• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ensiklopedi Syirik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ensiklopedi Syirik"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP WAKTU DAN

DASAR PERHITUNGAN JAWA

Candra Mangsa

Tradisi Jawa senang menggunakan bahasa simbol untuk menjelaskan sesuatu. Simbol atau gegambaran tadi dicandra. Men-candra berarti menguraikan suatu wujud atau keadaan dengan kata-kata.1 Termasuk juga

yang dicandra adalah mangsa atau bulan dalam kalender Jawa. Misalnya Mangsa Kapat dicandra sebagai waspa kumembeng jroning kalbu yang bermakna hati yang sedih. Sementara Mangsa Kalima dicandra sebagai pancuran emas sumawur ing jagad, pancuran emas yang berhamburan ke dunia.

Dalam pencandraan mangsa ini, menunjukkan karakter musim pada bulan tersebut (hujan atau kemarau) dan menjadi patokan bagi petani yang akan bercocok tanam. Namun di sisi lain, candra mangsa ini juga terkait dengan watak dan sifat serta nasib manusia yang dinaungi oleh dewa-dewa. Misalnya Mangsa Karo dipengaruhi Batara Sakri, musimnya kemarau sehingga tanah sampai retak-retak, dicandra sebagai Bantala Rengka.2

Candra Sengkala

Candra sengkala merupakan sistem kronogram Jawa yg memakai sistem perhitungan bulan. Candrasengkala melambangkan angka dengan kata-kata. Pemilihan kata yang tepat dipercayai memiliki kekuatan magis. Selanjutnya kata-kata tersebut disusun menjadi kalimat yang bermakna baru. Penyusunan kata-kata tersebut dirangkai secara terbalik urutannya. Makna kalimat baru yang terbentuk bisa bermakna positif, dapat juga bermakna negatif, atau bahkan hanya sekedar perlambang.

1 “Buku Wayang : Pacandra Warnane Semar Gareng Petruk oleh R. Tanojo”. Dimuat dalam wayangpustaka.wordpress.com.

(2)

Contoh: Tahun keruntuhan Kerajaan Majapahit, 1400 Saka, sering dilambangkan dengan candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Sirna (0), Ilang (0), Kerta (4) dan Bumi (1). Kalangan Kejawen memaknainya sebagai hilangnya bakti anak pada orang tua. Yaitu hilangnya bakti Raden Patah kepada ayahnya, Raja Brawijaya, karena mendirikan Kesultanan Demak yang menggantikan peran Kerajaan Majapahit.

Penentuan candra sengkala relatif longgar karena setiap angka bisa bermakna banyak.

1 : Bumi, buana, surya, candra, tunggal, ika, eka, (p)raja, manunggal, negara

2 : dwi, tangan, sikil, kuping, mata, netra, panembah, bekti 3 : tri, krida, gebyar

4 : catur, kerta

5 : panca, astra, tumata

6 : rasa, sad, bremana, anggata, 7 : sapta, sinangga, sapi

8 : asta, naga, salira, manggala 9 : nawa, hanggatra, bunga 0 : ilang, sirna, sonya

Dengan multimakna terkandung pada setiap angka, candrasengkala bisa bermacam-macam maknanya. Sesuai dengan keinginan dan selera pembuatnya. Sebuah tahun bisa dimaknai baik atau jelek tergantung pilihan kata candrasengkala yang digunakan.

(3)

Hari

Kalender Jawa mengenal tujuh hari. Yaitu Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Masing-masing memiliki neptu (nilai) yang berbeda. Ahad berneptu 5, Senin berneptu 4, Selasa berneptu 3, Rabu berneptu 7, Kamis berneptu 8, Jum’at berneptu 6 sementara Sabtu berneptu 9. Penentuan neptu ini berdasarkan pandangan para ahli nujum dan perhitungan (petungan) jawa. Gunanya untuk menjadi dasar perhitungan dalam banyak urusan petungan.

Masing-masing hari memiliki watak sendiri-sendiri:

Ahad, berwatak samudana (pura-pura), suka pada hal-hal yang lahir atau kelihatan.

Senin, berwatak samuwa (meriah), harus baik dalam segala pekerjaan.

Selasa, berwatak sujana (curiga), serba tidak percaya.

Rabu, berwatak sembada (serba sanggup, kuat), mantap dalam segala pekerjaan.

Kamis, berwatak surasa (perasa), suka berpikir dan merasakan sesuatu dalam-dalam.

Jum’at, berwatak suci, bersih tingkah lakunya. Sabtu, berwatak kasumbung (tersohor), suka pamer.3

Dalam sumber lain, watak hari ini sedikit berbeda: Ahad, berwatak uriping jagad (hidupnya dunia),baik.

Senin, berwatak mlumpat (melompat), kurang baik..

Selasa, berwatak babagan pati (terkait kematian), amat jelek. Rabu, berwatak uriping roh (hidupnya ruh), baik.

Kamis, berwatak purbaning roh (awalnya ruh), baik. Jum’at, berwatak rasa tunggal (rasa yang satu), baik. 3 Purwadi, P etungan Jawa, hal. 24.

(4)

Sabtu, berwatak dalaning pati (jalan kematian), amat jelek.

Untuk melakukan berbagai keperluan dianjurkan pada hari-hari yang baik, yaitu Ahad, Rabu, kamis dan Jum’at.4

Sejarah penentuan watak hari ini tidak jelas. Bisa jadi ada nuansa pengaruh Islam dalam pewatakan hari Jum’at (hari ibadah Jum’at bagi Muslim) sebagai suci dan hari Sabtu (hari ibadahnya Bani Israel, Sabat) dengan sifat sombong. Apalagi penamaan hari Ahad hingga Sabtu jelas mengadopsi sistem panamaan dalam kalender Islam.

Jam (Sa’at)

Dalam tradisi Jawa, jam juga memiliki nilai dan makna khusus. Dalam konsep tradisional, sebelum mengenal jam sebagai penunjuk waktu digunakan konsep sebagai berikut:

Pagi : jam 06.00-08.00 Wisang Garu : jam 08.00-11.00 Bedug : jam 11.00-13.00 Lingsir : jam 13.00-15.00 Sore : jam 15.00-18.00 Sirep Wong : jam 20.00-23.00 Tengah Malam : jam 23.00-01.00 Lingsir Malam : jam 01.00-03.00 Bangun : jam 03.00-06.005

Masing-masih sa’at memiliki sifat sendiri-sendiri yang menentukan baik-buruknya sa’at itu untuk melakukan segala sesuatu. Sifat ditentukan oleh nilai neptu yang diperhitungkan dari hari dan pekannya. Misalnya saja, sa’at pagi untuk neptu 7 memiliki sifat sampar, sementara wisang garu pada neptu yang sama memiliki sifat Srilungguh.

4 Tjakraningrat, Primbon Betaljemur Adammakna, hal.123. 5 Betaljemur, hal. 119-120.

(5)

Selengkapnya sifat-sifat tersebut adalah: Ayu : baik Sampar : jelek Pacak : jelek Kalapengaten : jelek Srilungguh : baik Srigumelar : baik Kalaluweng : jelek6

Kalender Jawa (Pranata Mangsa)

Sebelum mendapatkan pengaruh Hindu, orang Jawa sudah memiliki kalender sendiri yang sekarang dikenal sebagai Petangan Jawi. Yaitu perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa macam-macam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lain-lain. Sistem dalam pranata mangsa berdasarkan solair atau peredaran matahari (Syamsiyah), sama dengan Kalender Saka maupun Masehi.

Nama-nama mangsa dan umurnya dalam Kalender Jawa:

Kasa (Kartika) : 22 Juni-1 Agustus : 41 hari Karo (Pusa) : 2 Agustus-24 Agustus : 23 hari Katelu : 25 Agustus-17 September : 24 hari Kapat (Sitra) : 18 September-12 Oktober : 25 hari Kalima (Manggala) : 13 Oktober-8 November : 27 hari Kanem (Naya) : 9 November-21 Desember : 43 hari Kapitu (Palguna) : 22 Desember-22 Februari : 43 hari Kawolu (Wasika) : 3 Februari-28 Februari : 26/27 hari Kasanga (Jita) : 1 Maret-25 Maret : 25 hari Kasapuluh (Srawana): 26 Maret-18 April : 24 hari

(6)

Dhesta (Padrawana) : 19 April-11 Mei :23 hari Sadha (Asuji) : 12 Mei-21 Juni : 43 hari

Sistem kalender Pranata Mangsa ini merupakan kalendernya kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja. Pada awalnya jumlah masnga hanya sepuluh, setelah mangsa kesepuluh habis pada tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa pertama (Kasa) pada tanggal 22 Juni. Mangsa menunggu ini dianggap terlalu lama sehingga ditetapkanlah mangsa kesebelas (Dhesta) dan keduabelas (Sadha). Sistem Pranata Mangsa berjalan seiring dengan Kalender Saka setelah Hindu masuk ke Pulau Jawa. Meskipun Pranata Mangsa sudah berlaku sejak dahulu, namun penetapannya baru pada tahun 1855 Masehi. Yaitu oleh Paku Buwana VII yang memerintah di Kerajaan Surakarta. Selain pedoman bercocoktanam, perhitungan berdasarkan Pranata Mangsa juga membawakan watak atau pengaruh pada kehidupan manusia seperti halnya perhitungan Jawa lainnya.7

Masing-masing mangsa berada di bawah pancaran pengaruh para dewa dengan intensitas yang berbeda-beda. Misalnya saja Mangsa Kasa, di bawah pengaruh Batara Antaboga dan Nagagini. Pancarannya seperti sotya murca ing embanan (permata yang lepas dari cincin pengikatnya). Jatuhnya pada musim kemarau. Manusia dari kelompok mangsa ini memiliki kelemahan pada lever dan pencernaan, namun bisa diatasi den-gan memakai batu mulia jenis Aquamarine, Jamrud, Mutiara, mata Kuc-ing, kristal dan Biduri Bulan. Warna bagi kelompok ini adalah kunKuc-ing, biru, hijau, cokelat dan merah anggur.8

Kalender Sultan Agung

Kalender Saka dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 Masehi. Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta, ia mengubah sistem kalender yang berlaku secara revolusioner. Pada saat perubahan dilakukan, Kalender Saka sudah berlaku hingga tahun 1554 Saka. Angka itu kemudian diteruskan dalam Kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1555, padahal dasar perhitungannya sama sekali berbeda.

