• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERANGAN HADITS

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 35-49)

KONSEP WAKTU DALAM ISLAM

KETERANGAN HADITS

Adwa : penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud sabda Nabi di sini adalah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman jahiliyah, bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah, bukan keberadaan penjangkitan atau penularan, karena dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan:

2 HR Muslim, Kitab as-Salam, Bab La ‘Adwa, wa La Thiyaroh, wa La Haamah,wa La Nau. Da-lam kelengkapan hadits tersebut, saat Rasulullah menyebutkan, “Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya),” seorang Arab badui bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan sekelompok unta yang sehat di padang pasir, kemudian didatangi oleh seekor unta kud-isan, kemudian unta yang sehat itu kudisan pula semuanya?” Jawab Rasulullah SAW, “Lalu, siapakah penular yang pertama-tama?” Penegasan beliau SAW adalah, penyakit itu tidak menular dengan sendirinya. Ada yang membuatnya menular ke makhluk lain, yaitu Allah.

ِد َسَٔالا َنِم ا ْوُّرِفَت َا َمكِ ْم ُو ْذ َج ْملا َنِ م ا ْوُّرِف َو

“… dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra ) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (HR Al-Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Semuanya atas kehendak dan takdir ilahi. Namun, sebagai insan mukmin, di samping mengimani takdir tersebut ia harus berusaha untuk melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakikat iman kepada takdir ilahi.

Thiyarah : merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Hamah : burung hantu. Orang-orang jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya. Apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang di antara mereka, ia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya. Rasulullah bermaksud untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Seorang muslim jangan sampai beranggapan seperti ini. Semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.

Shafar : Bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram. Orang-orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini : merasa bahwa hari rabu mendatangkan sial, dan lain lain. Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Islam. Namun, ada pula yang mengartikan "Shafar" di sini sebagai "kematian yang disebabkan oleh cacing perut." Nau’: bintang. Arti asalnya adalah tenggelam atau terbitnya suatu

bintang. Orang-orang jahiliyah menisbatkan turunnya hujan kepada bintang ini atau bintang itu. Islam datang mengikis anggapan seperti ini. Tidak ada hujan turun karena suatu bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah.

Ghaul: hantu atau gendruwo, salah satu makhluk jenis jin. Mereka beranggapan bahwa hantu ini—dengan perubahan bentuk maupun warnanya—dapat menyesatkan seseorang dan mencelakakannya. Adapun maksud sabda Nabi di sini bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut, yang membawa akibat takut kepada selain Allah serta tidak bertawakal kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau, karena itu dalam hadits lain beliau bersabda, “Apabila hantu beraksi manakut-nakuti kamu maka serukanlah azan.” (HR Ahmad). Maknanya, tolaklah kejahatannya itu dengan berzikir dan menyebut Allah.

Inti hadits di atas adalah menegaskan, bahwa segala sesuatu terjadi karena ada yang menciptakan, menyebabkan dan mengaturnya. Dia-lah AlDia-lah, Al-Khaliq, yang mengatur segala sesuatunya. Oleh sebab itu, mempercayai ada waktu, musim, gejala alam, kejadian tertentu yang bersifat khusus yang memiliki pengaruh ghaib, adalah syirik. Rasulullah SAW bersabda :

ٌك ْر ِش ُةَرَي ِّطلَا ٌكْر ِش ُةَرَي ِّطلَا

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik!”

Dalam kesempatan lain, beliau SAW menegaskan:

َل ْو ُسَر اَي َكِلذ ُةَراَّف َك ا َم َو :ا ْوُلاَق . َكَر ْشَٔا ْد َقَف ِهِت َجا َح ْن َع ُةَرَي ِّطلا ُهْتَّدَر ْن َم

َهلِٕا َال َو َكَرَي ِط َّالِٕا َرْي ِط َال َو َكُرْي َخ َّالِٕا َرْي َخ َال َّم ُهّللَا : َل ْو ُقَي ْنَٔا : َلاَق ؟ِهللا

