BAB II
LANDASAN TEORI
A.Hasil Penelitian Sebelumnya
Seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
Semarang dalam bentuk skripsi di antaranya adalah Novianti dalam “Analisis
Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W” (2003) (dalam http://psikologi.umm.ac.id). Di dalam skripsi, Novianti
mengungkap kepribadian dan konflik psikologis yang dialami oleh tokoh Eko
dalam novel Jangan Ucapkan Cinta karya Mira W melalui teori psikologi
Gestalt. Psikologi Gestalt mengembangkan ilusi dan peragaan untuk
menunjukkan bahwa persepsi manusia bersifat subjektif. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Novianti berdasarkan teori psikologi Gestalt, ditemukan sifat menonjol yang dimiliki tokoh Eko dalam novel Jangan Ucapkan Cinta,
diantaranya adalah rasa iri, dengki dan pendendam.
Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh Ratih Dwi Andani
(dalam http://eprints.undip.ac.id/19825/1/Ratih_Dwi_Andani.PDF) dengan
judul “Homoseksual Tokoh Rafky dan Valent dalam Novel Lelaki Terindah
Karya Andrei Aksana: Suatu Tinjauan Psikologi di Fakultas Ilmu Budaya
Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang 2010 mengungkap
seksual, yakni menjadi homoseksual. Berdasarkan struktur kepribadian tokoh
Rafky dan Valent, Ratih Dwi Andani menyimpulkan bahwa tokoh utama
memiliki superego yang mampu menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan moralitas.
Di Universitas Muhammadiah Purwokerto, ada penelitian yang
menggunakan psikologi sastra, yaitu penelitian dari Restu Kurniawan dengan
judul “Gejala Jiwa (Neurose) Tokoh-tokoh Cerita dalam Kumpulan Cerpen
Bibir Dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti (Perspektif: Psikoanalisis-Sigmund Freud). Penelitian ini membahas munculnya gejala jiwa dalam tokoh dan penyebabnya. Penelitian ini tidak membahas tentang odipus komplek.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
penggunaan pendekatan psikologi sastra untuk menganalisis tokoh utama
dalam novel. Adapun perbedaannya terletak pada dimensi kepribadian yang
diteliti serta analisis aspek mental sebagai kajian utama.
Sejauh yang dapat diamati pada perkembangan novel berjudul Wanita
Titisan Surga karya Yunisa Priyono, penelitian mengenai permasalahan sudut pandang psikologi secara tekstual kiranya pernah dilakukan beberapa peneliti
sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali penelitian dengan sudut
pandang yang sama namun lebih menitik beratkan pada tingkat permasalahan
yang lebih di khususkan lagi. Hal itu dapat menjadi alasan yang kuat untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut terhadap kumpulan cerpen tersebut,
B.Landasan Teori
1. Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi dan sastra memiliki hubungan yang cukup erat. Secara
tepatnya, pengaruh psikoanalisis terhadap perkembangan kesusastraan
diketahui secara luas selama abad ke-20 (Wachid B.S., 2002: 19).
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya
perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai
diterbitkan dalam bahasa Inggris (Endraswara, 2008: 101). Banyak karya
sastra yang mencermati kehidupan sehingga memunculkan identifikasi
tokoh secara psikologis di dalamnya.
Sastra dan psikologi banyak membicarakan mengenai keadaan
kejiwaan seseorang. Jika dalam karya sastra arah pembicaraannya di dalam
teks melalui tokoh, sedangkan dalam psikologi lebih merujuk pada
kehidupan aslinya. Namun, sastra dan psikologi dapat membentuk satu ilmu
yang dengan saling melengkapi, yaitu psikologi sastra.
Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang memiliki
pandangan bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa
kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang
beragam. Dalam karya sastra juga dilukiskan mengenai tingkah laku tokoh.
Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh
diperlukan psikologi. Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini,
Fenomena itu juga dapat saja muncul di dalam karya sastra, yang menjadi
jelas karena mewakili karakter dari tokoh.
Dalam pandangan Endraswara (2008: 96), psikologi sastra
dipengaruhi oleh dua hal, yakni pertama, adanya anggapan bahwa karya
sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran pengarang yang
berada pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk sadar (conscious). Kedua, kajian psikologi
sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis, juga
aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya sastra
tersebut.
Dalam keadaan yang terpisah, dapat dikatakan bahwa penelitian
psikologi sastra mencakup reseptif pragmatik, tekstual, dan ekspresif.
Sebenarnya, apa yang disampaikan oleh Endraswara telah mencakup ketiga
hal di atas, hanya saja lebih menekankan kepada praktek (baca:
implementasi) dari penelitian psikologi sastra. Ketiga hal itu dapat
dilakukan sekaligus di dalam suatu penelitian, tetapi membutuhkan kerja
yang melelahkan. Biasanya, peneliti memilih salah satu dari ketiga hal
tersebut.