7 Petungan Jawa, hal. 10-11. 8 Ibid.

(7)

Kalender Saka memakai dasar peredaran matahari atau Syamsiyah. Sementara kalender Sultan Agung memakai peredaran bulan atau Qo-mariyah. Kalender Jawa yang baru ini dimulai dengan tanggal 1 Sura Ta-hun Alip 1555. Tanggal itu bertepatan dengan 1 Muharram TaTa-hun 1043 Hijriyah dan 8 Juli 1633 Masehi.

Dalam sejarahnya, perubahan sistem kalender Jawa dari Syamsiyah ke Qomariyah menunjukkan pengaruh Islam. Namun perubahan itu juga bernuansa politik, yaitu pengambilalihan Sultan Agung terhadap otori-tas keagamaan Islam yang sebelumnya berpusat di Giri. Sebelum Sultan Agung, semua raja yang bertahta di Jawa selalu memohon restu dari Su-nan Giri. Pengaruh kuat SuSu-nan Giri I atas KesultaSu-nan Demak dilanjut-kan oleh keturunannya pada raja-raja Pajang hingga Mataram. Pada saat Sultan Agung naik tahta, Giri dipimpin oleh Sunan Giri IV. Para adipati di Jawa Timur sampai Blambangan tunduk pada Giri dan enggan tun-duk pada Sultan Agung. 9 Pengaruh Kesunanan Giri ini tak hanya di Jawa,

pada tahun 1629 di jaman Sultan Agung masih ada utusan Sunan Giri yang datang ke Pulau Hitu di Kepulauan Maluku. Orang Belanda yang saat itu berniaga di Maluku bahkan menyebut Sunan Giri sebagai “Paus Islam” atau “Raja Imam.”10

Untuk memperluas kekuasaannya, pengaruh Giri ini kemudian dire-dam oleh Sultan Agung. Caranya dengan tak mau memohon restu kepada Sunan Giri IV saat ia naik tahta. Kemudian Sultan Agung menyerang Giri dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya yang beristrikan adik Sul-tan, Ratu Pandansari. Setelah Giri berhasil dikalahkan, keluarganya dip-indahkan ke Mataram agar pengaruhnya pupus dan kedaulatan Giri tak berlanjut. Kelak para ulama pendukung Giri melakukan konsolidasi dan perlawanan pada masa Amangkurat II, namun perlawanan ini ditumpas habis. Sekitar 5000 hingga 6000 kiai dan santri pendukung Giri dihukum bunuh di muka umum oleh Amangkurat II.11

Untuk memupuskan pengaruh Giri yang bertulang punggung peran-nya sebagai pusat Islam, Sultan Agung memusatkan kepercayaan Muslim Jawa pada dirinya. Caranya dengan menciptakan sistem Kalender Jawa baru yang disesuaikan dengan Kalender Hijriyah. Dengan penyesuaian ini, maka perayaan-perayaan Islam menjadi satu dengan upacara kera-ton.

9 Petungan Jawa, hal. 17-22.

10 HJ De Graaf dan Th Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara, hal. 173. 11 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, hal. 9.

(8)

Nama-nama bulan dan umurnya dalam Kalender Sultan Agung:

Sura : 30 hari Sapar : 29/30 hari Mulud : 30/29 hari Bakda Mulud : 29 hari Jumadilawal : 30/29 hari Jumadilakhir : 29 hari Rejeb : 30 hari Ruwah : 29 hari Pasa : 30 hari Syawal : 29 hari Dulkangidah : 30 hari Besar : 29/30 hari

Naga dan Rijalolah

Tradisi Jawa mengajarkan untuk golek dina becik (mencari hari yang baik) untuk memulai usaha atau pencaharian. Upaya ini pada hakekatnya mencari perpaduan hari, pasaran, tahun, windu dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Suatu hal yang dilakukan pada hari dengan karakter jelek terganggu usaha sehingga banyak kendala, bahkan mengalami kegagalan.

Aura pencemar tersebut dalam primbon disebut naas, sangar tahun, sangar sasi dan sangar dina. Sedangkan anasir pencemar tersebut dikenal sebagai naga dina, naga tahun dan sebagainya. Sebagai anasir pengganggu dan penggagal, naga selalu mengejar rijalolah. Karenanya kedudukan naga dan rijalolah harus selalu diperhitungkan sebelum menjalankan sebuah karya atau usaha.

Dalam mitologi Jawa, naga tercipta dari kotoran Cupu Manik Astagina yang menjadi wadah rahsa (darah) kama Nabi Adam dan Hawa ketika keduanya berselisih tentang perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam ingin menikahkan putra-putri kembarnya secara berselang-seling,

(9)

sementara Hawa sebaliknya. Untuk membuktikan siapa yang lebih benar, keduanya meletakkan rahsa kama dalam cupu dan membukanya setelah sembilan bulan. Rahsa kama Nabi Adam berubah menjadi orok yang kemudian disebut Baginda Sis, sementara rahsa kama Hawa tetap menjadi darah. Cupu tersebut hilang tertiup angin.

Bersamaan dengan angin datanglah suara gaib tanpa rupa yang disebut Rijalolah. Kemudian datang seekor naga bernama Naga Jatingarang yang berasal dari kotoran cupu. Ia selalu mengejar dan menyerang rijalolah yang melindungi diri dengan cupu tempat Baginda Sis. Inilah sebabnya perhitungan Jawa memasukkan unsur naga dan rijalolah dalam penentuan waktu yang baik dan waktu yang buruk.

Dalam kisah di atas, nampak sinkretisme Jawa yang mencampuradukkan unsur Islam (Adam, Hawa, pernikahan anak-anak kembar mereka) dengan unsur Hindu (kisah Cupu Manik Astagina dalam Ramayana). Rijalolah sendiri mungkin berasal dari rijalullah, sebuah konsep dalam keyakinan Sufi, hamba Allah yang telah memiliki pengetahuan ilmu ma’rifat secara menyeluruh. Rijalullah dibekali ilmu sirri (rahasia) dan sulit dipahami oleh orang awam. Ilmunya sulit terjajagi dan banyak mempunyai karomah, karenanya Rijalullah dipilih sebagai pertahanan maupun keamanan bumi di daerahnya masing-masing.

Di sisi lain, pengagungan dan ketakutan pada gangguan dan kesialan dari naga dapat ditelusuri dari budaya pemujaan kepada ular. Dalam kepercayaan Yunanai purba, ular dianggap pandai menjelma menjadi manusia. Ular-ular kemudian diberi kurban yang khas.12 Kepercayaan ini

menyebar di India dan berlanjut hingga sekarang, orang Hindu India biasa memberi persembahan kepada Dewa Ular yang berwujud ular Kobra. Mungkin pengaruh Hindu ini terbawa ke Pulau Jawa dan kemudian mengalami sinkretisasi dengan Islam, ular tetap dihormati dan ditakuti dengan tradisi Naga dan Rijalolah.

Neptu

Neptu adalah nilai yang disandarkan pada pasaran, hari, pekan, bulan dan tahun. Angka nilai neptu menjadi dasar perhitungan berbagai hal. Pada aslinya, kata neptu bermakna sesuai, sebagaimana sesuainya 2x2=4. Namun dalam perkembangannya neptu merupakan hasil “penemuan 12 AZ Marzeqdeq, Parasit Akidah, hal.230.

(10)

para ahli nujum dan sarhana ilmu perhitungan (primbon).”13

Nilai neptu berbeda-beda untuk hari, pasaran, pekan dan tahun.

Neptu hari: Ahad 5 Senin 4 Selasa 3 Rabu 7 Kamis 8 Jum’at 6 Sabtu 9 Neptu pasaran: Kliwon 8 Legi 5 Paing 9 Pon 7 Wage 4 Neptu bulan: Sura 7 Rejeb 2 Sapar 2 Ruwah 4 Rabiulawal 3 Pasa 5 Rabiulakir 5 Sawal 7 Jumadilawal 6 Dulkangidah 1 Jumadilakir 1 Besar 3

(11)

Neptu tahun Alip 1 Ehe 5 Jimawal 3 Je 7 Dal 4 Be 2 Wawu 6 Jimakir 3 Nujum

Nujum pada dasarnya adalah ilmu ramalan bintang (astrologi). Namun dalam perkembangannya nujum digunakan untuk menyebut semua jenis ramalan. Dalam Primbon Betaljemur Adammakna, teknik nujum yang digunakan menggunakan tabel yang berisi pertanyaan bernomor I-XXI dan kode huruf bertanda A-U. Kemudian ada kumpulan jawaban yang bernomor 1-21. Daftar pertanyaannya ada 21 buah, dari akan tercapainya keinginan atau tidak, keuntungan dagang, orang yang pergi akan kembali atau tidak, nasib sebuah perkawinan sampai tanda sebuah impian atau kedutan baik atau tidak.14

Pengguna memilih salah satu pertanyaan sesuai hajatnya. Nomor III misalnya berisi pertanyaan “perdagangan saya akan untung atau tidak?”. Kemudian ia harus mengheningkan cipta sesaat, kemudian mengambil salah satu huruf dengan mata terpejam. Huruf pilihannya bertepatan dengan nomor pertanyaan akan menunjuk nomor jawaban. Jawaban akan menunjukkan ramalannya, misalnya huruf K akan menunjukkan nomor 13. Ramalannya adalah “tahun ini memperoleh keuntungan.”