َكُرْي َغ

“Barang siapa yang mengurungkan/menghentikan hajatnya/keperluannya karena thiyarah maka dia telah melakukan kesyirikan.” Sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa kafarat (penebus) nya ?” Beliau menjawab, “(Dan kafarat/penebusnya) adalah mengucapkan doa:

َكُرْي َغ َهلِٕا َالَو َكَرَي ِط َّالِٕا َرْي ِط َالَو َكُرْي َخ َّالِٕا َرْي َخ َال َّم ُهّللَا

"Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan Engkau dan tidak ada kesialan kecuali dari Engkau (yang telah engkau tetapkan) dan tidak ada

Ilah yang berhak diibadahi melainkan Engkau.” 3

Beliau SAW juga bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian melihat apa yang dia benci, hendaklah ia berdoa:

َل ْو َح َال َو َتْنَٔا َّالِٕا ِتاَئِّي َّسلا ُعَف ْدَي َال َو ، َتْنَٔا َّالِٕا ِتاَن َس َحْلاِب يِتْٔاَي َال َّم ُهّللَا

َكِب َّالِٕا َةَّوُق َال َو

<Ya Allah tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Mu>.» 4

Mencela Waktu / Musim

Dalam kepercayaan Jawa, terdapat hari, bulan atau waktu tertentu yang memiliki pantangan. Dilarang bercocok-tanam, menikah, berdagang, atau aktivitas lain. Bila dilanggar akan celaka. Kepercayaan seperti ini meyakini bahwa waktu tersebutlah yang menyebaban untung atau rugi; celaka atau bahagia—bukan Allah SWT. Ini adalah syirik akbar.

Rasulullah SAW bersabda:

َرا َهَّنلا َو َلْيَّللا ُبِّلَقُٔا ُر ْمَٔالا ي ِدَيِب ُر ْه َّدلا اَنَٔا َو َر ْه َّدلا ُّب ُسَي َم َدٓا ُنْبا يِنيِذ ْؤُي

"Anak Adam telah menyakiti-Ku dia suka mencela masa. Padahal Aku pencipta masa. Akulah yang menggilir siang dan malam." (HR. Bukhari

Muslim).

Dalam menjelaskan makna "mencela waktu" yang terdapat dalam sebuah hadits Nabi SAW, Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan:

"Mencela waktu ada tiga bentuk:

1. Memberikan kabar, tanpa ada maksud celaan. Seperti ucapan, «Kami sangat lelah, karena hari ini sangat panas—atau sangat dingin,» atau perkataan lain yang semisal. Yang demikian diperbolehkan, karena panas atau dinginnya cuaca bisa membuat seseorang merasa kelelahan.

3 HR. Ahmad, dalam musnad dari Abdullah bin Amr RA. 4 HR. Abu Dawud, Kitab ath-Thib bab Thiyaroh no. 3919

2. Mencela waktu, karena meyakini waktu tersebutlah «pelaku.» Waktu tersebutlah yang membuat sesuatu itu menjadi celaka atau bahagia. Keyakinian seperti ini adalah bentuk syirik akbar! Karena meyakini ada zat selain Allah ada Pencipta lain, dan menisbahkan terjadinya suatu perkara kepada selain Allah.

3. Meyakini bahwa semuanya telah diatur oleh Allah.Ia mencela waktu, karena waktu tersebut menjadi tempat terjadinya suatu kesialan, bencana, atau hal-hal yang dibenci. Ucapan seperti ini hukumnya haram, tidak sampai membuat pelakunya kafirTidak secara langsung mencela Allah. Dikatakan haram, karena menafikan perintah untuk bersabar terhadap turunnya musibah."5

Dari uraian tentang kepercayaan Jawa terkait waktu di halaman sebelumnya, rata-rata kepercayaan tersebut dilandasi karena memang waktu tersebut memiliki “sesuatu” yang mampu membuat baik atau buruknya sebuah perkara. Ini, sebagaimana paparan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas, adalah syirik. Bahkan syirik akbar! Na’udzubillah.

Ilmu Nujum

Salah satu pedoman yang dipakai dalam tradisi Jawa terkait dengan penentuan waktu baik dan waktu buruk, adalah ilmu nujum/perbintangan. Dalam Islam, praktik nujum adalah haram. Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam; sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya:

Pertama :meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah

gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta

‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.

