• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKARA GHAIB DALAM KACAMATA ISLAM

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 91-101)

M

asa depan adalah misteri (perkara ghaib). Bagian dari keyakinan seorang Muslim adalah tidak ada satu pun yang mengetahui perkara ghaib selain Allah Ta’ala.



























































"Katakanlah, 'Aku tidak berkuasa memberi kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali sesuatu yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Al-A’raf: 188).































"Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan'." (An-Naml : 65).

Dalam salah satu fatwanya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan, “Ilmu tentang perkara ghaib hanya pada Allah, dan hanya dikhususkan baginya. Ia mengetahui apa yang telah, sedang dan akan

terjadi; Ia mengetahui bagaimana sesuatu itu akan terjadi. Mengetahui apa yang akan terjadi di akhirat; di surga dan neraka. Mengetahui siapa saja yang selamat (ahli surga) dan siapa yang celaka (ahli neraka). Semua ilmu ghaib itu mutlak hanya milik Allah. Sedangkan para Rasul, hanya mengetahui ketika telah diberitahu oleh Allah melalui wahyu. Sebagaimana firman-Nya:





























"(Dialah Allah) yang mengetahui yang ghaib. Ia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya…." (Al-Jin : 26-27).1

Sebelum Terjadi, Nasib itu Bagian dari Perkara Ghaib Demikian pula dengan nasib seseorang. Dalam ajaran Islam, tidak dikenal adanya cirri atau pertanda khusus yang bisa digunakan untuk menebak nasib seseorang. Bayi yang lahir baik siang atau malam hari; mempunyai tahi lalat di tempat tertentu atau tidak; tanggal berapapun dia lahir, semuanya sama. Tidak ada keistimewaan kelahiran di satu tempat atau waktu tertentu dibanding yang lain.

Bayi yang lahir ibarat secarik kertas putih. Ayah-ibunya—atau siapapun yang mendidiknya kelak—lah yang akan mempengaruhi warna atau tulisan di kertas tadi. Islam tidak mengenal dosa turunan, atau nasib bawaan orang-tua. Islam memandangnya sebagai hal yang rasional, apa adanya. Sekali lagi, tergantung siapa yang kuat memberikan pengaruh / pendidikan kepada si bayi. Rasulullah SAW bersabda :

ِهِنا َس ِّج َمُي ْؤَا ِهِناَر ِّصَنُي ْؤَا ِهِنا َدِّو َهُي ُها َوَبَٔاَف ِةَر ْطِفْلا ىَل َع ُدَل ْوُي ٍد ْوُل ْو ُم ُّل ُك

"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Ayah-bundanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

(Muttafaqun Alaihi).

Anak yang mempunyai sifat nasib buruk kelak di waktu dewasa, sama sekali tidak terkait dengan bawaan orang tua. Islam tidak mengenal dosa warisan yang diterima mutlak seorang anak dari kedua orang-tuanya. 1 http://www.binbaz.org.sa/mat/4201

Allah berfirman:













"… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…" (Az-Zumar : 7).













"… tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (At-Thur:

21).

Sekali lagi, penentuan baik-buruknya nasib seseorang tergantung mutlak kepada kehendak Allah. Dua orang bayi kembar yang memiliki persamaan waktu dan tempat lahir serta ciri-ciri fisik sekalipun, sangat mungkin memiliki nasib yang bertolak-belakang satu dengan lainnya.

Bagaimana proses penetapan nasib/takdir seseorang, digambarkan dalam sebuah sabda Nabi SAW :

ًة َقَل َع ُن ْو ُكَي َّمُث ، ًة َف ْطُن ًام ْوَي َنْيِعَبْرَٔا ِهِّمُٔا ِن ْطَب يِف ُه ُقْل َخ ُع َم ْجُي ْم ُك َد َحَٔا َّنِٕا

ُخ ُفْنَيَف ُكَل َمْلا ِهْيَلِٕا ُل َسْرُي َّمُث ، َكِل َذ َلْثِم ًة َغ ْض ُم ُن ْو ُكَي َّمُث ، َكِل َذ َلْثِم

ْؤَا ٌّيِق َش َو ِهِل َم َع َو ِهِل َجَٔا َو ِهِقْزِر ِبْت َكِب : ٍتا َمِل َك ِعَبْرَٔاِب ُرَمْؤُيَو ، َحْوُّرلا ِهْيِف

. ٌدْيِع َس

"Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin

Mas'ud RA).

