• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Setianyar (2016) mengungkapkan bahwa merokok akan menyebabkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Setianyar (2016) mengungkapkan bahwa merokok akan menyebabkan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Berbagai penelitian telah menjelaskan dampak buruk akibat merokok terhadap kesehatan. Setianyar (2016) mengungkapkan bahwa merokok akan menyebabkan meningkatnya risiko terkena penyakit stroke dan jantung (Setianyar 2016, intisari, xv). Berkaitan dengan dampak merokok pada penyakit jantung, Setyaji (2016) menemukan bahwa orang-orang yang rutin merokok atau pernah rutin merokok akan memiliki prevalensi terkena Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang sama sekali tidak pernah merokok (Setyaji 2016, 45).

Merokok juga akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada paru-paru. Kapasistas paru-paru individu yang merokok semakin lama akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena rokok memiliki kandungan berupa zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan (Saptutyningsih 2016, 66). Hal ini diperjelas dengan temuan bahwa penyakit kanker akibat rokok dengan beban tertinggi di Indonesia adalah kanker paru-paru, lebih tinggi dari pada kasus kanker nasofaring dan kanker hati (Sendjaja 2015, 50). Merokok juga menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi dari seorang pria karena merokok akan menyebabkan gangguan fungsi ereksi (Kovac dkk. 2014, 1087). Berbagai dampak buruk akibat konsusmsi rokok terhadap kesehatan individu akan membuat tingkat harapan hidup perokok cenderung lebih rendah dari pada orang yang tidak merokok, sebagaimana temuan

(2)

dari Adda dan Lechene (2013) yaitu konsumsi rokok orang yang tingkat harapan hidupnya lebih rendah cenderung lebih tinggi dari pada orang yang tingkat harapan hidupnya lebih tinggi (Adda dan Lechene 2013, 928).

Aktivitas merokok tidak hanya merugikan diri sendiri, namun juga akan membawa dampak buruk terhadap kesehatan orang lain yang sering beraktivitas dengan perokok dan terpapar asap rokok. Orang yang terpapar dengan asap rokok bisa disebut dengan perokok pasif. Orang yang tinggal dalam sebuah rumah tangga dengan perokok memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi perokok pasif. Canta dan Dubois (2015) dalam studinya tentang aktivitas merokok dalam rumah tangga menemukan bahwa aktivitas merokok yang dilakukan oleh sepasang suami istri akan membahayakan kesehatan anak mereka. Temuan tersebut diperkuat bahwa utilitas seseorang dalam merokok akan meningkat apabila pasangannya juga merokok (Canta dan Dubois 2015, 1968). Hal ini diperburuk dengan temuan bahwa tingkat kesehatan sistem pernafasan perokok pasif lebih buruk daripada perokok aktif (Dewanti 2009, 81).

Permasalahan yang disebaban oleh konsumsi rokok tidak hanya dialami oleh individu ataupun rumah tangga saja namun juga menjadi permasalahan negara dan global. Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia (APTI) pada tahun 2013 melaporkan bahwa 2 dari 3 kematian di dunia berkaitan dengan Penyakit Tidak Menular (PTM). Sekitar 80% dari total kematian terjadi di negara berkembang dengan rincian satu dari tiga orang yang meninggal berada di usia kurang dari 60 tahun atau bisa dikatakan sebagai usia produktif. PTM meningkat

(3)

seiring dengan proses penuaan yang dialami oleh manusia (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia (APTI) 2013, 25).

Kematian akibat PTM dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama konsumsi tembakau atau rokok.Tobacco Control Support Center (TCSC) pada tahun 2013 melaporkan bahwa sebanyak 384.058 orang yang yang terdiri dari 237.167 laki-laki dan 146.881 perempuan di Indonesia menderita penyakit yang disebabkan oleh konsumsi tembakau. Ironisnya pada periode tersebut tercatat sejumlah 190.260 orang yang terdiri dari 100.680 laki-laki dan 50.520 perempuan meninggal akibat konsumsi rokok. Jumlah ini sekitar 12,7% dari total kematian penduduk Indonesia pada tahun 2010 (Tobacco Control Support Center (TCSC) 2013, 4).