Kedua : seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Tang menciptakan tetaplah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.

Ketiga : menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.6

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

َدا َز ا َم َدا َز ،ِر ْح ِّسلا َنِم ًةَب ْع ُش َسَبَتْقا ِد َقَف ِم ْو ُجُّنلا َنِم ًةَب ْع ُش َسَبَتْقا ِنَم

“Barang siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum (perbintangan) sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian ilmu sihir. Semakin bertambah (ia mempelajari ilmu nujum) semakin bertambah pula (dosanya).” (HR

Abu Dawud dengan sanad yang shahih) Padahal sihir termasuk:

ِر ْح ِّسلاِب ٌق ِّد َص ُم َو ِم ْحَّرلا ُع ِطاَقَو ِر ْم َخْلا ُنِم ْدُم ،َةَّن َجْلا َنْوُل ُخ ْدَي َال ٌةَثَالَث

“Tiga orang yang tidak akan masuk surga: pecandu khamar (minuman keras), orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan, dan orang yang

mempercayai sihir7”. (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dalam

Shahih-nya).

Allah menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan sebagai saranan untuk meramal nasib. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Qatadah RA, bahwa ia berkata:

6 Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Muhammad Al-Utsaimin: II/5–6.

7 Mempercayai sihir yang di antara macamnya adalah ilmu nujum (astrologi), sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits: “Barang siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir….”

“Allah menciptakan bintang bintang ini untuk tiga hikmah : sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar setan, dan sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya). Maka barang siapa yang berpendapat selain hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan, dan menyia-nyiakan nasibnya, serta membebani dirinya dengan hal yang di luar batas pengetahuannya.”

Wallahu a’lam.

Mengapa tradisi Jawa tersebut dikategorikan syirik dan terlarang?

No. Nama Tradisi Keterangan Mengapa dianggap syirik? 1 Kalender

Jawa Ada tujuh hari. Masing-masing memiliki makna berbeda, berdasarkan pandangan ahli nujum dan

petungan Jawa. Hukum mempraktikkan dan mempercayai ramalan bintang adalah haram. 2 Jam (Sa'at) Nilai dan makna khsusus

dalam jam-jam tertentu. Ditentukan oleh nilai neptu yang diperhitungkan dari hari dan pekannya

Tidak ada dalilnya dalam Islam. Tradisi ini mirip dengan praktik Thiyarah.

3 Naga dan

Rijalolah Mencari perpaduan hari, pasaran, tahun, windu dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Suatu hal yang dilakukan pada hari dengan karakter jelek terganggu usaha sehingga banyak kendala, bahkan mengalami kegagalan. Serupa dengan Thiyarah. Juga merupakan celaan terhadap waktu / musim.

4 Neptu Nilai yang disandarkan pada pasaran, hari, pekan, bulan dan tahun. Dalam perkembangannya neptu merupakan hasil “penemuan para ahli nujum dan sarana ilmu perhitungan (primbon).”

Terdapat unsur Thiyarah dan ilmu nujum di dalamnya.

5 Nujum Adalah ilmu ramalan bintang (astrologi). Namun dalam perkembangannya nujum digunakan untuk menyebut semua jenis ramalan.

Ilmu nujum adalah haram.

6 Weton Paduan hari dan pasaran saat seseorang dilahirkan, misalnya Senin Wage atau Jum’at Pon. Weton memiliki peran sentral dalam

perhitungan dan ramalan nasib Jawa.

Mirip dengan

Thiyarah. Meyakini

bahwa waktu tertentu memiliki pengaruh ghaib yang khusus. Namun, jika penggunaan weton sebatas identifikasi waktu (misalnya penanggalan kelahiran, undangan dan sebagainya), tanpa ada keyakinan manfaat dan madharat di dalamnya, tidak mengapa.