(12)

Primbon

Kata primbon berasal dari “rimbu” yang bermakna simpan atau simpanan. Primbon berisi catatan dari para leluhur berdasarkan pengalaman baik dan buruk yang dialami oleh orang Jawa. Primbon diwariskan dari generasi ke generasi.15 Primbon ada bermacam-macam, antara lain:

Primbon Betaljemur Adammakna Primbon Lukmanakim Adammakna Primbon Atassadhur Adammakna Primbon Bektijammal Adammakna Primbon Shahdhatsaahthir Adammakna Primbon Qomarrullsyamsi Adammakna Primbon Naklassanjir Adammakna Primbon Quraisyin Adammakna Primbon Ajimantra

Menurut Susiyanto, peneliti dari Pusat Studi Peradaban Islam, sejumlah primbon Jawa yang ada hingga hari ini mengambil nama dari cerita Menak, yaitu sebuah kisah pewayangan bernuansa Islam yang mengambil karakter dan seting Timur Tengah. Kisah Menak ini sangat populer pada masanya. Sebagai buku yang memuat tradisi mistik dan klenik di Jawa, kitab primbon selalu mengambil nama-nama yang menarik sehingga mampu memikat pembaca. Maka kaum kebatinan yang menciptakan primbon pun memberi judul primbonnya dari cerita Menak yang populer.

Beberapa primbon mencantumkan nama Adammakna di judulnya. Istilah “Adammakna” berasal dari nama sebuah kitab legendaris dalam cerita Menak, yaitu Kitab Adam Makna, semacam kitab “fikih” yang memuat makna, rahasia, dan tuntunan hidup bagi manusia agar dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna. Bekti Jamal dan Betal Jemur adalah nama karakter dalam cerita Menak yang pernah menjadi pemilik Kitab Adam Makna. Betal Jemur adalah putra dari Raden Bekti Jamal. Tokoh Amir Ambyah pernah menjadi anak angkat sekaligus murid dari Betal Jemur. Ada pun Lukman Hakim merupakan ayah dari Raden Bekti Jamal. Lukman Hakim disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki kemampuan seperti

(13)

Nabi Sulaiman. Sedangkan Kuraisyin adalah nama dari salah satu putri Amir Ambyah dari istrinya yang bernama Dewi Ismayawati, putri Prabu Tamimasyar

dari kerajaan Ngajrak.16

Weton

Weton adalah paduan hari dan pasaran saat seseorang dilahirkan, misalnya Senin Wage atau Jum’at Pon. Weton memiliki peran sentral dalam perhitungan dan ramalan nasib Jawa. Jodoh, rejeki, penyakit dan banyak urusan manusia Jawa diperhitungkan dan diramalkan dengan dasar perhitungan ini. Dalam keluarga-keluarga yang masih memegang kukuh tradisi Jawa, sebuah perjodohan bisa jadi digagalkan karena dalam perhitungan ternyata seorang lelaki dan seorang perempuan memiliki weton dengan paduan angka yang diramalkan bernasib sial. Weton biasa diperingati oleh pemiliknya setiap selapan (35) hari.

Weton adalah peringatan hari lahir seseorang yang terjadi setiap 35 hari sekali. Caranya ada dua macam17:

Pertama : dengan sesaji dan doa. Pada saat weton biasanya

akan dibuat semacam sesaji sederhana yang berupa secawan bubur merah putih dan satu gelas air hangat. Pemberian ini adalah untuk saudara-saudara halus, dengan mengatakan: ini untuk semua saudara halusku, aku selalu ingat kamu, mengenali kamu, maka itu bantulah dan jagalah aku. Sesaji sederhana ini juga untuk mengingatkan dan bersyukur kepada ibu dan ayah, karena melalui merekalah kamu dilahirkan dan hidup di dunia ini. Selanjutnya untuk mengingat dan menghormati para leluhur dan memuji Sang Pencipta.

Cara yang lengkapuntuk meyebut saudara-saudara halus tersebut adalah : Mar marti, kakang kawah, adi ari-ari, getih puser sedulur papat, kalimo pancer

Bantulah saya (katakan apa keperluanmu) Jagalah saya pada waktu saya tidur

16 Susiyanto, “Cerita Menak; Warisan Budaya Islam di Indonesia.” Dimuat dalam susiyanto. wordpress.com.

(14)

Nama- nama mereka harus disebut dengan lengkap sehingga terbiasa untuk beberapa bulan. Sesudah itu boleh memanggil mereka semua : saudara ha-lusku.

Dalam tradisi Jawa diyakini bahwa kakang kawah dan adi ari-ari adalah yang unsur sedulur yang paling banyak membantu. Kakang kawah selalu berusaha mewujudkan semua keinginan dan usaha, sedangkan adi ari-ari selalu berusaha menyenangkan pemiliknya. Dianjurkan pula pada saat akan melakukan hal yang penting atau sebelum berdoa, sesudah menyebutkan nama lengkap mereka satu persatu, ulangi lagi dengan menyebut kakang kawah dan adi ari-ari untuk membantu. Kedua : dengan berpuasa dan ritual lain. Antara lain berpuasa

selama 24 jam, hanya makan buah dan sayuran; makan nasi putih dan minum air putih ; tidur sesudah tengah malam atau tidak tidur sama sekali. Puasa pada hari Weton bagi orang Jawa dipercayai dapat memberikan pencerahan spiritual. Ada juga yang melakukan selama tiga hari berturut-turut, yaitu satu hari sebelum weton, pada saat weton dan sehari sesudah weton yang disebut Ngapit.

Mengenal "Sedulur Alus"

Spiritualitas Jawa meyakini bahwa dalam kiprahnya menjalani kehidupan di bumi, manusia selalu didampingi oleh saudara-saudara gaibnya kapan pun dan di mana pun dia berada. Para saudara halus ini mendapatkan tugas dari Sang Pencipta Kehidupan untuk membantu dan menjaga saudaranya yang pada saat ini menjadi manusia dibumi.

Siapa saja saudara Gaib itu?

Sedulur alus yang tidak berbadan fisik itu menurut kepercayaan tradisional Jawa selalu membantu saudaranya yang manusia dengan jalan menyertai, melindungi, membantu supaya saudaranya yang manusia menjalani kehidupannya dengan selamat, sehat, sejahtera selama hidup dibumi ini. Tugas sedulur alus tersebut, menurut

(15)

kepercayaan Jawa, sesuai dengan ketentuan dari Tuhan.. Saudara Gaib itu jumlahnya banyak. Di antaranya:

Mar dan Marti, biasa dipanggil Mar Marti.

Mereka adalah saudara manusia yang lebih tua. Mereka tidak ikut dilahirkan melalui gua garba ibu. Mar yang paling tua merefleksikan perjuangan ibu sewaktu melahirkan bayi. Dia adalah daya, kekuatan yang kuat, hebat untuk hidup dan melindungi hidup.

Marti merefleksikan perjuangan ibu setelah melahirkan. Perjuangannya berhasil, lega rasanya. Oleh karena itu Mar Marti tinggi pangkatnya, sebagai Raja dan Ratu. Secara mistis warnanya berupa cahaya putih bersih dan kuning muda jernih.

Mar Marti membantu manusia yang dikawalnya, hanya untuk hal-hal yang penting, dalam keadaan yang benar-benar diperlukan. Karena derajat Mar Marti adalah bagai Raja dan Ratu, maka manusia yang meminta bantuan mereka adalah yang punya perbuatan, pikiran dan rasa yang jernih. Menurut istilah Kejawen adalah manusia yang telah melakukan tapabrata terlebih dahulu, yang sudah melakukan laku spiritual yang sungguh-sungguh.

Sedulur papat kalimo pancer

Saudara empat yang kelima pancer, yaitu :

Kakang Kawah : Kakak Kawah, yang keluar dari rahim ibu, sebelum sibayi. Warnanya putih, tempatnya di Timur.

Adi Ari-ari : Adik ari-ari, yang keluar dari rahim ibu, sesudah si bayi. Warnanya kuning, tempatnya di Barat.

Getih : Darah yang keluar dari rahim ibu sewaktu melahirkan. Warnanya merah, tempatnya di Selatan.

Puser : Pusar, yang dipotong sesudah kelahiran bayi. Warnanya hitam, tempatnya di Utara.

Pancer : Pancer adalah bleger ,wujud badan jasmani yang ada ditengah keempat saudara yang lain yang tidak punya raga fisik.

Sedulur papat kalimo pancer juga disebut Keblat papat, kalimo tengah ,artinya : Kiblat empat, yang kelima di tengah. Para saudara halus ini mempunyai tugas untuk membantu manusia didalam menjalani kehidupan sehari-hari.

(16)

Selanjutnya ada saudara-saudara halus yang dipanggil sebagai :

Kabeh kadang ingsun kang metu saka margo ino lan kang ora metu saka marga ino.

(Semua saudaraku, yang ada melalui rahim ibu dan yang tidak melalui rahim ibu).

Kabeh kadang ingsun kang ora katon miwah kang ora karawatan.

(Semua saudaraku yang tidak kelihatan dan tidak terawat).

Kabeh kadang ingsun kang lahir bareng sadino sawengine karo aku.

(Semua saudaraku yang lahir siang malam bersamaku).

Jadi, memang benar saudara halus manusia itu ada banyak, mereka juga sering disebut sedulur sinarawedi- saudara terdekat. Dari sudut kebatinan, ada yang menyebut mereka makdum sarpin.

Perlu dikenal

Para pinisepuh Kejawen mengajarkan penganutnya supaya mengenal dan syukur kalau mau ngerteni (memahami) saudara halus kita. Mereka itu selalu mengawal dan membantu kita, disadari atau tidak, karena mereka dapat tugas dari Tuhan. Tentunya, si manusia juga harus berbuat dan berkemauan yang baik.

