• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan pada 32 titik longsor, terdapat 2

karakteristik longsor yang ditemui, yaitu 1) gelinciran tanah (

earth flow)

(30 kasus

atau 94%), dan 2). penurunan muka tanah/

amblesan

(

subsidence)

(2 kasus atau

6%). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 32 titik longsor tersebut disajikan pada

Lampiran 4. Wilayah pengamatan meliputi tiga Kecamatan di Kabupaten Garut

yaitu Kecamatan Banjarwangi, Kecamatan Singajaya dan Kecamatan Peundeuy.

Hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian longsor disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil Pengamatan Longsor di tiga Kecamatan di Kabupaten Garut

Berdasarkan seluruh kejadian tanah longsor, 23 titik tanah longsor terjadi

di Kecamatan Banjarwangi meliputi 2 titik penurunan muka tanah (

subsidence)

dan 21 titik gelinciran tanah (

earth flow

), di Kecamatan Singajaya terjadi 5 titik

tanah longsor dan tanah longsor di Kecamatan Peundeuy ditemukan 4 titik.

Keseluruhan lo kasi tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 9.

Tipe longsor gelinciran tanah (

earth flow)

merupakan tipe gerakan tanah

aliran bahan rombakan dan tanah yang jenuh air dalam kondisi kental dan

0

5

10

15

20

25

Banjarwangi Singajaya Peundeuy

Subsidence Earth Flow

Juml

(2)

plastis. Longsoran tipe ini berkomposisi material yang kaya akan liat dan

mengembang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya gaya kohesi

antar butir tanah. Disamping itu, kondisi lokasi penelitian yang berbukit-bukit dan

memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini banyak ditemukan.

Disamping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan pemanfaatan lahan yang tidak

mengikuti kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan resiko terjadinya tanah

longsor setiap tahun terus meningkat. Gambar 9 menunjukkan tipe longsor

gelinciran tanah yang terjadi di wilayah penelitian, yaitu di Kecamatan

Banjarwangi.

Tabel 9. Lokasi dan Tipe Tanah Longsor di wilayah Penelitian

No Tipe Tanah

Longsor Lokasi

Jumlah Kasus Kec. Banjarwangi : Kp. Wanahayu, Kp.

Padahurip, Kp. Genteng (3 titik) , Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik) , Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasir Kondang, Kp. Sindang Panon, Kp. Ciwayang, Kp. Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi, dan Kp. Pancasura (2 titik)

21

Kec. Singajaya : Kp. Cibeureum (2 titik), Kp.

Cibitung, Kp. Cikadu dan Kp. Cipari 5

1. Earth Flow

Kec. Peundeuy : Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp.

Cinambo dan Kp. Secang 4

2. Subsidence Kec. Banjarwangi : Kp. Jabeng dan Kp.

Cilangari 2

(3)

Gambar 9. Longsor Tipe Gelinciran Tanah di Kecamatan Banjarwangi

Gelinciran tanah yang terjadi di lokasi penelitian disebabkan oleh

peningkatan beban tanah yang terdapat pada lereng perbukitan yang terjal.

Proses terjadinya tanah longsor ini dimulai dari aktivitas masyarakat membuka

lahan untuk kegiatan bercocok tanam dan membangun infrastruktur (rumah dan

jalan). Selanjutnya diikuti oleh berbagai aktivitas lainnya : mengolah tanah,

mengalirkan air (untuk sawah) dan memotong lereng. Saat musim penghujan,

tanah -tanah yang telah diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang

terdapat diatasnya, disamping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong

terjadinya gelinciran tanah, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga

membuat badan lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban).

Keadaan wilayah di sekitar lokasi kejadian longsor (zona longsor) dapat

dikategorikan menjadi 3 kondisi, yaitu rawan longsor, potensial dan stabil.

Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi yang mencirikan/karakteristik keadaan

zona tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 10. Kajian karakteristik keadaan

zona longsor (Tabel 10), mengindikasikan 57% (18 titik zona longsor) tergolong

dalam kondisi rawan terjadinya longsor, kondisi stabil terdapat 34% (11 titik zona

longsor) dan potensial mengalami longsor 9% (3 titik zona longsor) (Gambar 10).

Wilayah yang termasuk dalam ke 3 kategori zona longsor seperti terdapat dalam

Tabel 11.

34% 9% 57% Stabil Potensial Rawan Kondisi zona longsor :

(4)

Gambar 10. Kondisi Zona Longsor di Wilayah Penelitian

Tabel 10. Karakteristik Zona Longsor di Lokasi Penelitian

Zona Longsor No Karakteristik /ciri-ciri

Rawan Potensial Stabil

1 2 3 4 5 6 7 8

Retakan-retakan tanah pada tapak di sekitar lokasi tanah longsor

Keadaan dan panjang lereng di sekitar lokasi tanah longsor Jejak erosi sekitar lokasi longsor

Gawir longsor Kedaan vegetasi

Aktivitas masyarakat di bagian atas lereng

Kejadian longsor (baru sekali terjadi/sering)

Sumber air tanah di lokasi tanah longsor Sangat jelas Relatif segaram Intensif Terlihat Pohon tumbuh miring searah lereng Intensif Sering terjadi Banyak muncul terutama di musim hujan Terlihat (tidak nyata) Seragam Rendah Terlihat - intensif baru terjadi Banyak muncul terutama di musim hujan Tidak terlihat Relatif bervariasi Tidak terlihat Tidak terlihat - rendah - tidak terlihat

Sumber : diolah dari data primer

Keadaan zona longsor yang tergolong rawan dicirikan oleh 1) tingkat

kelerengan yang sangat terjal, 2) retakan-retakan pada tubuh lereng terlihat

cukup jelas 3) reruntuhan kecil material tan ah banyak ditemukan di sekitar titik

longsor, 4) pada wilayah ini hampir sebagian besar kondisinya tanpa vegetasi

(hanya ditumbuhi semak dan tanaman semusim), 5) a ktivitas pertanian di bagian

atas lereng cenderung sangat intensif dan 6) ditemukannya jejak erosi pada

permukaan tanah yang berupa erosi lembar (

sheet erosion

), yang dicirikan dari

(5)

Erosi yang terjadi ini disebabkan kekuatan jatuh butir hujan dan tingginya

aliran permukaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada zona longsor

yang tergolong rawan akan terjadinya longsor, adalah banyaknya sumber air

yang muncul dari tebing -tebing perbukitan. Mata air ini secara terus menerus

mengeluarkan air. Menurut masyarakat setempat, sumber air ini akan semakin

banyak pada saat musim penghujan dan berangsur menurun jumlahnya pada

saat musim kemarau. Hal ini salah satu yang membedakan antara kondisi pada

zona longsor yang rawan dengan zona yang stabil.

