• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia - Arif Rokhman Prasetyo BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia - Arif Rokhman Prasetyo BAB II"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia

1. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2005). Menurut Muttaqin (2008) pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan benda–benda asing.

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).

(2)

2. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalm spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil (< 20 hari) meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar (3 minggu – 3 bulan) dan anak balita (4 bulan – 5 tahun), pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza type B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus. pneumoniae (Said, 2010).

3. Klasifikasi Pneumonia

Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan – 5 tahun (Said, 2010) :

a. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu: 1) Pneumonia Berat.

(3)

dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal yang lebih besar dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan cepat.

Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda lain seperti :

a). Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas. b). Suara rintihan

c). Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen). d). Wheezing yang baru pertama dialami.

2) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada bagian bawah atau nafas cepat yaitu < 60 kali per menit (batuk, pilek, biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur kurang dari 2 bulan ini adalah : kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.

b. Golongan umur 2 bulan – 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu :

1) Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan dada bagian bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis dan meronta.

(4)

3) Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun adalah : tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan gizi buruk.

4. Manifestasi klinis

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis (Said, 2010).

Menurut Said (2010) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT) seperti mual, muntah atau diare: kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

(5)

terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

5. Pencegahan

Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi faktor resiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor resiko.(Kartasamita, 2010).

Menurut Kartasamita (2010), usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 yaitu:

a. Pencegahan Non spesifik, yaitu:

1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi. 2) Menurunkan kemiskinan.

(6)

b. Pencegahan Spesifik

1) Cegah berat bayi lahir ringan (BBLR).

2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang. 3) Berikan imunisasi

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (haemophilus influenzae type b) dan pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.

B. Balita

(7)

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).

(8)

C. Faktor Resiko Kejadian Pneumonia 1. Faktor resiko yang selalu ada

a. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal (Dinkes, 2009). Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Prabu, 2009).

b. Status gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel-variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa, 2002).

(9)

lebih lama (Prabu, 2009). Salah satu cara penilaian status gizi balita adalah dengan pengukuran antropometri, pengukuran tersebut sudah ditetapkan melalui SK Menkes RI nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tanggal 1 Agustus 2002.

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Dalam antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar penilaian status gizi, salah satu indeks antropometri yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini. (Supariasa, 2002).

Menginterprestasikan hasil pengukuran diperlukan baku rujukan. Di Indonesia baku rujukan dan telah direkomendasikan pemakaiannya salah satunya, yaitu baku rujukan WHO – NCHS yang direkomendasikan pada semiloka Antropometri 1991. Data rujukan WHO-NCHS sebagai batas ambang untuk status gizi baik yang disarankan WHO adalah Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Rumus perhitungan Z skor adalah :

(10)

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor Indeks Status Gizi Ambang Batas Berat Badan

menurut Umur (BB/U)

Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD Tinggi Badan menurut TB/U Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

BB/TB Sangat Kurus Kurus

Normal Gemuk

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Penelitian Gozali (2010) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan klasifikasi pneumonia di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta, dengan prosentase sebesar 36,67% anak balita dengan status gizi kurang yang terkena Pneumonia dari jumlah responden 30 anak balita.

c. ASI Ekslusif

(11)

pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya di kemudian hari (Mexitalia, 2011).

Penelitian Wibowo (2011) menunjukan bahwa pemberian ASI Eksklusif sebagian besar mengalami kejadian ISPA yaitu 35 balita (77,8%) sedangkan pada kelompok balita dengan pemberian Asi Eksklusif lebih rendah tidak mengalami kejadian ISPA yaitu 21 (46,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sumbang II.

d. Polusi udara dalam ruangan

(12)

e. Kepadatan hunian rumah

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian Febriana (2011) menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 3,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak padat.

Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bahteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 289/Menkes/s\SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8m²) dan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 2 orang per 8m²).