Perlu diketahui bahwa para saudara halus tersebut merasa senang kalau kita mengetahui kehadiran dan keberadaan mereka, terlebih kalau kita memperhatikan mereka. Kalau mereka merasa dianggap dan diperhatikan tentu mereka akan lebih rajin dan giat membantu. Mereka senang bila setiap saat diajak berpartisipasi dalam setiap kegiatan kita, seperti : makan, minum, belajar, bekerja, menyopir, mandi dsb.

Contoh mengajak saudara halus kita, katakan dalam batin :

“Semua saudara halusku ( secara lengkap adalah : Kakang kawah, adi ari-ari, getih, puser, kadang ingsun papat kalimo pancer, kabeh kadang ingsun kang metu saka margo ino lan kang ora metu saka margo ino, kabeh kadang ingsun kang ora katon miwah kang ora karawatan, kabeh kadang ingsun kang lahir bareng sadino sawengine karo aku), saya mau makan, bantulah saya – Aku arep mangan, ewang-ewangono. Artinya supaya kita dibantu bisa makan dengan selamat dan makanan itu juga baik untuk kita.

(17)

“Semua saudara halusku, bantulah saya menyopir mobil ini atau naik motor ini supaya selamat dan lancar sampai ke kampus atau ke kantor”. Artinya supaya dibantu supaya tidak ada halangan maupun kecelakaan.

“Semua saudara halusku, bantulah saya dalam bekerja, sehingga pekerjaan saya lancar dan benar”.

Akrab dengan saudara halus

Tradisi Jawa meyakini hubungan akrab dengan semua saudara halus bisa dilakukan dengan biasa melakukan komunikasi. Seperti juga dalam pergaulan antar manusia, kalau sering terjadi komunikasi, tentu hubungannya menjadi lebih terbiasa dan bahkan menjadi akrab. Kalau sudah akrab, bisa terjadi hubungan yang saling membantu. Jalinan komunikasi pertama adalah : Anda sering menyebut nama mereka secara lengkap, satu per satu. Ini anda lakukan karena Anda perlu minta dibantu atau dilindungi. Dengan menyebut mereka dan minta bantuan itu artinya Anda mengakui keberadaan mereka dan bahwa mereka adalah saudara-saudara anda yang anda sayangi dan perlukan. Jadi menyebut mereka dan minta kerjasama mereka, itu tidak merendahkan mereka maupun Anda. Itulah kenyataan yang digariskan Gusti, sesuai Kejawen.

Seandainya Anda tidak pernah menyapa mereka, maka sebagai sesama makhluk mereka juga merasa bahwa keberadaan mereka tidak Anda perhatikan dan perlukan. Mereka akan tidak antusias mendampingi, melindungi dan membantu Anda, meskipun itu tugas alami mereka atas kehendak Gusti. Maka jangan heran kalau kita lihat banyak teman, kenalan kita yang hidupnya kesandhung-sandhung – banyak menghadapi kendala, sial, nasib jelek dan sebagainya. Mungkin saja mereka tidak dibantu secara optimal oleh saudara-saudara halusnya sendiri, selain ada masalah karma.

(18)

Wuku

Siklus tujuh harian atau mingguan dalam kalender Jawa disebut sebagai Wuku. Siklus Wuku setiap 210 hari karena ada 30 wuku yang memiliki sifat dan karakter sendiri-sendiri serta mempengaruhi kehidupan manusia. Nama-nama wuku itu adalah:

1. Sinta 11. Galungan 21. Maktal 2. Landep 12. Kuningan 22. Wuye 3. Wukir 13. Langkir 23. Manail 4. Kurantil 14. Mandhasiya 24. Prangbakat 5. Tolu 15. Julungpujut 25. Bala 6. Gumbreg 16. Pahang 26. Wugu 7. Warigalit 17. Kuruwelut 27. Wayang 8. Warigagung 18. Marakeh 28. Kulawu 9. Julungwangi 19. Tambir 29. Dhukut 10. Sungsang 20. Madhangkungan 30. Watugunung

Masing-masing wuku memiliki dewa, sifat, kayu, burung, bencana, selamatan tolak bala, slawat, candra dan jabungkalajayabumi (arah ancaman bahaya).

Misalnya Wuku Sinta: dewanya Batara Yamadipati yang laksana pendeta, wataknya bagaikan raja, cemburu, besar nafsu, tidak sabar, sering kecelakaan, lembut budi, enak bicaranya, tidak percayaan, banyak rejeki kaya harta benda. Sifatnya memanggul panji-panji: memiliki kesenangan. Kayunya kendayakan: menjadi naungan bagi orang sakit dan melarikan diri. Burungnya gagak: tahu gelagat, cepat dalam segala pekerjaan. Bencananya: mati setengah umur. Selamatan penolaknya nasi pulen beras sapitrah (kurang lebih ¼ kg) dan daging kerbau seharga 21 ketheng (mata uang kuno senilai ½ sen)yang dibeli tanpa menawar. Slawatnya 4 ketheng. Candranya: Indra janma nestapa. Jabungkalajayabuminya di timur laut: tujuh hari jangan pergi ke timur laut.18

(19)

Tahun

Kalender Jawa atau Kalender Sultan Agung memiliki delapan tahun dengan nama-nama yang diambul dari huruf Arab. Yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir. Karenanya sistem tahun ini disebut juga sebagai Tahun Huruf. Tahun-tahun itu terbagi dua, yaitu dalam Tahun Wastu (pendek) dan Wuntu (panjang). Tahun Wastu berumur 354 hari, sementara Tahun Wuntu berumur 355 hari. Dalam tahun panjang, umur Bulan Besar bertambah 1 hari menjadi 30 hari. Penetapan ini dilakukan pada masa Sultan Agung, menyesuaikan dengan perhitungan tahun Hijriyah.

Mirip dengan penanggalan dan Cina yang menamai tahun dengan Shio berlambang binatang, Kalender Jawa juga memiliki tradisi sama. Awal tahun baru yang jatuh pada tanggal 1 Sura akan memiliki nama se-suai beberapa jenis binatang sese-suai harinya19:

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Ahad, maka disebut Tahun Dite Kalaba (kelabang), jarang hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Senin, maka disebut Tahun Soma Wrejita (cacing), banyak hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Selasa, maka disebut Tahun Anggara Wrestija (katak), banyak hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Rabu, maka disebut Tahun Buda Wisaba (kerbau), banyak hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Kamis, maka disebut Tahun Respati Mintuna (mimi), banyak hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Jumat, maka disebut Tahun Sukra Minangkara (udang), jarang hujan.

Jika 1 Sura jatuh pada Hari Sabtu, maka disebut Tahun Menda (kambing), jarang hujan.

(20)

Windu

Dalam Kalender Jawa, siklus delapan tahunan disebut satu windu. Siklus Windu sendiri ada empat macam20:

Kunthara : berarti ulah atau tingkah laku. Banyak tingkah laku orang yang aneh dan belum pernah terjadi.

Songara : artinya banjir. Banyak luapan air yang besar.

Sancaya : artinya silaturahmi, sukaria dan bersahabat. Banyak orang saling sepakat dan rukun.

Adi : artinya unggul. Banyak bangunan baru yang

menyenangkan.

Waktu Baik dan Jelek

Anggarakasih (Selasa kliwon)

Hari Anggara Kasih adalah hari Selasa-Kliwon. Hari ini oleh orang Jawa dan Hindu Bali dianggap keramat. Dipercaya bahwa pada hari ini, Batara Siwa turun ke bumi. Dalam tradisi Jawa, Bulan yang tidak memiliki hari Anggarakasih dilarang untuk melaksanakan hajat nikah dan lainnya.21

Dalam tahun Alip : Jumadilakir dan Besar

Dalam tahun Ehe : Rejeb

Dalam tahun Jimawal : Sura dan Ruwah

Dalam tahun Je : Sapar dan Ruwah

Dalam tahun Dal : Rabiulawal dan Puasa

Dalam tahun Be : Rabiulakir

Dalam tahun Wawu : Rabiulakir dan Dulkangidah Dalam tahun Jimakir : Jumadilawal

20 Ibid, hal. 29. 21 Betaljemur, hal. 11.

(21)

Bangas Padewan

Adalah tanggal dalam setiap bulan yang dilarang berhajat menikahkan dan sebagainya. Larangan tersebut diberlakukan karena menurut tradisi Jawa, pada hari itu merupakan hari kebangkitan Dewa Bangas Padewan yang kerap menimpakan angkara murka di muka bumi. Bangas Padewan diidentikan dengan kesialan dan kemalangan yang akan dialami orang yang melanggar pantangan tersebut. Jika dilanggar amat berbahaya, akan mendatangkan kesusahan.22

Bulan dan tanggal Bangas

1. Sura : 11 7. Rejeb : 13 dan 27 2. Sapar : 20 8. Ruwah : 4 dan 28 3. Rabiulawal :1 dan 15 9. Puasa : 7 dan 20 4. Rabiulakir : 10 dan 20 10. Sawal : 10 5. Jumadilawal : 10 dan 11 11. Dulkangidah : 2 dan 22 6. Jumadilakir : 10 dan 14 12. Besar : 6 dan 20

Bulan Baik dan Jelek23

Dalam setiap tahun Jawa yang berjumlah delapan, ada bulan-bulan yang baik dan jelek. Keperluan hajat nikah dianjurkan dilaksanakan pada bu-lan baik dan dihindari pada bubu-lan jelek.