7 Wuku Siklus tujuh harian atau mingguan dalam kalender Jawa. Memiliki sifat dan karakter sendiri-sendiri serta mempengaruhi kehidupan manusia. Mirip dengan Thiyarah. Meyakini bahwa waktu tertentu memiliki pengaruh ghaib yang khusus. Juga merupakan celaan terhadap waktu / musim

8 Penetapan

tahun Mirip dengan penanggalan dan Cina yang menamai tahun dengan Shio

berlambang binatang. Awal tahun baru yang jatuh pada tanggal 1 Sura akan memiliki nama sesuai beberapa jenis binatang sesuai harinya.

Termasuk Thiyarah dan pencelaan terhadap waktu.

9 Windu Siklus per delapan tahun. Masing-masing windu memiliki makna tersendiri terkait sial atau bahagia; untung atau celaka.

Termasuk Thiyarah dan pencelaan terhadap waktu. Selama sebatas identifikasi waktu, tanpa ada keyakinan manfaat dan madharat di dalamnya, tidak mengapa. 10 Bulan, hari dan waktu yang baik dan yang buruk

Penentuan bulan, hari dan waktu tertentu sebagai patokan untuk melakukan atau menunda pekerjaan. Seperti Anggarakasih, Bagas Padewan, Samparwangke, Taliwangke, Sangarwangsa, dan sebagainya.

Termasuk Thiyarah.

Hukum Menggunakan Kalender Hijriah dibandingkan Kalender Jawa

Hukum penggunaan kalender Hijriyah

Nash-nash (dalil-dalil) syar'i menunjukkan wajibnya menggunakan kalender Qomariyah (berdasarkan peredaran bulan)yang kita kenal dengan kalender Hijriyah, di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah :

















"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: 'Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)

haji'."(Al-Baqarah: 189)

Allah menjadikan Hilal (bulan sabit) sebagai tanda berawal dan dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya Hilal dimulailah bulan baru

dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Maka jadilah hilal-hilal itu sebagai patokan waktu, dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qomari karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa Hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia, dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan Hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari'at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah, dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukm yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oelh seorang hamba. Maka hukum-hukum yangditetapkan dengan syari'at atau dengan syarat maka patokan waktunya berdasarkan Hilal, dan masuk ke dalam hal ini puasa, haji, ilaa' (sumpah dari seorang suami untuk tidak men-jima' (berhubungan badan) istrinya dalam watu kurang dari 40 hari), dan 'iddah (masa menunggu setelah dicerai)."

Allah SWT berfirman :































"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi."

(At-Taubah: 36)

Allah menyifati penghitungan waktu dengan menggunakan peredaran bulan, dan bahwasanya bulan-bulan Qomari apabila sampai pada bilangan ini (12) dinamakan sebagai satu tahun. Dan inilah makna bilangan bulan dalam ayat di atas.

Al-Fakhr ar-Razi berkata, "Para ulama berkata bahwa wajib bagi kaum

muslimin berdasarkan ayat ini untuk menghitung dalam perdagangan mereka, waktu jatuh tempo utang mereka, zakat mereka, dan hukum-hukum yang lain dengan peredaran bulan, dan tidak boleh menghitungnya dengan perhitungan tahun selain hijriyah (masehi dan lain-lain)."8

Dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa bulan-bulan yang dianggap (diperhitungkan) di dalam syariat Islam patokanya/landasan adalah dengan melihat bulan, dan tahunnya adalah tahun Qomariyah

(hijriyah). 9

Dalil dari hadits

Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah SAW:

ُهَل ا ْوُر ُدْقاَف ْم ُكْيَل َع َّم ُغ ْنِٕاَف ا ْوُر ِطْفَٔاَف ُه ْو ُمُتْئَاَر ا َذِٕا َو ا ْو ُم ْو ُصَف َلَال ِهْلا ُمُتْئَاَر ا َذِٕا

"Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul fithri). Maka apabila kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh." 10