Tabel 11. Kondisi Zona Longsor pada Lokasi Penelitian

No Karakteristik Zona

Longsor Lokasi

Jumlah

Kasus %

1. Stabil

Kp. Genteng, Kp. Jabeng I dan II, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Mekartani, Kp. Cinambo, Kp. Jajawai, Kp. Cilangari, Kp. Pasirkondang dan Kp. Pancasura

11 34

2. Potensial Kp. Wanahayu, Kp. Pad ahurip dan

Kp.Kadulempeng 3 9

3. Rawan

Kp. Singkur, Kp. Jabeng III, Kp. Cibeureuem I dan II, Kp. Cibitung, Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Secang, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Sindang Panon, Kp. Pancasura I dan II, Kp. Mekartani II, Kp. Ciudian, dan Kp. Jayamukti.

18 57

Sumber : Diolah dari data primer

Keadaan zona longsor yang termasuk stabil pada lokasi penelitian

tersebar pada 11 titik (34%). Kondisi stabil dari bahaya tanah longsor ini

didukung oleh keadaan lereng yang relatif lebih kompak dan landai, tidak

ditemukannya adanya retakan -retakan pada tubuh lereng serta keadaan vegetasi

cukup baik (dibeberapa lokasi masih ditemukan tegakan tanaman keras seperti

(6)

Kondisi zona yang cukup stabil terhadap longsor tersebut dapat berubah

menjadi rawan longsor, apabila aktivitas yang mendukung terjadinya tanah

longsor bertambah besar. Kondisi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya

tanah longsor antara lain adalah aktivitas yang dapat membahayakan stabilitas

lereng, seperti : aktivitas memotong lereng, membuka lahan untuk kegiatan

pertanian dan pembangunan infrastruktur (jalan dan pemukiman).

Luasnya areal tanah longsor yang terjadi di lokasi penelitian memiliki

korelasi dengan volume material longsor. Material tanah longsor di lokasi

penelitian terdiri dari campuran tanah, batuan dan sisa-sisa tumbuhan yang

terdapat di permukaan tanah. Besarnya volume material longsor yang terlihat

pada lokasi tanah longsor cenderung dipengaruhi oleh luasnya bidang longsor

dan tebalnya solum tanah pada titik longsor tersebut. Namun dari hasil analisis

terhadap seluruh titik longsor yang diamati, ternyata besarnya volume longsor

memiliki hubungan yang rendah dikaitkan dengan berbagai faktor utama

penyebab longsor. Memprediksi besar volume longsor yang akan terjadi menjadi

sulit jika terkait dengan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Dengan kata

lain, kejadian tanah longsor atau kondisi zona longsor dapat diprediksikan dari

berbagai faktor-faktor utama penyebab tanah longsor, tetapi besar volume

material yang akan bergerak menjadi tanah longsor sulit diprediksikan. Secara

substansial besarnya volume longsor yang akan terjadi dipengaruhi oleh tebal

lapisan tanah yang akan bergerak turun akibat beban yang terdapat dibagian

atas lereng dan berkurangnya daya tahan geser tanah. Permasalahannya setiap

bagian dari bidang lereng memiliki daya tahan geser tanah yang berbeda

sehingga sukar membuat suatu penampang perkiraan volume longsor.

Intensitas kejadian tanah longsor setiap tahun terus meningkat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa di lokasi

(7)

ditemukan, terutama di lahan -lahan yang telah dikelola masyarakat baik untuk

pertanian dan infrastruktur. Gambar 11 menunjukkan intensitas kejadian longsor

4 ta hun terakhir di wilayah penelitian.

Gambar 11. Kejadian Longsor Sejak Tahun 2001 di Lokasi Penelitian

Pada tahun 2001 paling tidak tercatat 5 kejadian longsor yaitu di Kp.

Padahurip, Kp. Genteng, Kp. Toblong, Kp. Kadulempeng dan Kp. Jajawai.

Sedangkan tahun 2002 tercatat tambahan 2 kejadian, yaitu di Kp. Jabeng dan

Kp. Sindang Panon. Pada tahun 2003 terjadi 5 kasus, yaitu di Kp. Wanahayu,

Kp. Cibeureum, Kp. Cikupa , Kp. Pancasura dan Kp. Jayamukti.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di lokasi bencana

longsor, kejadian longsor biasanya terjadi pada saat musim hujan. Pada musim

hujan longsor hampir setiap saat dapat terjadi, terutama apabila curah hujan

semakin tinggi, biasanya kejadian longsor diawali oleh semakin banyaknya

limpasan air yang mengalir turun dari atas bukit, selanjutnya material longsor

berupa pasir ataupun sisa -sisa tanaman perlahan bergerak turun, terkadang

terjadi begitu cepat.

Landform

dan Karakteristik Fisik Tanah

Bentang lahan di lokasi penelitian didominasi oleh perbukitan yang

memiliki kelerengan terjal. Kondisi alamiah ini menjadi salah satu faktor

0 5 10 15 20 25 2001 2002 2003 > 2004

Jumlah Kejadian Longsor

0 5 10 15 20 25 2001 2002 2003 > 2004

(8)

pendorong kejadian longsor di wilayah penelitian. Sangat sulit sekali menemukan

suatu bentang lahan yang relatif datar dan landai. Keadaan ini membuat

masyarakat harus melakukan modifikasi terhadap lahan apabila ingin

membangun fasilitas umum seperti : jalan dan pemukiman. Dari hasil analisis,

besarnya sudut lereng menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam setiap

kejadian longsor, seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12 . Hubungan Kelerengan (

slope

) dan Frekuensi Tanah Longsor

Gambar 12 menunjukkan pengaruh terbesar (titik kritis) sudut kelerengan

mulai terlihat pada kemirinagn lereng =31

o

. Frekuensi kejadian longsor pada

tingkat kelerengan =31

o

ditemukan sebanyak 23 kasus, pada kelerengan 21

o

30

o

ditemukan 5 kasus dan pada kemiringan lereng = 20

0

ditemukan 4 titik

longsor (Tabel 12).