Semenjak itulah, Allah telah menetapkan keadaan seseorang terkait rezeki, ajal, amal serta nasibnya kelak (celaka atau bahagia). Dan semenjak itu pulalah, ketetapan tersebut menjadi perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah semata. Kita sendiri yang menjalani kehidupan, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok; bagaimana nasib dan keadaan kita. Tidak

ada daya dan upaya manusia yang mampu mengubah takdir tersebut. Rasulullah SAW menggambarkan:

ٍء ْي َشِب َّالِٕا َك ْو ُع َفْنَي ْمَل ٍء ْي َشِب َك ْو ُع َفْنَي ْنَٔا ىَل َع ْت َع َمَت ْجا ْوَل َةَّمُٔالْا َّنَٔا ْمَل ْعا َو

َّالِٕا َك ْوُّر ُضَي ْمَل ٍء ْي َشِب َك ْوُّر ُضَي ْنَٔا ىَل َع او ُع َمَت ْجا ِنِٕا َو ، َكَل ُهللا ُهَبَت َك ْدَق

ِف ُح ُّصلا ِتَّف َج َو ُمَالْقَٔالْا ِت َعِفُر ، َكْيَل َع ُهللا ُهَبَت َك ْدَق ٍء ْي َشِب

“Ketahuilah sesungguhnya jika sebuah umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu atas sesuatu , niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”

(HR. Tirmdzi).

Pena untuk menulis takdir telah diangkat, dan lembaran tempat tertulisnya takdir pun telah mongering. Tidak ada daya dan upaya manusia yang mampu membuatnya lari menghindari takdir. Kalau memang nasib mujur, bagaimanapun seisi bumi ingin menimpakan bala, niscaya tidak bisa melebihi kadar bala yang memang Allah telah tentukan sebelumnya. Begitupun sebaliknya.

Meski demikian, Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang. Takdir itu bisa berubah dengan doa (permohonan) seorang hamba kepada Rabbnya. Dalam satu sabdanya, Rasulullah SAW menjelaskan :

َءَالَبْلا َّنِٕا َو ْلِزْنَي ْمَل ا َّمِم َو َلَزَن ا َّمِم ُع َفْنَي ُءا َع ُّدلا َو ٍر ْدَق ْنِم ٌر َذ َح ْيِن ْغُي َال

ِة َماَيِقْلا ِم ْوَي ىَلِٕا ِنا َجِلَت ْعَيَف ُءا َع ُّدلا ُهاَّقَلَتَيَف ُلِزْنَيَل

“Kewaspadaan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap takdir, tapi doa bermanfaat untuk apa yang telah dan yang belum terjadi. Sesungguhnya bala bencana itu akan turun lalu bertemu dengan doa dan keduanyapun berkelahi sampai hari kiamat.”2

Kita tidak pernah tahu, apakah ditakdirkan bernasib baik atau buruk. Kalau toh kita khawatir mendapatkan nasib buruk, Islam mengajarkan kita untuk berdoa. Untuk memulai beberapa kegiatan, banyak doa yang

2 Al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya shahih dan mereka berdua (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

disunnahkan, yang mengandung unsur perlindungan diri dari nasib buruk.

Contoh Doa Memohon Perlindungan dari Nasib Sial

Doa memakai pakaian

ا َم ِّر َش َو ِهِّر َش ْنِم َكِب ُذ ْو ُعَٔا َو ُهَل َو ُه ا َم ِرْي َخ َو ِهِرْي َخ ْنِم َكُلَٔا ْسَٔا يِّنِٕا َّم ُهّللَا

ُهَل َو ُه

"Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya serta kebaikan yang ada padanya; dan aku berlindung kepadamu dari keburukannya dan keburukan yang ada padanya." (HR. Abu Dawud,

Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Sunni).

