• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI KEJAWEN SAAT BAYI DALAM KANDUNGAN HINGGA LAHIR

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 49-61)

Selamatan Wanita Hamil

Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melinkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”

Dalam Primbon Betaljemur Adammakna, kehamilan selalu diiringi ritual selamatan (slametan) setiap bulannya :

Bulan I : slametan dengan bubur abor-abor (bubur sumsum). Bulan II : slametan dengan aneka makanan:

1. Nasi tumpeng kuluban (urap). Jenis sayur kuluban harus ganjil

3. Bubur putih (beras dengan santan)

4. Bubur merah putih (bubur putih di bawah, bubur merah di atas)

5. Bubur baro-baro (bubur dedak halus diberi gula merah dan parutan kelapa)

6. Pipis kental (tepung beras diberi garam, santan, gula merah, dibungkus daun pisang lalu dikukus) 7. Segala macam jajan pasar dan kembang boreh Bulan III : slametannya sama dengan Bulan II

Bulan IV : slametan dengan hidangan:

1. Nasi Punar (nasi kuning gurih) dengan lauk daging, jeroan dan mata kerbau serta sambal goreng. 2. Apem.

3. Ketupat, dengan jenis Sinta, jago, Sidalungguh dan Luwar.

Bulan V : slametan dengan hidangan berupa: 1. Nasi kuluban

2. Ulat-ulatan dari tepung beras yang diwarnai merah dan hitam

3. Ketan mancawarna (aneka warna)dihidangkan dengan enten-enten gula kelapa

Bulan VI : slametan dengan apem kocor dengan juruh gula merah dan santan

Bulan VII : Lihat entri Slametan 7 bulan

Bulan VIII : slametan dengan hidangan bulus angrem, serabi yang ditelungkupkan pada kelepon. Serabinya ibarat bulus, kelepon ibarat telurnya.

Bulan IX : slametan dengan bubur procot. Jika telah lewat sembilan bulan mendekati 10 bulan, diadakan slametan dengan dawet plencing.

Slametan setiap bulan kini sudah jarang dilakukan, namun khusus slametan empat dan tujuh bulan masih membudaya di kalangan keluarga Jawa, baik di desa maupun di kota.

Selamatan 4 Bulan (Ngupati)

Slametan bulan keempat kehamilan dipandang istimewa dalam tradisi Jawa. Slametan ini disebut ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari kata kupat atau ketupat, makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Tradisi ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan utama . Sebagian kalangan meyakini bahwa tradisi ngupati ini penting karena dihubungkan dengan keyakinan Islam bahwa janin dalam kandungan ditiupkan ruh pada umur empat bulan.

Selamatan 7 Bulan (Mitoni/Tingkeb)

Slametan tujuh bulan kandungan disebut juga mitoni, berasal dari kata pitu (tujuh). Disebut juga Tingkeb atau tingkeban. Tingkep berarti tutup, ada yang memaknai tingkeban ini sebagai upacara atau slametan penutup, padahal dalam primbon ada slametan dalam setiap bulannya. Ada juga yang memaknai tingkeban ini penutup karena setelah usia kandungan tujuh bulan si isteri tak boleh lagi dicampuri oleh suaminya sampai masa nifas berakhir.

Dalam slametan tujuh bulan, syaratnya cukup banyak dan padat. Antara lain:

1. Dipilih hari Rabu atau Sabtu dengan tanggal ganjil sebelum 15ﺯ

2. Si ibu dimandikan keramas dengan air kembang setaman, tepung beras mancawarna (tujuh macam warna), mangir, daun pandan wangi dan daun kemuning. Yang memandikan adalah dukun atau kerabat yang paling tua dengan siwur (gayung batok kelapa).

3. Ketika dimandikan si ibu duduk di atas tikar beralaskan daun apa-apa, keluwih, kara, dadap srep, ilalang dan beraneka jenis kain. Kainnya antara lain letrek, jingga, banguntalak, sindur, sembagi, selendang lurik puluhwatu, yuyusekandang dan mori putih.

4. Sesajen berupa nasi kuluban dan jajan pasar 5. Bubur merah, putih dan procot

6. Berbagai macam ampyang (nasi kering, ketela, kacang, wijen) yang digoreng sangan (tanpa minyak) dan dicampur gula merah

7. Emping ketan digoreng sangan dicampur gula merah dan parutan kelapa

8. Tumpeng robyong (dalam cething nasi) berlauk telur rebus, ikan, terasi, disertai bawang merah dan cabai yang ditusuk lidi dan diletakkan ddi pucuknya. Di lerengnya diberi ikan, krupuk dan berbagai macam kuluban.

