besar, atau puncak gelombangnya semakin tinggi.

(15)

terlarut sari buah jeruk, apel, pear, pepaya dan pisang. Dari berbagai sari buah tersebut dikembangkan algoritma umum untuk menentukan total padatan terlarut sari buah. Penerapan pantulan NIR telah digunakan untuk mengukur kekerasan biji gandum (Delwiche 1993), mengevaluasi rasa beras (Kawamura et al., 1997). Budiastra et al.,

(1995) mengklasifikasikan mangga kedalam tiga jenis rasa manis, manis asam dan asam yang diukur dengan teknologi NIR pada 200 contoh mangga dengan kisaran panjang gelombang 1400 nm–1975 nm. Metode stepwise dari regresi berganda digunakan untuk

memilih panjang gelombang optimal untuk menduga kosentrasi sukrosa dan asam malat. Susanto et al., (2000) melakukan kalibrasi pantulan infra merah dekat dengan

jaringan syaraf tiruan untuk menduga kosentrasi sukrosa dan asam malat pada buah mangga gedong. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sistem jaringan syaraf tiruan (JST) dapat digunakan pada tahap kalibrasi pantulan dari NIR. Metode yang digunakan untuk kalibrasi dengan JST tersebut adalah metode backpropagation. Pendugaan kualitas

buah tomat secara non destructive menggunakan VIS/NIR spectroscopy dilakukan oleh He et al., 2005. Cayuela (2008) menduga total padatan terlarut jeruk (Citrus sinensis L.)

cv. Valencia menggunakan VIS/NIR.

2.7. Jaringan Syaraf Tiruan (JST)

Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) sudah lama berkembang dimulai oleh Rosenblatt pada tahun 1957, yaitu pengenalan hurup cetak namun mempunyai kelemahan tidak dapat mengenali karakter kompleks, peka terhadap perbedaan skala pergeseran, dan distorsi. Namun penerapan di bidang pertanian baru dimulai sekitar tahun 1980-an yakni pada penelitian Gordon et al., (1998) yang mendeteksi adanya jamur pada

jagung, serta menggabungkannya dengan photo infrared spectroscopy untuk mendiagnosa

infeksi pada biji jagung secara otomatis. Diterapkan juga dalam simulasi sistem drainase (Yang et al., 1998), penyakit kacang-kacangan (Batchelor et al., 1997), konsentrasi

pestisida dalam tanah (Yang et al., 1997), perpindahan panas (Sablani et al., 1995),

klasifikasi warna kernel gandum (Wang et al., 1999), dan pakan ternak (Suroso et al.,

1999). Penelitian aplikasi JST pada pasca panen hasil pertanian telah dilakukan oleh Kondo (1995) yang menggunakan JST untuk mengevaluasi kandungan gula buah jeruk

(16)

dengan koefisien determinasi 0.872. Huang et al., (1998) menggunakan JST untuk

memprediksi proses pengeringan makanan kecil secara kontinuous. JST menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan PLS pada klasifikasi kerusakan biji kacang kedelai menggunakan spektra NIR. Rata-rata klasifikasi yang benar 94.0 % pada saat kalibrasi dan 89.8 % saat validasi, sedangkan dengan PLS rata-rata klasifikasi yang benar hanya 70.33 % pada saat kalibrasi, dan 71 % saat validasi (Wang et al., 2002). Jensen et al. (1997) mengklasifikasi varietas tomat secara otomatis dengan menggunakan metoda

klasifikasi statistik multivarian dan dikombinasikan dengan model jaringan syaraf tiruan yang terdiri dari 2 lapisan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Susanto et al., (2000) yang menerapkan JST

untuk sortasi mangga gedong berdasarkan konsentrasi sukrosa dan asam malat buah yang diukur dengan NIR. Penerapan JST dengan input komponen utama memprediksi asam malat dengan root mean square error predicting (RMSEP) adalah 0.1170 sampai

0.2034 % sedangkan RMSEP untuk penentuan sukrosa antara 0.1556 dan 0.1773 %. Purwanto (2000) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi respon kumulatif buah tomat selama penyimpanan dengan metode neural network. Berbagai temperatur sebagai input dan kehilangan air, warna sebagai output didapatkan estimasi error adalah 0.0033 dan 0.1066. Respon buah tomat selama penyimpanan mempunyai hubungan linier dengan kehilangan air dan mempunyai hubungan secara nonlinier dengan perubahan warna. Hendri et al.