Adapun hal yang biasanya dilakukan di dalam penelitian sastra
adalah penelitian tekstual dengan mengungkap gejala kejiwaan yang ada di
dalamnya. Penelitian secara tekstual lebih mengena dan lebih khusus untuk
Sastra adalah ruang tempat dunia direka. Pengarang mereka-reka
kehidupan. Di dalam karya sastra ada reka-reka kehidupan dan penghuni
kehidupan. Kisah-kisah yang ada di dalam karya sastra mengungkap tentang
reka-reka kehidupan. Sastra juga adalah dunia tempat para penulisnya
terepresentasi. Pemikiran sastrawan adalah representasi dari pemikiran
setiap huruf yang pernah ia baca dan setiap gejala kehidupan yang pernah ia
cerna. Oleh karena itu, bisa mengatakan bahwa sastra adalah dunia
representasi.
Karya sastra merepresentasikan dan hasil representasi. Di dalam
karya sastra muncul berbagai gejala kejiwaan yang merepresentasikan dunia
nyata. Dalam lingkup inilah, psikologi sastra mencari akar dari
benang-benang permasalahan yang mengungkap kejiwaan. Di dalam karya sastra
terdapat perilaku-perilaku tokoh yang beridentitas mandiri sebelumnya yang
kemudian bersatu pada identitas baru, motif estetis, yang sebenarnya
merupakan gejala kejiwaan yang sedang terjadi.
Di dalam karya sastra terdapat fenomena yang dapat dicermati secara
psikologis (Rahmantoro, 1988: 65). Dalam karya sastra, pasti terdapat tokoh
yang dideskripsikan sifat-sifatnya. Adanya penggambaran tokoh-tokoh
secara deskriptif membuat pembacaan terhadap karya sastra menjadi jelas
dan menarik perhatian untuk dipahami lebih dalam mengenai kejiwaannya.
Penggambaran watak tokoh di dalam karya sastra merupakan
perasaan-dalam karya sastra, penggambaran mengenai sifat-sifat tokoh itu sangat jelas
sehingga memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi lebih dalam.
Kondisi kejiwaan di dalam karya sastra dapat hadir karena telah
disengaja oleh pengarang dan kadang pengarang tidak sengaja
mengungkapkannya. Namun, sengaja atau tidak sengaja, hal itu tidaklah
terlalu penting. Dalam hal ini, yang terpenting adalah melakukan penelitian
lebih dalam mengenai kondisi kejiwaan sebagai pengetahun psikologi, yang
sejatinya merepresentasikan kehidupan.
Dimensi psikologis tokoh-tokoh dalam sebuah karya satra dapat
dikaji dengan menggunakan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual
merupakan suatu pendekatan yang berusaha mengkaji aspek-aspek
psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Dengan demikian, karya sastra
yang dijadikan sasaran kajian di sini adalah karya sastra yang
mengembangkan kejiwaan tokoh-tokohnya, yakni karya sastra yang berupa
cerkan.
Semua masalah kejiwaan menyangkut tokoh dalam karya sastra dapat
dipandang sebagai masalah psikologi. Demikian halnya dengan penelitian
dalam skripsi ini yang berkutat pada tokoh, lepas dari hal ikhwal di balik
latar belakang psikologi pengarang. Oleh karena itu, pendekatan tekstual
bertumpu dari karya sastra untuk mencermati derap jiwa melalui aspek
2. Odipus Kompleks
Odipus kompleks adalah gejala kejiwaan pada manusia karena
dominannya pengaruh ibu, baik secara langsung maupun tidak langsung
(Freud, 2002: 351). Pengaruh ibu dapat saja karena kemanjaan yang
diberikan ibu, atupun juga karena figur ibu yang terlalu membayang pada
seseorang. Gejala odipus kompleks yang menimpa seseorang dapat
menjadikan dia mengalami kegoncangan jiwa (Hurlock, 1990: 63).
Freud (2002: 350) melakukan pandangan odipus kompleks dengan
mengarah perhatian pada seksualitas menyimpang. Seksualitas menyimpang
adalah suatu aturan yang sangat terkonsentrasi, semua aktivitasnya
terarahkan pada satu dan kebanyakan memang hanya satu tujuan. Odipus
kompleks adalah kecintaan seseorang kepada ibunya yang berlawanan jenis
serta permusuhan terhadap orangtua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki
ibunya dan menyingkirkan ayahnya. Tahapan ini berlangsung antara mulai
usia 3 hingga dewasa. Tahap ini sesuai dengan nama genital laki-laki
(phalus). Pola kepribadian manusia mulai terbentuk pada masa kanak-kanak.