Tabel 12. Frekuensi Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Kemiringan Lereng

No Kemiringan

Lereng (…o) Lokasi Jumlah %

1. = 20o Kp. Jabeng II & III, Kp. Cilangari, Kp.

Sindang Panon 4 12

2. 21o – 30o Kp. Cipari, Kp. Cikupa, Kp.Jayamukti, Kp.

Pancasura dan Kp. Sukawangi 5 16

3. = 31o Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng, Kp.

Singkur, Kp. Jabeng, Kp. Cibeureum, Kp. 23 72

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 1 3 5 7 9 11 13 1 5 17 19 21 23 25 2 7 29 31 33 35 37 39 41 4 3 45 47 Slope Frekuensi Kumulatif Kemiringan Lereng (..o) Frekuensi Kumulatif Longsor

(9)

Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Toblong, Kp. Cinambo, Kp. Secang, Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasirkondang, Kp. Ciudian, Kp. Mekartani dan Kp. Pancasura Sumber : Diolah dari data primer

Hal yang mendapat perhatian dari suatu kejadian longsor tipe gelinciran

(terkait dengan faktor kelerengan) adalah besarnya sudut kemiringan lereng. Dari

keseluruhan titik kejadian longsor, 30 kasus titik longsor dengan tipe gelinciran

tanah terjadi akibat dari besarnya sudut kelerengan. Walaupun pada beberapa

titik kasus, longsor juga terjadi pada lereng yang relatif landai, terutama longsor

dengan tipe amblesan (

subsidence)

(dalam hal ini ditemukan 2 kasus amblesan

tanah yaitu di Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari) dari 2 kasus tersebut, 1 kasus

longsor dengan tipe amblesan terjadi pada lahan persawahan dengan

kemiringan lereng 17

o

. Berdasarkan pengamatan di lapangan, amblesan tanah

disebabkan oleh adanya ruang kosong pada lapisan bawah tanah, sehingga

tanah permukaan menjadi turun. Kekosongan bagian bawah permukaan tanah

ini besar kemungkinan karena adanya aliran air bawah tanah, sehingga secara

perlahan aliran tersebut membawa material tanah yang dilaluinya, sehingga

bagian tanah tersebut menjadi hilang daya tahan tanahnya. Aliran bawah tanah

ini terlihat dari munculnya mata air pada kaki bukit di lokasi yang mengalami

amblesan.

Ketebalan tanah berperan juga dalam kejadian tanah longsor. Pada

wilayah kajian terlihat semakin tebal tanah maka semakin banyak ditemukan

kejadian longsor. Frekuensi kejadian longsor tertinggi ditemukan pada ketebalan

tanah antara 100 – 200 cm. Gambar 13 menunjukkan hubungan antara

ketebalan tanah dengan jumlah kejadian longsor. Di lokasi penelitian ditemukan

23 kasus longsor pada ketebalan tanah antara 100 – 200 cm, sedangkan pada

(10)

Ketebalan tanah berpengaruh terhadap beban lereng yang

menjadikann ya berpotensi longsor. Secara teoritis, lapisan tanah tebal pada

lereng terjal (>30

o

) sangat berpotensi untuk menjadi tanah longsor terutama di

musim hujan. Air hujan yang jatuh akan masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi

dan apabila pada lapisan bawah tanah terdapat bagian kedap air (lapisan bahan

induk) maka akumulasi simpanan air hujan tersebut akan menurunkan daya rekat

(kohesi) tanah sehingga dengan kondisi terus berlanjut menyebabkan daya

tahan geser tanah akan lebih rendah dari daya geser tanah (µ

s

< µ

k

).

Tabel 13. Ketebalan Tanah di Lokasi Tanah Longsor

No Ketebalan Tanah (cm) Lokasi Jumlah Kasus % 1. < 100 Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Sindang Panon, Kp. Pancasura (2 titik) , Kp. Mekartani, Kp. Sukawangi, Kp. Jayamukti dan Kp. Ciudian

9 28

2. 100 - 200

Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng (3 titik), Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik) , Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp.

Pasir Kondang, Kp. Ciwayang, Kp.

Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi, Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari

23 72

Sumber : Diolah dari data primer

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 Ketebalan Tanah (cm)

Frekuensi Kumulatif Longsor

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 Ketebalan Tanah (cm)

(11)

Gambar 13. Hubungan Ketebalan Tanah dan Frekuensi Tanah Longsor

Warna tanah di lokasi penelitian merupakan petunjuk untuk beberapa

sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat

di dalam tanah tersebut. Pada 3 kecamatan lokasi penelitian terlihat bahwa

warna tanah didominasi oleh warna coklat hingga coklat kekuningan. Penyebab

perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan

organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Pada

lapisan bawah tanah longsor, dimana kandungan bahan organik umumnya

rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa

Fe. Di persawahan kondisi drainasenya buruk (daerah yang selalu tergenang

air), maka seluruh tanah cenderung berwarna keabu-abuan hingga coklat

kekuningan karena senyawa Fe terdapat dalam keadaan reduksi (Fe++). Pada

tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak terendam air, terdapat pada

kebun -kebun campuran masyarakat, dimanan warna tanah cenderung coklat

hingga coklat kemerahan. Terkait dengan longsor, warna tanah menjadi salah

satu indikator kondisi drainase tanah. Pada tanah yang drainasenya buruk

seperti tanah sawah pada lokasi penenlitian terlihat sangat rentan mengalami

longsor.