TAHUN BULAN BAIK BULAN BURUK

Alip 1 9 dan 11

Ehe 1,2,6,7,8 dan 10 4,9,11 dan 12

Jimawal 7,8 dan 10 1,2,3,5 dan 12

Je 4,5,6,7,8,9 dan 12 1,2,3,10 dan 11

Dal 6,7,9 dan 10 2,3,8 dan 11

22 Ibid, hal. 20. 23 Ibid, hal. 10

(22)

Be 6 dan 12 1,2 dan 7

Wawu 2,3,4,5 dan 9 1,10,11 dan 12

Jumakir 3,5,7,8,10 dan 12 1 dan 11

Bulan Baik dan Jelek untuk Hajat Nikah dan Akibatnya24

Bulan jelek dalam perhitungan Jawa tak boleh untuk hajat nikah. Namun bulan-bulan itu memiliki derajat yang berbeda-beda. Ada yang sama sekali tak boleh dilanggar, ada yang boleh dilanggar. Konsekuensi me-nikah pada bulan-bulan tersebut diyakini ada bermacam-macam. Rinci-annya sebagai berikut:

Sura : Jangan dilanggar. Jika dilanggar akan mendapat kesukaran dan selalu bertengkar.

Sapar : Boleh dilanggar, namun akan kekurangan dan banyak hutang.

Rabiulawal : Jangan dilanggar karena salah satu akan meninggal.

Rabiulakir : Boleh dilanggar, namun akan sering dipergunjingkan dan dicacimaki.

Jumadilawal : Boleh dilanggar, namun akan sering tertipu, kehilangan dan banyak musuh.

Jumadilakir : Kaya akan harta benda. Rejeb : Selamat dan banyak anak. Ruwah : Selamat dan selalu damai.

Puasa : Jangan dilanggar, akan mendapat kecelakaan besar.

Sawal : Boleh dilanggar, namun akan sering kekurangan dan banyak hutang.

Dulkangidah : Jangan dilanggar, akan sering sakit dan bertengkar dengan teman.

Besar : Akan kaya dan mendapat kebahagiaan. 24 Ibid, hal. 21 .

(23)

Bulan Sarju25

Sarju sebenarnya bermakna berkenan atau setuju. Namun Bulan Sarju dimaknai sebagai bulan sedang, tidak terlalu baik namun juga tidak jelek untuk melangsungkan berbagai urusan. Namun harinya harus diperhatikan. Rinciannya sebagai berikut:

Bulan Besar, Sura dan Sapar harinya Jum’at

Bulan Rabiulawal, Rabiulakir dan Jumadilawal harinya Sabtu dan Ahad

Bulan Jumadilakir, Rejeb dan Ruwah harinya Senin dan Selasa Bulan Puasa, Sawal dan Dulkangidah harinya Rabu dan Kamis Hari Jelek untuk Hajat Menikah26

Bulan Jumadilakir, Rejeb dan Ruwah harinya Jum’at

Bulan Puasa, Sawal dan Dulkangidah harinya Sabtu dan Ahad Bulan Besar, Sura dan Sapar harinya Senin dan Selasa

Bulan Rabiulawal, Rabiulakir dan Jumadilawal harinya Rabu dan Kamis

Hari Jelek untuk Menikah Berdasarkan Kejadian yang Dialami Para Nabi27

Ada hari-hari yang dianggap jelek dalam tradisi Jawa karena diyakini merupakan hari para nabi mengalami hal yang jelek. Antara lain:

13 Sura : konon pada hari itu Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud

3 Rabiulawal : konon pada hari itu Nabi Adam diturunkan ke dunia dari surga

16 Rabiulakir : konon pada hari itu Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur

25 Ibid, hal. 10. 26 Ibid, hal. 18. 27 Ibid, hal. 19.

(24)

5 Jumadilawal : konon pada hari itu umat Nabi Nuh diterjang banjir

12 dan 21 Puasa : konon Nabi Musa berperang dengan Fir’aun pada hari itu

24 Dulkangidah : hari ditelannya Nabi Yunus oleh ikan paus

25 Besar : hari masuknya Nabi Muhammad ke dalam Gua (Tsur?)

Tanggal-tanggal ini menunjukkan pengaruh Islam dalam tradisi Jawa. Sayang, aplikasinya justru menjadi hari jelek yang dipantangkan untuk berhajat. Maksudnya mungkin mengingat sejarah para nabi tapi terjerumus ke dalam syirik.

Hari Sangar28

Secara bahasa sangar berarti mendatangkan bala dan bencana, angker atau tidak subur. Hari sangar adalah hari yang jelek, tidak boleh untuk hajat nikah dan hajat lainnya.

Bulan Puasa, Sawal, dan Dulkangidah hari sangarnya adalah Jum’at Bulan Besar, Sura dan Sapar hari sangarnya adalah Sabtu dan Ahad Bulan Rabiulawal, Rabiulakir dan Jumadilawal hari sangarnya Senin dan Selasa

Bulan Jumadilawal, rejeb dan Ruwah hari sangarnya Rabu dan Kamis Kunarpawarsa (tahun bencana)29

Berasal dari kata kunarpa yang bermakna bangkai atau mayat dan warsa yang berarti tahun. Dalam tahun Kunarpawarsa hari jelek yang dilarang untuk menikah dan hajat lainnya. Hitungannya jatuh pada setiap tanggal 29 atau 30 bulan Besar.

Tahun Alip harinya Sabtu Paing Tahun Ehe harinya Kamis Paing

28 Ibid. 29 Ibid, hal. 9.

(25)

Tahun Jimawal harinya Senin Legi Tahun Je harinya Jum’at Legi Tahun Dal harinya Rabu Kliwon Tahun Be harinya Ahad Wage Tahun Wawu harinya Kamis Pon Tahun Jimakir harinya Selasa Pon Pantangan Bulan30

Menurut primbon, melakukan hajat nikah dan sebagainya pada bulan-bulan yang jelek akan menimbulkan musibah-musibah tertentu. Rinciannya sebagai berikut:

Sakit atau kena racun jika melanggar pantangan bulan Jumadilakir dan Dulkangidah pada tahun Alip.

Sakit tulang jika melanggar pantangan bulan Rabiulawal dan Puasa pada tahun Ehe.

Tewas atau hanyut di sungai jika melanggar pantangan bulan Rabiulawal dan Besar pada tahun Jimawal.

Sakit lepra jika melanggar pantangan bulan Sura dan Sawal pada tahun Je.

Sakit demam/panas jika melanggar pantangan bulan Ruwah pada tahun Dal.

Tersangkut perkara besar jika melanggar pantangan bulan Sapar dan Rejeb pada tahun Be.

Sakit kepala jika melanggar pantangan bulan Jumadilawal pada tahun Wawu.

Sakit ingatan jika melanggar pantangan bulan Sura dan Dulkangidah pada tahun Jimakir.

(26)

Perang dan Utang Sesuai Hari dan Pasaran31

Dengan menghitung neptu hari dan pasaran akan diketahui nasibnya orang yang akan maju berperang, berhutang ataupun menagih hutang. Caranya neptu hari dan pasaran dijumlahkan, kemudian hasil penjumlahannya akan menunjukkan nasibnya sebagai berikut:

Hasil 7,11 dan 15: lambangnya Janggleng (buah jati). Jika berperang terasa lambat, sering kembali. Berhutang atau menagih tidak berhasil.

Hasil 8,12 dan 16: lambangnya Celeng (babi hutan). Jika berperang bingung. Berhutang atau menagih gagal.

Hasil 9,13 dan 17: lambangnya Nyangking. Jika berperang dapat menyelesaikan. Mudah berhutang maupun menagih.

Hasil 10, 14 dan 18: lambangnya Kithing (cacat berupa dua jari yang menyatu). Tak akan terjadi jika mau berperang. Akan gagal jika berhutang atau menagih.

Melihat rumitnya hitungan keberhasilan berperang serta alternatifnya yang lebih banyak gagal (lambat dan sering kembali, bingung dan batal) daripada yang tidak gagal (itupun sekedar “dapat menyelesaikan), mungkin inilah sebabnya orang Jawa cenderung antikonflik apalagi perang. Perang membutuhkan keberanian mengambil keputusan (decisive), tidak ragu-ragu maupun was-was. Sementara hitungan dan ramalan Jawa justru melahirkan hal-hal tadi.

Perhitungan Hari Menurut Jam32

Barangkali untuk mengatasi kesulitan, karena banyak dan rumitnya pantangan hari atau waktu yang tak boleh digunakan melaksanakan hajat atau bepergian, perhitungan Jawa mencoba “mengakali” konsep hari dengan jam. Dengan teknik ini, meskipun pada hari itu sebenarnya termasuk hari naas atau sial, bepergian atau hajat tertentu dapat dilakukan pada jam tertentu. Caranya dengan memasukkan jam-jam tertentu pada hitungan hari lain.

31 Ibid, hal. 159. 32 Ibid, hal. 121.

(27)

Contohnya Hari Ahad:

Jam 6-8 dihitung tetap masuk hari Ahad Jam 8-10 dihitung masuk hari Senin Jam 10-11 dihitung masuk hari Selasa Jam 11-1 dihitung masuk hari Rabu Jam 1-3 dihitung masuk hari Kamis Jam 3-5 dihitung masuk hari Jum’at Jam 5-6 dihitung masuk hari Sabtu

Misalkan Ahad itu masuk dalam bulan Sura, sebenarnya Sabtu dan Ahad pada bulan itu termasuk hari sangar. Tapi suatu hajat bisa saja dilakukan, misalnya bepergian, asal pada jam 8-5 karena dihitung masuk dalam hari Senin-Jum’at.

Saat Agung33

Teknik “mengakali” hari naas dengan memilih jam juga ada dalam bentuk lain. Segala keperluan bisa dilakukan pada hari apa saja asal memilih jam yang sesuai dengan Saat Agung. Sistem perhitungan Saat Agung memiliki tujuh saat, ada yang baik dan ada yang jelek. Rinciannya sebagai berikut:

Saat yang baik terdiri dari: Saat yang buruk terdiri dari:

Wiji, bersifat aman, tenteram, suka

dan senang. Lara

Cahya, bersifat terang, pantas, selalu

tercapai maksudnya. Malaekat Rejeki, bersifat menjadi tempat

perlindungan, segalanya tercapai dan baik.