Doa pagi dan petang

يِف ا َمِّر َش ْنِم َكِب ُذ ْو ُعَٔا َو ُه َد ْعَب ا َم َرْي َخ َو ِم ْوَيْلا ا َذ َه يِف اَم َرْي َخ َكُلَٔا ْسَٔا ِّبَر

ُه َد ْعَب ا َم ِّر َش َو ِم ْوَيْلا ا َذ َه

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan hari ini dan setelahnya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hari ini dan setelahnya." (HR.

Muslim).

Menanggulangi Kejahatan yang Datang dari Luar Dalam ajaran Islam, nasib buruk dan kesialan juga bisa dialami seseorang karena kejahatan orang lain—baik sengaja dilakukan atau tidak. Yang sengaja dilakukan namanya sihir, sedangkan yang tidak sengaja dikenal dengan penyakit ain.

Sihir

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan

pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.3

Cara mengatasi gangguan sihir ini adalah dengan ruqyah syar’iyyah. Kepada korban dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengusir pengaruh ghaib yang datang dari setan. Lafal ruqyah harus berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.4

Ain

Penyakit ain adalah penyakit ghaib yang dapat menghinggapi seseorang melalu pandangan mata. Ada orang-orang tertentu yang memiliki kelainan ghaib. Misalnya saja A. Nah, bila A, karena satu dan lain sebab memandang A dengan penuh kedengkian kepada B, maka B bisa terkena dampak penyakit ain.

Tanda-tanda anak yang terkena ‘ain di antaranya adalah menangis secara tidak wajar (bukan karena lapar, sakit atau mengompol), kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu pada ibunya tanpa sebab, dan tanda-tanda yang tidak wajar lainnya. Umumnya tidak bisa dijelaskan secara medis. Juga kondisi tubuh yang cenderung kurus.

Ain tidak hanya timbul oleh pandangan kedengkian. Bila A meman-dang B dengan panmeman-dangan cinta dan kekaguman, B bisa terkena dampak-nya. Gejalanya sama dengan yang ditimbulkan oleh pandangan kedeng-kian.

Penyakit ‘ain itu benar-benar ada dan bukan khurafat yang dihubung-hubungkan dengan pujian. Sebagaimana anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa pujian kepada seorang anak akan menyebab-kab sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُنْي َعْلا ُهْت َقَب َسَل َر ْد َقْلا ُقِبا َس ٌء ْي َش َنا َك ْوَل َو ُُّق َح ُنْي َعْلَا

“’Ain itu benar adanya. Seandainay ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain.” (HR. Muslim)

Jadi, bukan pujian yang menyebabkan dampak buruk bagi anak yang dipujinya, melainkan bermula dari pandangan mata sang pemujinya, baik

3 Al-Mughni, (X/104)

4 Banyak buku-buku tuntunan ruqyah Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Salah satu diantaranya adalah sebuah masterpiece karangan Syaikh Wahid Abdussalam Bali, yang diterbitkan AQWAM dengan judul Ruqyah.

pujian itu karena ada rasa iri atau karena benar-benar ada kekaguman. Ada dua kondisi mengatasi penyakit ain.

A. Preventif

Melindungi diri dan anak dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan Islam, di antaranya:

ٍةَّمٓال ٍنْي َع ِّل ُك ْنِم َو ٍةَّما َه َو ٍنا َطْي َش ِّل ُك ْنِم ِةَّماَّتلا ِهللا ِتا َمِل َكِب ُذ ْو ُعَٔا

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari se-tiap setan, binatang berbisa, dan dari sese-tiap mata yang jahat.” (Riwayat

Bukhari)

Atau membaca doa yang digunakan Rasulullah SAW untuk me-lindungi Hasan dan Husain,

ٍةَّمال ٍنْي َع ِّل ُك ْنِم َو ٍةَّما َه َو ٍنا َطْي َش ِّل ُك ْنِم ِةَّماَّتلا ِهَّللا ِتا َمِل َكِب ا َم ُك ُذي ِعُٔا

“Aku berlindung kepada Allah untukmu berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala setan, binatang yang berbisa, dan pan-dangan mata yang jahat.” (Riwayat Bukhari).