Dikaitkan dengan tekstur tanah, maka terlihat bahwa tekstur tanah di 3

kecamatan wilayah studi tergolong kedalam liat berlempung hingga liat berat

(

heavy clay

) atau kandungan liat > 60% (Balai Penelitian Tanah, 2004). Menurut

masyarakat di lokasi penelitian, kondisi tanah pada musim kemarau cenderung

pecah -pecah dan mengeras, namun pada musim hujan tanah menjadi liat dan

plastis (

lengket

). Menurut Hirnawan (1997), kondisi tanah seperti ini memiliki

potensi kembang (ekspansi) tinggi mencapai >25% dan dalam kondisi sangat

basah menyebabkan parameter ketahahannya (kohesi tanah) turun hingga

(12)

umum, aneka tanah ekspansif berasal dari pelapukan sedimen tersier dan

endapan vulkanik kuarter. Jenis tanah seperti ini banyak mengandung mineral

monmorilonit, ilit, halosit dan mineral non-lempung lainnya, yaitu kuarsa dan

plagioklas. Dalam hal ini liat jenis monmorilonit memiliki sifa t plastis dan

mengembang jika basah sehingga mudah terdispersi. Menurut Bouyoucus (1935)

dalam

Arsyad (2000), liat yang memiliki nisbah silika terhadap sesquioksida

(S

i

O

2

/(Fe

2

O

3

+ Al

2

O

3

) lebih dari 2.0 memiliki sifat plastis dan mengembang jika

basah sehingga agregatnya tidak begitu stabil dalam .

Tanah yang mengandung liat dalam jumlah tinggi dapat tersuspensi oleh

butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan

tersumbat oleh buitr-butir liat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya aliran

permukaan dan erosi yang hebat. Akan tetapi jika tanah demikian ini mempunyai

struktur yang mantap, yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi masih cukup

besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat(Arsyad, 2000).

Terkait dengan kondisi lapangan, antara kenampakan erosi dan tanah longsor

terkadang sulit dilihat hubungannya Di beberapa lokasi kasus tanah longsor,

kejadian erosi masih terlihat, namun di lokasi longsor lainnya terkadang erosi

tidak terlihat secara nyata

Untuk menentukan karakteristik tanah pada wilayah kajian, digunakan

klasifikasi tanah berdasarkan metode SCS (

Soil Conservation service

).

Selanjutnya dengan metode ini digunakan untuk menentukan bilangan kurva

(

curve number

). Langkah penentuan bilangan kurva adalah dengan

menggabungkan data tipe hidrologi tanah dengan data penggunaan lahan.

Berdasarkan metode SCS seluruh wilayah kajian termasuk dalam

kategori Hidrologi Tanah Kelompok D, yaitu tanah-tanah yang memiliki sifat

mengembang secara nyata jika basah, liat berat dan plastis (Arsyad, 2000).

(13)

memiliki nilai yang paling rendah, yakni hanya 0-1 mm/jam. Artinya sebagian

besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan. Secara teoritis, laju

aliran permukaan yang tinggi mengakibatkan meningkatnya resiko terjadinya

erosi. Hal ini terlihat jelas pada lokasi penelitian, dimana bekas-bekas kejadian

erosi terlihat nyata, baik dari kondisi permukaan tanah, maupun dari hasil

sedimentasi yang terkumpul pada bagian bawah lereng (tumit) dan pada air

sungai yang menjadi keruh. Terkait dengan fenomena tanah longsor dan erosi

sebagai mana yang telah dijelaskan diatas, Gambar 14 menunjukkan intensitas

tanah longsor dan erosi permukaan yang dapat teramati dilapangan. Dari

keseluruhan kejadian longsor yang diamati, 19 kasus (60%) terjadi pada lahan

yang tidak menunjukkan adanya erosi intensif, 9 kasus (28%) memperlihatkan

tanah longsor terjadi pada areal yang mengalami erosi intensif dan 4 kasus

(12%) tanah longsor terjadi pada areal dengan tingkiat erosi rendah (Tabel 14).

Gambar 14. Frekuensi Kenampakan Erosi di 3 Kecamatan di Kabupaten Garut

Tabel 14. Kenampakan Erosi di Lokasi Tanah Longsor

No Kenampakan Erosi Lokasi Jumlah %

1. Erosi intensif

Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Cibitung, Kp. Cinambo, Kp. Kadulempeng, Kp. Ciudian dan Kp. Pancasura

9 28

2. Erosi Rendah Kp. Jabeng II, Kp. Sukawangi, Kp.

Ciudian III dan Kp. Ciparai 4 12

Kenampakan erosi : 59% 13% 28% Tidak intensif rendah intensif

(14)

3. Erosi tidak intensif

Kp. Genteng, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik) , Kp. Cibeureum, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Cilangari, Kp. Pasir Kondang, Kp. Sindang Panon, Kp. Mekartani dan Kp. Jayamukti

19 60

Sumber : Diolah dari data primer

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, terlihat bahwa pada sebagian besar

kasus longsor yang terjadi di lokasi penelitian 19 kasus (60%) terjadi pada lahan

yang tidak menunjukkan adanya erosi di permukaan. Terkait dengan metode

klasifikasi tanah SCS, (secara teoritis) tanah yang termasuk dalam kelompok

hidrologi D akan memiliki resiko longsor yang rendah (jika dikaitkan dengan laju

infiltrasi), karena sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi

run off

akibat

hanya sebagian kecil hujan masuk kedalam tanah (mengisi pori-pori) untuk

selanjutnya menjadi cadangan air tanah. Namun kenyataannya kelompok tanah

ini memiliki resiko longsor yang paling tinggi karena sebagian besar air hujan

menjadi infiltrasi dan selanjutnya meningkatkan volume tanah. Kondisi seperti ini

dimungkin terjadi pada waktu musim hujan. Berdasarkan berbagai ciri fisik tanah

di lokasi penelitian, berdasarkan metode SCS termasuk dalam kelompok D.

Penggunaan lahan (

landuse

) dan Aktivitas Manusia

Penggunaan lahan (

landuse)

di lokasi penelitian dibedakan me njadi

beberapa tipe, yaitu 1) lahan tanaman semusim, 2) persawahan, 3) kebun talun

(

agroforestry)

,

dan pemukiman (infrastruktur)

.

Penggunaan lahan untuk budidaya

khususnya jenis sayur-sayuran memanfaatkan lahan eks perkebunan teh.