2. Faktor Resiko Yang Masih Sangat Mungkin a. Ibu hamil yang merokok

(13)

mempunyai resiko keguguran, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), bahkan kematian janin (Sulistyawati, 2011). Rokok juga merupakan polusi udara yang dapat meningkatakan resiko terjadinya penyakit pneumonia bagi balita dirumah.

b. Balita kekurangan zinc

Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang diperlukan untuk pembelahan, diferensiasi dan pertumbuhan sel. Organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan sel, seperti sistem kekebalan tubuh dan usus, sangat sensitife terhadap defesiensi seng. Anak-anak di negara sedang berkembang mengalami asupan seng yang tidak adekuat, yang mengakibatkan penurunan regenerasi sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuahan linier serta penurunan sistem imun; sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Hidayati, 2011).

(14)

Beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zinc dan besi adalah asam askorbat dan sitrat (pepaya, jambu biji, pisang, mangga, semangka, pir, jeruk, lemon, apel, jus nenas, kembang kol, dan limau), asam malak dan tartrat (wortel, kentang, tomat, labu, kol, dan lobak cina), asam amino sistein (daging, kambing, daging babi, hati, ayam, dan ikan), dan produk-produk fermentasi (kecap kacang kedele, acar/asinan kubis) (Nasution, 2004).

Beberapa makanan yang dapat menghambat penyerapan zinc dan besi adalah fitat (beras, terigu, gandum, kacang kedele, susu coklat, kacang dan tumbuhan polong), polifenol (teh, kopi, bayam, kacang, tumbuhan polong, rempah-rempah), kalsium dan fosfat (susu dan keju) (Gillespie, 1998 dalam Nasution, 2004).

c. Pengalaman ibu

Menurut Notoadmojo (2003) salah satu cara memperoleh pengetahuan adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan dengan cara menanggulangi kembali pengalaman yang diperoleh dalam pemecahan masalah yang lain.

d. Bersamaan penyakit (diare, jantung, asma)

(15)

masyarakat (community-acquired pneumonia) dengan etiologi legionella, akan mengalami diare (Nurjanah dkk, 2011).

Penelitian Putra (2005) mengungkapkan pneumonia dengan diare bersama-sama mempunyai peran penting sebagai penyakit yang menyebabkan anak menjalani rawat inap di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan prosentase 7,3 % balita mengalami pneumonia dan diare antara bulan 1 Juni-31 Agustus 2005.

3. Resiko Yang Masih Mungkin (possible risk factors) a. Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan mempunyai resiko meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang tepat (Kartasasmita, 2010).

b. Lama menjalani perawatan

(16)

melaksanakan tatalaksana pneumonia namun sebanyak, 46,5% tidak melakasanakan tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini menunjukan mayoritas perawat memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia pada balita. Banyaknya perawat yang memiliki motivasi tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia balita akan mempengaruhi menurunya lama rawat jalan pada balita yang menderita pneumonia.

c. Curah hujan (kelembaban)

Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998). Pada musim penghujan kelembaban udara akan semakin tinggi sehingga dapat mempersubur pertumbuhan bakteri mikroorganisme patogen penyebab Pneumonia. Penelitian Febriana (2011) menunjukan ada hubungan bermakna kelembaban udara dalam rumah dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pedan Kabupaten Klaten. Penelitian dilaksanakan antara bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2010, dimana pada bulan Oktober sampai dengan Desember menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) di Jawa Tengah curah hujan masih sangat tinggi.

d. Ketinggian tempat tinggal

(17)

udaranya akan turun rata-rata sekitar 6°C di daerah sekitar khatulistiwa (Hendri, 2011).