Atau bisa juga dengan membaca doa yang dibacakan oleh malaikat Jibril AS ketika Nabi SAW mendapat gangguan setan, yaitu:

ِِد ِسا َح ِنْي َع َو ِِس ْفَن ِّل ُك ِّر َش نِم ََكْيِذ ْؤُي ِِء ْي َش ِّل ُك ْنِم َكيِقْرٔا ِهللا ِم ْسِب

َكيِف ْشَي ُهّللَا

“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pen-garuh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”

Sedangkan bila kita merasa sebagai orang yang berpotensi mem-berikan penyakit ain, untuk mencegah penyakit ain ini, jika kita me-lihat sesuatu yang baik ada pada diri kita, anak, harta kita atau yang lainnya yang menakjubkan, hendaklah membaca doa:

“ Masya Allah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah.”

B. Kuratif

Jika pelakunya diketahui, maka orang tersebut diperintahkan un-tuk berwudhu. Bekas wudhu orang tersebut digunakan unun-tuk me-mandikan anak yang terkena ‘ain.

Tapi jika tidak diketahui perbanyak membaca surat Al-Ikhlas, muawwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq), Al-Fatihah, ayat Kursi (Al-Baqarah: 255), 2 ayat terakhir surat Al-Baqarah, dan mendoakan dengan doa-doa yang disyariatkan. Membaca pada air disertai tiu-pan, kemudian diminumkan pada anak yang sakit dan sisanya di-siramkan ke tubuhya, atau dibacakan pada minyak dan minyaknya dioleskan ke tubuhnya. Lebih baik lagi jika bacaan itu dibacakan pada air zam-zam.

Selain dua hal di atas, nasib kurang beruntung juga bisa berasal dari:

Nama yang Buruk

Nama adalah doa. Oleh sebab itu, Nabi SAW memerintahkan kepada para orang-tua untuk memberikan nama yang baik bagi anaknya. Beliau juga berkali-kali mengganti nama beberapa orang shahabat yang dinilai tidak sesuai.

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengganti nama (se-orang wanita) ‘Ashiyah (pelaku maksiat) dan berkata: Engkau

Jami-lah (Cantik/Indah).5

Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ juga meriwayatkan bahwasanya ia pernah menemui Zainab binti Abu Salamah. Lalu Zainab bertanya kepada Muhammad tentang nama saudara perempuannya yang ada bersamanya.

Muhammad berkata, «Aku menjawab, ‘Namanya adalah Barrah (yang baik/berbakti)’.”

Zainab berkata, “Gantilah namanya! karena Nabi SAW menikah dengan Zainab binti Jahsy yang nama (sebelumnya) adalah Barrah, 5 Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat kitab Shahih Al-Adab Al-Mufrad oleh Al-Albani no. 630/820, hlm. 306. Lihat pula Ash-Shahihah, no. 213.

lalu beliau menggantinya menjadi Zinab.”

Beliau pernah masuk menemui Ummu Salamah setelah menikah dengannya, dan namaku (dahulu juga) Barrah, kemudian beliau mendengar Ummu Salamah memanggilku, ‘Barrah’, maka beliau bersabda:

“Janganlah kalian menganggap diri kalian suci, karena Allah lebih mengetehui siapa di antara kalian yang barrah (yang baik) dan yang fajiroh (tidak baik). Beri nama dia Zainab”.

Ummu Salamah berkata, “Dia (namanya sekarang) Zainab.” Aku (Muhammad) bertanya kepadanya (Zainab binti Abu

Sala-mah), “Lantas aku beri nama apa?”

Zainab menjawab, “Gantilah (namanya) dengan nama yang telah diberikan Rasulullah SAW, berilah dia nama Zainab (juga). (HR. Bukhari) .

Dari Ibnu Abbas, bahwa nama Juwairiyah dahulu adalah BarrAh. Lalu nabi mengubah namanya menjadi Juwairiyah. (HR. Bukhari) Dari Aisyah RA, bahwa pernah disebutkan seorang laki-laki yang bernama Syihab di sisi Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW bers-abda, “Namamu adalah Hisyam.” (HR. Bukhari).

Dari Sa’id bin Al-Musayyib dari ayahnya dari kakeknya: Bahwasan-ya dia (kakeknBahwasan-ya) pernah mendatangi Nabi SAW lalu beliau bertan-ya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Hazn (sedih).” Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl (mudah).”

Ia berkata: “Aku tidak mau mengganti naman yang telah diberikan ayahku!”