(2001) mengaplikasikan neural network untuk mengevaluasi secara nondestruktif biji buah duku dengan menggunakan sinar tampak, pelatihan dengan simpul 3, 4, 5, 6 dan iterasi 2000, 4000, 6000 dan 8000 menghasilkan RMSE yang terendah pada iterasi 4000, simpul 4 dan koefisien determinasi 0.86.

Menurut Rejo et al., (2001) bahwa model JST dapat digunakan untuk

mengklasifikasikan tingkat ketuaan dan kematangan buah durian.Tingkat validasi model JST untuk klasifikasi tingkat ketuaan dan kematangan pada iterasi 1000 dan 5000 dengan simpul 10, 8, 6, dan 4 menghasilkan akurasi sebesar 87.5 sampai 100%. Suyantohadi et al., (2001) melakukan identifikasi tingkat ketuaan mangga arumanis dengan menggunakan

(17)

simpul. Hasil penelitian didapatkan bahwa model JST sudah dapat mengidentifikasi buah mangga yang mentah, matang dan lewat matang. Suroso dan Maulani (2003) melakukan evaluasi mutu ketimun jepang berdasarkan bentuk dengan model JST perceptron yang mempunyai 84 unit masukan hasil pengolahan citra berupa bilangan biner dan bipolar dan 3 unit keluaran bipolar. Nilai pembobot didapatkan dengan nilai pembatas = 0.4, laju training = 0.5 dan dilakukan sampai iterasi ke-10 dengan tingkat keberhasilan 86,67% data masukan biner yang lebih besar dari data masukan bipolar 53.3%. Damiri et al., (2004) menentukan tingkat ketuaan dan kematangan jeruk lemon menggunakan

pengolahan citra dan JST dengan tingkat keakuratan model 100% dengan jumlah data masukan masing-masing 4, 5, 7, 9 buah parameter mutu hasil pengolahan citra pada berbagai jumlah lapisan tersembunyi.

2.8. Pengolahan Citra (Image Processing)

Teknik pengolahan citra menurut Jain et al., (1995) adalah suatu teknologi yang dikembangkan untuk mendapatkan informasi dari cittra digital dengan cara memodifikasi bagian dari citra digital yang diperlukan sehingga menghasilkan citra digital yang lain yang lebih informatif. Teknologi Pengolahan citra telah berkembang selama dua dekade terakhir. Pengolahan citra tidak diragukan lagi merupakan metode baru yang menjanjikan karena teknologi ini tidak hanya menjadikan otomatisnya proses penilaian atribut mutu pangan yang peting tetapi juga meningkatkan objektivitas dan konsistensi hasil pengukuran (Gao dan Tan, 1996).

Pegolahan citra didasarkan pada spektrum cahaya yang dapat dilihat oleh mata manusia dimana menurut Mohsenin (1984) persepsi visual mata manusia terhadap warna tidak menggunakan sensor untuk tiap panjang gelombang, tetapi hanya ada tiga pusat stimulus yaitu biru, hijau dan merah. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis yang banyak melibatkan persepsi visual dimana menurut Stephens (2000) citra dapat diperoleh secara otomatik dari sistem penangkap citra membentuk suatu matriks yang elemen-elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya atau tingkat keabuan setiap piksel. Citra masukan diperoleh dari kamera yang telah dilengkapi dengan alat digitasi yang mengubah citra masukan berbentuk analog menjadi citra digital (Yang, 1992).