Suhu udara naik, maka jumlah uap air yang dapat dikandung juga meningkat sehingga kelembapan relatifnya turun. Dan sebaliknya, bila suhu udara turun, kelembapan relatifnya naik, karena kapasitas udara menyimpan uap air berkurang. Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998).

e. Kekurangan vitamin A

Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A.

f. Urutan kelahiran

(18)

peringkat di urutan kelahiran, semakin besar kesempatan untuk rawat inap karena pneumonia.

g. Polusi udara luar ruangan

Kondisi udara diruangan tertutup mengandung lebih sedikit mikroorganisme dari jenis yang sama dibandingkan yang ditemukan diudara terbuka. Mikroorganisme tersebut sebagian besar adalah saprofit dan bersifat nonpatogenik. Akan tetapi dengan bertambahnya mikroorganisme non patogrnik dalam jumlah yang relatif besar dapat membuatnya mempunyai potensi yang sama seperti mikroorganisme patogenik.

Pada mulanya udara jarang mengandung mikroorganisme patogenik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran penularan sejumlah spesies utama yang menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan (Setyaningsih dkk, 1998).

D. Kerangka Teori Penelitian

(19)

kekurangan zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, bersamaan penyakit (misalnya diare, penyakit jantung, asma), dan faktor resiko yang masih mungkin (possible risk factors) meliputi pendidikan Ibu, lama menjalani perawatan, curah hujan (kelembaban), ketinggian tempat tinggal (udara dingin), kekurangan vitamin A, urutan kelahiran, polusi udara luar ruangan. Faktor resiko tersebut memungkinkan adanya mekanisme hubungan antara agen penyakit dengan induk semang (host) dan pejamu yaitu manusia, sehingga terjadi efek sakit. Semua yang tersebut di atas dapat tergambarkan dalam bagan berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Teori

(Sumber : Modifikasi teori Notoadmojo (2010) dan Rudan, dkk (2008) Agen

Fisik, Biologis Kimia

Definite risk factors 1. Status gizi 2. BBLR

3. ASI Eksklusif

4. Polusi udara dalam ruang 5. Kepadatan hunian

Possible risk factors

1. Pendidikan Ibu 2. Lama menjalani

perawatan 3. Curah hujan

(kelembaban) 4. Ketinggian tempat

tinggal (udara dingin) 5. Kekurangan vitamin A 6. Urutan kelahiran 7. Polusi udara luar

ruangan

Status Pneumonia

Likely risk factors 1. Ibu hamil yang

merokok

2. Balita kekurangan zinc

3. Pengalaman ibu 4. Bersamaan

(20)

E. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai kerangka konsepnya sebagai berikut. Sebagai variabel bebas adalah status gizi, BBLR, status pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan hunian. Variabel bebas yang dimaksud oleh peneliti akan di teliti apakah ada hubungannya dengan dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara faktor resiko (status gizi, BBLR, pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruangan dan kepadatan hunian rumah) dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga”.

Faktor Utama 1. Status gizi

2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

3. Status pemberian ASI eksklusif

4. Polusi udara dalam ruangan

5. Pemukiman padat

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor
Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

maupun finansial, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meluangkan waktu yang cukup menjalankan toko/outlet/gerai. b) Penerima waralaba yang baru harus menyetujui secara

3. Stasiun pertemuan, stasiun yang menghubungkan tiga jurusan 4. Stasiun silang, stasiun terdapat pada dua jalur terusan. Stasiun kecil, disini biasanya kereta api ekspress

Penyelenggaraan pemakaian kekayaan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk membebani pungutan retribusi jasa usaha atas

(2006), penghambatan mikroba oleh suatu senyawa antimikrob dinyatakan dengan nilai MIC yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN GANDUM (Triticum aestivum L.) VARIETAS DEWATA DALAM POLYBAG PADA BERBAGAI POPULASI DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM. THE GROWTH AND YIELD OF DEWATA

Sungguh kondisi yang sangat memperihatinkan dan bukan merupakan sebuah prestasi yang membanggakan daerah serta negara Indonesia, banyak dari kasus human trafficking

Mahasiswa kelahiran 20 Januari 1995 tersebut menjelaskan, tujuh tantangan yang harus dihadapi meliputi beberapa kriteria penilaian, mulai dari cara menjual