9. Penyon (semacam kue lapis kue beras)

10. Sampora (kue berbentuk tempurung dari tepung beras, diisi gula merah)

11. Pring sedapur (kue tepung beras berbentuk tumpeng kecil berjumlah 9 pasang ditanami batang kecil 7 warna dari tepung beras)

Selain itu disiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih, atau Arjuna dan Sembadra atau Panji dan Candrakirana. Si ibu hamil berganti kain setelah mandi, perutnya diikat longgar dengan lawe merah, putih dan hitam. Kemudian dukun atau mertuanya menjatuhkan teropong (alat memintal benang), diterima oleh ibu itu sendiri/dukun. Sambil mengatakan: pria atau wanita pun mau asalkan selamat. Lalu dijatihkan kelapa gading bergambar tadi sambil berkata: jika pria seperti Kamajaya, Arjuna atau Panji; jika wanita seperti Kamaratih, atau Sembadra atau Candrakirana.

Setelah itu ibu hamil tadi memakai 7 helai kain secara bergantian. Dari kain pertama sampai ketujuh orang tuanya mengatakan: belum pantas. Kain tadi dibiarkan berserakan dan diduduki. Setelah itu baru memakai kain lagi sebagai kemben, tak berbaju, tak berhias maupun memahai perhiasan apapun. Setelah itu orang tuanya berkata: sudah pantas, sudah pantas.

Di samping hidangan-hidangan tadi, ada juga acara makan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu hamil makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya.

Dalam tradisi lainnya juga, hingga kini masih diamalkan di desa-desa, setelah upacara tujuh bulan perempuan hamil selalu membawa pisau kecil atau gunting agar tidak diganggu oleh hyang jahat. Ini merupakan pengaruh agama Tu dan Yang yang berkembang dari Asia Asia Tengah dan meluas sampai ke Indonesia. Beberapa tradisi di Cina, Korea hingga Polinesia menampakkan pengaruh yang sama, termasuk dalam upacara tujuh bulan bagi wanita hamil.

Mengetahui Jenis Kelamin Janin

Dalam primbon, jenis kelamin bayi dapat diketahui meski masih di dalam perut ibunya. Caranya bukan dengan USG namun dengan perhitungan. Caranya ada orang yang bertanya: jika si bayi keluar pria atau wanita. Kemudian neptu huruf nama si penanya dijumlahkan dengan neptu hari dan pekan ketika ia bertanya, lalu jumlahnya dibagi dengan angka 3. Jawabannya sebagai berikut:

Jika sisa pembagiannya 1 berarti janin itu pria. Jika sisa pembagiannya 2 maka wanita.

Jika sisa pembagiannya 3 maka jenis kelaminnya.

Waktu Kelahiran Bayi Sesuai Hari dan Jam

Primbon Betaljemur Adammakna mencatat bahwa saat bayi lahir sebagai berikut:

Ahad pukul 6, 7, 11, 1 atau 5 Senin pukul 8, 10, 1, 3 atau 5 Selasa pukul 7, 10, 12, 2 atau 5 Rabu pukul 7, 9, 12, 2 atau 4 Kamis pukul 8, 11, 1, 3 atau 4 Jum’at 8, 10, 12, 3 atau 4 Sabtu 7, 9, 11, 2 atau 4

Tidak diterangkan waktu-waktu apa yang dimaksud. Kemungkinan besar waktu-waktu di atas adalah waktu yang baik untuk kelahiran bayi.

Padahal kelahiran bayi berlangsung secara sunatullah dan dipengaruhi banyak faktor. Tak jelas mengapa jam-jam di atas menjadi istimewa dibandingkan waktu-waktu lainnya.

Doa Menjelang Kelahiran

Menurut Dewi Siti Fatimah, menjelang kelahiran dibaca doa sebagai berikut:

Ungiduhu bilwakidi samadiminsari kulidikasad 1

Sementara jika kelahiran sulit atau menunggu lama membaca:

Mani luwih retna mulya, kama putih retna gumilang, pangeran tana gumilang, rasa mawa karsa, dat mutrat nur putih mud putih mas kerat sukma eling rasa urip jatining ana, nur langgeng sipat urip, nur dat, nur Mohammad.

Tak jelas siapa Dewi Siti Fatimah, mungkin yang dimaksud adalah putri Rasulullah, Fatimah RA. Doa pertama berbau bahasa Arab, namun artinya agak membingungkan. Sementara doa kedua lebih mirip mantera, namun diakhiri dengan istilah yang masyhur di kalangan sufi, yaitu nur Muhammad. Di sini nampak sinkretisasi yang kental, mencampuradukkan konsep doa, nisbah kepada ahlul bait, mantera dan konsep sufi.