Perlakuan dari orang tua dan orang-orang di sekitar merupakan faktor
terpenting dalam pembentukan pola kepribadian anak (Hurlock, 1990: 82).
Semua bidang perkembangan perilaku anak dikaitkan dengan potensi
bahaya yang dapat membawa akibat buruk pada penyesuaian pribadi dan
empati, gagal belajar menyesuaikan sosial karena kurangnya bimbingan.
Anak menjadi lebih menyukai teman khayalan atau hewan kesayangan,
terlalu menekankan pada hiburan dan kurang penekanan pada bermain aktif,
konsep-konsep dengan bobot emosi yang kurang baik, disiplin yang tidak
konsisten atau disiplin yang terlalu didasarkan pada hukum. Seseorang
gagal dalam mengambil peran seks sesuai dengan pola yang disetujui oleh
kelompok sosial, kemerosotan dalam hubungan keluarga dan konsep diri
yang kurang baik (Jung, 2003: 56).
Dalam kaitan ini, dapat dipahami bahwa pendidikan dan perlakuan
dari keluarga berperan penting dalam keberhasilan anak dalam membentuk
pola kepribadianya. Oleh sebab itu, kebahagiaan pada masa kanak-kanak
tergantung pada kejadian yang menimpa anak di dalam rumah. Dengan
demikian, seseorang merasakan daerah kenikmatan seksual dimulai dari
masa kanak-kanak.
Dalam oedipus kompleks, ada keinginan yang mendalam untuk
mencintai oranguta dengan menikmati afeksi dari orangtua yang berbeda
jenis kelamin dengannya (Hurlock, 1990: 75). Misalnya, anak laki-laki akan
mengalami konflik oedipus, ia mempunyai keinginan untuk bermain-main
dengan penisnya dan selalu membayangkan kecintaan pada ibunya. Contoh
lain, yakni anak akan mau mencintai seseorang yang memiliki kemiripan
dengan orangtuanya.
Pada mulanya, anak sama-sama mencintai ibunya yang telah
merebut kasih sayang ibu. Pada anak laki-laki, persaingan dengan ayah
berakibat anak cemas kalau-kalau ayah memakai kekuasaannya untuk
memenangkan persaingan merebut ibunya. Anak laki-laki cemas penisnya
akan dipotong oleh ayahnya. Gejala ini disebut cemas dikebiri dan selalu
mengidealkan ibunya sebagai sosok pelindung (Freud, 2002: 360).
Fase genital berlanjut sampai orang tutup usia, di mana puncak
perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami kemasakan
kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual sekaligus
tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta
heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah
(Freud, 2002: 461). Dengan demikian, libidio seksual adalah ketertarikan
seseorang pada orang lain karena adanya jenis kelamin yang berbeda.
Orang tersebut memandang adanya keindahan-keindahan yang
muncul berdasarkan kenikmatan yang akan didapatkan. Dalam masa ini,
orang tersebut mungkin merasa berdosa, dan bersalah karena tidak sesuai
dengan hati nuraninya (Jung, 2003: 60). Akan tetapi,
pandangan-pandangannya mengenai kenikmatan yang akan didapatkan terus
mendorong. Dia mengalami konflik antara sadar dan tidak sadar dalam
menagani libido itu, yang terus meminta untuk diwujudkan (Freud, 2002:
356).
Seseorang yang memiliki pengaruh libidio terlalu kuat karena adanya
mendorong melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa Id merupakan
kondisi tidak sadar seseorang untuk bertindak.
Sesungguhnya, apabila orang bisa mengetasi linodio tersebut dapat
dimanfaatkan pada hal yang baik. Energi itulah yang kemudian dipakai
untuk aktif menangani masalah-masalah kehidupan dewasa; belajar bekerja,
menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung jawab. Penyaluran
kebutuhan insting ke obyek di luar yang menjadi cukup stabil, dalam bentuk
kebiasaan-kebiasaan melakukan pemindahan-pemindahan,
sublimasi-sublimasi dan identifikasi-identifikasi (Freud, 2002: 376).
Kondisi yang terlalu dominan harusnya ditanggapi dengan ego untuk
berhubungan dengan dunia luar. Ego merupakan cara untuk mempengaruhi
seseorang dari luar. Ego ini bekerja berdasarkan dorongan-dorongan dari
lingkungannya.
Apabila seseorang memiliki keseimbangan antara Id dan ego, maka
akan mengarah pada kontrol super ego dengan terikatnya pada peraturan
yang ada di masyarakat. Peraturan-peraturan itu akan menjadikan seseorang