Masyarakat memanfaatkan lahan ini secara tidak syah karena desakan

kebutuhan ekonomi. Secara topografi, lahan eks perkebunan teh ini tidak layak

dijadikan lahan budidaya pertanian karena kelerengan yang terjal sehingga

(15)

Gambar 15 menunjukkan 3 tipe penggunaan lahan, yaitu 1) kebun teh

yang diokupasi masyarakat menjadi kebun sayuran, 2) lahan persawahan

terletak pada lembah-lembah perbukitan dengan kondisi topografi relatif lebih

landai, terutama setelah sebagian masyarakat memodifikasi tingkat kelerengan

dengan membuat teras dan 3) talun/kebun campuran, dimana masyarakat biasa

menanam tanaman keras disamping juga tanaman semusim.

Pemukiman penduduk disesuaikan dengan kondisi wilayah yang berbukit

dan berlereng terjal. Penduduk yang ingin membangun rumah harus memotong

lereng untuk memperoleh bidang tanah yang datar. Sehingga posisi sebagian

besar bagian belakang rumah penduduk langsung berbatasan dengan

tebing/lereng yang telah dipotong. Kebun talun milik penduduk biasanya berada

pada bagian puncak bukit dan ditanami dengan berbagai tanaman keras seperti :

sengon, kelapa, bambu, pisang, nangka, suren dan tanaman musiman (singkong

dan kacang -kacangan). Tipe longsor gelinciran tanah (

earth flow

) banyak

dijumpai pada lahan-lahan persawahan yang dikelola secara intensif seperti yang

sering terjadi pada lokasi penelitian (Gambar 16).

Kejadian tanah longsor tertinggi terjadi di persawahan sebanyak 25

kasus, kebun campuran sebanyak 4 kasus, tanah longsor yang terjadi di lokasi

pemukiman dan infrastruktur (tebing jalan) sebanyak 2 kasus, dan tanah longsor

yang ditemukan pada kebun sayuran hanya ditemukan 1 kasus (Tabel 15).

1 2 3 Keterangan : 1. Kebun tanaman semusim (sayuran). 2. Persawahan 3. Kebun campuran

(16)

Gambar 15 . Tipe Penggunaan Lahan (

landuse

) di Lokasi Penelitian

25 1 4 2 0 5 10 15 20 25 30

Sawah intensif Kebun Tan. Semusim

Kebun Campuran Pemukiman + Infrastruktur

Penggunaan Lahan

Jumlah Kasus Longsor

Gambar 16. Jumlah Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan

Tabel 15. Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan

No Penggunaan Lahan

(Landuse) Lokasi Jumlah %

1. Persawahan

Kp. Genteng (3 titik) , Kp. Padahurip, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Cikupa (3 titik), Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Pancasura (2 titik), Kp. Cilangari dan Kp. Ciparai (2 titik).

25 78

2. Kebun campuran Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Secang, dan

Kp. Karangagung 4 12 3. Kebun tanaman semusim (sayuran) Kp. Wanahayu 1 60 4. Infrastruktur (jalan dan perumahan

Kp. Toblong dan Kp. Cinambo

2

Sumber : Diolah dari data primer

Tingginya kasus tanah longsor di lokasi persawahan harus dijadikan

(17)

memperhatikan berbagai aspek guna mencegah terjadinya tanah longsor.

Penyebab utama terjadinya tanah longsor di persawahan, diantaranya karena

pemanfaatan air yang melebihi daya tahan geser tanah. Pada awal musim

tanam, masyarakat memanfaatkan air secara berlebihan dengan cara

memasukkan air ke persawahan. Akibatnya jika lahan sawah yang telah

menampung cukup banyak air ditambah oleh air hujan yang ditampung akan

terjadi akumulasi air di sebagian besar lahan persawahan sehingga jika kondisi

ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan tanah longsor.

Guna mencegah terjadinya longsor di lahan persawahan, salah satu

upaya yang dapat dilakuakn adalah meminimalisir jumlah pemakaian air,

terutama ketika musim hujan. Hal ini untuk mencegah terjadinya tanah longsor

yang diakibatkan daya tahan geser tanah yang semakin lemah akibat akumulasi

air yang terdapat di atasnya.

Analisis Komponen Utama (

Principal Component Analisis

)

Berdasarkan hasil analisis PCA (

Principal Component Analisis

) dihasilkan

5 faktor utama dari 16 variabel prediktor longsor. Variabel prediktor longsor yang

mencirikan faktor 1 adalah warna tanah (v

2

), sawah (v

13

) dan Infrastruktur

penutup lahan (v

15

) dengan nilai keragaman 24,9%. Variabel prediktor longsor

yang me ncirikan faktor 2 adalah panjang lereng (v

8

) dan tingkat kelerengan

(slope) (v

9

) dan bentuk lembah sungai (v

13

) dengan nilai keragaman 20.3 %.

Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 3 adalah kerapatan vegetasi

(v

6

) dan diameter pohon (v

7

) dengan nilai keragaman 13.9 %. Variabel prediktor

longsor yang mencirikan faktor 4 adalah tekstur tanah (v

4

) dengan nilai

keragaman 9.8 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 5 adalah

ketebalan tanah (v

1

) dengan nilai keragaman 8.2 %. Tabel 10 menunjukkan hasil

(18)

Kemudian untuk melihat pola pengelompokkan berbagai variabel

prediktor longsor, maka dilakukan analisis gerombol dengan menggunakan

hierarchical classification

dengan metode tetangga terdekat (

nearest neighbor

method

), atau sering disebut sebagai

single linkage method

, sehingga dihasilkan

pengelompokkan seperti pada Gambar 17. Analisis yang dilakukan adalah

pengelompokan yang mengikuti sebaran datanya sendiri. Berdasarkan metode

ini, klasifikasi (pengelompokan data) tidak memerlukan keputusan awal secara

a priori

baik mengenai jumlahnya maupun keputusan mengenai keserupaannya

(kedekatannya). Dalam kaitan analisis gerombol ini, PCA dipergunakan sebagai

cara pembakuan data dan mengubah susunan data menjadi tidak saling

berkorelasi atau saling tegak lurus (orthogonal).

Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode

hierarchical

classification

maka terlihat dari 16 variabel prediktor penyebab longsor,

menunjukkan kecenderungan bergerombol membentuk 5 kelompok (

cluster

)

dengan derajat similaritas > 40%.

Tabel 16. Hasil Analisis Komponen Utama (

Principal Component Analisis

).

No Variabel Prediktor Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5

1 Ketebalan tanah v1 -0,07516 -0,03977 -0,11914 0,00869 0,88361* 2 Warna tanah v 2 0,93457* 0,17492 0,10171 0,10743 -0,00267 3 Erosi v 3 -0,66304 0,55606 -0,01606 0,03513 -0,02566 4 Tekstur tanah v 4 0,05370 0,06198 0,02626 0,9414* 0,01605 5 Jenis Tanaman v 5 -0,21878 -0,12985 0,69555 -0,52538 0,11202 6 Kerapatan v 6 0,09355 -0,32988 0,7568* 0,19300 -0,30625 7 Diameter batang v 7 -0,45553 -0,13496 -0,7022* 0,10788 0,02370 8 Panjang lereng v 8 -0,26714 -0,74529* 0,09017 0,01929 0,16450 9 Slope v 9 0,13709 0,89409* -0,17519 0,07159 -0,09086 10 Kejadian longsor v10 0,14390 -0,02588 0,65320 0,51344 0,15280 11 Kondisi perbukitan v11 0,12920 0,90126* -0,02827 0,08074 0,03226 12 Bentuk lembah Sungai v12 0,68997 0,54124 0,13374 -0,17021 0,06042 13 Sawah v13 0,89212* 0,08276 0,02125 0,19471 -0,12390 14 Kebun campuran v14 0,66801 -0,04466 0,10214 0,00799 -0,17518 15 Infrastruktur v15 0,74316* 0,43308 -0,04121 -0,01691 -0,04793 16 Usaha konservasi v16 -0,07276 -0,31181 0,39657 0,07722 0,56154 Akar Ciri 3,98905 3,24351 2,22931 1,57286 1,31562 Proporsi Total 0,24932 0,20272 0,13933 0,09830 0,08223

Sumber : Data primer diolah

(19)

Gambar 17 memperlihatkan pengelompokan variabel paling optimal pada

tingkat keragaman 47,31%. Penentuan

cluster

pada metode ini dilakukan dengan

mempertimbangkan banyaknya kelompok variabel yang terbentuk terhadap

tingkat keragamannya. Artinya, penambahan jumlah

cluster

yang terbentuk harus

diikuti oleh peningkatan keragaman secara nyata. Pada titik ini, seluruh variabel

prediktor penyebab tanah longsor bergerombol menjadi 5 kelompok besar.

Penetapan jumlah kelas tersebut dengan pertimbangan tingkat keragaman

variabel yang dihasilkan dapat menggambarkan sebaran seluruh set variabel

(data) hasil pengamatan. Hal lainnya adalah bahwa variabel yang berkorelasi

sebenarnya merupakan duplikasi penggunaan data, maka sebenarnya cukup

dipakai salah satu (pewakil) saja.

Gambar 17. Analisis Gerombol Menggunakan

Hierarchical Classification

Kelompok 1 merupakan gabungan dari 4 variabel penjelas : kedalaman

tanah (v

1

), panjang lereng (v

8

), jenis tanaman (vegetasi) (v

5

) dan Usaha

konservasi (v

16

) dengan variabel pewakilnya adalah kedalaman tanah (v

1

).

Kelompok 2 merupakan gabungan dari 3 variabel penjelas : tekstur tanah (v

4

),

Variabel

(20)

kerapatan vegetasi (v

6

) dan kejadian longsor (v

10

) dengan variabel pewakilnya

adalah tekstur tanah (v

4

). Kelompok 3 merupakan gabungan 2 variabel penjelas :

kondisi erosi yang terlihat (v

3

) dan diameter tegakan vegetasi (v

7

) dengan

variabel pewakilnya adalah kondisi erosi yang terlihat (v

3

). Kelompok 4

merupakan gabungan dari 2 variabel penjelas : tingkat kelerengan (slope) (v

9

)

dan kondisi perbukitan (v

11

) dengan variabel pewakilnya adalah tingkat

kelerengan (slope) (v

9

). Kelompok 5 merupakan gabungan 5 variabe l penjelas :

warna tanah (v

2

), sawah (v

13

), infrastruktur (v

15

), bentuk lembah sungai (v

12

) dan

kebun campuran (v

14

) dengan variabel pewakilnya adalah sawah (v

13

).

Dengan menerapkan metode

hierarchical classification

maka selanjutnya

diperoleh 5 variabel penjelas yang dapat dijadikan sebagai pewakil dari 16 faktor

yang diduga sebagai penyebab utama tanah longsor di lokasi penelitian.

Variabel penjelas tersebut terdiri dari : kedalaman tanah (v

1

), tekstur tanah (v

4

),

kondisi erosi yang terlihat (v

3

), tingkat kelerengan (slope) (v

9

) dan sawah (v

13

).

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat 2 variabel penjelas yang

menunjukkan peran sifat fisik tanah sebagai penyebab tanah longsor, yaitu

kedalaman tanah (v

1

), dan tekstur tanah (v

4

). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi

fisik tanah di lokasi penelitian menjadi salah satu faktor utama yang memberikan

kontribusi dalam kejadian tanah longsor. Kedalaman tanah memiliki kontribusi

dalam meningkatkan beban pada lereng, sehingga apabila beban pada lereng

melebihi daya tahan gesernya, maka tanah cenderung bergerak turun. Selain

dari hal tersebut, faktor lain yang mudah di amati adalah warna tanah.

Warna

tanah (v2

) merupakan faktor fisik tanah yang paling mudah diamati dilapangan.

Hal ini terkait dengan kandungan liat dan bahan organik tanah. Terkait dengan

kandungan liat, kondisi tanah di lahan persawahan yang berwarna keabuan

hingga coklat kekuningan memiliki sifat ekspansif, yaitu memiliki sifat kembang

(21)

kerut sehingga pada musim hujan akan meningkat jumlah volume air yang dapat

di tahan.