Setelah bayi lahir: adzan, iqomat dan dukun

Setelah bayi dilahirkan, sebelum diberi adzan pada telinga kanan dan qomat pada telinga kiri, bayi tidak boleh disentuh orang lain kecuali dukun. Dipercaya bahwa bayi yang baru lahir masih suci, terbuka hatinya, tulang-tulang, urat, darah, daging dan dzatnya. Jika sampai tersentuh orang yang berdosa maka akan terkejut, tulang, urat dan dzat akan tertutup rapat. Karena itu sunat diberi adzan untuk menolak godaan iblis yang disebut Omisijan. Menangisnya bayi pada saat dilahirkan diyakini karena digoda iblis, ditusuk dengan jari kanan dan kirinya. Jika diberi adzan si iblis tidak berani mengganggu. Primbon juga mengajarkan membacakan surat “Inna anjalna..,” mungkin yang dimaksud adalah Surat Al-Qadar, pada telinga kanan. Sementara pada telinga kiri dibacakan surat “Kulhu” (Al-Ikhlas) tiga kali pada telinga kiri.

1 Mungkinkah maksudnya adalah: U'idzuhu bil Wahidis Shamad min kulli hasad (Aku menjadikan Al-Wahid As-Shamad (Allah) sebagai pelindung dari segala sesuatu yang mendengkinya) ? Wallahu A'lam.

Memotong Usus (Ari-Ari)

Usus diurut agar darahnya terkumpul lalu dipotong memakai welat (pisau yang terbuat dari bambu wulung. Memotongnya harus dilapisi kunyit. Setelah dipotong, darah yang keluar disapukan ke bibir si bayi. Setelah dipakai welat dicuci agar bisa digunakan lagi pada kelahiran berikutnya. Penggunaan welat bergantian ini memunculkan istilah “sedulur tunggal welat” alias saudara yang dipotong ari-arinya dengan welat yang sama. Jika welat tidak disimpan, maka dapat ditanam bersama dengan ari-ari dan kunyitnya.

Sedulur Papat Lima Pancer

Dalam kelahiran setiap bayi, kepercayaan Kejawen meyakini empat sedulur (saudara) yang bersama lahir dan menyertai si bayi. Konsep ini disebut sedulur papat lima pancer, empat saudara dan yang kelima di tengah. Konsep ini memiliki takwil yang bermacam-macam:

Dalam pemikiran Jawa pra-Islam, konon konsep ini berasal adalah penyelarasan antara jagad kecil (manusia-mikrokosmos) dengan jagad besar alam semesta (makrokosmos). Empat saudara yang ada di jagad besar adalah empat kiblat yang ada yaitu timur, selatan, barat dan utara. Ditambah saudara pancer yaitu di tengah, tempat manusia itu berada.

Sedangkan empat saudara yang berkaitan dengan jagad kecil (manusia) adalah apa-apa yang mengiringi kelahirannya. “Saudara Empat” itu adalah Marmati, Kawah, Ari–ari (plasenta/ tembuni) dan Darah yang umumnya disebut Rahsa. Semua itu berpusat di Pusar yaitu berpusat di Bayi.

Mengapa disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari – Ari, dan Rahsa? Marmati itu artinya Samar Mati (Takut Mati) Umumnya bila seorang ibu mengandung sehari - hari pikirannya khawatir karena Samar Mati. Rasa khawatir tersebut hadir terlebih dahulu sebelum keluarnya Kawah (air ketuban), Ari – ari, dan Rahsa. Oleh karena itu Rasa Samar Mati itu lalu dianggap Sadulur Tuwa (Saudara Tua).

Perempuan yang hamil saat melahirkan, yang keluar terlebih dahulu adalah Air Kawah (Air Ketuban) sebelum lahir bayinya, dengan demikian Kawah lantas dianggap Sadulur Tuwa yang biasa disebut Kakang (kakak) Kawah.

Bila kawah sudah lancar keluar, kemudian disusul dengan ahirnya si bayi, setelah itu barulah keluar Ari – ari (placenta/ tembuni). Karena Ari – ari keluar setelah bayi lahir, ia disebut sebagai Sedulur Enom (Saudara Muda) dan disebut Adhi (adik) Ari-Ari.

Setiap ada wanita yang melahirkan, tentu saja juga mengeluarkan Rah (Getih=darah) yang cukup banyak. Keluarnya Rah (Rahsa) ini juga pada waktu akhir, maka dari itu Rahsa itu juga dianggap Sedulur Enom.