Berbagai data tentang kematian akibat konsumsi rokok di atas terlihat tidak menjadi pemicu pengurangan konsumsi rokok di Indonesia. Rumah tangga di Indonesia khusunya pada rumah tangga miskin seolah tidak mempedulikan dampak rokok terhadap kesehatan yang tidak jarang menimbulkan kematian. TCSC melalui laporannya Atlas Tembakau Indonesia Edisi 2013 menyampaikan bahwa pada rumah tangga termiskin, konsumsi tembakau dan sirih menempati proporsi pengeluaran terbesar kedua setelah padi-padian yaitu sebesar 11,7%. Pada rumah tangga miskin di Indonesia, konsumsi rokok mengalahkan kebutuhan gizi sebesar lebih dari tujuh belas kali pengeluaran untuk daging, lima kali pengeluaran untuk susu dan telur, dua kali pengeluaran ikan untuk ikan, dua kali pengeluaran sayuran, dan sembilan kali pengeluaran untuk buah. Data yang diolah dari Susenas 2010 tersebut juga memaparkan bahwa rokok mengalahkan

(4)

investasi SDM sebanyak lebih dari 15 kali dari biaya kesehatan dan sembilan kali dari biaya pendidikan (Tobacco Control Support Center (TCSC) 2013, 14). Meskipun merokok dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan di rumah tangga, secara mengejutkan konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia ternyata menjadi barang komplemen dari konsumsi barang pangan sumber protein hewani seperti ikan, daging, telur, dan susu (Siagian 2013, 91).

Realita konsumsi tembakau di Indonesia juga menimbulkan masalah lain dalam kebijakan ekonomi di Indonesia. Pada tahun 2010 berdasarkan laporan dari TSCS, beban ekonomi akibat konsumsi rokok tercatat sebesar Rp 138 triliun untuk pengeluaran konsumsi rokok. Kemudian, sebesar Rp 2,11 triliun untuk biaya perawatan medis dan sebesar Rp 105,3 triliun untuk kehilangan produktivitas karena kematian prematur dan morbilitas-disabilitas sebesar Rp 105,3 triliun. Sehingga kerugian negara mencapai Rp 245,41 triliun. Sementara itu, penerimaan cukai hasil tembakau hanya seperempat dari total kerugian negara akibat konsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat yang timbul dari adanya industri tembakau dalam kasus produksi rokok ternyata tidak bisa mengatasi permasalahan berupa biaya eksternalitas yang ditimbulkan oleh konsumsi tembakau (Tobacco Control Support Center (TCSC) 2013, 13).

Dalam rangka mengkompensasi berbagai efek negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai kebijakan pengendalian konsumsi rokok melalui kebijakan harga maupun non harga. Kebijakan harga dilakukan melalui adanya kebijakan cukai dan pajak rokok. Ketika kebijakan cukai dan pajak rokok diterapkan maka harga rokok akan

(5)

menjadi lebih mahal sehingga diharapkan naiknya harga akan menjadi disinsentif untuk mengkonsumsi rokok. Sementara itu kebijakan non harga juga diterapkan untuk menjadi disinsentif dalam mengkonsumsi rokok melalui cara mengatur tampilan kemasan rokok dengan menambahkan informasi tentang dampak buruk merokok serta aturan ketat tentang tayangan iklan rokok di berbagai media.

Pengenaan cukai dan pengawasan ketat terhadap produk rokok telah terbukti efektif di berbagai negara untuk menekan konsumsi rokok di negara-negara tersebut. Pinilla dan Abasolo (2017) menemukan bahwa penerapan UU Nomor 28 Tahun 2005 yang mengatur tentang penjualan dan konsumsi rokok di Spanyol telah terbukti efektif untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok di negara tersebut (Pinilla dan Abásolo 2017, 8). Kemudian Grace, Kivell, dan Laugesen (2015) berdasarkan penelitiannya di Selandia Baru menemukan bahwa peningkatan tarif pajak rokok di negara tersebut mampu menurunkan kosumsi rokok individu (Grace, Kivell, dan Laugesen 2016, 586). Hasil yang serupa juga ditemukan Meier dan Licari (1997) bahwa kenaikan pajak yang dipungut atas produk rokok memiliki hubungan dengan turunnya konsumsi rokok di Amerika Serikat (Meier and Licari 1998, 1129).