Puji

Pati

(28)

Saat agung ini memiliki fase yang berbeda pada setiap harinya. Misalkan pada hari Senin, rincian saat agungnya sebagai berikut:

Wiji : jam 6-8 Cahya : jam 8-10 Lara : jam 10-11 Rejeki : jam 11-13 Malaekat : jam 13-15 Puji : jam 15-17 Pati : jam 17-18

Hitungan saat agung ini akan berbeda untuk setiap harinya. Maka mengakali hari naas pun harus melihat tabelnya dalam primbon.

Saat Tertentu yang Harus Dihindari34

Ada saat-saat tertentu yang harus dihindari untuk mengerjakan berbagai keperluan.

Misalnya pada hari Ahad, dihindari mengerjakan keperluan pada jam 10-11 pagi dan jam 5-6 petang.

Hal ini terlihat kontradiktif dengan konsep perhitungan jam (lihat entri Perhitungan hari menurut Jam) yang justru memasukkan jam 10-11 hari Ahad dalam hitungan hari Selasa sehingga boleh saja melakukan suatu keperluan meskipun pada hari yang naas.

Samparwangke35

Samparwangke secara harfiah bermakna tersandung bangkai. Dalam tradisi Jawa hal ini dianggap naas. Dalam siklus wuku yang 30 (lihat entri Wuku), ada lima wuku yang memiliki hari samparwangke (hari naas/sengkala) yang jatuh pada ringkel Aryang. Hari samparwangke hendaknya dihindari untuk mengerjakan sesuatu karena menjadi hari naasnya seseorang.

34 Ibid, hal. 123. 35 Ibid, hal. 8.

(29)

1. Wuku Warigalit samparwangkenya Senin Kliwon 2. Wuku Bala samparwangkenya Senin Legi

3. Wuku Langkir samparwangkenya Senin Paing 4. Wuku Sinta samparwangkenya Senin Pon 5. Wuku Tambir samparwangkenya Senin Wage Sangarwarsa36

Maknanya tahun yang sangar, dilarang berhajat menikahkan dan lainnya. Hitungannya tetap, jatuh setiap tanggal 3 bulan Sura.

Dalam tahun Alip sangarwarsa jatuh pada Jum’at Legi Dalam tahun Ehe sangarwarsa jatuh pada Selasa Kliwon Dalam tahun Jimawal sangarwarsa jatuh pada Ahad Kliwon Dalam tahun Je sangarwarsa jatuh pada Kamis Wage Dalam tahun Dal sangarwarsa jatuh pada Senin Pon Dalam tahun Be sangarwarsa jatuh pada Sabtu Legi Dalam tahun Wawu sangarwarsa jatuh pada Rabu Paing Dalam tahun Jimakir sangarwarsa jatuh pada Ahad Legi Taliwangke37

Secara bahasa bermakna tali bangkai, sebuah hari yang naas dan sial. Dalam siklus wuku yang 30 (lihat entri Wuku), ada enam wuku yang memiliki hari Taliwangke. Hari Taliwangke hendaknya dihindari untuk mengerjakan sesuatu yang perlu. Dengan nama dan lambang khas, hari Taliwangke memiliki rincian sebagai berikut:

1. Somaye (Wuku Wuye): Senin Kliwon, berlambang Perangkap Burung

2. Anggarayang (Wuku Wayang): Selasa Legi, berlambang Sinar Berjalan Matinya Sapi Hutan

36 Ibid, hal. 9. 37 Ibid, hal. 8.

(30)

3. Bodanep (Wuku Landep): Rabu Paing, berlambang Ikan Pringga Mati

4. Warigamis (Wuku Warigalit): Kamis Pon, berlambang Manusia Mati

5. Sukraingan (Wuku Kuningan): Jum’at Wage, berlambang Tumbuh-tumbuhan Rontok

6. Tumpaklote (Wuku Kuruwelut): Sabtu Kliwon, berlambang Kapas Garing

Tanggal Naas38

Masing-masing bulan memiliki tanggal naas yang dilarang untuk menggelar hajat nikahan dan sebagainya.

1. Sura : 6 dan 11 7. Rejeb : 2 dan 14 2. Sapar : 1 dan 20 8. Ruwah : 12 dan 13 3. Rabiulawal : 10 dan 20 9. Puasa : 9 dan 20 4. Rabiulakir : 10 dan 20 10. Sawal : 10 dan 20 5. Jumadilawal : 1 dan 11 11. Dulkangidah: 12 dan 13 6. Jumadilakir : 10 dan 14 12. Besar : 6 dan 10

Tanggal Sangar39

Agar terhindar dari akibat buruk, segala keperluan yang penting hendaknya menghindari bulan, tanggal dan hari taliwangke berikut.

Sura tanggal 11, 14, 17 dan 27 serta hari Rabu Paing, jika dilanggar akan berakibat halangan lebih besar.

Sapar tanggal 1, 12, 20 dan 22 serta hari Kamis Pon, jika dilanggar berakibat sering sakit.

Rabiulawal tanggal 10, 13, 15 dan 23 serta hari Jum’at Wage, jika dilanggar berakibat sakit perut.

38 Ibid, hal. 19. 39 Ibid, hal. 12.

(31)

Rabiulakir tanggal 10, 15, 20 dan 25 serta hari Sabtu kliwon, jika dilanggar berakibat sakit tulang.

Jumadilawal tanggal 10, 11, 16 dan 26 serta hari Senin Kliwon, jika dilanggar berakibat sakit tulang.

Jumadilakir tanggal 3, 11, 14 dan 21 serta hari Selasa Legi, jika dilanggar berakibat sakit ingatan.

Rejeb tanggal 2, 11 dan 22 serta hari Rabu Paing, jika dilanggar berakibat keracunan.

Ruwah tanggal 14, 19, 24 dan 28 serta hari Kamis Pon, jika dilanggar berakibat keracunan.

Puasa tanggal 10, 15, 20 dan 25 serta hari Jum’at Wage, jika dilanggar berakibat sakit mata.

Sawal tanggal 2, 17, 20 dan 27 serta hari Sabtu Kliwon, jika dilanggar berakibat kena perkara.

Dulkangidah tanggal 6, 11, 12 dan 21 serta hari Senin Kliwon, jika dilanggar berakibat di dalam rumah bergantian sakit.

Besar tanggal 1, 13, 20 dan 23 serta hari Selasa Legi, jika dilanggar berakibat kesusahan.

(32)
(33)

KONSEP WAKTU DALAM ISLAM

P

ada dasarnya, dalam ajaran Islam tidak dikenal waktu berpantang. Waktu, di luar pertimbangan yang bisa diterima oleh akal sehat, tidak dapat mempengaruhi baik-buruknya akibat sebuah perbuatan yang dilakukan. Sebab, penentuan baik-buruknya akibat mutlak dari Allah SWT. Sekali lagi, kecuali untuk beberapa sebab khusus yang sudah ditegaskan oleh sabda Nabi SAW, atau pertimbangan yang bisa diterima oleh rasio.

Bepergian, misalnya. Dapat dilakukan kapan saja. Tidak ada waktu tertentu yang secara dzatiyah-nya memiliki nilai magis yang dapat menimbulkan akibat baik atau buruk. Kecuali beberapa pertimbangan logis. Seperti malam hari, tidak dianjurkan bepergian karena kegelapan yang membatasi pandangan, sehingga dikhawatirkan akan membuat celaka. Atau, perubahan produksi hormon di dalam tubuh pada malam hari yang membuat bekerja di malam hari dianggap tidak baik bagi kesehatan.

Ada juga tuntunan Nabi SAW yang menekankan keadaan khusus pada waktu-waktu tertentu. Seperti saat menjelang malam, kita dianjurkan untuk memasukkan anak-anak kita ke rumah dan menutup pintu.

ٍذِئَني ِح ُر ِشَتْنَت َني ِطاَي َّشلا َّنِٕاَف ْم ُكَناَيْب ِص اوُّف ُكَف ْمُتْي َس ْمَٔا ْؤَا ِلْيَّللا ُحْن ُج َنا َك ا َذِٕا

ِهَّللا َم ْسا اوُر ُك ْذا َو َبا َوْبَٔاْلا او ُقِل ْغَٔاَف ْم ُهوُّل ُحَف ِلْيَّللا ْنِم ٌة َعا َس َب َه َذ ا َذِٕاَف

اوُر ِّم َخ َو ِهَّللا َم ْسا اوُر ُك ْذا َو ْم ُكَبَرِق او ُك ْؤَا َو ا ًقَل ْغ ُم اًباَب ُحَت ْفَي َال َنا َطْي َّشلا َّنِٕاَف

ْم

ُك َحيِبا َصَم اوُئِف ْطَٔاَو اًئْي َش ا َهْيَل َع او ُضُرْعَت ْنَٔا ْوَلَو ِهَّللا َم ْسا اوُر ُكْذاَو ْم ُكَتَيِنٓا

“Jika malam sudah menjelang atau masuk waktu sore maka jagalah batita kalian sebab setan bergentayangan pada waktu itu. Jika sudah berlalu

(34)

sesaat maka biarkanlah mereka dan tutuplah pintu-pintu (rumahmu) serta sebutlah nama Allah, karena setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup. Tutuplah geriba-geriba kalian dan sebutlah nama Allah, tutuplah wadah-wadah kalian dan sebutlah nama Allah meskipun hanya dengan melintangkan kayu di atasnya. Dan padamkanlah lampu-lampu kalian.” 1

Rasulullah menerangkan, setan bergentayangan pada jelang malam hari. Hal-hal yang seharusnya kita lakukan pada saat itu, telah dijelaskan oleh beliau.

Jadi, adanya waktu tertentu yang dinilai tidak baik untuk mengerjakan suatu perbuatan, dasarnya ada dua:

Keterangan dari dalil yang jelas (Al-Qur’an dan sabda Nabi SAW). Pertimbangan yang rasional, logis, dan diterima oleh akal sehat. Pertimbangan semacam ini diperbolehkan dalam Islam.