Faktor utama lain yang memiliki pengaruh dalam fenomena tanah longsor

adalah kondisi penggunaan lahan, terutama persawahan. Dari hasil pengamatan

hal ini telah terlihat bahwa kejadian longsor di lokasi penelitian tertinggi

frekuensinya ditemukan di lahan persawahan. Salah satu yang menjadi

penyebabnya adalah besarnya volume air yang ditampung oleh sawah sehingga

meningkatkan beban tanah, sehingga apabila gaya dorong pada tanah tersebut

lebih besar dari gaya tahan, maka tanah akan bergerak turun.

Faktor kondisi vegetasi yang telah rusak turut mempengaruhi kejadian

tanah longsor. Secara teoritis, vegetasi memiliki peran besar dalam menjaga

kemantapan struktur tanah dan meningkatkan infiltrasi. Pengaruh vegetasi nyata

terhadap ketahanan massa tanah melalui peningkatan kandungan fraksi pasir

dari massa tanah di zona perakaran. Penurunan ketahanan massa tanah akibat

musim hujan menjadi lebih kecil dari pada tanah tak bervegetasi (Hirnawan,

1997). Pada lokasi penelitian terlihat bahwa kondisi vegetasi tidak memiliki

peran yang optimal dalam mencegah terjadinya tanah longsor, karena sebagian

besar lahan telah beralih fungsi menjadi kebun sayuran/persawahan.

Faktor utama lainnya yang berperan besar dalam tanah longsor adalah

tingkat kelerengan (v

9

). Faktor kemiringan lahan (

slope

) tidak diragukan lagi

pengaruhnya dalam proses terjadinya tanah longsor. Sebagai mana telah

diuraikan pada bagian awal pembahasan, pada lokasi penelitian >90% kejadian

tanah longsor disebabkan tingginya tingkat kelerengan.

Selain keseluruhan faktor utama yang telah dijelaskan diatas, faktor lain

yang perlu diperhatikan adalah data kejadian tanah longsor yang terjadi dilokasi

penelitian. Hal ini penting artinya dalam investigasi tanah longsor karena data ini

(22)

pernah mengalami kejadian tanah longsor biasanya cenderung akan terus

mengalami longsor di masa mendatang. Mengingat sifat dari kejadian tanah

longsor itu sendiri yang cenderung terus terjadi apabila tidak dilakukan upaya

pencegahan di lokasi yang rawan terjadinya tanah longsor.

Uji Statistika

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran terhadap 32 titik longsor

di lokasi penelitian, selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui

pengaruh berbagai variabel terhadap kejadian longsor. Dalam hal ini, dipilih 3

(tiga) variabel tujuan (respon) (Y) yaitu tipe longsor (y

1

), kondisi zona longsor (y

2

)

dan volume longsor (y

3

), sedangkan variabel bebasnya (

predictor

) terdiri dari

karakteristik fisik tanah (4 variabel penjelas), vegetasi (3 variabel penjelas),

lereng (2 variabel penjelas),

landform

(3 variabel penjelas),

landuse

(3 variabel

penjelas), dan usaha konservasi (1 variabel penjelas).

Hasil analisis

multiple regression

memberikan gambaran bahwa dari 3

variabel tujuan (y

1

, y

2

dan y

3

) terhadap 16 variabel

predictor

menunjukkan derajat

hubungan (korelasi) yang rendah. Tabel 11 menunjukkan hasil analisis

hubungan antara variabel tujuan dengan variabel

predictor.

Tabel 17. Derajat Hubungan Antara Variabel pada Analisis

Multiple Regression

Faktor Utama Penyebab Tanah Longsor.

Nilai

Variabel Tujuan (Y)

R-Sq

R-Sq (adj)

Keterangan

Tipe longsor (y

1

)

62.89

57.39

Zona longsor (y

2

)

66.41

59.95

Terbaik

Volume Longsor (y

3

)

24.42

21.90

Keterangan :

R-Sq : Derajat hubungan antara variabel

Dengan menggunakan 5 variabel prediktor (penduga) penyebab longsor

(23)

tanah (v

1

), keadaan erosi (v

3

), tekstur tanah (v

4

), slope (v

9

) dan

landuse

/sawah

(v

13

) maka diperoleh model persamaan regresi keadaan zona longsor sebagai

berikut :

Y = 1.55 + 0.00186 v

1

- 0.061 v

3

+ 0.038 v

4

+ 0.0216 v

9

- 0.100 v

13

di mana :

Y

: keadaan zona longsor,

v

1

: tebal tanah ,

v

3

: keadaan erosi,

v

4

: tekstur tanah

v

9

: slope,

v

13

:

landuse

(sawah).

Model analisis regresi berganda ini menunjukkan respon yang diberikan

oleh variabel tujuan, yaitu Y terhadap berbagai nilai yang diberikan kepada

variabel penduga, yaitu v

1

, v

3

, v

4

, v

9

dan v

13

. Nilai yang dimasukkan dalam hal ini

mengacu pada nilai yang digunakan dalam mengukur suatu variabel bebas

seperti yang terdapat pada Tabel 2. Variabel respon (Y) tersebut diatas memiliki

3 nilai, yaitu 1 (zona stabil), 2 (zona potensial longsor) dan 3 (zona rawan

longsor). Selanjutnya dari setiap nilai variabel prediktor hasil pengukuran

di lapangan akan diperoleh suatu nilai yang apabila dimasukkan ke dalam model

di atas akan menghasilkan suatu nilai yang akan menunjukkan kondisi zona

longsor di suatu wilayah. Dalam hal ini nilai berbagai variabel prediktor (variabel

bebas) yang digunakan juga berpedoman pada kriteria yang telah disusun dalam

metodologi penelitian.

Tiap variabel prediktor dalam model tersebut memberikan pengaruh yang

nyata terhadap tingkat kerentanan zona longsor. Ketebalan tanah (v

1

)

memberikan kontribusi terhadap meningkatnya resiko longsor yang (mungkin)

akan terjadi pada zona longsor. Peningkatan beban lereng ini dapat terjadi

(24)

ditampung tanah pada musim hujan. Disamping itu, tanah itu sendiri merupakan

beban yang dapat menyebabkan material diatas lereng bergerak turun. Pada

lokasi penelitian, ketebalan tanah yang mulai rentan longsor terjadi pada

ketebalan tanah 140 – 200 cm, dimana jumlah kasus longsor yang ditemui 23

kasus.