Ibnul Musayyib berkata: Sehingga ia terus-menerus merasa sedih setelah itu. (HR. Bukhari).

Dari Laila Istri Basyir, ia bercerita tentang Basyir bin Al-Khashay-ishah, yang dahulu namanya adalah Zahm, lalu Nabi SAW meng-gantinya menjadi Basyir (HR. Bukhari).

Yang harus dicatat dalam penggantian nama ini adalah, nama yang baru harus lebih baik dariapada nama sebelumnya. Ini berbeda dengan tradisi Jawa. Nama yang dianggap mengandung sengkala, diganti den-gan nama lain yang belum tentu lebih baik daripada sebelumnya. Kemu-dian, proses penggantian nama berlangsung cukup sederhana. Cukup

diumumkan, tanpa harus mengadakan ritual tertentu.

Demikianlah, peran mengubah takdir mutlak ada pada Allah— sebagaimana peran untuk menentukan takdir sebelumnya. Manusia hanya mampu berdoa, menggantungkan segalanya kepada keputusan dan kebijakan Allah saja. Lalu, mengapa masih harus pakai ramal-meramal, kemudian sibuk mengadakan berbagai ritual untuk mengusir nasib buruk—yang akhirnya terjebak dalam kesyirikan?

Mengapa Tradisi Tersebut dikategorikan Syirik dan terlarang?

No. TradisiNama Keterangan Penjelasan

1. Meramal watak dan nasib Nasib seseorang bisa ditentukan dari waktu (jam, hari, bulan, wuku dan neptu kelahiran, ciri fisik dan sebagainya.

Nasib masa depan termasuk perkara ghaib. Ilmunya hanya dimiliki oleh Allah Ta'ala. Meramalnya, berarti sama dengan mengaku tahu ilmu ghaib. Di sinilah kesyirikan itu timbul.

Agama Islam sangat keras dalam melarang hal-hal ghaib. Di atas, telah dikemukakan ancaman bagi orang yang mendatangi tukang ramal dan mempercayainya.

2. Ruwatan Sebuah ritual untuk menghilangkan nasib sial yang secara alamiah dibawa oleh seseorang semenjak lahir. Menggunakan beraneka sesajian, mirip tradisi Hindu.

Ruwatan itu sendiri dilakukan karena adanya sebuah kepercayaan dalam agama Hindu, yaitu tentang adanya Betara Kala. Jadi, jelas ini bukan tradisi Islam.

Sementara dalam ajaran Islam, untuk menanggulangi nasib buruk yang ditimbulkan oleh sihir atau ain adalah dengan cara meruqyah. Untuk nama yang tidak cocok/buruk, cukup dengan menggantinya.

Telaah Islam Tentang Ramalan

Membenarkan atau percaya pada dukun dan paranormal merupakan salah satu pintu kesyirikan. Allah berfirman:

        ... 

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya… " (Al-Isrâ': 36).

...      ... 

"…Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa..." (Al-Hujurât: 12).

             ... 

"(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya…" (Al-Jin: 26-27).

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda:

ٍد َّم َح ُم ىَل َع َلِزْنُٔا ا َمِب َر َف َك ْد َقَف ُلو ُقَي ا َمِب ُهَق َّد َصَف اًن ِها َك ْؤَا اًفاَّر َع ىَتَٔا ْن َم

"Barang siapa yang mendatangi paranormal atau dukun lalu membenarkan apa yang mereka katakan, maka ia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad.”

Kufur di sini bukan berarti kafir dengan hakikatnya. Sekiranya kufur yang dimaksud dalam hadits di atas ialah kufur besar, maka tertolaklah shalatnya untuk selamanya, bukan hanya empat puluh hari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw yang disampaikan oleh istri beliau. Bahwasanya Nabi Saw bersabda:

ا ًم ْوَي َنيِعَب ْرَٔا ٌةَال َص ُهَل ْلَب ْقُت ْمَل ُهَق َّد َصَف ٍء ْي َش ْن َع ُهَلَٔا َسَف اًفاَّر َع ىَتَٔا ْن َم

"Barang siapa yang mendatangi paranormal lalu menayakan sesuatu kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 91-101)

Dokumen terkait