Sementara itu ada pula temuan menarik dari Lebanon bahwa peningkatan pajak atas produk rokok akan memberikan manfaat yang besar pada kondisi keuangan dan kesehatan di masyarakat miskin serta mampu menurunkan kemiskinan di Lebanon (Salti, Brouwer, dan Verguet 2016, 167). Lee dkk. (2004) menemukan bahwa kenaikan pajak rokok akan mengakibatkan berkurangnya konsumsi rokok masyarakat dan meningkatnya pendapatan dari pajak di Taiwan

(6)

(Lee dkk. 2004, 6). Temuan bahwa meningkatkan pajak atau cukai atas rokok akan menurunkan konsumsi rokok diperkuat oleh Chaloupka dkk. (2011) yang memaparkan bahwa secara umum di seluruh dunia kenaikan pungutan cukai atau pajak rokok akan meningkatkan harga rokok dan akan menurunkan konsumsi rokok, hanya saja naiknya harga rokok akan diiringi dengan subtitusi konsumsi ke produk rokok yang harganya relatif lebih murah (Chaloupka dkk. 2011, 235).

Pengertian cukai sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang (UU) adalah "pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik" sebagai berikut yaitu "konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan" (UU Nomor 39 Tahun 2007, pasal 2, ayat 1). Rokok merupakan salah satu barang yang dinilai memiliki sifat yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 39 Tahun 2007, sehingga pungutan cukai diberlakukan bagi produk rokok di Indonesia. UU Nomor 39 Tahun 2007 merupakan perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Pengenaan tarif cukai atas rokok atau hasil tembakau diatur pada UU Nomor 39 Tahun 2007 Pasal 5 ayat 1. Dalam ayat tersebut diatur tarif cukai paling tinggi untuk barang hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dan yang diimpor. Hasil tembakau yang di buat di Indonesia akan dikenai tarif paling tinggi sebesar 275% dari harga dasar jika harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik. Namun bila yang digunakan sebagai harga dasar adalah harga jual eceran

(7)

maka tarif paling tinggi yang dikenakan adalah sebesar 57%. Sementara itu, Hasil tembakau yang diimpor akan dikenai tarif paling tinggi sebesar 275% dari harga dasar jika harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk. Namun bila yang digunakan sebagai harga dasar adalah harga jual eceran maka tarif paling tinggi yang dikenakan adalah sebesar 57%.

Ketentuan tentang tarif dasar produk hasil tembakau dapat diubah atau diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hingga tahun 2014 telah terdapat sebanyak 6 PMK yang mengatur lebih lanjut ketentuan tarif dasar produk tembakau. Keenam PMK tersebut adalah PMK Nomor 181 Tahun 2009, PMK Nomor 99 Tahun 2010, PMK Nomor 190 Tahun 2010, PMK Nomor 167 Tahun 2011, PMK Nomor 179 Tahun 2012, dan PMK Nomor 205 Tahun 2014. Setiap PMK mengatur secara detail harga eceran setiap jenis produk rokok.

Kebijakan pengenaan tarif cukai terhadap produk rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 yang disertai dengan berbagai PMK dalam rangka menekan konsumsi rokok di Indonesia merupakan sebuah hal yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana pola konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia sebelum dan setelah adanya kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007.

1.2 Rumusan Masalah

Pemerintah telah menetapkan kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 sebagai pengganti kebijakan cukai sebelumnya yang berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1995. Penerapan undang-undang tersebut diikuti dengan

(8)

berbagai perubahan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kebijakan kenaikan tarif cukai rokok. Penerapan kebijakan cukai rokok akan mebuat harga rokok menjadi lebih mahal sehingga diharapkan naiknya harga rokok tersebut akan menjadi disinsentif dalam mengkonsumsi rokok.

Namun kondisi tersebut belum tentu terpenuhi. Ada kemungkinan naiknya harga rokok tidak diiringi dengan turunnya konsumsi rokok. Hal ini dapat disebabkan bahwa rokok merupakan barang yang inelastis bagi para pecandu rokok (Samuelson dan Nordhaus 2009, 94). Dengan demikian kenaikan harga rokok tidak akan membuat konsumsi rokok berkurang begitu saja. Salah satu kondisi yang mungkin terjadi adalah konsumsi rokok tetap atau bahkan meningkat dengan diiringi adanya pengurangan konsumsi barang lain untuk mengkompensasi naiknya anggaran rumah tangga untuk membeli rokok (John 2008, 1365).