Sedangkan dalam filosofi dan tradisi Jawa, baik-buruknya waktu tidak didasarkan kepada dua hal di atas. Rata-rata didominasi kultur Hindu yang menganggap peran dewa-dewa tertentu yang dapat membawa man-faat dan madharat (bahaya), atau bahkan sama sekali tidak ada keteran-gan sebab-musababnya serta penjelasan yang bisa diterima akal sehat. Yang penting ini hari, bulan atau musim yang baik; lalu yang itu adalah hari, bulan atau musim yang buruk.

Pertimbangan di luar dalil naqli (keterangan dari Al-Qur’an dan Sun-nah) dan dalil aqli (rasio) semacam itu membuat pelakunya terjebak melakukan kesyirikan. Mempercayai adanya sosok penguasa di waktu-waktu tertentu yang dapat memberi izin sekaligus larangan pelaksanaan suatu hajat. Bila ada izin, pasti hajat tersebut sukses. Sebaliknya, bila me-langgar larangan, dipastikan bakal celaka.

(35)

Tathayyur / Thiyarah

Kepercayaan mirip semacam itu, dalam Islam dikenal dengan nama Tathayyur / Thiyarah. Berawal dari tradisi orang-orang di masa jahiliyyah. Sebelum bepergian, mereka melepaskan burung terbang ke udara. Nah, ke arah mana burung tersebut terbang itulah yang menentukan keputusan apakah mereka melanjutkan rencana bepergian, atau membatalkannya. Bila, misalnya, burung tersebut terbang ke Barat, diartikan sebagai kesialan. Mereka pun membatalkan. Namun bila terbanng ke Timur, dimaknai sebagai keberuntungan. Mereka pun melaksanan rencana bepergian tersebut, dengan tambah optimistis bahwa kepergian mereka akan membawa keberuntungan.

Itulah yang disebut dengan Tathayyur atau akrab juga disebut Thiyarah. Mensikapi hal tersebut, Rasulullah SAW menegaskan :

يِنُب ِج ْعُي َو ، َل ْو َغ َال َو َء ْوَن َال َو ،َر َف َص َال َو َةَّما َه َال َو َةَرْي ِط َال َو ى َو ْد َع َال

ُلْٔا َفْلا

”Tidak ada ‘Adwa (penyakit menular), tidak Thiyarah (merasa sial), tidak ada Haamah (burung hantu), tidak ada Nau' (ramalan bintang/zodiak), tidak ada Ghaul (nama jin), dan aku menyukai Al-Fa’l (optimistis).”2

KETERANGAN HADITS

Adwa : penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud sabda Nabi di sini adalah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman jahiliyah, bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah, bukan keberadaan penjangkitan atau penularan, karena dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan:

2 HR Muslim, Kitab as-Salam, Bab La ‘Adwa, wa La Thiyaroh, wa La Haamah,wa La Nau. Da-lam kelengkapan hadits tersebut, saat Rasulullah menyebutkan, “Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya),” seorang Arab badui bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan sekelompok unta yang sehat di padang pasir, kemudian didatangi oleh seekor unta kud-isan, kemudian unta yang sehat itu kudisan pula semuanya?” Jawab Rasulullah SAW, “Lalu, siapakah penular yang pertama-tama?” Penegasan beliau SAW adalah, penyakit itu tidak menular dengan sendirinya. Ada yang membuatnya menular ke makhluk lain, yaitu Allah.

(36)

ِد َسَٔالا َنِم ا ْوُّرِفَت َا َمكِ ْم ُو ْذ َج ْملا َنِ م ا ْوُّرِف َو

“… dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta

(lepra ) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (HR Al-Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Semuanya atas kehendak dan takdir ilahi. Namun, sebagai insan mukmin, di samping mengimani takdir tersebut ia harus berusaha untuk melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakikat iman kepada takdir ilahi.

Thiyarah : merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Hamah : burung hantu. Orang-orang jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya. Apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang di antara mereka, ia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya. Rasulullah bermaksud untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Seorang muslim jangan sampai beranggapan seperti ini. Semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.

Shafar : Bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram. Orang-orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini : merasa bahwa hari rabu mendatangkan sial, dan lain lain. Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Islam. Namun, ada pula yang mengartikan "Shafar" di sini sebagai "kematian yang disebabkan oleh cacing perut." Nau’: bintang. Arti asalnya adalah tenggelam atau terbitnya suatu

bintang. Orang-orang jahiliyah menisbatkan turunnya hujan kepada bintang ini atau bintang itu. Islam datang mengikis anggapan seperti ini. Tidak ada hujan turun karena suatu bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah.

(37)

Ghaul: hantu atau gendruwo, salah satu makhluk jenis jin. Mereka beranggapan bahwa hantu ini—dengan perubahan bentuk maupun warnanya—dapat menyesatkan seseorang dan mencelakakannya. Adapun maksud sabda Nabi di sini bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut, yang membawa akibat takut kepada selain Allah serta tidak bertawakal kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau, karena itu dalam hadits lain beliau bersabda, “Apabila hantu beraksi manakut-nakuti kamu maka serukanlah azan.” (HR Ahmad). Maknanya, tolaklah kejahatannya itu dengan berzikir dan menyebut Allah.

Inti hadits di atas adalah menegaskan, bahwa segala sesuatu terjadi karena ada yang menciptakan, menyebabkan dan mengaturnya. Dia-lah AlDia-lah, Al-Khaliq, yang mengatur segala sesuatunya. Oleh sebab itu, mempercayai ada waktu, musim, gejala alam, kejadian tertentu yang bersifat khusus yang memiliki pengaruh ghaib, adalah syirik. Rasulullah SAW bersabda :

ٌك ْر ِش ُةَرَي ِّطلَا ٌكْر ِش ُةَرَي ِّطلَا

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik!”

Dalam kesempatan lain, beliau SAW menegaskan:

َل ْو ُسَر اَي َكِلذ ُةَراَّف َك ا َم َو :ا ْوُلاَق . َكَر ْشَٔا ْد َقَف ِهِت َجا َح ْن َع ُةَرَي ِّطلا ُهْتَّدَر ْن َم

َهلِٕا َال َو َكَرَي ِط َّالِٕا َرْي ِط َال َو َكُرْي َخ َّالِٕا َرْي َخ َال َّم ُهّللَا : َل ْو ُقَي ْنَٔا : َلاَق ؟ِهللا

َكُرْي َغ

“Barang siapa yang mengurungkan/menghentikan hajatnya/keperluannya karena thiyarah maka dia telah melakukan kesyirikan.” Sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa kafarat (penebus) nya ?” Beliau menjawab, “(Dan kafarat/penebusnya) adalah mengucapkan doa:

َكُرْي َغ َهلِٕا َالَو َكَرَي ِط َّالِٕا َرْي ِط َالَو َكُرْي َخ َّالِٕا َرْي َخ َال َّم ُهّللَا

"Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan Engkau dan tidak ada kesialan kecuali dari Engkau (yang telah engkau tetapkan) dan tidak ada

(38)

Ilah yang berhak diibadahi melainkan Engkau.” 3

Beliau SAW juga bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian melihat apa yang dia benci, hendaklah ia berdoa:

َل ْو َح َال َو َتْنَٔا َّالِٕا ِتاَئِّي َّسلا ُعَف ْدَي َال َو ، َتْنَٔا َّالِٕا ِتاَن َس َحْلاِب يِتْٔاَي َال َّم ُهّللَا

َكِب َّالِٕا َةَّوُق َال َو

<Ya Allah tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Mu>.» 4

Mencela Waktu / Musim

Dalam kepercayaan Jawa, terdapat hari, bulan atau waktu tertentu yang memiliki pantangan. Dilarang bercocok-tanam, menikah, berdagang, atau aktivitas lain. Bila dilanggar akan celaka. Kepercayaan seperti ini meyakini bahwa waktu tersebutlah yang menyebaban untung atau rugi; celaka atau bahagia—bukan Allah SWT. Ini adalah syirik akbar.

Rasulullah SAW bersabda:

َرا َهَّنلا َو َلْيَّللا ُبِّلَقُٔا ُر ْمَٔالا ي ِدَيِب ُر ْه َّدلا اَنَٔا َو َر ْه َّدلا ُّب ُسَي َم َدٓا ُنْبا يِنيِذ ْؤُي

"Anak Adam telah menyakiti-Ku dia suka mencela masa. Padahal Aku pencipta masa. Akulah yang menggilir siang dan malam." (HR. Bukhari Muslim).

Dalam menjelaskan makna "mencela waktu" yang terdapat dalam sebuah hadits Nabi SAW, Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan:

"Mencela waktu ada tiga bentuk:

1. Memberikan kabar, tanpa ada maksud celaan. Seperti ucapan, «Kami sangat lelah, karena hari ini sangat panas—atau sangat dingin,» atau perkataan lain yang semisal. Yang demikian diperbolehkan, karena panas atau dinginnya cuaca bisa membuat seseorang merasa kelelahan.

3 HR. Ahmad, dalam musnad dari Abdullah bin Amr RA. 4 HR. Abu Dawud, Kitab ath-Thib bab Thiyaroh no. 3919

(39)

2. Mencela waktu, karena meyakini waktu tersebutlah «pelaku.» Waktu tersebutlah yang membuat sesuatu itu menjadi celaka atau bahagia. Keyakinian seperti ini adalah bentuk syirik akbar! Karena meyakini ada zat selain Allah ada Pencipta lain, dan menisbahkan terjadinya suatu perkara kepada selain Allah.