Puser (Tali pusat) itu umumnya gugur (Pupak) ketika bayi sudah berumur tujuh hari. Tali pusat yang copot dari pusar juga dianggap saudara si bayi. Pusar ini dianggap pusatnya Saudara Empat. Dari situlah muncul semboyan ‘Saudara Empat Lima Pusat’

Pengertian asal ini kemudian berkembang dengan adanya pengaruh agama Hindu. Sedulur papat (empat saudara) kemudian dimaknai sebagai unsur alam yang menjadi pembentuk jasad manusia. Empat anasir ini adalah bumi/tanah, air, api dan angin. Sedang yang kelima pancer adalah diri manusia itu sendiri.

Bagi orang Jawa semua ’sedulur’ tadi harus diruwat, dirawat dan dihormati dengan cara diselamati dengan ‘bancakan’ atau tumpengan. Mereka semua dianggap ‘pamomong’ atau penjaga manusia. Biasanya penyebutan untuk mereka dan sekalian untuk unsur-unsur alam semesta disebut dengan “sedulurku sing lahir bareng sedino, sing ora lahir bareng sedino, sing kerawatan lan sing ora kerawatan.” Artinya : “Saudaraku yang lahir bersamaan sehari denganku (air ketuban, ari-ari, darah kelahiran, tali plasenta,dan ruh/jiwa ), saudara yang tidak lahir bersamaan (unsur alam semesta), yang terawat maupun yang tidak terawat.”

Konsep sedulur papat lima pancer ini kemudian berkembang lagi dengan adanya pengaruh Islam. Konon, Sunan Kalijaga menambahkan pengertian baru yang bernafaskan Islam. Empat saudara itu adalah empat jenis nafsu manusia sedangkan yang kelima pancer adalah hati nurani atau "alam rahsa / sirr." Unsur empat nafsu adalah nafsu aluamah, sufiyah,

amarah dan muthmainah. Unsur-unsur tersebut kemudian dilambangkan

dalam bentuk gunungan pada wayang.

Nafsu aluamah berkaitan dengan insting dasar manusia. Yaitu keinginan untuk makan, minum, berpakaian, bersenggama dan sebagainya. Dikatakan bahwa nafsu aluamah ini terjadi karena pengaruh unsur tanah yang menjadi unsur pembentuk jasad manusia. Dalam gunungan wayang, nafsu aluamah dilambangkan dengan binatang kera.

Nafsu sufiyah berkaitan dengan keinginan duniawi untuk dipuji, untuk kaya, mendapat derajad dan pangkat, loba, tamak dan lain-lain. Nafsu ini berpadanan dengan sifat udara yang menjadi unsur pembentuk jasad. Sifat dari udara adalah selalu ingin memenuhi ruang selagi ruang itu kosong. Dalam gunungan wayang, nafsu sufiyah dilambangkan dengan binatang banteng.

Nafsu amarah berkaitan dengan keinginan untuk mempertahankan harga diri, rasa marah, dan emosi. Dikatakan nafsu ini mendapat pengaruh dari sifat panas api yang menjadi pembentuk jasad manusia. Dalam gunungan wayang, nafsu amarah dilambangkan dengan binatang harimau.

Nafsu muthmainah adalah nafsu yang mengajak ke arah kebaikan. Dikatakan bahwa nafsu ini mendapat pengaruh sifat air yang juga menjadi pembentuk jasad manusia. Dalam gunungan wayang, nafsu muthmainah dilambangkan dengan binatang merak.

Untuk penyebutan unsur kelima atau pancer ada bermacam-macam penafsiran. Ada yang mengatakan Nur Muhammad, ada yang mengartikan sebagai ‘guru sejati’, ada yang menyebut ‘roso jati sejatining roso’ (rasa sejati, sejatinya rasa). Intinya saudara pancer yang kelima itu adalah unsur ’super ego’ yang menjadi sumber nilai bagi manusia. Ada pula yang mengartikan pancer sebagai “bashiroh” yaitu mata hati yang bersumber dari kesejatian ‘min Ruhi’ yang dianugerahkan oleh ilahi.

Dalam perspektif yang mencoba mengakurkan konsep Kejawen dengan tasawuf Islam, keempat nafsu yang ada harus ‘dirawat’, diatur, diseimbangkan dan harus berjalan dibawah kendali akal dalam bimbingan hidayah ilahi. Itulah makna dari ‘angaweruhi’ (merawat) sedulur papat limo pancer.