(18)

Aplikasi penggunaan teknik pengolahan citra dibidang pertanian antara lain menentukan laju perkembangan memar pada buah salak yang disimpan pada suhu 10oC mencapai 10% sesudah 108 jam, 12.5% pada 180 jam dan 25% pada 192 jam (Ahmad et al., 2001), mengukur dan analisa warna permukaan bahan pangan (Yam dan Papadakis,

2004) dan pemeriksaan irisan keju dengan citra digital mempunyai akurasi 95% (Ni dan Guansekaran, 2003).

2.9. Algoritma Genetika (AG)

Algoritma genetika (AG) adalah suatu teknik pencarian dan optimasi stokastik yang cara kerjanya meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom mahluk hidup (Goldberg, 1989). Algoritma genetika menggunakan analog fenomena natural, yaitu adaptasi evolusi biologis dimana individu-individu terbaik dalam suatu populasi akan mengalami persilangan-persilangan dan mutasi-mutasi dimana yang lebih baik dapat bertahan, sedangkan yang lemah akan punah.

Salah satu kelebihan algoritma genetika adalah relatif sederhana karena kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi, yaitu hanya memerlukan informasi tentang struktur kromosom (individu) dan bentuk fungsi fitness dari permasalahan yang dihadapi

kemudian akan mencari sendiri solusi terbaik untuk permasalahan yang dihadapi (Yandra dan Hermawan, 2000). Salah satu penerapan AG yaitu digunakan dalam pemecahan masalah penjadwalan flowshop yang memerlukan solusi optimal dalam masalah-masalah

yang kompleks (Iyer dan Saxena, 2004). (Castiglione et al., 2007) melakukan optimasi

penjadwalan terapi simulasi model sistem kekebalan tubuh pasien HIV menggunakan AG dengan maksimasi pengembalian kekebalan tubuh, minimasi jumlah virus melalui pengobatan yang tepat dan minimasi obat yang diberikan kepada pasien. Dalam bidang pertanian AG diterapkan dalam optimasi lingkungan penyimpanan buah (Morimoto dan Hashimoto, 1998). Thamrin (2005) melakukan penelitian dalam aplikasi penentuan acuan optimal lingkungan untuk pertumbuhan tanaman ketimun mini selama vase vegetatif, penentuan lingkungan optimal dengan AG untuk sistem kontrol adaptif lingkungan

Gambar

Tabel 1. Kriteria mutu buah pepaya malang segar (SNI 01–4230–1996)
Gambar 4. Model fisik proses respirasi sistem pemeraman pada ruang pemeraman tertutup                   (Kays, 1991)

Referensi

Dokumen terkait

Buah pepaya dengan umur petik 135 dan 131 hari setelah bunga mekar mengalami proses pematangan yang optimum atau puncak klimakterik pada hari ketiga setelah

Pemeraman buah kakao sebaiknya dilakukan dengan cara dihampar di atas lantai yang diberi alas (Widyotomo, 2003). Produk hasil olahan kakao memiliki sifat yang spesial dari

Buah pepaya dengan umur petik 135 dan 131 hari setelah bunga mekar mengalami proses pematangan yang optimum atau puncak klimakterik pada hari ketiga setelah

Pemanenan buah kelapa sawit yang baik adalah semua tandan yang telah matang harus di panen, tandan buah dipotong dengan dodos atau eggrek bertangkai panjang, bekas potongan

Permintaan pasar merupakan jumlah total suatu barang yang ingin dibeli oleh setiap konsumen pada setiap tingkat harga, atau dengan kata lain merupakan penjumlahan

Perubahan yang mempengaruhi permintaan hasil produksi, antara lain: naik turunnya permintaan pasar akan hasil produksi dari perusahaan yang bersangkutan, tercermin melalui

Muawanah, 2017 2.5 Kurva Permintaan dan Penawaran Linear 2.5.1 Kurva Permintaan Fungsi permintaan yang mencerminkan perilaku konsumen di pasar dimana sifat yang berlaku yaitu

Kelebihan karakteristik dari buah pisang ambon yaitu rasa buahnya yang sangat manis jika sudah matang dan memiliki aroma harum khas karena mengandung komponen senyawa ester seperti