Rasulullah SAW menjadikan akhir bulan Sya>ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal, dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Dan kesimpulan dari dalil-dalil di atas secara tegas menyatakan bahwa yang dipraktekkan dan dijadikan perhitungan adalah kalender Hijriyah, hal itu yang menguatkan wajibnya berpegang teguh dengannya dan bukan dengan kalender-kalender selainnya. Dan kalender ini cocok dengan keadaan-keadaan manusia, karena ia cocok bagi setiap bangsa karena mudahnya dan gampang dikomusikasikan untuk masing-masing pihak. Dan generasi awal (salaf) umat Islam dari kalangan Shahabat RA, dan Tabi'in telah bersepakat dalam penggunaan kalender ini.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Perhitungan

kalender harian dimulai dari terbenamnya matahari, dan bulan dimulai dengan munculnya hilal, dan tahun dimulai dari hijrah (hijrah Nabi), dan inilah yang dipraktekkan oleh kaum Muslimin, yang mereka ketahui dan dijadikan perhitungan oleh Ahli Fiqih dalam kitab-kitab mereka."11

Dan berdasarkan pembahasan yang telah lalu, maka penggunaan kalender Hijriyah dan masehi mempunyai beberapa keadaan:

9 At-Tafsir al-Kabir: XVII/35-36

10 HR Al-Bukhari 2/674 dan Muslim 2/762

Pertama: Menggunakan kalender Hijriyah saja

Hukum dari keadaan ini adalah bahwasanya petunjuk Syari'at mengarah pada kewajiban mengamalkan kalender Hiriyah, dan bahwasanya penghitungan waktu-waktu ibadah berdasar padanya dan itu adalah syi'ar dan simbol Islam.

Kedua: Menggunakan kalender Hijriyah dan Jawa secara bersamaan Telah kami sebutkan pada keadaan pertama bahwa pada asalnya perhitungan yang harus digunakan adalah kaelender Hiriyah, dan hukum ini mencakup seluruh idividu dan negeri-negeri Islam. Akan tetapi tidak mengapa untuk memanfaatkan kalender masehi, akan tetapi hanya sebagai pembantu kalender Hijriyah, yang dia (kalender masehi) disebutkan di belakang kalender masehi ketika dibutuhkan atau ketika ada maslahat yang kuat. Contohnya kita katakan, "Sekarang tanggal 23

Muharram 1432 bertetpatan dengan ... Suro."

Tidak mengapa kita kita mengambil—bukan mengganti—perhitungan (kalender) umat-umat lain yang bermanfaat bagi kita dalam beberapa kesempatan dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan perkara-perkara dunia. Adapun yang berkaitan dengan musim yang empat, dan penggunaannya dalam mengatur matapencaharian, pekerjaan, dan pendidikan, maka hal ini tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita tentang kalender Hijriyah maupun Jawa.

Ketiga: Menggunakan kalender Jawa saja

Berdasarkan pembahasan yang telah lalu bahwasanya kalender Jawa berkaitan dengan agama dan kebudayaan Jawa (yang belum tentu sesuai dengan Islam). Ini tampak jelas dari nama-nama bulan yang ada dalam kalender masehi. Maka sebagian besar nama-nama itu adalah nama berhala yang berkaitan tuhan-tuhan Nasrani, atau nama-nama kaisar atau nama-nama pendeta mereka. Oleh sebab itu penetapan kalender masehi sebagai simbol bagi suatu Negara dan menggunakan perhitungan tanggal dengannya dalam berbagai hal adalah bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang Nasrani, dantelah banyak nash-nash Syar'iat yang mengharamkan hal tersebut. Di antara nash tersebut adalah sabda Rasulullah SAW :

"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum itu." 12

Hadits di atas mengandung larangan tasyabbuh dengan simbol-simbol orang kafir, hari raya mereka kebiasaan-kebiasaan dan seragam-seragam mereka serta apa-apa yang menjadi kekhususan mereka. Dan penggunaan kalender Jawa masuk ke dalam ciri khas orang-orang yang kurang saleh (penganut Kejawen) ataupun tradisi Hindu.

Pada era kenabian Muhammad, sistem penanggalan pra-Islam diguna-kan. Pada tahun ke-9 setelah Hirah, turun ayat 36-37 surat At-Taubah, yang melarang menambahkan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.

Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Oleh setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

TRADISI KEJAWEN SAAT BAYI DALAM

Dalam dokumen Ensiklopedi Syirik (Halaman 35-49)

Dokumen terkait