Tatacara Membuang Ari-Ari

Pentingnya ari-ari sebagai salah satu unsur “sedulur papat” membuat ia diperlakukan khusus dalam tradisi Jawa. Ari-ari diletakkan dalam kendil (kuali tanah liat) dengan dialasi daun sente (talas) dan diberi kembang boreh, minyak wangi, kunyit yang dipakai saat memotong ari-ari, garam, jarum, benang, ikan petek, gantal (gulungan daun sirih yang diikat dengan benang lawe) dua buah. Juga disertakan kemiri gepak jendul, kertas bertuliskan huruf Jawa, Arab dan latin serta uang segobang.

Kendil kemudian ditutup dengan lemper dan dibungkus dengan kain mori yang baru. Setelah itu kendil bisa dihanyutkan ke sungai, digantung di pojok rumah bagian luar atau ditanam dalam tanah. Yang melakukan harus ayah si bayi dengan berpakaian rapi, berkeris dan mencangkul sendiri lubang untuk menanamnya. Kemudian, pada setiap hari weton si bayi, kubur ari-ari tersebut diberi sesaji kembang telon.

Ada kebiasaan lain terkait ari-ari tersebut. Jika bayi rewel, menangis terus dan tak bisa dihentikan dengan berbagai cara, maka tempat menanam ari-arinya disiram dengan air dingin.

Selamatan tedak siten (turun tanah)

Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.

Tatacara menyapih bayi

Sebuah proses yang dilaksanakan untuk memisahkan bayi dari susuan ibunya, karena dianggap sudah waktunya, biasanya setelah bayi berumur 2 tahun. Anak dikelilingkan rumah sebanyak tiga kali. Lalu ia dibawa ke sebuah pohon pisang yang di bawahnya telah diberi jembangan berisi air kembang setaman dan dilapisi tape ketan. Kepala si anak kemudian dibenturkan perlahan ke pohon pisang sambil membaca mantra: “Sang Wewe Putih, kowe tak upahi tape sepengaron nanging janji bisa nyapih si jabang bayi, aja nganti nangis.” (Wahai Wewe Putih, kuberi upah tape satu jembangan asalkan dapat menyapih si bayi jangan sampai menangis.

Setelah itu si anak diminumi ramuan kunir, ketumbar, terawas yang ditumbuk dan diberi sedikit air. Ampasnya dibuat tapel (ditempelkan di kepala) dengan dibubuhi kapur sedikit.

Supitan (Khitanan) dan Tetesan

Supitan adalah khitan bagi anak lelaki, sementara tetesan bagi anak perempuan. Namun tetesan hanyalah khitan simbolik, yang dipotong adalah kunyit/kunir. Yang khas, sebagaimana ritual-ritual lainnya, selalu ada selamatan dengan hidangan dan sesaji tertentu. Hidangan dan sesajinya berupa bubur merah dan putih, baro-baro, tumpeng gundul (tanpa lauk), gula merah 1 tangkep, sebuah kelapa utuh, empluk berisi: beras, kemiri, kluwak , pisang ayu, sirih kuning, pinang dengan tangkainya, kembang telon, kemenyan, lawe, ayam hidup dan lain-lain.

Untuk supitan sajen ditambah besi tua (gerangan) berupa sabit, cangkul, pisau atau linggis yang diletakkan di atas nampan.

Obat-obatan untuk Ibu dan Bayi

Primbon Jawa yang bersifat ensiklopedis memuat juga beraneka resep dan ramuan obat atau jamu. Periode kehamilan, kelahiran, menyusui dan perkembangan bayi dilengkapi dengan beraneka obat-obatan dan jamu. Antara lain:

Jamu untuk wanita hamil Obat setelah bersalin

Obat memperbanyak air susu Obat, tapel dan pupuk (bedak) bayi Obat melahirkan prematur

Obat dan rapal melahirkan terlalu lama Obat ari-ari tak keluar

Obat wanita agar dicintai suami Obat ingin punya anak

Obat bayi sakit cacar/gabag

Obat cacar untuk bayi dan orang tua Obat bayi sakit sawan

Obat bayi sakit kembung Obat bayi sakit panas Obat bayi muntaber

Yang menarik, jamu dan obat-obatan tadi dilengkapi juga dengan rapalan, mantra dan ritual tertentu yang bersifat klenik. Hal ini didasari anggapan bahwa gangguan kesehatan disebabkan karena godaan dan gangguan makhluk halus. Aneka rapal dan mantra tadi berifat bujukan agar makhluk halus tadi tak mengganggu. Biasanya juga disertai “sogokan” berupa sesaji dan hidangan tertentu.

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 49-61)

Dokumen terkait