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dari karya ini adalah:

Bagaimana pola konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia sebelum dan setelah adanya kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007.

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

(9)

Untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia sebelum dan setelah adanya kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007.

1.5 Motivasi Penelitian

Penelitian yang membahas tentang pola konsumsi rokok di Indonesia masih jarang dilakukan. Adanya penelitian ini harapannya bisa membuka ruang penelitian lain yang fokus pada pola konsumsi rumah tangga yang berkaitan dengan rokok. Kerugian yang dapat timbul apabila penelitian ini tidak dilakukan adalah tidak ada penambahan literatur tentang rokok dan pola konsumsi rumah tangga.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pola konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia sebelum dan setelah adanya kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007.

2. Sebagai syarat bagi penulis untuk menyelesaikan jenjang S1 di Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada

1.7 Kontribusi Penelitian

Penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi kajian tentang kebijakan pengendalian rokok di Indonesia. Selain itu penelitian ini diharapkan bisa menjadi

(10)

inspirasi bagi perkembangan penelitian tentang pola kosumsi rumah tangga di Indonesia khusunya rumah tangga perokok.

1.8 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini terbatas pada penerapan kebijakan cukai rokok berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai secara umum. Penelitian ini tidak melihat secara spesifik kebijakan kenaikan cukai rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang perubahan tarifnya dapat dilakukan setiap tahun. Penelitian ini hanya melihat bagaimana pola konsumsi rokok rumah tangga di Indonesia sebelum dan setelah kebijakan cukai rokok diterapkan sehingga tidak bisa digunakan sebagai acauan apakah kebijakan tersebut telah efektif atau tidak dalam mengurangi konsumsi rokok. Batasan lain dari penelitian ini adalah penggunaan data sekunder Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang mana sampel pada data sekunder tersebut belum bisa mencakup seluruh wilayah Indonesia. Penelitian ini juga hanya melihat konsumsi rokok sebatas pada proporsi konsumsi rokok rumah tangga dan tidak melihat berapa banyak batang rokok yang dikonsumsi.

1.9 Sitematika Penulisan

Sitematika Penulisan pada penelitian ini terdiri dari 5 Bab. Bab I menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kontribusi penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II memaparkan tentang landasan teori dan tinjauan pustaka yang digunakan pada penelitian ini. Bab III membahas tentang desain penelitian, berbagai variabel, dan metode analisis yang digunakan pada penelitian ini. Bab IV menjelaskan hasil analisis data dan

(11)

interpretasi hasil penelitian. Bab V merupakan penutup yang meliputi simpulan, keterbatasan, dan implikasi dari penlitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Jika penyelenggara bandar udara bersertifikat atau beregister tidak dapat memenuhi persyaratan standar yang tercantum dalam Standar Teknis dan Operasi (Manual of

Received Signal Level (RSL) merupakan level daya yang diterima oleh piranti pengolah decoding. Nilai RSL ini dipengaruhi oleh rugi-rugi jalur dan gain antena

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan waktu pengukusan presto selama 45 menit (perlakuan C) merupakan perlakuan terbaik berdasarkan pada uji organoleptik

Keenam jenis ekstrak yang berasal dari tanaman akar tuba, kirinyuh, huni, widuri, ketapang, dan ekstrak gamal yang diuji berpotensi dan efektif sebagai bio- akarisida untuk

Pembahasan tabel 3 siklus I, berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal di SD Negeri 28 Pontianak Utara untuk mata pelajaran matematika yaitu 75,00, maka data pada

Setelah kontroler fuzzy memfuzzifikasi nilai input dari sistem fuzzy, kontroler fuzzy menggunakan input variable fuzzy yang ada dan aturan dasar untuk

Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa special event merupakan suatu peristiwa atau kegiatan khusus di luar kebiasaan sehari hari yang dalam perencanaannya

4 Peduli Jamban Memberikan Materi Anggota 5 KKN Mengajar Mengajar Anak-anak Anggota 6 Seribu Hari Kehidupan Mengkoordinir kegiatan PJ 7 Early Sex Education