3. Meyakini bahwa semuanya telah diatur oleh Allah.Ia mencela waktu, karena waktu tersebut menjadi tempat terjadinya suatu kesialan, bencana, atau hal-hal yang dibenci. Ucapan seperti ini hukumnya haram, tidak sampai membuat pelakunya kafirTidak secara langsung mencela Allah. Dikatakan haram, karena menafikan perintah untuk bersabar terhadap turunnya musibah."5

Dari uraian tentang kepercayaan Jawa terkait waktu di halaman sebelumnya, rata-rata kepercayaan tersebut dilandasi karena memang waktu tersebut memiliki “sesuatu” yang mampu membuat baik atau buruknya sebuah perkara. Ini, sebagaimana paparan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas, adalah syirik. Bahkan syirik akbar! Na’udzubillah.

Ilmu Nujum

Salah satu pedoman yang dipakai dalam tradisi Jawa terkait dengan penentuan waktu baik dan waktu buruk, adalah ilmu nujum/perbintangan. Dalam Islam, praktik nujum adalah haram. Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam; sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya:

Pertama :meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang

menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah

gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta

‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta

selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.

(40)

Kedua : seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Tang menciptakan tetaplah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.

Ketiga : menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas

kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.6

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

َدا َز ا َم َدا َز ،ِر ْح ِّسلا َنِم ًةَب ْع ُش َسَبَتْقا ِد َقَف ِم ْو ُجُّنلا َنِم ًةَب ْع ُش َسَبَتْقا ِنَم

“Barang siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum (perbintangan) sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian ilmu sihir. Semakin bertambah (ia mempelajari ilmu nujum) semakin bertambah pula (dosanya).” (HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih)

Padahal sihir termasuk:

ِر ْح ِّسلاِب ٌق ِّد َص ُم َو ِم ْحَّرلا ُع ِطاَقَو ِر ْم َخْلا ُنِم ْدُم ،َةَّن َجْلا َنْوُل ُخ ْدَي َال ٌةَثَالَث

“Tiga orang yang tidak akan masuk surga: pecandu khamar (minuman keras), orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan, dan orang yang mempercayai sihir7”. (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dalam

Shahih-nya).

Allah menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan sebagai saranan untuk meramal nasib. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Qatadah RA, bahwa ia berkata:

6 Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Muhammad Al-Utsaimin: II/5–6.

7 Mempercayai sihir yang di antara macamnya adalah ilmu nujum (astrologi), sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits: “Barang siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir….”

(41)

“Allah menciptakan bintang bintang ini untuk tiga hikmah : sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar setan, dan sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya). Maka barang siapa yang berpendapat selain hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan, dan menyia-nyiakan nasibnya, serta membebani dirinya dengan hal yang di luar batas pengetahuannya.” Wallahu a’lam.

Mengapa tradisi Jawa tersebut dikategorikan syirik dan terlarang?

No. Nama Tradisi Keterangan Mengapa dianggap syirik?

1 Kalender

Jawa Ada tujuh hari. Masing-masing memiliki makna berbeda, berdasarkan pandangan ahli nujum dan

petungan Jawa. Hukum mempraktikkan dan mempercayai ramalan bintang adalah haram. 2 Jam (Sa'at) Nilai dan makna khsusus

dalam jam-jam tertentu. Ditentukan oleh nilai neptu yang diperhitungkan dari hari dan pekannya

Tidak ada dalilnya dalam Islam. Tradisi ini mirip dengan praktik Thiyarah.

3 Naga dan

Rijalolah Mencari perpaduan hari, pasaran, tahun, windu dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Suatu hal yang dilakukan pada hari dengan karakter jelek terganggu usaha sehingga banyak kendala, bahkan mengalami kegagalan. Serupa dengan Thiyarah. Juga merupakan celaan terhadap waktu / musim.

4 Neptu Nilai yang disandarkan pada pasaran, hari, pekan, bulan dan tahun. Dalam perkembangannya neptu merupakan hasil “penemuan para ahli nujum dan sarana ilmu perhitungan (primbon).”

Terdapat unsur Thiyarah dan ilmu nujum di dalamnya.

(42)

5 Nujum Adalah ilmu ramalan bintang (astrologi). Namun dalam perkembangannya nujum digunakan untuk menyebut semua jenis ramalan.

Ilmu nujum adalah haram.

6 Weton Paduan hari dan pasaran saat seseorang dilahirkan, misalnya Senin Wage atau Jum’at Pon. Weton memiliki peran sentral dalam

perhitungan dan ramalan nasib Jawa.

Mirip dengan

Thiyarah. Meyakini bahwa waktu tertentu memiliki pengaruh ghaib yang khusus. Namun, jika penggunaan weton sebatas identifikasi waktu (misalnya penanggalan kelahiran, undangan dan sebagainya), tanpa ada keyakinan manfaat dan madharat di dalamnya, tidak mengapa. 7 Wuku Siklus tujuh harian atau

mingguan dalam kalender Jawa. Memiliki sifat dan karakter sendiri-sendiri serta mempengaruhi kehidupan manusia. Mirip dengan Thiyarah. Meyakini bahwa waktu tertentu memiliki pengaruh ghaib yang khusus. Juga merupakan celaan terhadap waktu / musim

8 Penetapan

tahun Mirip dengan penanggalan dan Cina yang menamai tahun dengan Shio

berlambang binatang. Awal tahun baru yang jatuh pada tanggal 1 Sura akan memiliki nama sesuai beberapa jenis binatang sesuai harinya.

Termasuk Thiyarah dan pencelaan terhadap waktu.

(43)

9 Windu Siklus per delapan tahun. Masing-masing windu memiliki makna tersendiri terkait sial atau bahagia; untung atau celaka.

Termasuk Thiyarah

dan pencelaan terhadap waktu. Selama sebatas identifikasi waktu, tanpa ada keyakinan manfaat dan madharat di dalamnya, tidak mengapa. 10 Bulan, hari dan waktu yang baik dan yang buruk

Penentuan bulan, hari dan waktu tertentu sebagai patokan untuk melakukan atau menunda pekerjaan. Seperti Anggarakasih, Bagas Padewan, Samparwangke, Taliwangke, Sangarwangsa, dan sebagainya.

Termasuk Thiyarah.

Hukum Menggunakan Kalender Hijriah dibandingkan Kalender Jawa

Hukum penggunaan kalender Hijriyah

Nash-nash (dalil-dalil) syar'i menunjukkan wajibnya menggunakan kalender Qomariyah (berdasarkan peredaran bulan)yang kita kenal dengan kalender Hijriyah, di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah :











"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: 'Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji'." (Al-Baqarah: 189)

Allah menjadikan Hilal (bulan sabit) sebagai tanda berawal dan dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya Hilal dimulailah bulan baru

(44)

dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Maka jadilah hilal-hilal itu sebagai patokan waktu, dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qomari karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa Hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia, dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan Hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari'at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah, dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukm yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oelh seorang hamba. Maka hukum-hukum yangditetapkan dengan syari'at atau dengan syarat maka patokan waktunya berdasarkan Hilal, dan masuk ke dalam hal ini puasa, haji, ilaa' (sumpah dari seorang suami untuk tidak men-jima' (berhubungan badan) istrinya dalam watu kurang dari 40 hari), dan 'iddah (masa menunggu setelah dicerai)."

Allah SWT berfirman :



"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi." (At-Taubah: 36)

Allah menyifati penghitungan waktu dengan menggunakan peredaran bulan, dan bahwasanya bulan-bulan Qomari apabila sampai pada bilangan ini (12) dinamakan sebagai satu tahun. Dan inilah makna bilangan bulan dalam ayat di atas.

Al-Fakhr ar-Razi berkata, "Para ulama berkata bahwa wajib bagi kaum muslimin berdasarkan ayat ini untuk menghitung dalam perdagangan mereka, waktu jatuh tempo utang mereka, zakat mereka, dan hukum-hukum yang lain dengan peredaran bulan, dan tidak boleh menghitungnya dengan perhitungan tahun selain hijriyah (masehi dan lain-lain)."8

Dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa bulan-bulan yang dianggap (diperhitungkan) di dalam syariat Islam patokanya/landasan adalah dengan melihat bulan, dan tahunnya adalah tahun Qomariyah

(45)

(hijriyah). 9

Dalil dari hadits

Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah SAW:

ُهَل ا ْوُر ُدْقاَف ْم ُكْيَل َع َّم ُغ ْنِٕاَف ا ْوُر ِطْفَٔاَف ُه ْو ُمُتْئَاَر ا َذِٕا َو ا ْو ُم ْو ُصَف َلَال ِهْلا ُمُتْئَاَر ا َذِٕا

"Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul fithri). Maka apabila kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh." 10

Rasulullah SAW menjadikan akhir bulan Sya>ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal, dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Dan kesimpulan dari dalil-dalil di atas secara tegas menyatakan bahwa yang dipraktekkan dan dijadikan perhitungan adalah kalender Hijriyah, hal itu yang menguatkan wajibnya berpegang teguh dengannya dan bukan dengan kalender-kalender selainnya. Dan kalender ini cocok dengan keadaan-keadaan manusia, karena ia cocok bagi setiap bangsa karena mudahnya dan gampang dikomusikasikan untuk masing-masing pihak. Dan generasi awal (salaf) umat Islam dari kalangan Shahabat RA, dan Tabi'in telah bersepakat dalam penggunaan kalender ini.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Perhitungan kalender harian dimulai dari terbenamnya matahari, dan bulan dimulai dengan munculnya hilal, dan tahun dimulai dari hijrah (hijrah Nabi), dan inilah yang dipraktekkan oleh kaum Muslimin, yang mereka ketahui dan dijadikan perhitungan oleh Ahli Fiqih dalam kitab-kitab mereka."11

Dan berdasarkan pembahasan yang telah lalu, maka penggunaan kalender Hijriyah dan masehi mempunyai beberapa keadaan:

9 At-Tafsir al-Kabir: XVII/35-36

10 HR Al-Bukhari 2/674 dan Muslim 2/762

Referensi

Dokumen terkait