Kondisi zona longsor berpotensi menjadi tanah longsor jika faktor-faktor

utama penyebab longsor seperti tingkat kelerengan, penggunaan lahan, vegetasi

dan infratsuktur mendukung terjadinya tanah longsor. Faktor besarnya erosi (v

3

)

yang terjadi di lokasi longsor secara signifikan belum dapat dijadikan indikator

terhadap kondisi zona longsor. Data hasil pengamatan terhadap erosi yang

terjadi di permukaan, hanya menunjukkan 9 kasus (28%) longsor yang terjadi

pada tanah yang mengalami erosi.

Tekstur tanah (v

4

) di lokasi penelitian tergolong dalam lempung berliat

hingga liat berat. Kondisi zona longsor pada lereng yang mengalami longsor

memiliki tekstur tanah yang rentan terhadap longsor dan apabila faktor penyebab

longsor lainnya, seperli lereng, tebal tanah,

landuse

mendukung terjadinya

longsor, maka besar peluang zona longsor akan mengalami longsor. Kondisi

tekstur tanah dan struktur tanah sangat mempengaruhi kecepatan infiltra si dan

kandungan air permukaan tanah. Air permukaan yang berasal dari curah hujan

sebagian akan meresap kedalam tanah atau batuan melalui pori-pori tanah atau

rekahan -rekahan yang terdapat pada batuan dan sebagian lagi akan mengalir di

atas permukaan tanah . Hal ini akan menyebabkan perubahan pada sifat fisik

tanah, yaitu menurunnya gaya kohesi tanah, sehingga kekuatan geser tanah

berkurang, sedangkan bobot massa tanahnya bertambah. Akibat lain dari aliran

permukaan, yaitu akan menimbulkan penggerusan (erosi) terutama pada

(25)

lebih terjal dan dapat mempercepat terjadinya gerakan tanah pada lereng bagian

atasnya.

Faktor kelerengan (v

9

) adalah unsur topografi yang paling berpengaruh

terhadap kerentanan zona longsor. Lereng yang curam dan memiliki arah yang

seragam cenderung memiliki resiko bergerak (longsor), terutama apabila faktor

tersebut ditunjang oleh tebalnya tanah dan beban yang terdapat diatasnya.

Karakter suatu lereng sa ngat bervariasi terhadap terjadinya longsor dan faktor

keterjalan sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan

energi (tegangan) pada lereng tersebut. Penambahan beban volume dan

melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan batuan dasar (

bedrock

)

sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk kedalam materi

tersebut dapat menyebabkan kelongsoran tanah. Pada kenyataannya tidak

semua lahan dengan kondisi yang miring mempunyai potensi untuk longsor. Hal

ini tergantung pada karakter lereng (beserta materi penyusunnya) terhadap

respon tenaga pemicu terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan.

Pola penggunaan lahan (

landuse

) (v

13

) untuk persawahan, terutama pada

daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat menyebabkan

meningkatnya potensi longsor. Pada lokasi penelitian, terlihat bahwa

persawahan intensif memberikan kontribusi besar terhadap kejadian longsor,

terutama dengan bertambahnya volume air yang ditampung pada lahan

persawahan menyebabkan meningkatnya beban lereng. Lahan persawahan

dibuat dengan melakukan modifikasi dan memotong lereng. Aktivitas ini

menyebabkan sudut lereng semakin tinggi sehingga memperbesar potensi

terjadinya tanah longsor. Selain itu, tanah yang kehilangan vegetasi penutup

akan menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air

akan mudah meresap kedalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat

(26)

terjadinya tanah longsor. Disamping itu, karakteristik hujan di lokasi penelitian

yang tergolong tinggi menyebabkan pada musim hujan persawahan menjadi

tempat penampungan air yang apabila terus berlanjut, sangat potensial menjadi

tanah longsor.

Fungsi yang telah dibangun di atas masih memiliki beberapa kelemahan.

Kelemahan tersebut terkait dalam beberapa hal, yaitu 1) jumlah titik pengamatan

tanah longsor masih terlalu sedikit, sehingga peluang terjadinya

error

dalam

menetapkan variabel dan pengukuran masih sangat besar dan 2) pemilihan

variabel yang diamati belum memberikan keterkaitan secara nyata terhadap

Gambar

Gambar 8. Hasil Pengamatan Longsor di tiga Kecamatan di Kabupaten Garut  Berdasarkan seluruh kejadian tanah longsor, 23 titik tanah  longsor terjadi  di Kecamatan Banjarwangi meliputi 2 titik penurunan muka tanah (subsidence)  dan 21 titik gelinciran tanah
Tabel 9. Lokasi dan Tipe Tanah Longsor di wilayah Penelitian  No  Tipe Tanah
Gambar 9.  Longsor Tipe Gelinciran Tanah di Kecamatan Banjarwangi
Gambar 10. Kondisi Zona Longsor di Wilayah Penelitian  Tabel 10. Karakteristik Zona Longsor di Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berada dalam bayangan stereotype transgender yang melekat pada dirinya, sebagai seorang model androgini bukan hal yang mudah untuk seseorang dapat merasa dirinya diterima

Pertumbuhan dan perkembangan adalah ciri khas anak-anak. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang kontinu dan berkelanjutan. Karena itu setiap anak

Jumlah skor ideal dari keseluruhan aspek penilaian dapat diperoleh dengan mengalikan 19 aspek penilaian dan skor maksimal dari setiap.. Dengan demikian, jumlah

Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana hubungan budaya organisasi, kepuasan kerja, terhadap komitmen organisasi karyawan sehingga dapat menjadi

demokrasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu sistem ekonomi di mana kegiatan ekonomi diatur oleh rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Di

Oleh karena itu perlu penelitian untuk Mengetahui faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas

Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas dari utara dengan kecepatan mencapai 0,04 met/det dan terbagi menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,30

Oleh karena itu jalan terbaik yang perlu dilakukan adalah mengkonservasi terha- dap spesies ikan di habitat alaminya dengan ca- ra-cara berikut (Anonimus, 1980): (a) Melin- dungi